Thursday 28 September 2017

TAKUT ISTRI

TAKUT ISTRI
Liku-liku dalam dunia pertemanan komunitas, ada-ada saja ada pasang surutnya mungkin ada titik jenuhnya ada kalanya naik lagi ini biasanya kalau ada maunya, he.....he...mungkin iya mungkin tidak tergantung persepsi perorangnya. Dalam waktu yang sama, saya pun lebih suka mencerna perbincangan-perbincangan besar di luar pertemanan komunitas. Bagaimana medan geopolitik di konflik Rohingya, misalnya. Padahal, apa yang bisa saya jalankan setelah sedikit banyak saya memahaminya? Paling-paling saya akan menulis status Facebook, mengajak teman-teman di friendlist saya untuk mencermati duduk perkara konflik itu dalam porsi yang semestinya.
Lah, memang apa pengaruhnya? Apakah kalau saya tidak menuliskan status itu, konflik Rohingya jadi tambah parah? Dan apakah kalau saya menuliskannya, maka pembunuhan dan entah apalah segala hal buruk di sana akan berkurang dengan sendirinya?
Saya tahu jawabannya sangat menyedihkan: tidak. Suara saya tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam waktu yang sama pula, bahkan saya lebih suka turut berkerut mencermati data-data sejarah, untuk menemukan fakta historis yang paling meyakinkan, tentang satu pertanyaan mahapenting dalam historiografi Indonesia: "Apakah Aidit merokok?"
Padahal, setelah saya berlelah-lelah mencermati versi Ilham Aidit dan versi wawancara media, juga mencermati foto Aidit dengan rokok di tangannya, paling-paling saya cuma akan manggut-manggut. Kemudian saya menawarkan sebuah hipotesis mengejutkan kepada publik:
"Ilham tidak bohong. Media juga tidak bohong. Aidit tidak pernah merokok di rumah. Namun ia selalu merokok di rapat-rapat PKI, sembari merahasiakan perilaku merokoknya itu dari keluarganya. Jadi saya mengajukan tesis, bahwa selain sebagai Ketua CC PKI, Aidit pun aktif sebagai Sekjen IMTI. Yakni Ikatan Marxis Takut Istri."
Sudah, cuma itu saja. Sebuah kesimpulan yang sangat ilmiah namun tidak berguna bagi masa depan peradaban.
Dan itu semua sungguh merupakan kebermanfaatan yang nyata, jauh lebih nyata ketimbang rokok Aidit atau 5000 pucuk senjata yang disebut-sebut Sang Panglima.

Sunday 24 September 2017

*BENGISNYA PKI*

Sejarah Indonesia pasca merdeka ditandai dengan adanya pemberontakan *Partai Komunis Indonesia (PKI)*.

Didahului gerakan revolusioner yang disebut formal fase nonparlementer, yakni pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang sah.

Usaha kudeta itu disertai pula penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk sipil, para ulama, santri, pejabat, dan polisi.

Aksi dalam bentuk kekerasan terjadi di beberapa daerah, berikut diantaranya:

- *Tegal* dan sekitarnya. Kekejian pertama PKI yaitu pada penghujung tahun 1945, tepatnya oktober. Di kota ini, ada seorang pemuda PKI di slawi, tegal, jawa tengah, berjuluk Kutil (nama asli Sakyani), telah menyembelih seluruh pejabat pemerintah disana. Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di brebes dan pekalongan. Si Kutil mengarak Kardinah (adik kandung RA Kartini) keliling kota dengan sangat memalukan, syukurlah ada yg sempat menyelamatkan Kardinah, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan mengeksekusi Kardinah.

- *Kota Lebak, Banten*. Kekejian datang dari Ce'Mamat, pimpinan gerombolan PKI dari Lebak (Banten) yg merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Gerombolan Ce'Mamat berhasil menculik dan menyembelih bupati Lebak R.Hardiwinangun di jembatan sungai Cimancak pada tanggal 9 desember 1945.

- *Jakarta, Jalan Oto Iskandar Dinata* di selatan kampung melayu. Ingatlah kisah pembunuhan tokoh nasional Oto Iskandar Dinata yg dihabisi secara keji oleh laskar hitam ubel-ubel dari PKI, pada desember 1945.

- *Sumatera Utara*, ternyata banyak menyimpan kisah miris. Sebab PKI juga menumpas habis seluruh keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di tanjung pura, pada maret 1946, serta merampas harta benda milik kerajaan. Dalam peristiwa ini, putra mahkota kerajaan Langkat, Amir Hamzah (banyak dikenal sebagai penyair), ikut tertumpas. Tak ada lagi penerus kerajaan Langkat.

- *Dibelahan lain Sumatra, pematang siantar*. PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada 14 mei 1965, PKI melakukan aksi sepihak menguasai tanah-tanah negara. Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX bandar betsi. Pembantu letnan dua yg sedang ditugaskan di perkebunan kebetulan menyaksikan aksi perilaku anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan. Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akibatnya, Sudjono tewas dengan kondisi yg amat menyedihkan.

- *Berbagai kota di jawa timur*. Kekejian di jawa timur, yaitu saat Gubernur Jawa Timur RM Soerjo, pulang dari lawatan menghadap Soekarno. Di tengah jalan, mobil Gubernur Soerjo bersama dua pengawalnya dicegat pemuda rakyat PKI, lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 kilometer hinga meregang nyawa, lalu mayatnya dicampakkan di tepi kali.

- *Madiun,* PKI menusuk dubur banyak warga desa Pati dan Wirosari (Madiun) dengan bambu runcing. Lalu, mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah C diantaranya wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan ke tengah sawah.

- *Magetan,* Algojo PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian bupati magetan dibaringkan diatasnya. Ketika telentang terikat itu, algojo mengggergaji badannya sampai putus dua, lalu langsung dijatuhkan ke dalam sumur.

- *Kyai Sulaiman dari Magetan* ditimbun di sumur Soco bersama 200 orang santri lainnya, sembari tetap berdzikir, pada september 1948.

- *Kisah Kyai Imam Musyid Takeran* yg hilang tak tentu rimbanya, genangan darah setinggi mata kaki di pabrik gula gorang gareng, ayah dari Sumarso Sumarsono yg disembelih dibelakang pabrik gula, baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun. Bahkan para PKI mengadakan pesta daging bakar Ulama dan santri di lumbung padi.

- *Kisah Isro* yg sekarang menjadi guru di jawa timur. Ketika dulu masih berumur 10 tahun pada tahun 1965, Isro hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yg sudah hangus dibakar PKI di pinggir sawah dan hanya bisa dimasukkan ke dalam kaleng.

- *Blora,* pasukan PKI menyerang markas Kepolisian Distrik Ngawen pada 18 september 1948. Setidaknya, 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada 7 polisi yg masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 september 1948. Sementara, 7 orang polisi muda dieksekusi secara keji. Ditelanjangi, kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah 7 orang polisi dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.

