Monday 14 December 2015

GURU


Pahlawan tanpa jasa
sumber ilmu,kedisiplinan
akhlak,kewibawaan
kini telah lewat masa itu


Ajaran & didikan mereka
telah memberikan
manfaat yg luar biasa

Semoga Allah memberiakn
kalian semua pahala
yang setimpal

Jika ada yang telah
meninggalkan dunia
ilmu kalian akan
menjadi amal jariah

Kebaikan yang kami lakukn
berdasarkan ilmu yang kalian
ajarkan akan menjadi
doa bagi kalian
bahagialah di surga

BUSUK


Bagai bangkai
kau simpan
& kau gadaikn
tetap saja busuk


Panggung sandiwaramu
tidak akan memudarkan
kenangan terdahulu
percuma sajalah

Awan gelap menutupmu
kau rias sangkar emas
tapi dalamnya bangkai
maka akan tercium busuk

sudahlah
ga ada jalan terbaikmu
apa lagi dengan cara busukmu
maaf sampai disini saja

AKU DISINI


mungkin kau
tidak percaya
akan kepradaanku 
keadaanku dsini

aku tidak kemana2
dan ada dimana2
tidak usah resah
& tidak usah bingung

tetapi ku bukan
untuk mu saja

TERKAPAR


kenapa dunia
mnghukumku
dg trsingkinya
kepradaan aku


aku harus gmn
akankah ku hrs
menyerah dsini
hrskh hengkang

untk apa ku disini
sdg ku hny sbntar
menikmati yg ada
tp ganjaran begitu
amat besar bagiku

sampai disini
hapuslah aku

DALAM TIDURMU


Kau bgtu menanggung
beban yang amat berat
sedangkan kau seharusnya
masih dalam kesenangan

tapi kehidupan
telah mengajarkan
untuk menanggung
kehidupan berat ini

Memandangmu waktu
tidurmu dalam keresahan
& kegelisahanmu
belum waktunya untuk
menanggung semua

Tapi kau bisa melewati
semua terlewatkan
& kau begitu kokoh
& tegar menghadapi
ku bangga denganmu

Semoga tidak terpengaruh
Segala hal yang ga baik
& kedepanya selalu
dalam bimbinganNya

GAME OVER


Merana dalam kelam
tertunduk kaku
berpijak awan
melayang


Terombang ambing
tak tentu arah
tercabik2
terlena

Tersesat dalam kabut
gelap gulita
tersungkur
tertatih2

Game over

DAMAI


Mnggapai sang surya
seluas cakrawala
sedalam samudra
jiwa insan berjalan


Damailah hati
tentralah sanubari
pasrah sepnuh hati
tiada lain hanya satu

MET PAGI


Daun2 sambutn
embun pagi hari
yg jernih & mnyegarkn
yg brkilat bagai kaca


Rindu hujan pnjang
mmanggil hujan turun
subur tanah2 rekah
gersang & tandus

Inilah nikmat hati
mresapkn hening & bening
mnghayati ksetiaan
dan kesejatian

Gairah mmaknai hari esok
brsama pnghayatn batin
seiring tiupan angin
tak kunjung henti

MALAM TADI


Memandang langit gelap
menyapa angin mlam
& menari bersama
bintang-bintang


Ditemani para nyamuk
dan jangkrik-jangkrik
Hanyut dalam kegelapan
pagi ini terasa malam

Mendung mengundang
entah apa yang dibuat
Pasrah-pasrah
dan sepasrahnya

OH TRUMP

KITA baru saja menjalani pesta demokrasi. Dan, kita bersyukur pesta pemilihan kepala daerah secara umum berlangsung aman dan lancar. Terlepas apakah nantinya dari pesta itu memunculkan sengketa, namun kitabersyukur berjalan lancar, meski memiliki banyak kekurangan di sana-sini.
Siapa pun yang terpilih sebagai penguasa di satu wilayah, itulah yang memang dikehendaki dan dipercaya oleh rakyat. Tinggal bagaimana para penguasa yang terpilih nantinya benar-benar menjaga kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Tidak kemudian menjadi lupa daratan ketika sudah duduk di singgasana mewah. Rakyat tidak menginginkan para pemimpin baru seperti penguasa sebelum-sebelumnya –yang hanya perlu sesaat suara mereka guna memenuhi ambisi berkuasa. Di tengah kemeriahan ‘pesta kecil’ di negeri ini, ada ‘pesta’ lain di negara adidaya. Ya, Amerika Serikat kini sedang mencar calon pemimpin baru untuk menggantikan Presiden Barack Obama menempati Gedung Putih –yang awal 2016 ini jabatan dua periodenya berakhir.
Salah satu kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump dalam salah satu kampanyenya, Senin (7/12) menyerukan pencegahan total dan menyeluruh orang-orang Muslim memasuki Amerika Serikat. Pesan Trump itu muncul terkait penembakan massal di California yang dilakukan simpatisan ISIS. Publik dunia pun geger atas pernyataan kontroversial Trump. Masyarakat muslim di berbagai belahan dunia mengecam, dan menyebut pemilik Trump Organization itu sebagai orang gila. Lawan Trump dari kubu Republik, Jeb Bush, mengecam keras dan terang-terangan menyebut Trump memiliki masalah mental serius.
Tidak ketinggalan para calon presiden yang sedang bertarung memperebutkan tiket ke Gedung Putih menyuarakan hal yang sama. Mereka mengecam keras seruan Trump untuk melarang umat Muslim masuk ke Amerika Serikat. Calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton dengan ketus menyebut Trump sebagai sosok pemecah belah, penuduh yang tidak layak dipercaya.
Pernyataan sangat berbau rasis Trump itu tentu sesuatu yang merugikan bagi Amerika Serikat. Sebagai bangsa besar, Uncle Sam memiliki ketergantungan terhadap negara-negara Islam. Bagaimana kalau kemudian negara-negara Islam melarang orang-orang Amerika masuk ke sana.
Publik dunia sepakat aksi-aksi terorisme, separatis atau apa pun sebutannya adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Aksi brutal penembakan disertai pemboman di Paris, baru-baru ini, dan penembakan yang menewaskan belasan orang di California, bukan berlandaskan ajaran-ajaran Islam.
Kita melihat apa yang yang dinyatakan Trump bukanlah suara dari rakyat Amerika. Melainkan suara dari seorang Trump yang memang penuh kontroversi dan ambisi. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia, tentu tidak perlu berlebihan menanggapi pernyataan Trump. Kita cukup menilai sedemikian picikkah seorang entrepreneur seperti Trump melihat dinamika dunia dengan cara pandang yang kolot.

KUTUKAN STATUS



Suatu pagi, Januari 1993 silam. Saya disambut oleh seorang teman yang sudah duluan kost di depan sebuah kost yang akan saya sewa di kawasan kleben witobrajan Jogja. Pria itu membantu mengangkat satu koper saya ke kamar . Dia tampak berjuang menyandang beban koper itu.
“Apa isi koper ini, kok berat?” tanya teman saya.
“Buku dan baju saya,” kataku.
“Oh, pantas. Sebagai intelektual, Anda terkutuk oleh buku,” katanya. Kami pun tertawa.
Ungkapan ‘terkutuk oleh buku’ memang sarat makna. Seperti kutukan, buku seolah keburukan yang tak dapat ditolak bagi kaum terpelajar. Selain berat dibawa, buku perlu tempat. Saya kenal seorang cendekiawan yang rumahnya penuh buku, dari lantai satu hingga empat. Begitu pula, sudah biasa jika ruang kantor seorang profesor di universitas terkemuka menjadi sempit gara-gara dipenuhi buku.
Tetapi bagi pribadi cendekiawan itu sendiri , buku bukan laknat, tetapi rahmat, bukan kutukan, tetapi kebaikan. Buku adalah sahabatnya di kala sepi, jawaban atas aneka persoalan, penghibur hati yang lara, dan pembimbing di kala kebingungan. Karena itu, tak heran jika seorang cendekiawan tidak bisa lepas dari buku. Kemana pun dia pergi, dia selalu membawa buku, membeli buku, dan menulis buku.
Di sisi lain, minat masyarakat kita pada buku masih rendah, termasuk di kalangan mahasiswa, guru dan dosen. Orang lebih suka beli ponsel ketimbang buku, lebih suka menjiplak ketimbang mengarang sendiri berdasarkan buku-buku yang dibaca, lebih suka meminjam buku perpustakaan ketimbang membeli sendiri. Bahkan ada yang pinjam buku perpustakaan, bertahun-tahun tak dikembalikan.
Minat pada buku lahir dari minat baca, dan minat baca lahir dari minat pada ilmu. Minat baca laksana cinta. Cinta lahir dari ketulusan, bukan paksaan. Cinta buku lahir dari cinta akan ilmu.
Sedangkan cinta ilmu lahir dari kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan. Orang yang terpaksa apalagi dipaksa membaca buku hanya karena ingin lulus ujian, tidak akan mencintai buku, apalagi ilmu.
Mencintai ilmu laksana mencintai kekasih. Anda mencintai sang kekasih, karena dia dapat membuat hidup Anda bermakna dan berharga untuk dijalani bersama. Orang yang membaca buku penuh cinta dan gairah, adalah orang yang membaca untuk hidupnya. Ia membaca untuk mencari jawaban atas aneka pertanyaan dalam hidup ini. Membaca baginya adalah suatu pencarian dan pergumulan diri.
Membaca untuk hidup juga berarti membaca untuk kesenangan dan wawasan. Membaca tulisan yang menghibur dapat membuat hidup yang sepi menjadi berisi.
Membaca tulisan yang memberi banyak informasi, akan membuka hati, wawasan dan pikiran . Bahkan, menurut HAMKA, membaca cerita-cerita sedih, dapat mendorong seorang pendosa bertobat dan berbalik menjadi baik.
Kini kita hidup di era ledakan informasi. Setiap ledakan akan membuat kejutan. Koran, buku hingga majalah sudah diterbitkan dalam bentuk elektronik. Orang tak perlu lagi takut pada ‘kutukan’ buku yang berat dan menuntut tempat. Berkat teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, kini tiap orang bisa membaca kapan pun dan di mana pun ia berada tanpa harus menenteng buku.Dunia serba elektronik ini ternyata bermuka dua. Dia dapat mendorong minat baca, cinta ilmu dan cinta buku, tetapi dapat pula sebaliknya.
Tak sedikit orang yang hanya suka membaca status kawan-kawannya di media sosial ketimbang membaca artikel opini, kolom, apalagi artikel jurnal ilmiah dan buku.
Membaca hanyalah pengisi waktu luang, untuk tujuan-tujuan sesaat dan instan.
Saya khawatir, jangan-jangan membaca tulisan-tulisan instan di media sosial itu justru berbuah kutukan. Apalagi jika informasi yang dihadirkan malah menista dan memupuk kebencian kepada orang atau kelompok tertentu. Tak jarang pula sumpah serapah dan kata-kata kasar diumbar tanpa malu. Membaca tulisan-tulisan semacam itu bukannya mencerahkan, tapi menggelapkan hidup.
Membaca adalah aktivitas penting dalam hidup manusia. Sebagaimana perbuatan lainnya, membaca dimulai dengan niat, yakni dorongan dan tujuan yang ingin dicapai. Niat yang baik dapat melahirkan perbuatan baik, dan niat yang buruk akan berbuah buruk. Tanpa niat, perbuatan akan netral, tak bernilai. Membaca dengan cinta, hanya akan lahir dari niat mengisi dan memperkaya makna hidup.

