IMAJINASI orang mungkin akan liar, ketika membayangkan sosok pribadi yang pandai berdagang, berjudi dan bercinta.
Tetapi bagaimanakah jika ketiganya berpadu di dunia politik?
Bukan hanya barang dan jasa, kekuasaan pun bisa diperdagangkan. Inilah yang disebut ‘politik dagang sapi’. Saya sendiri kurang paham makna istilah ini, karena belum pernah berdagang sapi.
Para pengamat yang terhormat, menyebutnya ‘politik transaksional’. Transaksi artinya persetujuan jual beli antara kedua belah pihak.
Dalam istilah Arab disebut ‘aqd (akad), yakni kesepakatan yang mengikat.
Kalau mau menjadi calon bupati, wali kota, gubernur hingga presiden, tidak bisa hanya dengan modal dengkul. Mau menyeberangi lautan politik menuju pantai impian kekuasaan, orang perlu perahu bernama partai politik.
Membuat perahu itu perlu biaya. Perahu yang cepat adalah perahu motor yang perlu bahan bakar plus awak dan pengemudi yang mahir. Semua perlu uang. Tak ada yang gratis.
Sudah maklum, jika ada barang atau jasa, maka ada harga. Jika persediaan sedikit, sedang permintaan banyak, maka harga akan tinggi. Inilah yang tampaknya terjadi sekarang. Perahunya sedikit, sementara calon penumpang banyak.
Karena itu, boleh jadi, di belakang layar, para pemilik perahu melakukan lelang. Siapa yang berani membeli dengan harga tertinggi, dialah yang berhak memakai perahu itu.
Padahal, itu baru urusan perahu. Transaksi berikutnya adalah dengan rakyat pemilih. Bagi calon jalur independen, urusan dengan rakyat pemilih ini sudah dimulai sejak awal.
Mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berjumlah ratusan ribu, tentu perlu tenaga dan biaya tidak sedikit, dari orang lapangan yang mengumpulkan, hingga ‘biaya fotokopi’ dan tali asih-terima kasih untuk pemilik KTP.
Menjelang hari pemilihan, mungkin saja sebagian (besar?) rakyat pemilih ingin atau tergoda menjual suara mereka. Suara dijual dengan harga tunai. Siapa yang sanggup dan mau membeli, dia akan mendapatkan suara itu.
Alasan mereka sederhana. Daripada menunggu janji-janji politisi yang sering tak terbukti, lebih baik diambil terlebih dahulu. Apalagi hidup sudah melarat. Urusan perut tak bisa ditunda.
Namun dalam politik, orang bukan hanya bisa berjual beli, tetapi bisa pula berjudi. Judi berarti mengadu nasib dengan modal tertentu, yang hasilnya belum pasti. Istilah lainnya: spekulasi.
Konon, pedagang besar yang sukses sekaligus bisa bangkrut habis adalah yang suka berspekulasi tinggi. Orang hebat, kata motivator, adalah orang yang berani mengambil risiko, bukan orang yang suka berada di zona aman.
Sudah maklum, meskipun calon sudah mengeluarkan dana yang amat banyak, belum tentu dia akan terpilih. Kalau tidak terpilih, bagaimana mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan?
Apalagi kini calon dari PNS atau anggota legislatif harus mundur dari pekerjaannya. Kalau kelak ternyata dia kalah, apakah dia siap menjadi pengangguran? Inilah spekulasi yang menuntut keberanian tinggi.
Tetapi mengapa semakin hari semakin banyak orang yang ingin jadi penguasa? Saya kira, ada dorongan yang amat dahsyat di balik semua ini, yakni cinta. Cinta kepada kekuasaan, laksana cinta kepada puteri jelita, atau pemuda tampan.
Cinta itu memabukkan. Kaum Sufi menyebutnya hubbul jâh, cinta jabatan dan kehormatan. Manusia ingin dirinya laksana dewa, yang dipuja dan diagungkan.
Dalam bercinta, ada kekasih yang pandai merayu tetapi palsu. Dia tebarkan pesona dan janji manis agar rakyat memilihnya. Kelak terbukti, semua itu dusta belaka. Tetapi adapula kekasih sejati yang rela mengorbankan apapun yang dimilikinya.
Dia sudah kaya raya, tetapi merasa belum berharga jika tidak menjadi penguasa. Kekuasaan adalah kekasihnya. Dia ingin tidur bersamanya. Itu saja, tak lebih.
Yang membuat kita prihatin adalah, baik mereka yang berdagang, berjudi atau bercinta dengan kekuasaan, semuanya menjadikan kekuasaan hanya sebagai tujuan meraih keuntungan pribadi dan/atau kelompok.
Akibatnya, cita-cita demokrasi untuk membangun masyarakat yang adil sejahtera, hanyalah suara-suara parau yang segera lenyap di udara, atau tulisan-tulisan indah tanpa makna.
Semoga para calon pemimpin dan rakyat tidak demikian adanya!