- *Desa Kresek, Kecamatan wungu, Dungus*. PKI membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para korban dtemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Di antara para korban, ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan Ulama.

- *Wonogiri, Jawa Tengah*, ternyata akrab dengan amis darah kekejian PKI yg menculik pejabat pemerintahan, TNI, Polisi, dan Wedana. Semua dijadikan santapan empuk PKI di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomoyo. Saat itu PKI menyekap 212 orang, kemudian dibantai satu per satu dengan keji pada 4 oktober 1948.

- *Kecamatan Kras, Kediri.* Training Pelajar Islam Indonesia tanggal 13 januari 1965, diserang oleh PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Massa komunis ini menyiksa dan melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar islam perempuan. Tidak hanya sampai disitu, massa PKI pun menginjak-injak al-Qur'an. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dari LEKRA dengan lakon "Matinya Gusti Allah", dan berbagai lakon lain yg biadap dan tak bisa dimaafkan.

- *Lubang Buaya Jakarta* adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung 6 orang jenderal (Letjen TNI A.Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI MT Hardjono, Mayjen TNI S.Parman, Brigjen TNI DI. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomiharjo), ditambah Lettu Piere Andries Tendean, dimasukkan kedalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur lubang buaya di Jakarta Timur.

*Semua negara Komunis* di dunia ini melakukan pembantaian dan penyembelihan kepada rakyatnya sendiri.
500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923),
6.000.000 petani kulak Rusia dibantai Stalin (1929),
40.000.000 dibantai Stalin (1925-1953),
50.000.000 penduduk rakyat cina dibantai Mao Tse Tung (1947-1976),
2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979),
1.000.000 rakyat eropa timur diberbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980),
150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim komunis disana,
1.700.000 rakyat diberbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis,
dan 1.500.000 rakyat Afghanistan dibantai Najibullah (1978-1987).

Barangkali, jika waktu itu komunisme berhasil menguasai negeri ini, kita tak akan bisa membaca karya-karya sastra relijius milik Hamka, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Karena, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yg dikomandani oleh Pramoedya Ananta Toer, sempat menuding Hamka sebagai plagiator atas novelnya yg berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non-komunis dilakukan oleh LEKRA. Hujatan-hujatan terhadap sastrawan anti-LEKRA terus dilakukan.
Penyair Chairil Anwar (pelopor angkatan 45) juga digugat dan dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Bahkan, buku-buku sastra karya sastrawan anti-LEKRA dibakar.

Ini hanya sebagian, Masih banyak sejarah kebiadaban PKI yang lain di berbagai daerah.
Bagaimanapun, kelompok Palu Arit ini telah dua kali melakukan kudeta dengan keji. Mereka menyembelih para santri, para Kyai, para agamawan, para penjaga NKRI yg menolak paham kiri.

Agar generasi saat ini tau bahwa komunis memang bengis.

Saturday 23 September 2017

ISLAM X BUDHA

Orang awam melihat orang Islam, citra yang mereka tangkap mula-mula adalah ciri-ciri yang tertangkap mata. Yang perempuan berjilbab atau berburqa. Yang lelaki berjubah, bersurban, berkopiah, dan berjenggot.

Semua itu mulai menjadi masalah ketika apa yang mereka identifikasi tersebut berkali-kali hadir bersama hal-hal buruk yang muncul dengan efek psikologis tertentu. Dalam hal ini, hal buruk itu adalah aksi-aksi teror yang keji.

Para pelaku teror yang mengatasnamakan Islam seringkali berjubah dan berjenggot, walhasil orang berjubah dan berjenggot yang bukan pelaku teror pun akan direspons sebagai teroris.

Jadi, pola "menyikapi semua orang berjubah dan berjenggot setara dengan menyikapi teroris". Atau biar tidak dikira umpatan kasar, pola identifikasi dangkal semacam itu adalah identifikasi level hewani. Manusia memang wajar pula melakukannya, namun level hewani tersebut merupakan tingkat intelegensi paling rendah..

Maka, jika ingin menjadi manusia pembelajar yang baik, pelan-pelan kita mesti memahami bahwa orang yang berjubah dan berjenggot belum tentu teroris. Bahkan kita akan tahu bahwa sebagian besar orang berjubah dan berjenggot memang bukan teroris.
Pemelihara jenggot panjang itu tidak semuanya pendukung khilafah. Atau tidak semua mereka gemar menyesat-nyesatkan orang di luar kelompoknya. Atau tidak semua mereka merupakan fans Kerajaan Arab Saudi. Dan sebagainya.

Salah satu contoh yang relevan dengan rasisme berbekal identifikasi kepercayaan adalah yang sedang hangat-hangatnya kita bicarakan saat ini. Ya, ini tentang tragedi kemanusiaan di Rohingya.

Melihat betapa mengerikannya kejahatan sistematis yang terjadi di sana, dengan level kecerdasan paling rendah kita akan mengidentifikasi. "Oh, korbannya Muslim. Oh, pelakunya orang Burma anggota etnis mayoritas. Oh, mayoritas orang Burma adalah penganut agama Budha. Berarti ini adalah pembantaian orang Islam oleh orang Budha."

Identifikasi yang paling sederhana itu menemukan gong-nya, ketika salah satu sosok yang muncul sebagai penggerak pembunuhan adalah Aksin Wirathu, seorang pemuka agama Budha di sana. Walhasil, dengan mekanisme pikiran paling primitif kita akan melihat bahwa pembantaian itu "direstui" oleh ajaran Budha.

Banyak orang beranjak menuju level identifikasi yang lebih spesifik lagi. Misalnya dengan membaca informasi bahwa masjid-masjid di kota Yangoon tetap aman-aman saja. Artinya, tidak semua muslim di Burma dimusuhi. Lalu informasi lain yang lebih rumit, misalnya bahwa Aksin Wirathu hanyalah pion yang dijalankan oleh rezim militer untuk propaganda penghantaman atas etnis Rohingya, dengan amunisi legitimasi agama. Dan sebagainya.

Di Indonesia, bahan untuk identifikasi sudah mulai berlimpah. Pimpinan Wihara Mendut, Bante Sri Pannyavaro, mengecam keras pembantaian muslim Rohingya. Bahkan sampai-sampai dia menolak Aung San Suu Kyi yang berencana datang ke Candi Borobudur dan Mendut. Disusul kemudian oleh Bhiksu Suhu Dutavira Mahastavira, yang menyatakan bahwa para bhiksu di kelompok Aksin Wirathu telah kehilangan kebhiksuannya.

Beragam aksi dan pernyataan pun bermunculan dari umat Budha. Di Surabaya, di Karanganyar, di Kebumen, dan entah di mana lagi. Pendek kata, tampak jelas sikap umat Budha Indonesia, bahwa mereka ingin menegaskan: "Kami umat Budha, tapi kami tidak sama dengan Wirathu!"