MUAK


Suara riuh
& tak bisa diam
tentang cuaca yg kini
tlh kupaksa

keluar dari mimpi

yg berlari
yg segera pergi
ruang2 kosong
tak terisi
tidak debu
bahkan tdk sunyi

mngp kau msh di sini
tdkkah kau ingin sendiri
yg kau selalu inginkan
tak kan pernah dptkn
takkh kau merasa

didera mual
takkh kau merasa
didera muak

lepas segala
yg kau inginkn
lepas segala
yg kau dptkan

SENYUMAN


Hadapi dg senyuman
senyumku bkn brarti
hidupku tidak sulit
tp aku mnghadapi
semua kesulitan


Aku mungkin tidak
permudah masalah
tp bisa menguatkn
diriku hadapi smua

KADANG KALA


Tdk slamanya hidup indah
kdang mlalui derita
Ttpi kita tahu bhw

DIA tdk prnah mninggalkn
sbb itu perlu belajar
mnikmati hidup dg brsyukur

Tdk smua yg

Diharapkn mnjd knyataan
kdang mmbelokkn rencana

Ttpi kita tahu bahwa itu
lbh baik dari yg kita rncanakn
sbab itu kita belajar
mnerima smua itu dg ikhlas

Tdk ada kejadian
yg perlu dsesali
krn smua rencanganNYA
yg akn indah pd waktuny

TETESAN


Biarkanlah aku
berjalan sendiri
Biarkn belajar dari
sbuah kekecewaan


Aku berterima kasih
kamu sudah sempat
mnghiasi ruang hatiku
Maafkanlah aku

karena aku
kamu sempat
mneteskn air mata

Aku tahu
sekecil apapun
tetesan itu
sangatlah berharga
bagimu

& seberapa besar
ruang itu
tuk mampu mnampung
air mata itu

BUKAN APA2


aku bkn apa2
aku bkn berjalu
aku bkn bersenjata
aku bkn berijazah


aku bkn brpangkat
aku bkn berharta
aku bkn semangat
aku bkn pejantan

tdk punya njali
tdk punya hati
tdk punya etika

tdk punya moral
tdk punya harta
tdk punya apapn

MASIH MUDA


Delapan puluh tujuh tahun yang lalu, 28 Oktober 1928 Mohammad Yamin mengemukakan resolusi elegan dalam sebuah Kongres Pemuda II. Resolusi itu ia sampaikan tidak lama sebelum sesi akhir dalam kongres tersebut. Dalam secarik kertas ia rumuskan ikrar pemuda yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Sumpah yang memberikan makna pesatuan kaum muda dalam proses perjuangan kemerdekaan.
Dalam kontruksi kekinian sumpah (pemuda) itu mesti dimaknai lebih dalam. Sebab, perjuangan kaum muda bukan lagi memerdekakan bangsa ini dari penjajah, melainkan membebaskan bangsa ini dari kehilangan optimisme untuk menjadi bangsa yang besar.
Romantisme bangsa ini dengan kaum muda yang memberikan napas optimisme begitu indah. Kalau kita ingat, Boedi Oetomo yang diyakini sebagian besar orang sebagai penanda fase modern perjuangan kemerdekaan merupakan organisasi yang dilahirkan oleh kaum muda. Bahkan, belakangan hari lahirnya Boedi Oetomo itu diperingati sebagai hari kebangkitan nasional.
Selain Boedi Oetomo banyak organisasi pergerakan yang dimotori oleh kaum muda. Misalnya Perhimpunan Indonesia yang pernah dipimpin oleh Moh. Hatta ketika ia berusia 24 tahun. Algemeene Studie Club (ASC) yang didirikan oleh Sukarno pada 1926 atau ketika ia berusia 25 tahun.
Kaum muda yang mempimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia itu belakangan kita kenal sebagai proklamator kemerdekaan. Kendati saat mereka menjadi proklamator kemerdekaan usia mereka tak lagi muda. Namun bagaimanapun sejarah di Republik ini mencatat sebelumnya mereka adalah kaum muda yang memberi napas optimisme pada bangsa ini.
Pascarepublik ini merdeka, kaum muda masih menjadi bagian dari upaya perbaikan bangsa ini. Misalnya, ketika reformasi, gerakan mahasiswa yang menjadi representasi kaum muda juga hadir untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih baik. Karenanya, hari ini dan masa-masa datang, kaum muda mesti hadir membawa optimisme itu.
Optimisme kita sebagai bangsa untuk bisa menjadi besar tak jarang diganggu oleh sikap pesimistis. Tak jarang kita kehilangan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi kita di tengah krisis global bakal membaik. Kehilangan optimisme korupsi bisa kita lawan, bahkan kita tampaknya (hampir) pesimis melawan bencana kabut asap yang dalam beberapa bulan ini menyelimuti sebagian wilayah republik ini. Oleh karena itu kaum muda harus hadir memberi gagasan, memberi napas pada optimisme.
Kaum muda adalah orang-orang yang sejatinya mampu menawarkan harapan-harapan baru dengan inovasi yang penuh manfaat. Terlebih dalam masa-masa dimana bangsa ini perlu kaum muda yang kreatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menguatkan pemerintahan yang baik, menguatkan penegakan hukum dan lain sebagainya. Kaum muda ditantang tidak hanya kritis terhadap suatu persoalan tapi mampu menawarkan solusi.
Tanggung jawab dan peran aktif kaum muda di berbagai dimensi dalam upaya pembangunan nasional diatur dalam kerangka hukum nasional melalui hadirnya UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Undang undang ini dihadirkan guna menata dan mengatur pembangunan nasional kepemudaan yang berorientasi pada pelayanan kepemudaan. Oleh UU itu pelayanan kepemudaan diartikan sebagai penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan serta kepeloporan pemuda. Dengan begitu, kaum muda (terlepas dari perdebatan batasan usia pemuda) diamanahi untuk membangun kreativitas dan inovasi untuk turut ambil bagian dalam pembangunan nasional.
Memberi Optimisme
Permasalahan bangsa ini tentu tidaklah sedikit. Dalam berbagai bidang bangsa ini dihadapkan pada tantangan perbaikan, terlebih angka kepuasan publik kepada pemerintahan ini relatif rendah. Kaum muda mesti merespons masalah ini dengan tawaran solusi. Di bidang ekonomi misalnya, kaum muda mesti hadir membangun ekonomi kreatif. Di bidang hukum dan pemerintahan, kaum muda yang ada dalam tubuh institusi itu mesti hadir sebagai aktor reformasi hukum dan birokrasi.
Kehadiran kaum muda dalam merespons setiap permasalahan akan memberi optimisme pada republik ini. Hal ini bisa kita lihat dari kehadiran kaum muda dalam upaya pembangunan ekonomi Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana ekonomi digital kita dimotori oleh kaum muda. Pasar ekonomi digital seperti Go Jek, Traveloka, Tokopedia dan Kaskus, merupakan hasil inisiasi kaum muda kreatif di republik ini.
Di bidang pemerintahan, kita bisa lihat banyak kaum muda yang hadir menjadi pemimpin pada pemerintahan daerah. Misalnya kita bisa lihat di Tanah Jawa ada Ridwan Kamil dan Tanah Kalimantan kita bisa Mardani H Maming. Kehadiran pemimpin muda tersebut membawa angin segar bagi birokrasi.
Di Kota Bandung Ridwan Kamil dikenal sebagi wali kota yang kreatif. Ia dikenal melahirkan ide-ide yang mampu mendorong masyarakat Kota Bandung menjadi masyarakat yang memiliki akar lokal yang kuat dengan pemikiran yang global.
Begitu pula Mardani H Maming. Semasa menjadi Bupati Kabupaten Tanahbumbu, ia dikenal punya gagasan yang kuat dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya ia menginisiasi program dana pembangunan desa sebesar Rp 1 miliar per desa per tahun. Kehadiran dua pemimpin muda itu memberikan kita makna baru sumpah pemuda. Bahwa kendati mereka berkarya di tanah yang berbeda, karya mereka sejatinya untuk satu tujuan yakni tanah dan bangsa Indonesia.
Kehadiran-kehadiran kaum muda dalam bidang-bidang strategis itu memberikan kita optimisme. Dengan demikian kita mesti terus mendorong peran kaum muda untuk turut mengambil tanggung jawab dalam upaya pembangunan nasional. Semoga peringatan Sumpah Pemuda tahun ini menjadi pelecut kita (kaum muda) untuk berkarya dan memberi opimisme pada bangsa ini. Wallahualam bi sawab.

Sunday 13 December 2015

JOGJA KOTA KENANGAN

K enangan atau memori adalah salah satu anugerah Allah dalam hidup manusia.
Paling tidak, itulah yang saya rasakan saat mendarat di Yogjakata, dulu sekitar tahun 1992 . Ada yang berubah, ada yang masih tetap seperti dulu. Itulah watak kehidupan fana ini.
Udara panas dingin seperti permen saja hehehe , terasa menggigit tetapi segar, sangat kontras dengan cuaca panas bercampur asap di Kalimantan dan Sumatera tapi hampir sama dengan Bamjarnegara tanah kelahiran saya.
Pemandangan sepanjang jalan menuju kota tampak seperti dulu. Terlihat hamparan hijau tanah pertanian, pepohonan dengan daun menguning , kanal, sungai dan rumah-rumah penduduk, yang tersusun rapi.
Kota ini, memang dikenal sangat teratur, lebih-lebih infrastrukturnya. Misalnya, jalan secara jelas dibagi tiga jalur: untuk mobil, sepeda dan pejalan kaki.
Tiba di kota, saya melihat hanya sedikit perubahan. Beberapa toko lama masih ada, tetapi sebagian diganti yang baru. Di tengah terminal baru ini, ada sejumlah meja dan bangku kayu untuk orang-orang duduk beristirahat.
Dulu, ruang tengah ini kosong. Masih seperti dulu, di samping terminal baru, ada parkir sepeda .
Karena membawa barang cukup berat, saya memutuskan naik taksi menuju rumah teman . Sopir taksi adalah orang asli jogj a. Kami hanya sedikit basa-basi, dan akhirnya sampai di tujuan.
Sambil minum teh dengan pemilik rumah tema n, saya masuk kamar dan berkemas. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin melihat kampus . Setelah berjalan kaki kurang lebih 15 menit, saya akhirnya tiba di kampus. Gedung-gedung umumnya masih seperti dulu, tetapi interiornya sebagian berubah, terutama kantin mahasiswa yang kini tampak lebih elegan.
Saya terus melangkah . Di sana saya bertemu seorang senior yang kini sudah profesor. Wajahnya tampak lebih tua, dan rambutnya putih total.
Dia sudah menerbitkan hasil risetnya dalam beberapa buku dan artikel jurnal . Diam-diam, saya malu pada diri sendiri. Saya ini hanya penulis kacangan hanya tulisan di Facebook dan di blogger saja!
Kini tiba saatnya ke perpustakaan. Dengan dibantu seorang staf, saya mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Kartu saya yang lama, saya tunjukkan. Kata pustakawannya, kartu itu sudah tidak bisa dipakai.
Dia kemudian memasukkan data saya, memfoto saya, lalu memprint kartu baru untuk saya. Kartunya seperti SIM. Saya juga diberitahu, koleksi dikelola perpustakaan pusat.
Melihat orang membaca dan lalu lalang tanpa bicara di perpustakaan ini, membuat gairah ilmiah menyala di dada. Kenangan suka-duka menuntut ilmu di kampus ini hadir dalam ingatan.
Empat tahun saya melewati masa itu. Membaca, mewawancarai orang dan menulis. Entah berapa ratus kali perpustakaan ini saya datangi, saya mampir ke sini.
saya ikut Salat Jumat di masjid kawasan kampus, Secara fisik, masjid ini tidak banyak berubah, dengan ruang salat du a tingkat.
Saya terus menelusuri kenangan. Tujuan pertama adalah pasar tradisional (open market) yang selalu ram ai. Pasar ini nyaris tak berubah, tetap seperti dulu. Pengunjung cukup padat. Ada pengamen yang duduk sopan. Ada penjual sayur, buah, bunga, roti, pakaian dan ikan. Saya pun membeli ikan goreng dan masakan padang kesukaan saya.
Meski agak jauh, saya terus melangkah menuju kost mahasiswa di kleben wirobrajan jogja. Dulu saya tinggal di sini. Ternyata, semua nyaris tak ada perubahan. Jalan yang sama, pohon yang sama, gedung yang sama, dan taman yang sama termasuk para bapak atau ibu kost masih mengenal saya terasa terharu masih terkenal.....hehehehe ( karena sering bikin masalah kompleks)
Saya seolah kembali ke 25 tahun silam, mendayung sepeda bersama teman kost. Saya pun tertegun melihat taman di mana dulu tempat faforit berpacaran hehehe.
Maafkan saya jika cerita ini terkesan narsis dan melankolis. Tetapi mungkin demikianlah hidup manusia.
Ia adalah kumpulan kisah, penggalan-penggalan cerita dalam ingatan dan kenangan.

PELARIAN SAJA


maafkan aku
membuatmu ga suka
bila kau ga suka
bukan maksudku


kau sebagai
pelarian saja
sebagai pembiasan
saat denganmu

aku bukan krnmu
tapi karena dia
maafkan aku
maafkanlah aku

bila kau tak suka
maafkanlah aku
membuatmu ga suka

KAU PERGI


Entah kemana
Kau mninggalknku
hati ini trsakiti

Ga semudah
melupakanmu
rasa ini tersakiti

Ku ingin bahagia
walau dgn dia
aku rela krnmu
ga terlupanmu

Kau slalu dlm hati
yang terdalam

Oh tuhan
tolong aku
hapuskan dia

ENTAHLAH


mungkinkah
tulisanku ini
di lupakan
atau di kenang


banyak yang
kita jalani
dimana saja
hanya berdua
kusebut namamu

di diriku ini
walaupun ku
ga melihat
tp ku rasakan
harimu

walaupun kutak
melihat paras mu
tapi ku bisa
merasakan harimu

janganlah mencoba pergi
percayalah aku tukmu

KEHIDUPAN


Setelah ksulitn
pasti ada kemudahan
pasti akan diberi jalan
& jalan itu pun terbentang
Dia -atas kuasanya-


Telah memberi keberanian
untuk membuat
sebuah keputusan
Putuskn pergi agar
perjumpaan itu
tak lg terjadi

Dan kini bayangn2
tak lagi merajam hati

Rasa itu sekarang
bukan sesuatu yg mnyakitkn

Bukan pula siksaan
yg membuat terkapar

Rasa itu tlh
menjadi kenangan
sekedar hiasan
bagi kehidupan

APA ADANYA


Dg dia/ikhlaskn dia
biarkn skenarioNya yg trjd
Krn meskipn kucinta
ttpi jk blm siap
kau mau apa

Tanda seorng yg mncintai
adalh ketika ku mncintaimu
ttpi blm mndptkn ksiapan
maka ku akn menjauh
Tak mengikatmu
tak mnyuruhmu
mnunggu
Suatu saat
dsaat yg tept
ku akn datang
untk mmprjuangknmu
Nmun jk kau sdh
milik orang lain
Mk ku akn belajar
untk benar2 ikhlas
untk mlepasknmu

Monday 14 September 2015

ALAM TELAH MENGGUGAT

SAYA kira semua orang pasti merindukan surga, meskipun ada film berjudul Surga yang Tak Dirindukan.
Lain halnya dengan hujan. Hujan bisa dirindukan, bisa juga tidak.

Kemarau panjang di sejumlah wilayah telah menimbulkan banyak masalah. Banyak sawah kekeringan sehingga gagal panen. Air bersih makin sulit didapatkan, dan listrik juga sering padam karena air waduk pembangkit listrik mulai kurang.

Musibah kebakaran pun datang silih berganti. Asap dari lahan yang ter(di)bakar membuat jadwal penerbangan kacau, dan orang terkena gangguan saluran pernapasan.

Kerugian material akibat kemarau ini luar biasa. Mungkin jika dihitung mencapai ratusan miliar rupiah. Nilai bangunan yang kebakaran saja sudah berapa.

Biaya pemadaman sejumlah titik api dari udara menggunakan helikopter seharinya mencapai lebih dari Rp 500 juta. Kerugian akibat kekacauan jadwal penerbangan juga mencapai ratusan juta rupiah sehari. Belum lagi kerugian akibat listrik padam dan air macet.

Kerugian mental pun tak kalah besar. Betapa sedih menyaksikan padi yang ditanam kering tak berbuah, atau melihat puing-puing rumah dan harta benda yang terbakar.

Betapa tinggi tekanan yang dirasakan ketika jadwal penerbangan terus-menerus ditunda. Betapa kesal hati ketika harus berhenti bekerja akibat listrik padam tiba-tiba. Betapa miris rasanya harus membeli air bersih ke tempat yang jauh.

Karena itu, wajar jika banyak pihak yang prihatin. melaksanakan Salat Istisqâ, salat memohon hujan. Mereka memohon ampunan Tuhan dan memanjatkan doa penuh harap agar hujan segera datang membasuh tanah yang kerontang.

Esok harinya, Jumat, 11 September 2015, hujan belum juga tercurah. Namun, dunia dikejutkan oleh hujan lebat disertai badai dahsyat di Kota Makkah, Arab Saudi yang berujung musibah.

Alat berat (crane) yang terpancang di sekitar Masjidilharam roboh, menimpa jemaah calon haji yang sedang bersiap melaksanakan Salat Magrib. Dilaporkan, 308 terluka, 107 wafat dan tujuh di antaranya dari Indonesia.

Hujan dan panas adalah peristiwa alam. Bagi para ilmuwan, peristiwa alam terjadi sesuai hukum alam, tak lebih dan tak kurang. Jika si ilmuwan adalah seorang ateis atau agnostik, dia tidak akan peduli dengan makna di balik semua peristiwa.

Dia akan mencemooh orang-orang yang berdoa meminta hujan, dan menertawakan mereka yang menganggap kematian di tempat suci sebagai kemuliaan.


Sebaliknya, bagi kaum beriman, semua gerak dan peristiwa di alam ini mengandung makna atau pesan. Dalam bahasa Arab, kata ‘âlam seakar dengan kata ‘ilm (ilmu) dan ‘alâmah (alamat).

Jadi, alam adalah alamat atau tanda dari kehadiran Tuhan. Karena itulah, semua objek pengetahuan, yaitu alam semesta, diri manusia dan kitab suci, disebut âyât, tanda-tanda. Tanda adalah simbol untuk menghadirkan makna.

Alam diciptakan Tuhan dalam keseimbangan. Siang dan malam, panas dan hujan, lelaki dan perempuan dan seterusnya, merupakan tanda keseimbangan. Jika keseimbangan terganggu, akan terjadi kekacauan.

Keseimbangan alam dapat terganggu karena proses alamiah, tetapi umumnya karena perbuatan manusia. Bagi kaum beriman, ada hubungan erat antara manusia, alam dan Tuhan.

Karena itu, ketika keseimbangan goyah, saat itulah kita harus berbenah. Apakah selama ini kita memperlakukan alam dengan penuh cinta, atau penuh loba?

Apakah pembabatan hutan, pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit telah merusak atau menjaga keseimbangan lingkungan? Apakah musim panas dan hujan yang tak teratur hanyalah ‘kebetulan’ atau suatu ‘teguran’ agar kita sadar?

Begitu pula dengan robohnya alat berat di Makkah itu. Apakah itu sekadar akibat hujan deras yang tak diperhitungkan atau suatu peringatan agar megaproyek perluasan masjid suci itu harus diistirahatkan selama musim haji ini?
Apakah megaproyek yang konon akan membuat Masjidilharam dikelilingi hotel mewah dan mal megah itu tidak bertentangan dengan kesucian Kabah?

Entahlah. Saya hanya bertanya sebagai ajakan untuk menggali makna di balik peristiwa. Selebihnya adalah hak tiap orang untuk memaknai semua peristiwa sesuai pikiran dan hati nurani masing-masing.

Wednesday 26 August 2015

UNTUKMU


Untukmu telah
bnyk trkorbankn
Namun
tak akan gentar
&surut mnyerah
dlm pasrah
Sebuah & kbebasn
yg brdaulat
Bkn untk trjajah
Trcabik trtindas
& trampas
Namun untk
di prjuangan
dlm hati yg utuh
& kini saatnya
untk kita
brsatu padu
Bkn untk mencari
salah & mnyalahkn
Bkn untuk mnjadikn
diri sbg paling
Tp bersatu
untk mngemban
yg kita cintai

KU TITIPKAN


Kutitipakan
sebuah cinta
agar cinta kita
dpt menjagamu


disaat engkau
ga ada disampingku
ku berharap cinta ini
dpt menjagmu

ku percaya
kau selalu
menjaga
cinta kita

BERPIKIR SEJENAK


Ketika aku brpikir
negatif pd sseorang
tanpa sadar ku tlh
mnghakimi orang itu

lebih mngkn mana
brusaha mnsterilkn
smua tmpt agar
tak ada kuman
Atau mmprkuat daya
tahan tubuh kita sndiri
Ttp bagaimana
Ku berpikir negatif
pd smua orang
bkn orang Ɣanƍ
mmbuatku bahagia
ttp sikapkulh
yg mnentukn
aku bahagia
atau tdk

DI SENJA HARI


Kala matahari hampir
tenggelm di ufuk Barat
tampak dikjauhn
sprt bola raksasa
akan jatuh kedasar laut
nan luas tak brtepi

Cahayanya sdh pudar
tdk mnyengat lg
seakan2 kelelahn
krn tlh mlanglang buana
sepanjang hari
Angin laut brtiup
begitu kencang
mmprmainkn air laut
hngg mnjd ombak
& gelombang
Di udara angin
mmprmainkn bendera2
yg brdiri tegak dpuncak
bendera itu
seakan2 kegirangan