Sialnya, orang-orang yang berhasil menjalankan identifikasi tingkat lanjut untuk memahami bahwa "tidak semua umat Budha sama dengan Wirathu" hanyalah mereka yang memang berusaha menjaga harkat kemanusiaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aksi kemanusiaan bukanlah sekadar mengampanyekan belas kasihan, melainkan aksi untuk mengutuhkan kualitas "ke + manusia + an". Mereka serius untuk menjadi manusia.

Kadang saya berkhayal, bagaimana jika umat Islam menjadi minoritas di Indonesia. Apakah selepas peristiwa pembantaian dan penculikan oleh Boko Haram, misalnya, ribuan orang akan berbondong-bondong berdemonstrasi di depan kantor PP Muhammadiyah, atau kantor PBNU,?

Ah, khayalan itu terlalu mengerikan. Meskipun sesungguhnya rencana pengepungan tempat ibadah untuk mengecam geng kepercayaan pun benar-benar tidak kalah mengerikan.

Monday 11 September 2017

ROHINGYA KINI



Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang tertindas, dan ironisnya mereka tidak mempunyai negara (stateless). Mereka tinggal di Rakhine, salah satu negara bagian Myanmar, tapi mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Sejak Myanmar merdeka pada 1948 hingga sekarang ini, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Tidak lama setelah merdeka, Myanmar mengeluarkan The Union Citizenship Act yang di dalamnya menjelaskan tentang etnis-etnis yang diakui sebagai warga-negara. Sejak saat itu, etnis Rohingnya sudah tidak diakui sebagai warga-negara.

Meskipun demikian, keluarga-keluarga etnis Rohingya yang sudah dua generasi tinggal di Myanmar mendapatkan kartu identitas. Di antara mereka pada masa itu ada yang menjadi anggota parlemen.

Namun, situasinya berubah setelah kudeta militer 1962. Seluruh warga negara harus mendapatkan kartu tanda penduduk. Sementara, etnis Rohingya hanya mendapatkan kartu sebagai warga negara asing yang kegunaannya sangat terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.

Pada 1982, Myanmar mengeluarkan Undang-undang Kewarganegaraan yang secara eksplisit tidak mengakui etnis Rohingya di antara 135 etnis yang diakui oleh negara. Akibat dari Undang-undang tersebut, etnis Rohingya mendapatkan kesulitan untuk melakukan aktivitas, karena mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Tidak terelakkan konflik terjadi sejak lama. Konon, konflik sudah muncul sejak dekade 70-an, tidak lama setelah junta militer berkuasa. Utamanya, konflik terjadi antara milisi Rohingya, yang dikenal dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan militer Myanmar. Milisi Rohingya kerap melakukan aksi penyerangan terhadap polisi dan militer Myanmar.

Pada 2012, sejumlah warga etnis Rohingya melakukan pemerkosaan yang menimbulkan kemarahan besar dari warga Rakhine. Situasinya terus memburuk, hingga pada 2013 Human Right Watch menyimpulkan bahwa ada indikasi pembasmian etnis Rohingya di Rakhine.

Pada 2016 lalu, ARSA melakukan penyerangan yang menewaskan 9 polisi perbatasan Myanmar. Hal tersebut menyebabkan munculnya balasan dari militer Myanmar terhadap milisi Rohingya. Celakanya, aksi balasan militer tidak hanya menyasar milisi Rohingya, melainkan anak-anak dan perempuan yang tidak terlibat langsung dengan ARSA.

Aksi penyerangan ARSA terhadap pos polisi di akhir Agustus lalu menimbulkan ketegangan antara militer dengan etnis Rohingya. Setidaknya ada 10 wilayah yang rumah-rumah milik etnis Rohignya dibakar. Inilah yang menyebabkan puluhan bahkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh yang berbatasan langsung dengan Rakhine, dan ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

Apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tragedi yang menimpa etnis Rohingya?

Kita harus mengambil pelajaran berharga dari tragedi etnis Rohingya. Akar masalahnya adalah diskriminasi. Diskriminasi hanya melahirkan diskriminasi. Itu yang terjadi di Rakhine. Spiral diskriminasi. Yang mampu menyetop diskriminasi hanya rekonsiliasi dan rekognisi. Jika tidak, Rohingya akan mengalami diskriminasi hingga kiamat.

Di negeri ini, masih banyak kelompok mengalami diskriminasi. Kelompok ekstrem kerap menggunakan kebijakan yang diskriminatif untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Padahal konstitusi kita memberikan mandat agar melindungi seluruh warga. Konstitusi kita menjamin hak asasi setiap warga negara, khususnya kemerdekaan beribadah dan berkeyakinan.

Nun jauh di sana, kita juga mendapatkan masalah-masalah yang terkait dengan sulitnya pembangunan masjid, vihara, dan pura, khususnya di daerah-daerah bagi kelompok minoritas umat beragama. Intinya, kelompok mayoritas seolah-olah mempunyai lisensi untuk menindas kelompok minoritas atas nama agama dan kepentingan politik.

Sekali lagi, kita lebih beruntung dari Myanmar, karena konstitusi kita menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan kedamaian bagi setiap warganegara di bumi pertiwi ini. Tapi, harus diakui kita masih kerap melakukan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas.

Sekali lagi, saya salut melihat sejumlah politisi yang marah dan mengecam terhadap pemerintah Myanmar atas persekusi dan diskriminasi terhadap etnis Rohignya. Tapi, jangan lupa terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kelompok minoritas di dalam negeri  kelompok minoritas lainnya.