UANG GARUDA BLUSUKAN

        Parno memang bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang pedagang kecil. Saking kecilnya, dagangan gorengan yang dijualnya pun terbilang mini. Tahu dan tempe goreng yang biasa dijajakan dengan ukuran standar, terpaksa besarannya dipangkas menjadi tigaperempat. Parno terpaksa melakukan itu lantaran harga kacang kedelai sebagai bahan dasar dua kudapan khas anak negeri, ini memang sedang menggeliat naik.      
Tidak hanya Parno. Rekan-rekannya sesama pedagang gorengan melakukan hal yang sama. Bahkan, aksi mereka pun diikuti pedagang-pedagang lainnya.Kang Jono, misalnya, terpaksa mengatrol harga jual satu porsi makanan di warung Tegal-nya. Pendek kata, hampir semua pedagang memiliki cara masing-masing menyiasati semakin mendakinya harga bahan- bahan pokok.
       Jauh lebih ke atas lagi. Para juragan pemilik usaha besar pun uring-uringan. Pabrik yang selama ini menopang kehidupan mapan mereka terancam berhenti beroperasi. Artinya, keran keuangan mereka pun bakal tersendat. Mereka bingung karena selama ini pabrik garmen menggunakan bahan baku dari luar sana yang dibayar menggunakan ‘Mr Dollar (AS)’. Celakanya, sudah dua bulan belakangan ini, mata uang ‘Paman Sam’ itu terus menekan mata uang Garuda (rupiah). Saat ini saja, harga 1 dolar AS sudah di atas angka Rp 14.000. Nah, cara paling realistis di mata para juragan adalah penutupan pabrik atau pemehakaan karyawan!
         Bagaimana dengan pemerintah? Ilustrasi di atas menggambarkan betapa sejatinya pemerintah kita pun sedang kalut menghadapi persoalan di luar sana (global). Berbagai persoalan di luar sana yang mengerucut dengan berjayanya ‘Mr Dollar’ seolah menjadi trouble maker bagi perekonomi kita. Ironisnya, pemangku kebijakan sektor finansial, dalam hal ini Bank Indonesia, tidak pernah bisa mengangkat ‘martabat’ rupiah.
Di sisi lain, selama ini, ‘Mister Dollar’ kerap membuat para pengampu kebijakan di negeri lupa daratan, lupa akan kemandirian, dan lupa terhadap kebersamaan. Akibatnya, seperti yang dialami saat ini, rakyatlah yang menjadi korban.
        Dan, cara paling ampuh yang kerap kita dengar yakni alasan pengampu kebijakan di pusat pemerintahan; “kita tidak sendiri. Semua negara mengalami hal yang sama”. Parahnya, mereka menilai kita masih jauh lebih baik ketimbang tetangga-tetangga, dan sahabat-sahabat kita. Apakah dengan mengatakan ‘kita masih jauh lebih baik’, rakyat bisa percaya?
         Seharusnya krisis ekonomi di negeri ini --dalam bahasa pemerintah, ‘pelemahan ekonomi’-- tidak perlu harus dibanding-bandingkan dengan negara tetangga atau sahabat. Jangan sampai rakyat menilai, para pemangku kebijakan di pusat-pusat kekuasaan tidak becus mengurusi perekonomian lantas ‘mengambinghitamkan’ persoalan di luar sana sebagai pembenaran.
         Apa pun alasannya, kita saat ini sedang dibelit masalah ekonomi cukup krusial --yang jika tidak disikapi dengan cepat, cermat dan cerdas, bisa saja situasinya tidak jauh beda seperti krisis ekonomi 1997 silam. Oke lah, bisa jadi benar apa yang dikatakan banyak orang bahwa situasi sekarang berbeda dengan 18 tahun silam. Namun, apa pun argumennya, fakta bahwa perekonomian negeri ini sedang dirundung masalah berat yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan blusukan ke sana-ke mari. Perlunya berbagai terobosan agar perekonomian negeri ini kembali bergairah dan bisa tetap survive.
         Syukur kita bisa sedikit lega Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah masih memiliki banyak uang untuk menggerakkan perekonomian. Dana sebesar hampir Rp 900 triliun yang terhimpun dari APBN, APBD dan BUMN, itu diharapkan bisa digunakan guna menggairahkan perekonomian nasional.
Harus diakui, selama ini kecilnya serapan penggunaan anggaran pemerintah menjadi salah satu faktor pelemahan ekonomi kita. Tumpukan uang itu sudah ada di hadapan yang sudah selayaknya digunakan sebagaimana mestinya sehingga napas ekonomi negeri ini tidak lagi megap-megap, tapi benar-benar bisa berlari cepat. Syukur-syukur, itu juga bisa mengangkat ‘martabat’ rupiah!

Wednesday 19 August 2015

SEBUT NAMAKU 3X

       ORANG yang terjun ke dunia politik mungkin lebih suka disebut ‘politisi’ ketimbang ‘politikus’. Pasalnya, ‘politikus’ mengandung unsur kata ‘tikus’ yang menyiratkan makna pencuri dan perusak. Politikus bahkan bisa diartikan banyak tikus, sepadan poligami yang berarti banyak isteri.
Mungkin jumlah politikus lebih banyak daripada politisi. Politikus menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kehormatan belaka. Yang sudah kaya dan terhormat, ingin jauh lebih kaya dan terhormat lagi.
      Kini kekuasaan dan kekayaan itu ibarat telur dan ayam. Kekayaan bisa membeli kekuasaan, dan kekuasaan bisa mendatangkan kekayaan. Sedangkan kehormatan mengiringi keduanya.
Sudah maklum, jatah kursi kekuasaan itu terbatas sehingga para peminatnya akan berebut. Yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Inilah logika kekuasaan.
      Untuk bisa meraih kemenangan, orang harus berusaha mengerahkan segala kekuatan dengan cara apapun. Berbagai peraturan dan undang undang yang membatasi, tetap dicari celahnya agar bisa diterobos. Pokoknya, yang penting menang!
Prinsip yang ‘penting menang’ itu tentu tidak diungkapkan secara terbuka. Kekuasaan itu adalah seni. Seorang pengejar kekuasaan harus pandai berpuisi, menyusun kata, menggubah nada dan mengatur gaya, agar publik terpesona.
      Ibarat buaya darat, sang pengejar kekuasaan adalah perayu super dengan sederet janji dusta. “Kalian akan sejahtera, aman dan damai, jika memilihku sebagai penguasa!”
Di sisi lain, kaum bijak bestari, agamawan dan filosof, berharap kekuasaan dapat menjadi alat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kekuasaan bukan piala yang direbut, tetapi beban tanggung jawab yang diletakkan di pundak.
      Kekuasaan adalah amânah, titipan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dan Tuhan.
Penguasa adalah pelayan dan pelindung. Penguasa adalah wakil dan ketuanya adalah rakyat.
Namun, harapan indah tentang kekuasaan tersebut ternyata sangat sulit ditemukan dalam kenyataan. Berbagai sistem kekuasaan sudah dibuat dan dilaksanakan, baik yang sekuler ataupun yang berbasis keagamaan.
Tetapi tampaknya, kekuasaan tetap cenderung lebih dihayati sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kepentingan pribadi ketimbang sebagai alat mencapai kebaikan bersama.
Mengapa? Mungkin karena perjuangan moral antara yang baik dan buruk, dosa dan pahala, adalah perjuangan manusia sepanjang hayat, termasuk di ranah kekuasaan.
       Dalam perjuangan moral itu, turun ke lembah nista dan dosa, lebih mudah daripada mendaki puncak gunung kebaikan dan kemuliaan. Turun derajat menjadi hewan lebih gampang daripada naik derajat melampaui malaikat.
Sebab lainnya barangkali adalah terlampau percaya diri. Merasa mampu memperbaiki masyarakat, padahal dia belum mampu mengendalikan kekuatan jahat di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat memperbaiki masyarakat, jika dirinya sendiri belum baik? Bagaimana dia dapat mengalahkan penjahat, jika belum bisa mengendalikan hawa nafsunya sendiri?
Selain itu, kaum elite di masyarakat, yakni mereka yang terpelajar dan berada di kelas menengah dan atas, tentu lebih menentukan arah kekuasaan ketimbang kaum miskin dan pinggiran.
       Masalahnya, justru kaum elite itulah yang tampaknya sibuk berdagang dan berjudi dengan kekuasaan. Merekalah yang dapat menggiring dan menekan rakyat agar mau menjual tunai bahkan memanipulasi suara.
Saya khawatir, orang-orang baik di kalangan elite cenderung tidak tertarik pada kekuasaan, sementara orang-orang setengah baik atau bahkan jahat justru sangat bergairah ingin menjadi penguasa.
Lebih parah lagi jika kaum cendekiawan dan tokoh agama gampang dibeli sehingga mulut mereka terkunci. Sementara sebagian lagi dari mereka malah menutup mata, tidak peduli dengan apapun yang terjadi
        ‘Untungnya’, hidup manusia terlampau kecil dan sederhana jika hanya dilihat dari teropong kekuasaan. Kekuasaan memang menentukan banyak hal, tetapi tidak menentukan semua hal. Mungkin sekarang petualang kekuasaan lebih banyak daripada pejuang kebenaran dan keadilan. Namun, di dunia politik sekali pun, orang-orang baik tetap ada. Merekalah harapan kita. Politisi bukan politikus, apalagi tikus!

MER(D)EKA

“Merdeka!”
“Sekali merdeka, tetap merdeka!”
“Merdeka atau mati!”
Itulah yel-yel yang diteriakkan penuh semangat di era perjuangan kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan bukan sekadar tahapan penting sejarah, tetapi alasan utama dari keberadaan diri sebagai bangsa.
Darah dan napas rasa kebangsaan orang Indonesia adalah kemerdekaan. Kemerdekaan adalah antitesis dari penjajahan. Keduanya dibayangkan laksana pilihan antara hidup dan mati, hitam dan putih.
Karena rasa kebangsaan Indonesia itu dibangun atas dasar perjuangan melawan penjajahan, maka dalil yang menopangnya adalah nilai etis universal.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Begitulah kalimat pertama dalam Pembukaan UUD 1945.
Kata ‘merdeka’ tampaknya sengaja dipilih untuk memberi kekuatan lebih dibanding kata ‘bebas’. Lawan dari kata ‘merdeka’ adalah ‘budak’, sedangkan lawan dari ‘bebas’ adalah ‘terikat’. Merdeka berarti bebas dari perbudakan.
Penjajahan dipahami seperti perbudakan. Seorang budak adalah orang yang hidupnya dikuasai orang lain, sehingga kehilangan jatidirinya sebagai manusia.
Dalam bahasa Inggris, kemerdekaan biasanya diterjemahkan dengan freedom atau independence. Kata freedom artinya kebebasan, sedangkan independence artinya tidak tergantung.
Bagi orang Indonesia, kata ‘bebas’ dan ‘tidak tergantung’ tidak menyimpan makna sekuat kata ‘merdeka’. Karena itulah, Romo Mangunwijaya suka menyebut ‘teologi pembebasan’ dengan ‘teologi pemerdekaan’.
Namun, ketika kemerdekaan dari penjajahan telah dicapai, cita-cita menegakkan bangsa yang ‘bersatu, berdaulat, adil dan makmur’ tidaklah mudah diwujudkan.
Menyatukan bangsa yang terdiri atas 13.466 pulau, yang luasnya sepadan jarak antara London, Inggris dan Teheran, Iran serta didiami oleh 360 suku dan berbicara dengan 719 bahasa yang berbeda, jelas tidak mudah. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Mungkin karena sadar rentannya persatuan bangsa yang amat majemuk ini, maka kita merasa lebih cocok menjadi negara kesatuan ketimbang negara serikat.
Akibatnya, banyak hal sangat terpusat di Jakarta, laksana peran Batavia di era kolonial. Kesenjangan pusat dan daerah pun sulit dihindari. Meski begitu, pada Era Reformasi, kita sudah berusaha mencari jalan keluar melalui otonomi daerah.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda dalam persatuan, sesungguhnya mencerminkan kenyataan yang rentan itu.
Meski Islam adalah agama yang dianut mayoritas orang Indonesia, di beberapa provinsi, Islam justru minoritas. Migrasi antarpulau oleh satu suku dan berjumpa dengan suku-suku lainnya, jika menggangu keseimbangan, tidak jarang menjadi potensi konflik yang berbahaya.
Namun, dengan segala kesulitan tersebut, bangsa Indonesia tetap bertahan dan bersatu. Hari ini usianya 70 tahun. Andai profesor, maka dia sudah pensiun.
Jelas ini suatu capaian yang patut disyukuri dan dibanggakan. Apalagi jika kita membandingkannya dengan konflik tak berkesudahan di negara-negara Timur Tengah, padahal luas negara mereka tidak sebesar Indonesia.
Selain persatuan,cita-cita yang lebih berat diwujudkan adalah adil dan makmur. Adil artinya negara memperlakukan warganya secara setara. Makmur artinya hidup sejahtera.
Faktanya, bangsa ini masih mengalami kesenjangan pendapatan dan kesenjangan antarwilayah.
Sekitar 110 juta penduduk berpenghasilan di bawah 2 dolar AS sehari dan hampir 60 persen penduduk tinggal di Jawa.
Karena itu, kita menyambut baik rencana pemerintah bahwa pada 2016 nanti, semakin banyak dana pembangunan dialirkan ke daerah dan desa.
Transfer ke daerah naik dari Rp 643,8 triliun menjadi Rp 735,2 triliun. Dana desa naik dua kali lipat, dari Rp 20,6 riliun menjadi Rp 47 triliun. Peningkatan anggaran ini diharapkan dapat memicu ekonomi dan pembangunan daerah agar terjadi pemerataan.
Semoga masyarakat adil dan makmur itu bisa terwujud dalam waktu tidak terlalu lama. Semoga para pemimpin daerah dapat menggunakan kesempatan ini secara baik, bukan untuk dikorupsi dan memperkaya diri.
Semoga Trisakti, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, tidak sekadar retorika. Dirgahayu Indonesia!