Monday 13 March 2017

PILIHAN


Ketika Jono memutuskan memilih Jana sebagai kekasih, seluruh keluarga tersentak. Bagaimana mungkin seorang laki-laki aktif organisasi, sosial tinggi, pendididkan tinggi, dengan prestasi gemilang, memilih Jana,--seorang perempuan biasa dan bahkan tertekan keluarga--dan mengabaikan Rani, dokter lulusan kampus ternama yang telah menyatakan kecocokan dengan Jono. Hanya karena kasihan, jiwa sosial yang tinggi dan ingin menolong dengan harapan bisa merubah dan mengangkat derajat dan nantinya dapat memupuk kepercayaan dengan pengalaman yang sudah diterima dalam kegiatan organisasinya.
Tidak ada yang mendukung keputusan Jono--bagi orang tua dan saudara-sadaranya, ini mustahil. Semua berkata, hubungan ini tak sepadan. Si perempuan biasa sangat beruntung mendapatkan Jono.
Namun waktu kemudian menjawabnya.
Sebuah peristiwa membuat Jana tidak dapat melakukan apa-apa yaitu sakit, nyaris tidak bisa apa-apa. Namun Jono tekun dan ikhlas yang merawat Jana dari bangun tidur hingga kembali tidur. Mengurus semua kebutuhannya tanpa keluh kesah, tak kenal lelah.
Mereka yang dulu mencela Jono, kini semakin mencela dengan keputusan tersebut,.Sungguh beruntung Jana menjalin bersama Jono yang memiliki jiwa sosial yang luar biasa, namun Jana setelah sehat dan di beri kepercayaan serta diajarkan cara kegiatan dengan dunia luar, dalam waktu yang tidak lama dengan hasil yang sangat fantastis berhasil besar, Jana bisa sekolah tinggi dengan kepercayaan tinggi masih disemangatin Jono, dan seloanjutnya bekerja di bidang sesuai jurusannya dan punya jabatan lumayan. karena pergaulanya luas dengan kenal berbagai kalangan, Jono telah dilupakan .Jana telah bersanding dengan orang lain yang lebih mapan dari Jono. kata orang "kacang lupa dengan kulitnya". tragis emang endingnya.
Bagian cerita di atas merupakan penggalan cerita dari pengggalan cerita Laki-laki luar biasa bisa merubah perempuan biasa menjadi luar biasa tapi balasanya tidak setimpal. Sebuah kisah yang terinspirasi kejadian nyata, yang membawa saya pada perenungan betapa hidup adalah pilihan.
Beragam pilihan harus dibuat dalam hidup, kadang ditentang lingkungan sekitar, akan tetapi kemudian waktu membuktikan. Tepatkah, kelirukah pilihan yang diambil? Dan hidup memang selalu tentang pilihan. Setiap kita dituntut untuk mampu menetapkan pilihan yang tepat. Bahkan freedom of will, kebebasan memilih yang membuat manusia karenanya lebih mulia, atau sebaliknya lebih hina dari ciptaan Allah lainnya.
Saat kecil manusia memang tidak mempunyai kekuasaan penuh untuk memilih, masih dikendalikan orang dewasa di sekitar. Sebagian besar dari kita, dulu tidak diberi pilihan, harus sekolah. Tapi dalam keadaan demikian pun punya pilihan, apakah mau belajar sungguh-sungguh atau malas-malasan. Berteman atau lebih suka menyendiri, ingin mendengarkan nasihat guru atau mengabaikan.
Semakin bertambah usia, kita kian punya kebebasan memilih. Saat kuliah, kita bebas mau kuliah di jurusan apa pun yang kita suka. Lalu setelah menjadi sarjana, juga bebas memilih ingin bekerja di mana. Tidak mesti sesuai latar belakang pendidikan.
Bagaimana dalam beragama? Kebanyakan kita hanya mengikuti apa yang diajarkan orang tua. Akan tetapi setelah beranjak dewasa kita pun mulai memilih. Apakah ingin menjadi orang yang mengimani kepercayaannya atau sekadar menyandangnya sebagai status. Apakah ingin menjalankan ajaran agama, atau sebatas simbolis saja.
Dalam kehidupan cinta kita juga memiliki kebebasan memilih. Bebas memilih untuk mencintai atau menolak cinta seseorang. Kita berhak memilih pasangan yang ingin dinikahi.
Demikian juga dengan dunia politik, sebagai warga negara kita bebas akan mendukung partai politik mana. Kita bebas menentukan calon pemimpin. Apakah kepercayaan kita letakkan pada sosok yang memberikan kinerja terbaik untuk masyarakat atau hanya sibuk dengan kekuasaan. Apakah pemimpin yang bekerja atau sekadar mengumbar janji saat kampanye. Memilih yang memberi ketenangan atau justru yang menciptakan kecemasan. Bahkan kebebasan berpolitik, termasuk di dalamnya kebebasan tidak memilih, kebebasan berpendapat di muka umum.
Akan tetapi penting diingat bahwa setiap pilihan tentu memiliki konsekuensi.
Jika salah memilih menu di restoran, mungkin kita hanya kehilangan selera tapi tetap mendapatkan energi. Kalau salah memilih pasangan, maka bisa jadi akan mengalami lika-liku pedih dalam kehidupan rumah tangga. Bila salah memilih pemimpin mungkin akan banyak yang menanggung kerusakan yang diakibatkannya.
Juga perlu diingat bahwa pilihan kita dibatasi oleh pilihan orang lain. Jika kita berseberangan dengan pilihan orang lain, maka sangat memungkinkan akan terjadi gesekan. Karena itu pula dalam kehidupan masyarakat kita mengenal toleransi, aturan, serta hukum. Hukum adalah aturan yang mengatur batas-batas pilihan seseorang. Menghormati hukum berarti menghormati pilihan sendiri dan pilihan orang lain.
Kita tidak pernah bisa menjamin bahwa pilihan yang diambil selalu benar. Kadang, pilihan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengetahui tepat atau melesetnya.
Beberapa pilihan lebih mudah dan bisa diprediksi kemungkinannya, akan tetapi banyak pilihan memberikan hasil yang berbeda dari perkiraan.
Pada akhirnya, hidup bukan hanya soal memilih keputusan yang tepat bagi kebahagiaan di dunia, melainkan juga mempertimbangkan apakah pilihan tersebut sekaligus akan menyelamatkan kita di akhir

ACEH


Pray for Aceh, masih lah belum lupa bagaimana dahsyatnya gempa megathrust berkekuatan 9,1 skala richter (SR) pada 26 Desember 2004. Trauma warga pun masih belum lenyap, meski bencana yang disertai tsunami itu sudah berlangsung 12 tahun silam.
Dan, Rabu (7/12) subuh kemarin, gempa dahsyat menyambangi lagi Tanah Rencong. Kali ini, tremor tektonik melanda Pidie Jaya yang berjarak sekira 150 kilometer dari Aceh Besar. Kekuatannya memang tidaklah sedahsyat 12 tahun silam. Tapi karena pusatnya di daratan dan kedalamannya hanya 10 kilometer, bencana kali ini juga tidak bisa dibilang remeh temeh.
Hingga tadi malam, sudah dipastikan ada 90-an orang korban tewas, dan ratusan orang dirawat karena luka serius hingga sedang. Sedangkan yang lainnya (bisa sampai ratusan orang), masih dalam upaya pencarian.
Meski, bencana ini terjadi saat subuh, di saat sebagian besar warga masih berada di dalam bangunan (rumah, tempat ibadah atau gedung lain), tapi jumlah korban yang dalam angka ratusan, bisa disebut cukup kecil. Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah korban saat gempa 12 tahun silam.
Bisa jadi, relatif sedikitnya korban karena kesadaran warga terhadap bencana sudah semakin baik. Pengetahuan mereka terhadap mitigasi bencana juga bertambah baik. (Sekali lagi) Apalagi bila dibandingkan saat 12 tahun silam.
Sebagian di antara warga Pidie , sudah tahu apa yang harus dilakukan saat mereka merasakan gempa. Pemahaman ini sangatlah membantu pengurangan risiko bencana, karena bisa mengurangi jumlah orang yang tertimpa bangunan ambruk akibat gempa.
Meski begitu, bukan berarti upaya untuk memberikan penyadaran akan arti penting mitigasi bencana kepada warga sudah selesai. Semua pihak (tidak hanya BNPB) haruslah terus-menerus memberikan pemahaman kepada warga tentang pentingnya mitigasi bencana.
Tidak hanya pada warga yang mendiami kawasan rentan gempa. Kawasan yang jauh dari patahan lempeng bumi pun patut melakukan upaya pemahaman mitigasi bencana pada warganya.
Banjarnegara Jawa Tengah misalnya, seharusnyalah peristiwa gempa di Pidie ini menjadi momentum melanjutkan upaya penyadaran dan praktik mitigasi bencana yang baik. Meskipun, Banjarnegara ini tidaklah punya gunung berapi dan jauh dari patahan, tetapi memiliki pegunungan yang sering longsor ancaman bencana. Setidaknya, kabupaten ini punya potensi tanah longsor yang sudah pernah mengguncang dunia yaitu tanah longsor yang menguruk desa karangkobar, batur, dieng, wanayasa, banjarmangu, madukara, pagedongan dan desa-desa yang rentan tanah longsor terutama daerah yang deket dengan lereng pegunungan di musim hujan ini.
Pemerintah di kabupaten ini, mulai tingkat desa (bahkan RT dan RW) harus mulai mengupayakan secara terus-menerus kebijakan soal mitigasi bencana. Yakni, serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan warga menghadapi ancaman bencana.
Selain menjadikan musibah di Pidie sebagai momentum mengetuk kesadaran kita soal bencana, tentu kita harus ikut membantu dan berdoa agar saudara-saudara kita di Aceh tidak semakin trauma pada gempa.