Thursday 13 August 2015

POLITIK DAGANG SAPI

IMAJINASI orang mungkin akan liar, ketika membayangkan sosok pribadi yang pandai berdagang, berjudi dan bercinta.

Tetapi bagaimanakah jika ketiganya berpadu di dunia politik?

Bukan hanya barang dan jasa, kekuasaan pun bisa diperdagangkan. Inilah yang disebut ‘politik dagang sapi’. Saya sendiri kurang paham makna istilah ini, karena belum pernah berdagang sapi.

Para pengamat yang terhormat, menyebutnya ‘politik transaksional’. Transaksi artinya persetujuan jual beli antara kedua belah pihak.

Dalam istilah Arab disebut ‘aqd (akad), yakni kesepakatan yang mengikat.

Kalau mau menjadi calon bupati, wali kota, gubernur hingga presiden, tidak bisa hanya dengan modal dengkul. Mau menyeberangi lautan politik menuju pantai impian kekuasaan, orang perlu perahu bernama partai politik.

Membuat perahu itu perlu biaya. Perahu yang cepat adalah perahu motor yang perlu bahan bakar plus awak dan pengemudi yang mahir. Semua perlu uang. Tak ada yang gratis.

Sudah maklum, jika ada barang atau jasa, maka ada harga. Jika persediaan sedikit, sedang permintaan banyak, maka harga akan tinggi. Inilah yang tampaknya terjadi sekarang. Perahunya sedikit, sementara calon penumpang banyak.

Karena itu, boleh jadi, di belakang layar, para pemilik perahu melakukan lelang. Siapa yang berani membeli dengan harga tertinggi, dialah yang berhak memakai perahu itu.

Padahal, itu baru urusan perahu. Transaksi berikutnya adalah dengan rakyat pemilih. Bagi calon jalur independen, urusan dengan rakyat pemilih ini sudah dimulai sejak awal.

Mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berjumlah ratusan ribu, tentu perlu tenaga dan biaya tidak sedikit, dari orang lapangan yang mengumpulkan, hingga ‘biaya fotokopi’ dan tali asih-terima kasih untuk pemilik KTP.

Menjelang hari pemilihan, mungkin saja sebagian (besar?) rakyat pemilih ingin atau tergoda menjual suara mereka. Suara dijual dengan harga tunai. Siapa yang sanggup dan mau membeli, dia akan mendapatkan suara itu.

Alasan mereka sederhana. Daripada menunggu janji-janji politisi yang sering tak terbukti, lebih baik diambil terlebih dahulu. Apalagi hidup sudah melarat. Urusan perut tak bisa ditunda.

Namun dalam politik, orang bukan hanya bisa berjual beli, tetapi bisa pula berjudi. Judi berarti mengadu nasib dengan modal tertentu, yang hasilnya belum pasti. Istilah lainnya: spekulasi.


Konon, pedagang besar yang sukses sekaligus bisa bangkrut habis adalah yang suka berspekulasi tinggi. Orang hebat, kata motivator, adalah orang yang berani mengambil risiko, bukan orang yang suka berada di zona aman.

Sudah maklum, meskipun calon sudah mengeluarkan dana yang amat banyak, belum tentu dia akan terpilih. Kalau tidak terpilih, bagaimana mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan?

Apalagi kini calon dari PNS atau anggota legislatif harus mundur dari pekerjaannya. Kalau kelak ternyata dia kalah, apakah dia siap menjadi pengangguran? Inilah spekulasi yang menuntut keberanian tinggi.

Tetapi mengapa semakin hari semakin banyak orang yang ingin jadi penguasa? Saya kira, ada dorongan yang amat dahsyat di balik semua ini, yakni cinta. Cinta kepada kekuasaan, laksana cinta kepada puteri jelita, atau pemuda tampan.

Cinta itu memabukkan. Kaum Sufi menyebutnya hubbul jâh, cinta jabatan dan kehormatan. Manusia ingin dirinya laksana dewa, yang dipuja dan diagungkan.

Dalam bercinta, ada kekasih yang pandai merayu tetapi palsu. Dia tebarkan pesona dan janji manis agar rakyat memilihnya. Kelak terbukti, semua itu dusta belaka. Tetapi adapula kekasih sejati yang rela mengorbankan apapun yang dimilikinya.

Dia sudah kaya raya, tetapi merasa belum berharga jika tidak menjadi penguasa. Kekuasaan adalah kekasihnya. Dia ingin tidur bersamanya. Itu saja, tak lebih.
Yang membuat kita prihatin adalah, baik mereka yang berdagang, berjudi atau bercinta dengan kekuasaan, semuanya menjadikan kekuasaan hanya sebagai tujuan meraih keuntungan pribadi dan/atau kelompok.

Akibatnya, cita-cita demokrasi untuk membangun masyarakat yang adil sejahtera, hanyalah suara-suara parau yang segera lenyap di udara, atau tulisan-tulisan indah tanpa makna.

Semoga para calon pemimpin dan rakyat tidak demikian adanya!

KAUM SARUNGAN DAN KAUM BERDASI

      Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menggelar muktamar. NU terlebih dulu memulai yakni pada 1 Agustus 2015. Sedang Muhammadiyah menyusul dua hari berikutnya 3 Agustus 2015, dan tinggal.Banyak cerita tersaji di dua muktamar itu, mulai dari kostum Presiden Jokowi ketika membuka kedua muktamar sampai hiruk pikuk bursa calon ketua umum.
     Kita berharap muktamar NU dan Muhammadiyah sukses dan menghasilkan kesepakatan maupun kebijakan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. NU dan Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai organisasi massa Islam terbesar dan memiliki puluhan juta pengikut di seluruh Indonesia. Dengan posisi strategis ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hasil muktamar kedua organisasi tersebut akan ikut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.
     Perkembangan yang selama ini ditunjukkan NU dan Muhammadiyah, terutama dalam hal toleransi dan sikap saling menghargai antarkedua organisasi, sangat positif. Paling tidak akhir-akhir ini kita tidak lagi mendengar perdebatan-perdebatan tak berujung mengenai perkara khilafiyah seperti wajib tidaknya qunut atau hal-hal ‘bid’ah’ lainnya.
     Kedua organisasi tampak mulai berfikir untuk berlomba memberi kontribusi yang lebih nyata kepada masyarakat. Para anggota kedua organisasi yang tersebar dalam berbagai bidang sudah sangat akrab dengan berbagai isu nasional, mulai dari politik, hukum, sosial hingga pendidikan. NU dan Muhammadiyah juga secara organisatoris selalu aktif memberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
     Salah satu peran penting yang dimiliki kedua organisasi adalah pembentukan karakter manusia. NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan selalu mengajarkan kepada pengikutnya untuk mengedepankan etika dan menjunjung tinggi moral. Dua hal yang menjadi modal dasar bagi seseorang untuk bertindak. Orang-orang yang matang secara moral dan menjunjung tinggi etika akan sulit untuk melakukan perbuatan yang dilarang baik oleh agama maupun hukum. Itu sebabnya, jarang kita dengar kader NU maupun Muhammadiyah yang terjerat kasus korupsi ataupun tindakan asusila lainnya.
     Dengan peran sangat sentral seperti yang disampaikan di atas, kita berharap bahwa muktamar dapat melahirkan berbagai kebijakan yang tidak melenceng dari tujuan awal pendirian kedua organisasi. Mengiringi harapan tersebut tetap harus diwaspadai berbagai isu yang dapat menjadi sandungan dalam muktamar seperti munculnya dugaan politik uang dalam muktamar NU untuk meluluskan perubahan metode pemilihan Rais Am. Kita berharap ini hanya isu semata, sebab jika itu betul terjadi maka kita tinggal menunggu waktu munculnya orang-orang yang hanya akan menggunakan kedua organisasi Islam tersebut sebagai lahan basah untuk meraup keuntungan pribadi.
     Isu lain yang cukup sensitif dan berpotensi berpengaruh pada hubungan antara NU dan Muhammadiyah adalah jargon yang diusung NU dalam muktamarnya, yakni Islam Nusantara. Istilah ini sempat memunculkan kontroversi karena dianggap mengkotak-kotakkan Islam dan tidak lagi menganggap Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dulu, isu-isu seperti ini bisa jadi sangat sensitif mengingat masih tingginya aroma persaingan kedua organisasi. Namun, kini seiring berjalannya waktu dan semakin dewasanya para anggota kedua organisasi isu seperti ini diharapkan tidak akan memantik api permusuhan antara keduanya. Lagipula, esensi jargon itu sesungguhnya ingin menggambarkan Islam yang sejuk dan toleran serta sesuai dengan keadaan dan perkembangan Indonesia.
     Isu lain yang juga cukup sensitif dalam muktamar, baik yang digelar NU maupun Muhammadiyah adalah hubungan keduanya dengan partai politik serta posisi mereka dalam perpolitikan nasional. Sebagaimana diketahui, NU dan Muhammadiyah selama ini lekat dengan dua partai besar yakni PKB dan PAN. Meskipun tidak memiliki hubungan organisatoris, namun semua orang di republik ini tahu jika kedua partai itu lahir dari rahim NU dan Muhammadiyah, atau paling tidak didirikan oleh kader-kader terbaik kedua organisasi tersebut.
     Pada awal muktamar Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang merupakan ketua umum Muhammadiyah sempat melontarkan tiga opsi mengenai posisi Muhammadiyah dalam politik. Seluruh opsi tersebut mengarah pada semakin besarnya peran yang akan dimainkan Muhammadiyah dalam politik, salah satu opsi bahkan merekomendasikan Muhammadiyah untuk mendirikan partai politik. Usulan seperti mestinya dipikirkan lagi, sebab posisi politik Muhammadiyah, demikian juga NU, sudah cukup baik saat ini. NU dan Muhammadiyah jangan sampai tergiur kekuasaan dan jabatan. Meskipun niatnya baik, untuk amar ma’ruf nahi munkar, namun kita semua tahu jika politik tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan dengan segala intrik yang mengikutinya.
     Biarkan Muhammadiyah dan NU tetap menjadi penjaga moral bangsa dalam segala bidang, termasuk politik. Peran itu akan jauh lebih tepat untuk Muhammadiyah dan NU dan akan menjadi efektif jika keduanya tetap berada di luar arena. Jika sudah berafiliaisi dengan partai politik tertentu, maka bisa dipastikan keberpihakan tidak bisa dihindari. Celakanya, keberpihakan dalam politik lebih sering dilakukan atas dasar untung rugi bukan benar salah.
     Posisi dan peran yang dimainkan Muhammadiyah dan NU selama ini dapat disebut sudah mendekati ideal. Keduanya dengan cara masing-masing telah memberikan warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita berharap kedua muktamar yang digelar dapat meneruskan tradisi itu. Selama ini, baik NU maupun Muhammadiyah telah mencetak kader-kader yang kemudian duduk di berbagai posisi penting di semua bidang. Kini kita dengan mudah melihat kader NU atau Muhammadiyah yang menjadi gubernur atau bupati, manajer sebuah perusahaan, praktisi hukum, ilmuan dan berbagai profesi lainnya.
     Peran yang terlalu aktif dan besar dalam politik, misalnya, tidak menjadi jaminan Muhammadiyah dan NU akan melebihi apa yang telah mereka lakukan selama ini. Oleh karena itu, Muhammadiyah dan NU seyogyanya tetap memainkan peran seperti yang selama ini dilakoni. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika mereka melepaskan peran itu.
     Akhirnya, sekali lagi, melalui dua muktamar tersebut, kita menyampaikan harapan agar Muhammadiyah dan NU tetap berada di khittahnya, sebagai pembentukan karakter sekaligus menjaga agar moral anak bangsa ini tetap di koridornya.

Monday 10 August 2015

PESILAT POLITIK

  PENDEKAR tua dan berwibawa itu mengatakan, hidup di dunia persilatan laksana berjalan di dalam lorong gua yang panjang dan gelap. Kita harus selalu waspada karena serangan musuh bisa datang tiba-tiba dari depan ataupun belakang. Sepanjang apapun lorong gelap itu, di ujungnya kita akan bertemu cahaya. Namun kita tidak tahu, apakah cahaya itu berarti harapan atau ancaman. Begitulah kurang lebih prolog dalam sebuah film yang dirilis tahun lalu. Meski ide ceritanya tidak unik, pesan moral film ini cukup kuat.
      “Menguasai ilmu silat bagiku bukan untuk mencari kesempurnaan, tetapi untuk menolong orang-orang yang lemah. Apa gunanya kesempurnaan jika tidak bisa menolong sesama manusia?” kata dalam film tersebut. Dunia persilatan tampaknya mirip dunia politik, seperti ditunjukkan oleh kisruh beberapa partai beberapa bulan ini, dan gairah politik yang mulai menggeliat di beberpa daerah menjelang pemilukada serempak yang tak lama lagi. Bukankah dunia politik juga laksana lorong gua yang gelap, karena orang tidak tahu pasti, mana kawan, mana lawan? Bukankah seperti pendekar, politisi berpikir menang atau kalah, jatuh atau dijatuhkan? Silat dan politik memang sama-sama bertumpu pada kekuatan. Siapa yang paling kuat, maka dialah yang akan menang, sedangkan yang lemah akan kalah. Di ranah politik, pemenang juga berarti penguasa. Di masa klasik, ketika kekuatan fisik hampir identik dengan kekuasaan politik, seorang penguasa adalah juga petarung yang sakti mandraguna. Seorang raja bukan saja pintar, tetapi juga pendekar.
      Karena itu, baik pendekar maupun politisi, sama-sama berusaha mengumpulkan kekuatan sebanyak mungkin. Pendekar yang hebat bukan saja memiliki tubuh kuat, tetapi juga jurus-jurus sakti yang didapat dari guru yang mumpuni. Para pendekar rela mempertaruhkan nyawa untuk memperebutkan satu kitab yang mengajarkan jurus maut, atau senjata bertuah berupa pedang dan tongkat. Demikian pula dengan politisi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan kekuatan. Kekuatan itu bisa berupa uang atau dukungan suara. Ia melamar ke partai-partai, medekati pengusaha, ulama dan elite masyarakat lainnya. Ia juga bekerja sama dengan media guna mempengaruhi massa. Tidak hanya itu. Ada pula politisi yang datang ke dukun atau ulama, mencari kekuatan gaib untuk menghadapi lawan. Ketika pertarungan berlangsung, seluruh kekuatan dikerahkan, dari jurus biasa hingga jurus pamungkas. Ada yang bertarung dengan jujur sesuai aturan, ada pula yang culas dan licik. Ada yang hanya ingin melumpuhkan lawan, tetapi ada juga yang ingin menghabisi.
      Baik politisi maupun pendekar, ada yang masih menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan, ada pula yang tega dan kejam tanpa ampun. Ketika pertarungan sudah berakhir, sikap pemenang dan pecundang juga beragam. Ada pemenang yang congkak dan sombong, dan ada pula yang rendah hati. Ada pecundang yang menerima kekalahan dengan lapang dada, ada pula yang penuh dendam kesumat, lalu membuat intrik di belakang. Ada pemenang yang dapat merangkul pecundang dan ada pula yang selamanya bermusuhan. Perbedaan mereka itu, terutama karena perbedaan pandangan hidup, yakni cita-cita yang ingin diraih melalui kekuatan yang dikumpulkan dan kekuasaan yang didapatkan.
     Sebagai pendekar, menginginkan kepandaiannya dalam ilmu silat berguna untuk menolong mereka yang lemah. Bukankah ini pula yang seharusnya menjadi cita-cita politisi, yakni menegakkan keadilan, membela yang lemah? Sayang, ketika kita menyaksikan perilaku kaum elite yang main akrobat di panggung politik, kita mungkin hanya dapat menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.
      Kita terlalu sering membuktikan, bahwa cita-cita politik yang mulia itu justru jauh panggang dari api. Kepentingan pribadi dan golongan, seringkali dibungkus rapi dengan janji-janji manis dan pasal-pasal hukum yang membingungkan. Namun, bagaimanapun hebatnya film silat, tanpa penonton, film itu tidak ada artinya. Begitu pula, tanpa rakyat, kaum elite tidak bisa berbuat banyak. Karena itu, seperti kata dalam film, di ujung lorong panjang yang gelap itu akan ada cahaya. Artinya, kita tidak boleh kehilangan harapan!

Tuesday 4 August 2015

KAUM SARUNGAN

KAUM SARUNGAN

        Dulu Pesantren dicemooh orang luar sebagai ‘kaum sarungan’ yang secara tersirat berarti kolot, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Memang, sarung adalah pakaian yang sangat akrab dengan santri pesantren tradisional karena dipakai seharian dari tidur, belajar, santai hingga berolahraga. Sarung itu sederhana dan praktis. Bisa dipakai sebagai bawahan, selimut, syal atau sebagai kain pembungkus barang.
       Berbeda dengan santri tradisional, santri pesantren yang menyebut diri modern biasanya memakai celana panjang dan dasi, terutama saat belajar di kelas.
Celana, lebih-lebih dasi, yang dipakai orang Eropa, adalah simbol kemodernan dan kemajuan. Sebaliknya, di kalangan ulama tradisional, dasi dan topi justru pernah diharamkan, karena dianggap menyerupai orang Eropa yang kafir dan penjajah.
       Kaum santri berdasi tampaknya ingin menegaskan bahwa para santri yang mendalami ilmu agama dan berusaha hidup saleh sebenarnya juga bisa menjadi modern, bukan kolot dan konservatif.
        Santri berdasi tidak hanya pandai bahasa Arab (bahasanya kaum santri), tetapi juga bahasa Inggris (bahasanya orang modern). Tidak hanya tahu ilmu fikih, tauhid, tafsir dan hadis tapi juga ilmu alam, sosial dan humaniora.
        Sederhananya, santri sarungan umumnya ikut NU, sedangkan santri berdasi masuk Muhammadiyah. Para pengamat menyebut NU adalah kaum tradisionalis, sedang Muhammadiyah adalah kaum modernis.
        Saya kira, Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar NU tahun ini, tiada lain daripada Islam tradisionalis, sedangkan Islam Berkemajuan yang menjadi tema Muktamar Muhammadiyah lebih kurang adalah Islam modernis.
       Karena itu, benar apa yang dikatakan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, bahwa Islam Nusantara bukanlah aliran, mazhab atau kelompok baru.
Islam Nusantara adalah penafsiran dan praktik Islam yang meresap dalam budaya Nusantara yang khas, yang tetap berpijak pada prinsip-prinsip syariat Islam. Singkatnya, Islam Nusantara adalah Islam tradisional yang diajarkan, ditafsirkan dan dipraktikkan warga NU.
        Mengapa istilah ‘Islam Nusantara’ baru muncul padahal dulu tidak ada? Mungkin konteks sosial politik dan budaya nasional daninternasional saat ini telah mendorong kepada penamaan itu.
        Para tokoh NU khawatir, berbagai gerakan radikal dan teroris yang mengatasnamakan Islam, serta konflik religio-politik Syiah-Sunni yang terjadi di Timur Tengah sekarang, bisa saja menyusup ke negeri kita yang damai ini.
        Islam Nusantara tentu bukan berarti anti-Arab. Melepaskan Islam dari Arab itu mustahil karena Nabi Muhammad adalah orang Arab, Alquran berbahasa Arab, salat dilaksanakan dalam bahasa Arab dan Kabah berada di Kota Makkah.
        Yang ditolak adalah penafsiran tertentu terhadap sumber-sumber otoritatif Islam, yang dianggap radikal dan ekstrem, dan kebetulan sebagian berasal dari Arab.
        Khusus di kalangan NU, bahasa Arab menempati kedudukan yang sangat penting. Sejak awal, para santri pesantren tradisional disuguhi seluk beluk pelajaran bahasa Arab, dan bahan ajar yang disebut ‘kitab kuning’ umumnya berbahasa Arab.
        Di NU, umumnya orang yang tidak pandai membaca kitab kuning (gundul, tanpa harakat), dan tidak fasih membaca Alquran, dianggap tidak layak menjadi kiai.
        Di sisi lain, kini kaum tradisionalis dan modernis makin merapat dan bertemu. NU makin terbuka pada kemodernan, Muhammadiyah kembali mengkaji khazanah intelektual Islam tradisional.
        Said Aqil Siradj, alumni pesantren yang kuliah dari S-1 sampai S-3 di Arab Saudi, justru memakai celana, jas dan dasi, Mungkin inilah contoh nyata budaya Islam Nusantara. Seorang tokoh bercerita, ketika salat di Masjid al-Azhar Mesir dan dia memakai sarung, tiba-tiba ada orang Arab menegurnya. “Pakaianmu itu (menunjuk ke sarung) haram. Itu sejenis rok, pakaian perempuan,” katanya.
Si tokoh kita balik menjawab, ”Justru pakaianmu itu yang haram. Jubah kamu itu di Indonesia sama dengan daster, pakaiannya ibu-ibu!”
        Alhasil, ini soal budaya yang berkelindan dengan agama. Adapun Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, ajaran-ajaran pokok yang dipegang teguh oleh kaum Muslim Sunni di mana-mana, kiranya tetaplah sama.