PARANOID


Jaman terlengser di orde baru menuju era Reformasi. Mahasiswa dan elemen masyarakat melakukan demo besar-besaran, mungkin terispirasi tersebut aparat keamanan di Tanah Air bertidak cepat. Sejumlah tokoh aktivis di Jakarta langsung diciduk di berbagai tempat berbeda. Ada yang ditangkap di sebuah hotel, yang letaknya tidak jauh dari aksi demo damai 212 di Monas, ada pula yang diciduk dari rumahnya pada Jumat (2/12) dinihari itu.
Mereka pun diboyong ke Mako Brimob Depok, Jabar. Mereka adalah aktivis sosial dan seniman, Ratna Sarumpaet, musisi Ahmad Dhani, pensiunan tentara Mayjen TNI Kivlan Zen dan Brigjen TNI Adityawarman Thaha, politisi Rachmawati Soekarnoputri, aktivis demokrasi Sri Bintang Pamungkas, Firza Husein dan Eko Suryo.
Pasal makar, menjadi salah satu dasar aparat kepolisian menciduk para tokoh tersebut. Meski status tersangka (makar) resmi dilekatkan terhadap mereka, tapi polisi melepas sebagian besar dari para tokoh tersebut. Kita bisa memahami langkah sigap aparat kepolisian ‘membungkam’ para tokoh tersebut. Bukan apa-apa, polisi mengindikasikan para tokoh itu bakal memanfaatkan momentum demo 212 untuk melakukan tindakan inkonstitusional menggulingkan pemerintahan yang sah saat ini.
Artinya memang, polisi tidak sembarangan melakukan langkah pengamanan terhadap tokoh-tokoh tersebut. Hanya memang kemudian menjadi pertanyaan kita yang awam; benarkah mereka itu akan melakukan makar, kudeta atau apakah sebutannya itu? Dan, mengapa begitu reaktifnya aparat kepolisian dalam melakukan tindakan. Tidak sedikit yang kemudian menyebut pemerintah terkesan begitu paranoid.
Bagaimanapun mereka amat menyadari tidaklah mudah untuk menggulingkan begitu saja pemerintah. Ada tahapan ataupun proses yang prosedural sesuai konstitusi. Pendek kata, jalannya terlalu panjang untuk bisa mencapai ke arah itu. Kalau kemudian dikatakan para tokoh itu berusaha melakukan jalan pintas melakukan gerakan, tentu bisa dikatakan inskonstitusional.
Kita jangan pernah berpikir seperti runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru. Kita saat ini hidup dalam iklim baru; Demokrasi –yang semuanya bisa dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Jujur harus kita katakan, rasanya tidak ada yang salah dari pemerintahan saat ini. Kalaupun ada persoalan, yakni penegakan hukum, tentu tidak bisa serta merta menjadi alasan pembenar pihak-pihak di luar untuk kemudian bertindak inskonstitusional.
Menyatakan pendapat atau berdemonstrasi adalah dari dengus nafas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang. Jujur saja, selama ini sulit sekali kita mencatat apa benar ada peran partai politik dalam mendorong perubahan, dibanding peran mahasiswa. Dari setiap peristiwa besar politik di negeri ini, kita tidak pernah melihat partai politik mengeluarkan keringat untuk mendorong setiap perubahan besar di negeri ini

GELOMBANG INDONESIA


Rentetan kejadian cukup membuat kita terhenyak. Kejadian-kejadian ini juga sangat menyita perhatian. Bahkan banyak kalangan sempat mengkhawatirkan terjadinya perpecahan.
Berbagai peristiwa besar ini menjadi catatan penting bagi sejarah Indonesia saat menjelang berakhirnya 2016. Apalagi semua berlangsung dalam waktu yang jaraknya cukup pendek.
Antara lain munculnya penggalangan aksi massa sebagai reaksi dari pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok , penangkapan sejumlah tokoh karena tuduhan makar, dan beberapa kejadian lainnya. Banyak opini yang kemudian secara liar berkembang di publik. Semua bebas mengeluarkan pendapat, bahkan tak jarang ada yang menghujat.
Adanya aksi yang mengusung tema persatuan dalam kebhinnekaan pun muncul. Destintegrasi seakan sudah menjadi ancaman bagi negara.
Namun kekhawatiran itu tidak terbukti, bahkan aksi super damai 212 yang berlangsung tertib dan lancar, telah memberikan jawaban yang tegas bahwa NKRI tetap menjadi harga mati. Ini bukan aksi yang menghina suku, agama, ras, maupun etnis, melainkan sebuah desakan keadilan atas tindakan bagi orang yang menistakannya.
Rabu (7/12/2016), bangsa Indonesia kembali dibuat tersentak. Kabar duka dari bumi Serambi Makkah, Aceh gempa bumi berkekuatan 6,5 skala richter (SR) mengguncang sejumlah daerahnya termasuk Pidie Jaya.
Ratusan jiwa tewas. Tak sedikit pula yang mengalami luka-luka dalam peristiwa yang hanya terjadi dalam waktu beberapa detik sekira pukul 05.03 WIB.
Kejadian ini kembali mengingatkan kita pada tragedi tsunami yang pernah terjadi di provinsi paling barat Indonesia tersebut pada 12 tahun silam. Ini bukan hanya duka bagi rakyat Aceh, tapi duka nasional. Bahkan ketika itu, sejumlah negara di dunia ikut berpartisipasi melakukan upaya kemanusiaan untuk menolong para korban.
Kini manakala bencana alam kembali memorakporandakan sejumlah daerah di Aceh, rasa solidaritas, persatuan, dan persaudaraan sesama anak bangsa kembali muncul. Berbagai organisasi, kelompok, maupun lembaga, secara spontan tergerak melakukan aksi sosial.
Fenomena penggalangan dana untuk membantu para korban pun berkumandang di berbagai daerah. Semua bersatu tanpa menyoal keberagaman suku, agama, ras, maupun etnis. Rasa kemanusiaan dan semangat gotong royong pun membahana.
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai salah satu hikmah dari sebuah musibah. Rakyat Indonesia yang tersentak atas kejadian ini, telah dibangkitkan gelora solidaritasnya.
Tentu, kita tidak ingin peristiwa serupa terulang. Namun mengambil pelajaran berharga dari musibah merupakan wujud dari keberadaban manusia sebagai makhluk yang berakal.
Tak kalah penting, semua ini tidak lepas dari kesadaran bersama bahwa NKRI dengan kebhinnekaan telah mempersatukan bangsa Indonesia. Yang pasti dengan pesatuan dan kesatuan, kita menjadi kuat. Semoga