Monday 3 August 2015

YA ALLAH

Aku yakin
Jika saat itu tiba
Allah menyatukan dg cinta
Yang lebih baik

Cinta yang membuat
Harus melewati perpisahan

Hanya agar bisa bersatu
Dengan seseorang yang
Benar-benar tepat
Didunia akhirat,Semoga

Semoga Allah meridhoi
Langkahku pasangan
Dunia akhirat

Pasangan yang selalu melengkpi
Saling mencintai
Bukan menerima karena
Aku butuh kasihani
Bukan sekedar itu

Bismilah
Semoga Allah istiqomahku
Akan siapapun dia
Biar aku menyambutnya
Dg apa yg terbaik dariku

MOS APA PERLU

MOS APA PERLU

MOS (Masa Orientasi Sekolah) dikabarkan menelan korban jiwa, yang menimpa seorang siswa kelas VII SMP Flora Bekasi, Jawa Barat. Korban diduga meninggal dunia akibat kecapaian setelah mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya.
Ini tentu sangat memukul dunia pendidikan di Tanah Air. Padahal, Menteri Pendidikan Nasional sudah mengantisipasi dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 59389/mpk/pd/tahun 2015 tentang pencegahan praktik perpeloncoan, pelecehan dan kekerasan pada masa orientasi peserta didik baru di sekolah yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia.
Mendiknas menginstruksikan kepada Dinas Pendidikan untuk mengawasi praktik perpeloncoan, pelecehan, dan kekerasan pada awal tahun pelajaran, karena tidak sejalan dengan semangat pendidikan dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2014 Tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah baik di sekolah negeri, swasta, kedinasan, maupun keagamaan.
Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Yang tidak diinginkan kini sudah terjadi. Satu nyawa atau satu jiwa bangsa Indonesia hilang di lingkungan sekolah. Kita pun turut berduka atas kepergian Evan Situmorang, nama siswa malang kelas VII SMP Flora Bekasi Jawa Barat (liputan 6, 1 Agustus 2015) tersebut. Kalau sudah terjadi, lalu siapa yang harus disalahkan? Sekolah atau pemerintah? Pertanyaan selanjutnya apakah masih perlu diadakan MOS di sekolah?
Sejak dulu kita yang mengenyam pendidikan tentu pernah mengikuti kegiatan MOS. Dulu namanya bukan MOS, walau praktiknya sama saja, dan dilaksanakan ketika masuk ke SMA dan Perguruan Tinggi --bukan untuk SMP. Siswa baru pada umumnya tidak tahu apa-apa tentang sekolah yang ia masuki, sehingga ketika disuruh itu dan ini oleh seniornya pasti nurut-nurut saja karena takut dikeluarkan dari sekolah jika menentangnya.
Setiap sekolah tidak sama dalam melaksanakan MOS. Ada yang biasa-biasa saja, misalnya diisi dengan kegiatan pengenalan program sekolah, kegiatan pramuka, tata tertib sekolah, perpustakaan, laboratorium, cara belajar, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, salat berjemaah, mengenalkan kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan dan lain-lain. Semua itu dilaksanakan oleh guru, bukan oleh seniornya.
Ada juga MOS yang dilaksanakan di luar kebiasaan. Biasanya selain pengenalan lingkungan sekolah, ditambah kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengurus OSIS. Di sinilah akan terjadi perpeloncoan seperti siswa disuruh memakai pakaian ala badut, lari, skot-jump, push up dan merangkak.
Bahkan sampai melewati comberan yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan, karena yang menyuruh bukan guru melainkan seniornya. Anehnya, kepala sekolah dan guru seakan membiarkan hal tersebut terjadi. Padahal kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, dan guru adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas penyiapan dan pelaksanaan kegiatan orientasi peserta didik baru. Kegiatan seperti lari, skot-jump, push up seharusnya di bawah pengawasan guru olahraga dan bukan oleh seniornya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebelum memasuki tahun pelajaran 2015/2016 gencar melakukan sosialisasi, instruksi sampai ancaman lewat media baik cetak maupun elektronik, agar kegiatan perpeloncoan pada Masa Orientasi Sekolah pada 2015 tidak terjadi. Dan, barangkali instruksi itu sudah dilaksanakan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia, walaupun ada di antaranya yang masih melaksanakan cara lama dalam melaksanakan MOS. Wajar jika menteri geram mendengar berita meninggalnya seorang siswa SMP kelas VII setelah mengikuti kegiatan MOS.
Agar tidak terjadi berakibat fatal dan terulang pada tahun berikutnya, sebaiknya pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat “buku panduan” untuk pelaksanaan MOS di tingkat SMP, SMA agar pelaksanaannya se-Indonesia sama. Buku tersebut harus sudah sampai 6 bulan sebelum pelaksanaan.
Mengeluarkan Peraturan, seperti Peraturan Menteri Pendidikan No 55 Tahun 2014 tanggal 2 Juli 2014, dirasa sangat terlambat. Apalagi hanya dimuat di Web kemdikbud, sementara jaringan internet di Indonesia kecepatannya tidak sama.
MOS jika sekiranya masih perlu dilaksanakan, sebaiknya tidak melibatkan seniornya, tetapi semua guru. Pelaksanaannya tidak perlu memakan waktu berhari-hari, karena untuk memperkenalkan program-program di sekolah tak perlu waktu lama. Kita jangan memaksa siswa yang baru masuk sehari akan tahu semuanya.
Setiap kelas ada wali kelasnya. Jadi, alangkah lebih bijak cukup wali kelas yang akan memperkenalkan hal-hal lain yang belum mereka ketahui tentang sekolah dan kegiatan di sekolah. Dengan begitu, aksi kekerasan, perpeloncoan dan balas dendam tidak akan terjadi antara senior dan juniornya.
Agar terjadi hubungan baik dan penuh persaudaraan antara senior dan junior, lebih baik mengadakan pentas seni, paskibra, baca puisi, olah raga dan kebolehan lainnya. dengan cara seniornya menunjukan kebolehan mereka masing-masing dan biarkan siswa baru menonton dan setelah pentas, senior bersalaman dengan siswa baru dengan penuh persaudaraan.
Terkait cara memperkenalkan semua pendidik dan tenaga kependidikan kepada siswa baru, cukup dilakukan melalui apel di lapangan terbuka. Kepala sekolah bisa memperkenalkan satu persatu nama pendidik dan tenaga kependidikan, setelah itu saling bersalaman.
Setop perpeloncoan pada MOS. Kalaupun masih ada, jangan sampai terdengar lagi berita seperti meningggalnya siswa di SMP Flora Bekasi. Satu nyawa buat bangsa ini adalah satu bangsa. Jadi, jangan bekali anak didik kita dengan dendam dan kekerasan, karena fungsi Pendidikan Nasional seperti disebutkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Bukan tanpa alasan Ki Hadjar Dewantoro menggunakan istilah “Taman” sebagai konsep pendidikannya. Taman berarti tempat bermain. Teduh, tenang, dan tentunya menyenangkan. Anak-anak senantiasa gembira berada di taman. Mereka dengan senang hati menghabiskan waktu di taman.
Ki Hadjar ingin konsep pendidikan seperti sebuah taman. Pendidikan haruslah menyenangkan, belajar adalah proses kegembiraan. Ketika bel masuk sekolah berbunyi semestinya sebuah kegembiraan dimulai, dan ketika bel pulang berbunyi anak-anak enggan untuk pulang.

BUAT ANAKKU DAN ANAK DUNIA

BUAT ANAKKU DAN ANAK DUNIA

      NEGARA memberi penghargaan pada anak dengan menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Sayang, tahun ini seperti kurang gaungnya. Padahal, penetapan ini berdasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 pada tanggal 19 Juli 1984.
       Sebenarnya peringatan hari anak berbeda-beda di seluruh dunia. Hari Anak Internasional diperingati tiap 1 Juni. Sedangkan Hari Anak Universal diperingati setiap 20 November. Namun, pada intinya semua peringatan Hari Anak adalah sama, yakni menghormati hak-hak anak di mana pun dia berada.
       Lebih tiga dasawarsa berlalu sejak Indonesia menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Lantas, apakah anak Indonesia benar-benar telah terjamin haknya? Berdasarkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tahun 1989, sedikitnya ada 10 hak yang harus diberikan untuk anak.
      Hak untuk anak tersebut meliputi hak untuk bermain, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan nama (identitas), hak mendapat status kebangsaan, hak mendapat makanan, hak mengakses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak meperoleh kesamaan dan hak memiliki peran dalam pembangunan.
      Jika mengacu pada 10 dasar hak anak berdasar Konvensi PBB Tahun 1989, masih banyak yang perlu dibenahi agar semuanya terpenuhi. Upaya untuk memenuhinya ada dan telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, implementasinya tak semudah mengucap kata. Kadang, hal-hal yang sederhana menjadi rumit ketika persona-personanya sendiri yang mempersulit.
      Dilihat dari sisi produk hukum, sejumlah aturan yang dibuat sudah cukup memadai. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang diterbitkan pada 17 Oktober 2014. Negara dalam UUD 1945 juga memberi porsi lebih dalam pemberian hak-hak kepada anak, terutama yang telantar. Seperti termaktub pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
      Kemudian, berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 , dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yakni sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.Ketika perangkat hukum sudah memadai demikian pula ada lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan anak, maka cukup mengherankan jika masih banyak terjadi kriminalisasi pada anak, pengerahan tenaga anak, pelecehan seksual pada anak hingga kekerasan lain yang dialami oleh anak. Bahkan, akhir-akhir ini, seakan mengemuka banyak kasus kekerasan pada anak dibuktikan dengan maraknya pemberitaan.
      Jika mengacu pada pernyataan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam, kondisi anak Indonesia masih memprihatinkan. Banyak anak di jalan mencari uang dengan meminta-minta, mengamen, dan lain-lain. Mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual. Bahkan, tren pengaduan kasus anak yang dilaporkan ke KPAI dari tahun ke tahun terus meningkat baik jumlah maupun jenis pengaduannya. Ini menunjukkan belum optimalnya negara hadir menjamin perlindungan anak.
      Di sisi lain, keluarga sebagai benteng terakhir perlindungan pada anak malah tidak mampu melakukannya. Bahkan pada beberapa kasus, keluarga menjadi sumber anak mengalami ketidaknyamanan, seperti perceraian orangtua hingga pelaku kejahatan seksual pada anak yang masih dalam lingkungan keluarga.
      Bagi anak-anak, keinginan mereka adalah sesederhana pemikirannya. Bukan hal yang muluk-muluk atau sekadar janji manis di mulut tapi tidak ada implementasinya. Anak-anak adalah pewaris pertiwi. Jaga dan buatlah mereka gembira. Sanggupkah kita membikin anak-anak gembira.