PERANG


Ketika saya sekolah dulu, salah satu tema pengajian rohis atau rohani Islam yang paling menarik teman-teman sekolah adalah perang budaya. Dalam materi tersebut dibahas bahwa cara paling efektif untuk menjauhi umat Islam dari ajarannya, bukanlah perang militer atau kekerasan tapi melalui pendekatan budaya.
Jika umat Islam dilarang sholat, tentu akan bangkit melawan. Jika umat Islam dilarang membaca Alquran, mereka akan berontak. Apalagi jika Alquran dihina, jangankan umat yang hatinya terikat pada Kitabullah, yang jarang menyentuh pun akan marah.
Lalu bagaimana menjauhkan kaum muslimin tanpa kekerasan? Bagaimana caranya agar umat jauh dari Alquran, lalai dari sholat, puasa dan perintah Allah lalu mendekat pada dosa, tanpa memaksa. Infiltrasi budaya jawabannya.
Saya ingat bagaimana film Barat yang sangat digandrungi anak muda dulu diputar pada malam Jumat atau waktu Magrib. Pengajian remaja malam jumatan pun mendadak sepi karena anak-anak muda terpaku pada layar kaca. Belum lagi acara menarik yang tayang di waktu magrib, membuat anak-anak bahkan orang tua sanggup melalaikan sholat.
Melalui musik, perang budaya juga menggerogoti keimanan. Tidak terbayang dahulu di keluarga Muslim, anak-anak berkata kotor di dalam rumah, mengumandangkan ketidaksenonohan. Akan tetapi melalui lirik lagu, ajakan berhubungan suami istri selama pacaran, bisa dikumandangkan seorang anak depan ayahnya. Terasa biasa-luput dari perhatian- karena diucapkan dalam bahasa Inggris dengan lantunan nada.
Degradasi iman melalui budaya dijalankan perlahan, tapi berhasil memudarkan jejak keislamam dan keimanan secara berkesinambungan.
Lantas apa yang harus dilakukan para pekerja dakwah? Alih-alih menghadapinya secara bijak, tidak jarang di antara mereka memilih untuk melawan perang budaya melalui tekanan dan paksaan yang akhirnya justru menjauhkan anak muda dari kegiatan keislaman. Sebagian anak-anak muda mulai merasa Islam membatasi kreativitas dan tidak fun.
Perang budaya seharusnya dihadapi dengan kekuatan budaya. Anak-anak muda harus didekatkan kepada Islam dengan cara yang menarik, sebagaimana pihak-pihak yang berupaya menjauhkan generasi muda dari Islam juga menempuh cara-cara yang memikat.
Musik yang mengajak pada hal-hal buruk harus diimbangi dengan lantunan yang menyeru pada keimanan. Bukan sekadar menjadi media dakwah, lagu islami juga menjadi hiburan bagi generasi muda Islam yang tetap butuh hiburan alternatif yang islami tentu. Bukan hanya lagu, barisan yang berjuang dengan pena berangsur belajar masuk dakwah budaya melalui buku.
Dengan cerita dan kisah penulis bisa menyampaikan pesan kebaikan dengan halus dan tidak menggurui, hingga pembaca sanggup mendapat sesuatu tanpa dipaksa.
Segenap proyek syiar kebaikan, seperti juga lewat tulisan bukan tanpa kendala. Minat baca yang masih rendah membuat penyebaran nilai-nilai kebaikan lewat buku masih terbatas pada kalangan tertentu yang gemar membaca. Padahal dakwah budaya mempunyai pengaruh lebih luas. termasuk paling besar cakupan pengaruhnya yaitu melalui film dan acara televisi.
Ini dakwah yang sangat menantang- bukan hanya karena modalnya besar akan tetapi butuh kreativitas dan energi yang sangat menguras. Tapi di satu sisi jika berhasil akan sangat besar pengaruhnya. Pertama karena jangkauan film jauh lebih massive dari buku dan musik. Jika buku hanya mencapai angka ratusan ribu pengaruh sebuah film sanggup menjangkau jutaan bahkan puluhan juta viewers ketika menyentuh layar televisi.
Dunia Barat sendiri sudah membuktikan. Melalui film dan serial serta acara televisi, mereka bisa mengkampanyekan cinta sesama jenis, minuman keras, dan free sex. Sesuatu yang membumi karena dengan setia dipropagandakan melalui media visual bertahun tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun.
Banyak pihak menyadari, nilai-nilai kebaikan Islam harus diperjuangkan dengan pendekatan serupa. Tantangannya menebar kebaikan lewat film bukan sekedar membuat film bagus dengan pesan yang dikemas indah, akan tetapi sekaligus bagaimana memastikan film tersebut mampu diminati masyarakat.
Saat ini sebuah film islami bertajuk Cinta Laki-laki Biasa sedang tayang di bioskop. Alhamdulillah, banyak Muslimah mulai mengerti konsep taaruf dalam Islam, menikah tanpa berpacaran. Memulai proses dengan taaruf - dekat untuk tujuan nikah bukan sekadar bersenang-senang. Bahkan artis yang berperan dalam film tersebut bilang, "Saya sekarang maunya taaruf. Pacaran bikin capek."
Konsep menjadi anak yang baik, suami yang baik, Islam yang anti kekerasan, antiterorisme, nilai kebangsaan, memilih suami berdasarkan akhlak, menyandarkan kebahagiaan dan cinta sejati pada namaNya dan bukan materi, insya allah semua dikemas tanpa menggurui dan tetap menghibur.
Butuh dukungan dan solidaritas semua yang peduli dan memahami urgensi dakwah melalui pendekatan budaya, agar roda dakwah melalui film bergulir. Tantangan menjadi lebih berat sebab di saat yang sama sebagian kalangan Muslim memilih menentang film yang membawa keburukan tanpa mendukung usaha dakwah yang berusaha mengimbanginya

CANGKEMMU


Mulutmu adalah harimau. lidah tak bertulang, Ucapanmu adalah cerminanmu, itulah ucapan yang sangat berpengaruh dengan orang tersebut, Itulah ungkapan yang sering kita dengarkan.dan sangat berbahaya kalau tidak hati-hati. Seperti yang diucapkan Ahok. Akibat ucapannya yang ditafsirkan menistakan agama, Ahok sebenarnya tidak perlu khawatir. Umat Islam tidak akan memukulinya. Mereka hanya berbicara dan bersikap atas ulahnya. Tapi kita seharusnya berterima kasih kepada Ahok , karena Ahok umat Islam semakin merapatkan barisan, bersatu, seia sekata dan setujuan untuk memperjuang keyakinannya agar tidak dibuat main-main. Ulama yang juga pemimpin majelis zikir ini mengharapkan agar Ahok lebih banyak mempelajari Islam agar tahu apa itu Islam.
Islam itu indah. Ajarannya baik dan benar. Itu pegangan umat Islam. Secara islami, mungkin umat Islam telah memaafkan Ahok. Tetapi secara yuridis, Indonesia adalah negara hukum. Ahok masih berurusan dengan masalah hukum. Jadi, Ahok tidak bisa terhindar dari jerat hukum.
Ahok dijerat Pasal 156 huruf a KUHP dalam kasus penistaan agama dan Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, hingga sekarang Ahok masih bebas berkeliaran meski sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Pada 11 Oktober 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa tentang penistaan agama oleh Ahok . Berlanjut ribuan umat Islam menggelar sekian kali unjuk rasa atas penistaan agama oleh Ahok , yakni demonstrasi pada 14 Oktober 2016, 4 November dan 2 Desember 2016.
Kasus Ahok ini memang pelik. Kita berharap kasus Ahok ini tidak beraroma politik, karena keutuhan bangsa lebih penting daripada kepentingan kelompok. Tetapi, logika publik sulit untuk dibantah, bahwa Ahok, PDIP dan kekuasaan berada dalam satu perahu partai. Tiga serangkai. Bangsa kita yang besar ini ternyata memerlukan kekuatan unjuk rasa yang besar pula untuk menggolkan perjuangan. Cukup panjang perjuangan yang harus dilakukan oleh umat Islam demi citra dan keadilan.
Ahok kenapa jadi begini? Apakah filosofi Bhinneka Tunggal Ika belum cukup untuk membuhul warna-warni kehidupan bangsa ini? Kalau syair lagu berjudul Renungkanlah mengajak merenungi filosafi cinta, maka mari kita renungkan pula filosofi bangsa kita itu. Akhirnya, hidup damai itu menyenangkan. Dalam damai, kita dapat belajar dari masa lalu dan menata masa depan yang lebih baik.

KRITIK MENGGELITIK


"Hormat saya untuk Bapak yang pakai peci putih" atau "Kami bangga dan kagum dengan Bapak yang berbaju hijau". Mengkritik sambil berbisik, meninju sambil memangku. Kritik model begini tren baru sebagai 'jalan tengah' yang lebih damai dan sejuk.
Sosial media memang memiliki jalan nasib dan takdirnya sendiri. Masih ingat model pemberitaan media online yang memukau dan memaku?
Contoh memukau:
"Ditanya Soal Ahok, Jawaban Ayu Tongtong Mengagetkan".
Contoh memaku:
"Lima Syarat Pendamping Ahok, Syarat Nomer Empat Mengejutkan".
Jurnalisme model 'klickbait' ini pernah jadi tren berita media online. Demikian pula dengan model kritik pada kekuasaan di era media sosial mengalami berbagai perubahan. Berbeda zaman dan penguasa, berbeda pula pendukung dan pengkritiknya, maka berbeda pula polanya.
Pada era Soeharto hingga SBY, kritik sering dilupakan lewat aksi demonstrasi, diskusi atau menulis artikel opini. Tahun 2009-2012 pada era kedua pemerintahan SBY mulai marak kritik melalui media sosial. Tapi tetap menggunakan aksi demonstrasi.
Saat itu, saking meluapnya bahkan seekor kerbau tidak bersalah juga diajak demo di depan istana. Di Sosial Media jauh lebih parah, caci maki merajalela. Selain SBY ada Foke (Gubernur DKI saat itu) yang menjadi bulan-bulanan bully netizen di media sosial. Apakah ini real, nyata? Sabar...
Inilah masa awal kekerasan virtual dan era caci maki di sosial media, kekerasan virtual tersebut muncul dari kelompok tertentu yang memang memiliki karakter progresif. Mungkin terlalu lama merasakan marginalisasi politik pada era Orde Baru, kelompok ini terlatih dalam berjejaringan dan militan.
Dalam banyak kasus, hanya dengan menggunakan media sosial mereka dapat mengorganisir diri dan berkumpul dengan cepat. Ingat kasus Cecak vs Buaya? Kecepatan itu saat ini melambat setelah mendapat apa yang selama ini ingin didapat. Untuk mempertahankan apa yang telah didapat, berbagai aspirasi mulai disumbat dan dihambat. Inilah hukum umum kekuasaan.
Dalam konteks ini, peci putih menjadi simbol tersembunyi yang dihadapkan pada dominasi peci hitam. Peci putih menjadi anti tesis setelah sejumlah Taipan mengenakan peci hitam. Bagi penikmat semiotika, simbol-simbol ini sedang bekerja menggiring pada suatu polarisasi politik.
Kendati saya juga penikmat semiotika visual, namun pada konteks ini poin dan minat saya pada model dan strategi yang digunakan untuk mengritik. Jika kalimat ""Hormat saya untuk Bapak yang pakai peci putih" merupakan kritik, butuh kecerdasan membacanya sebagai pesan politik. Ada pihak yang menurut saya menularkan kritik satir yang mencerdaskan jika dibanding kritik kasar penuh caci maki pada kekuasaan di era awal perang siber tahun 2010-an.
Secara akademik, hal ini sebenarnya sangat menarik untuk diteliti. Keyakinan terhadap nilai dan ajaran politik atau tekanan (marginalisasi) politik pada masa lalu rupanya menentukan juga corak prilaku netizen dalam aktivitasnya di sosial media pada masa kini.
Jika ada yang tertarik meneliti hal ini, saya siap menghibahkan diri menjadi salah satu tim peneliti. Tapi apa iya pihak asing bersedia memberi donasi? Diragukan, karena mereka tidak ingin modus perang siber ini terungkap pada publik