Wednesday 29 July 2015

LEBARAN PENUH UJIAN

      BAGI bangsa kita, lebaran tahun ini tampaknya bermakna ganda, suka sekaligus duka. Ormas-ormas besar Islam dapat bersepakat dengan pemerintah dalam penetapan jatuhnya Hari Raya Idulfitri.Tetapi letusan Gunung Raung di Jawa Timur dan Gunung Gamalama di Ternate, telah membuat ratusan penerbangan dibatalkan. Lebih sedih lagi, terjadi kekacauan saat Salat Id di Tolikara, Papua.
Tiga peristiwa tersebut memang berbeda. Penetapan 1 Syawal, sebagai Hari Raya Idulfitri, terkait dua hal, yaitu peristiwa alam dan penafsiran manusia terhadap kehendak Tuhan. Sedangkan letusan gunung berapi adalah murni peristiwa alam, tetapi ‘kebetulan’ terjadi menjelang lebaran. Sementara kekacauan dan pembakaran yang terjadi saat Salat Id di Tolikara adalah murni tindakan manusia.
Sudah maklum, ada dua metode yang berbeda dalam penentuan awal puasa dan hari raya bagi umat Islam.
       Pertama, metode hisab yang berpegang teguh pada penghitungan astronomi modern yang dianggap sangat akurat.Kedua, metode rukyah yang berpendapat, melihat dengan mata adalah wajib sesuai dengan makna lahiriah hadis Nabi, sementara hitungan astronomi hanya membantu. Meski kedua metode itu berbeda, hasil akhirnya bisa sama, bisa pula tidak. Yang menentukan kesamaan dan perbedaan hasil itu adalah ketinggian derajat bulan sabit (hilal) dan kecerahan cuaca.
Jika posisi hilal cukup tinggi derajatnya dan tidak tertutup awan, maka hilal bisa dilihat sehingga hasil akhir metode rukyah dan hisab akan sama (seperti tahun ini). Jika sebaliknya, maka hasilnya akan berbeda.
Berbeda dengan penetapan lebaran, letusan Gunung Raung dan Gunung Gamalama tidak melibatkan manusia secara langsung. Letusan itu adalah fenomena alam. Namun manusia bisa terkena dampaknya dan dapat memaknainya.
      Meminjam lirik Ebiet G Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Tetapi, peristiwa pembakaran 6 rumah, 11 kios dan 1 masjid yang terjadi di Tolikara, Papua, tepat di Hari Raya Idul fitri kemarin, di sekitar kawasan kaum Muslim yang melaksanakan Salat Id, bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan akibat ulah manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki pilihan moral dalam bertindak, dan karena itu, setiap tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
      Menurut Dorman Wandikmbo, Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), yang dimuat di jawaban.com, semula GIDI meminta kaum Muslim tidak menggunakan pengeras suara ketika merayakan Idulfitri, agar tidak mengganggu seminar internasional GIDI yang letaknya berdekatan. Tetapi permintaan ini tidak diindahkan, sehingga terjadilah insiden pembakaran itu dan tembakan dari aparat keamanan. Yang mengejutkan lagi, telah beredar di media sosial sebuah surat GIDI bertanggal 11 Juli 2015, yang ditujukan kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara. Isinya antara lain, GIDI tidak mengizinkan pelaksanaan lebaran di kabupaten itu. Bahkan ada poin yang menyebutkan, kaum muslimat dilarang memakai jilbab. Agama lain dan gereja lain juga dilarang mendirikan tempat ibadah. Saya berharap surat tersebut palsu. Saya juga berharap, jika memang surat itu palsu, maka pemerintah harus dapat mengusut pembuatnya yang sengaja ingin mengadu domba antarumat beragama di Indonesia.
     Namun, jika surat itu asli, saya sungguh menyesal, mengapa mereka berani melakukan tindakan bodoh semacam itu? Mengapa GIDI tampak begitu arogan di surat itu? Kasus ini menunjukkan, betapa berat merawat kerukunan, dan betapa penting membangun komunikasi antar tokoh agama dan juga pemerintah.
Kasus ini juga menunjukkan, umat Kristen di Indonesia sangat beragam. GIDI hanya satu di antara banyak Gereja Protestan. Boleh jadi, di antara mereka, ada kelompok radikal dan agresif yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama.
     Tiga peristiwa itu dapat dilihat sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan sesama manusia. Jika manusia bersalah kepada Tuhan, maka dia bisa bertobat kepada-Nya.
Jika dia bersalah pada/merusak alam, maka dia harus kembali berusaha menjaga kelestarian alam. Jika manusia bersalah kepada sesama manusia, maka dia harus meminta maaf.

Tuesday 7 July 2015

PUASA ATAU PUAS'A

PUASA ATAU PUAS'A

     Di suatu desa terpencil, Semua penduduknya beragama Islam, dan mereka bekerja sebagai petani atau nelayan. Orang-orang desa ini cukup terpelajar, tetapi umumnya tidak mendapat pekerjaan sesuai tingkat pendidikan mereka. Di sore hari Ramadan, setelah salat Asar, kawula muda desa itu bermain sepak bola, yang mendapat perhatian ratusan penonton. jangan kan saya temen saya Jaky sebagai orang luar dan non-Muslim, merasa takjub akan kekuatan fisik mereka. Dalam keadaan lapar dan haus, mereka sanggup bermain sepakbola yang sangat menguras tenaga. Rupanya, asyiknya permainan sepakbola dapat melupakan orang dari tekanan puasa.
     Uniknya, sepakbola ini hanya dilaksanakan di bulan Ramadan. Di luar Ramadan, tidak ada. Tampaknya sepakbola menjadi semacam pengganti dari berbagai hiburan yang berbau maksiat. Ramadan adalah bulan suci dan penyucian dari dosa. Meski demikian, paradoks tetap terjadi. Sementara puasa mengajarkan pengendalian nafsu, tingkat konsumsi masyarakat justru meroket. Setelah Ramadan usai, anak-anak muda itu kembali pada keseharian mereka. Sebagian berusaha keras agar tetap hidup dalam kesalehan, meski kadang gagal.
     Sebagian lagi kembali ke klub malam, menonton film porno, meminum bir dan menghisap hasyisy. Mereka seolah ditarik oleh dua kutub magnet yang sama-sama kuat: disiplin moral di satu sisi serta konsumerisme, cinta romantis dan status sosial, di sisi lain.
Pengalaman kawula muda Mesir itu tentu tidak asing bagi kita. Semakin mendekat akhir Ramadan, semakin terasa perubahan itu. Agama mengajarkan, sepuluh hari terakhir Ramadan adalah puncak penanjakan ruhani kaum beriman. Dalam kenyataan, kaum berduit makin gila berbelanja dan kaum miskin punya ambisi serupa, sehingga pencurian dan penjambretan cenderung meningkat.
     Semua ini menunjukkan, perjuangan moral adalah pergumulan manusia sepanjang hidupnya. Manusia sebagai makhluk yang diberi kebebasan memilih antara baik dan buruk, dosa dan pahala, akan terus-menerus berhadapan dengan pilihan-pilihan moral itu. Kaya atau miskin, tua atau muda, penguasa atau rakyat jelata, semua takkan bisa menghindar dari perjuangan ini sampai maut menjemput. Dengan demikian, ketimbang membayangkan suatu masyarakat suci bersih tanpa noda berkat ibadah Ramadan, akan lebih realistis kalau kita melihat Ramadan sebagai bulan pendidikan. Sudah maklum, didunia pendidikan, hasil akhir yang diperoleh peserta didik umumnya tidak sama. Ada yang mendapat nilai yang tinggi, sedang hingga rendah. Bahkan ada pula yang tidak lulus alias gagal total.
      Seberapa besar keberhasilan pendidikan Ramadan tersebut, pada gilirannya akan menentukan seberapa tinggi peradaban masyarakat Muslim.
Tidak ada peradaban yang dapat berdiri tegak tanpa pengendalian diri/hawa nafsu. Tak ada ilmu, seni dan teknologi yang lahir tanpa suatu perjuangan asketis. Tak ada masyarakat yang benar-benar adil dan makmur tanpa disiplin moral pemimpin dan rakyatnya. Dunia terus berputar, peradaban umat manusia terus beredar. Boleh boleh jadi, umat manusia di zaman tertentu lebih taat beragama dibanding zaman lainnya, lebih bermoral dibanding era lainnya.
     Boleh jadi pula, di era yang sama, masyarakat tertentu lebih berdisiplin dibanding masyakarat lainnya. Karena itu, ada bangsa dan peradaban yang akhirnya punah, ada pula yang terus bertahan hingga sekarang.
     Mungkin inilah maksud sabda Nabi SAW bahwa jihad terbesar adalah perjuangan melawan hawa nafsu. Inilah sesungguhnya inti daripuasa. Inilah pula fondasi peradaban Islam, bahkan peradaban umat manusia sepanjang sejarah.

Friday 5 June 2015

KARENA DIANGGAP BIASA

KARENA DIANGGAP BIASA

     PERISTIWA mengenaskan sekaligus memprihatinkan menimpa moda trasportasi laut di Kotabaru Kalsel. Puluhan orang ditemukan tewas terjebak dalam kapal, sedang puluhan lainya dinyatakan hilang di perairan Tanjung Dewa, saat melakukan perjalanan dari Kotabaru ke desa Geronggang. Ekstremnya cuaca di laut menjadi kambing hitam penybab musibah tersebut. Betulkah alam sedemikian menjadi ancaman ? Jawabannya tidak serta merta harus menyalahkan alam yang memang sulit diprediksi. Tapi berdasarkan catatan manifes kapal, terlihat jelas kalau penyebab kecelakaan tidak hanya oleh cuaca ekstrem. Di manifes kapal dinnyatakan jumlah penumpang sebanyak 22 orang, tapi dari laporan sedikitnya 105 orang mengisi kapal yang penuh barang dagangan tersebut.
     Jumlah penumpang yang tidak sesui dengan manifes kapal tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Bagaimana pengelola trasportasi di Pelabuhan Panjanf Kotabaru saat ini. Apa sebelum belayar pengelola pelabuhan sudah memeriksa kapal yang akan berangkat. Belum lagi peralatan keselamatan di kapal yang menjadi utama sebelum satu unit alat trasportasi dinyatakan layak untuk dipergunakan. Misalnya, apakah pelampung di kapal cukup bagi jumlah penumpang yang akan diangkut ?. Selain alat bantu keselamatan, faktor belum pernah terjadi musibah kapal barang dan penumpang di tanjung dewa, membuat nahkoda kapal, pengawas pelabuhan serta pihak terkait, menjadi lengah. Mereka menganggap biasa mengangkut barang dan penumpang melebihi kapasitas, Juga manifes kapal tidak sesuai yang dilaporkan, bisa jadi sudah berlangsung lama dan dianggap biasa, akibatnya, semua dibiarkan.
     Kalau musibah terjadi dan menelan korban, bisa dilihat masing-masing bakal saling menyalahkan. Lebih mudah mungkin menyalahkan kondisi alam yang tidak bersahabat. Padahal, cuaca ekstrem yang muncul malah membuat semua pihak terkait menjadi lebih waspada dan memperketat pengawasan. Kalau jumlah barang dan penumpang melebihi kapasitas semestinya dan harus menghadapai cuaca ekstrem, apa yang bisa menjamin musibah tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
     Saat kondisi standar, jumlah barang dan penumpang sesuai kapasitas kapal, menghadapi cuaca ekstrem di laut sudah harus melalui pertimbangan matang sebelum memutuskan dilakukan pelayaran. Proses pembiaran dan menganggap proses pelanggaran tersebut sebuah hal rutin, memang saatnya dihentikan. Prosedur keselamatan angkutan standar di negeri ini jangan pernah dianggap remeh. Jangan sampai saat terjadi musibah baru masing-masing menyayangkan telah terjadi pelanggaran. Padahal kalau prosedur diterapkan sebagaimana mestinya, kerugian bisa ditekan seminimal mungkin.
     Tindakan pembiaran tidak hanya terjadi pada prosedur keselamatan. Hampir semua sisi kehidupan di Indonesia, khususnya di Kalsel, terjadi yang paling baru tentu saja antrean bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Saat keberadaan bahan bakar masih normal, orang biasa saja melihat pelangsir datang membawa jeriken dan ikut antre mengisi BBM. Padahal secara prosedural hal tersebut telah lama dilarang Pertamina. Tapi saat BBM mulai sulit diperoleh dan antrean panjang terjadi, baru pemilik kendaraan bermotor protes keberadaan pelangsir yang membawa jeriken. Padahal, kalau sejak awal pelangsir tersebut tidak dibiarkan, tentu mereka pun tak akan ikut mengantre. Kenapa sejak awal keberadaan mereka dianggap biasa ?
Kapa ЧªⁿG Tenggelam..Kapa ЧªⁿG Tenggelam..