GARUDAKU


Sepatutnya kita harus ucapkan terima kasih kepada para pemain tim nasional Indonesia. Ucapan itu pantas disematkan setelah skuat Garuda memastikan langkahnya menuju final kelimanya di turnamen Piala AFF. Tadi malam Boaz dan kawan-kawan tampil begitu heroik. Rasanya tak berlebihan untuk menyematkan tontonan kepertama tim ini sebagai hal yang menarik. Sebuah semangat juang yang tak kenal lelah telah dipertontonkan oleh kedua tim. Di stadion pakansari cibinong
Meski di luar lapangan kecewa suporter tidak bisa menonton secara langsung walau tiket sudah ditambah tetapi tribun sudah penuh dengan daya tampung 30.000 penonton , namun secara keseluruhan pertemuan kedua tim ini telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Sebuah pelajaran tentang arti kesabaran dan semangat yang tak pernah padam dalam meraih tujuan akhir.
Panggung kesabaran itu telah diperlihatkan para pemain Indonesia. awal sudah gol di menit ke 33 oleh Teerasil Thailand, Indonesia harus ekstra sabar menghadapi agresifitas pemain Thailand . Seakan tak kenal lelah, Thailand terus menerus membombardir pertahanan Indonesia. Saya percaya, jika Anda berkesempatan menonton siaran langsung pertandingan tersebut, pastilah degup jantung Anda bakal berpacu kencang.
Namun kesabaranlah yang akhirnya menjadi kunci. Buah kesabaran itu tersaji selepas turun minum. Buah itu disajikan oleh Ricky rizal dipora gol pertama buat indonesia menit ke 65 yang sukses menggetarkan gawang tim tuan rumah. Publik Thailand seakan tak percaya kalau Indonesia mampu melepaskan diri dari tekanan dan membobol gawang lawannya dan di menit ke 69 Hansomu yowa menambah gol sebagai penentu kemenangan untuk Indonesia. Sekali lagi, babak selanjutnya tanding tandang di Thailand sebagai penentu juara AFF. itulah kesabaran dari sebuah permainan bertahan.
Salahkah untuk menerapkan gaya permainan semacam itu? Bagi Anda yang menggemari permainan sepak bola indah ala Inggris atau Spanyol, mungkin sah-sah saja untuk menyebut permainan Indonesia pada leg kepertama final itu tak menarik. Namun bukankah gaya permainan semacam itu juga kerap dipertontonkan oleh tim-tim dunia.
Sebutlah Timnas Italia yang begitu kesohor dengan catenaccio. Lalu ada juga nama pelatih top dunia, Jose Mourinho. Bahkan, gaya permainan bertahan Mourinho itu kerap dicemooh dengan perumpamaan parkir bus di depan gawang. Salahkah menerapkan strategi semacam itu?
Tentunya, terlalu naif untuk mencemooh strategi yang diadopsi seorang pelatih. Toh, dalam pragmatisme sepak bola modern masa kini, hasil akhir adalah hal paling utama. Itulah yang telah dilakukan oleh Alfred Riedl saat menyingkirkan Thailand. Sekali lagi, apapun strategi permainan yang dipilih, hal terpenting adalah bagaimana membangun kesabaran dan merebut kemenangan.
Selain kesabaran dalam bertahan, laga final tadi malam juga memperlihatkan tentang semangat juang yang tak pernah lelah. Contoh ini rasanya sangat tepat diberikan kepada para pemain Thailand. tak ada istilah berpatah arang alias menyerah. Harga diri tampil di depan ribuan pendukung.Indonesia justru menjadi pembakar semangat pemain Thailand untuk terus memberikan perlawanan kepada Indonesia. Hasilnya, seperti yang kita saksikan. Laga yang berjalan selama 120 menit itu seakan mengaduk-aduk ketegangan para penontonnya, terutama para pendukung Indonesia.
Saat posisi Thailand sudah berada di atas angin dan optimisme meraih kemenangan sudah di depan mata, justru Indonesia mampu membobol gawang lawannya 2 berturut turut . Inilah ikhtiar tak kenal lelah yang sudah diteladankan para pemain.
//So//, untuk laga final leg kedua di Thailand sebagai penentu juara AFF. Indonesia tentunya harus tampil lebih baik lagi. Kesabaran, konsentrasi serta semangat tak pernah lelah harus terus ditanamkan. Jadi berikanlah kami hasil terbaik dengan gelar juara

ADA APA


Jaman saya dulu sekolah, kenakalan remaja hal biasa dan tidak sampai tragis, tapi jaman sekarang remaja membahayakan diri sendiri bahkan orang lain mungkin terispirasi tontonan di televisi baik berita atau sebuah film. Seperti peristiwa mengenaskan baru-baru ini menimpa Indonesia. Bukan hanya satu, melainkan tiga kasus tragis dalam waktu berdekatan. Tidak ada kaitan satu dan lainnya, namun terdapat persamaan. Semua pelaku tidak mempunyai motivasi yang jelas.
Di Nusa Tenggara Timur, seorang pria dengan tenang melangkah masuk langsung menuju kursi belakang sebuah ruang kelas sekolah dasar. Mendadak, tanpa alasan jelas, menyayat leher siswa yang duduk di bangku belakang.
Semua siswa menjerit dan berhamburan keluar akan tetapi tujuh pelajar sudah telanjur terluka. Tidak ada korban meninggal tapi gelombang kemarahan orang tua tak terbendung. Sang pelaku dilempari batu beramai-ramai hingga tewas.
Di Bandung pada hari yang sama seorang pria tiba-tiba mengamuk dan menikam para pejalan yang melintas di jembatan penyeberangan Tol Purbaleunyi. Delapan orang terluka dan satu korban tewas akibat tertusuk dibagian dada.
Di Yogyakarta, sekelompok remaja dengan penutup wajah, menyerang remaja lain yang baru pulang tamasya, saat berpapasan di tengah jalan. Satu tewas sementara enam lainnya terluka. Tidak ada alasan jelas kenapa pelaku yang kemudian diketahui pelajar sekolah swasta melakukan perbuatan keji tersebut.
Allah, kemana menguapnya rasa kemanusiaan?
Sebegitu mudahkan anak-anak pelajar melakukan kekerasan yang tak terbayangkan ini?
Di sekolah kekerasan tidak pernah diajarkan. Akan tetapi perpeloncoan masih membudaya, mungkin kah ini menjadi akar kekerasan?
Di rumah sebagian besar orang tua pun tidak mengajarkan kekerasan.
Namun tidak semua anak beruntung memiliki orang tua yang memberikan tuntunan dan bimbingan yang baik. Termasuk mengarahkan anak-anak mereka menonton film, tayangan atau hiburan yang mendidik dan menginspirasi.
Padahal manusia adalah mahluk visual. Karenanya pengaruh media visual sangat besar bagi jiwa anak. Ini salah satu titik penting yang menggerakkan kesadaran banyak insan kreatif untuk mempersembahkan film atau tayangan yang menginspirasi keluarga dan bisa dinikmati anak-anak, seperti film Cinta Laki Laki Biasa atau Bulan Terbelah di Langit Amerika, yang berjuang untuk generasi yang lebih terjaga. Semoga ke depan lebih banyak dukungan diberikan para orang tua.
Secara umum, masyarakat membenci kekerasan. Kenyataan bercokolnya para preman di berbagai ruang publik, atau perilaku dominan pejabat dan aparat yang menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak, justru berbalik menjadi bentuk kampanye kekerasan dan paksaan sebagai kekuatan yang harus ditakuti.
Akhirnya kita tidak hanya bisa menghakimi tapi juga harus melakukan muhasabah diri.
Seberapa jauh telah menyiapkan anak-anak, adik, murid dan semua yang peduli untuk menjadi manusia yang -- seiring berangsurnya usia -- makin menghargai dan bukan justru membuang rasa kemanusiaan