Merasa sendiri, sepi, sunyi, terasing, dan hampa tentu menyiksa. Tak ada teman, tak ada kepedulian. Dalam lagu-lagu cinta, sepi sendiri adalah tipikal derita orang patah hati. Manusia rupanya tak kuat hidup sendiri. Dia perlu teman untuk berbagi, bahkan lawan untuk berkelahi.
Namun, hidup manusia memang aneh. Orang yang kesepian, belum tentu sendirian. Pergilah ke mal. Di sana Anda akan bertemu ribuan orang. Sangat mungkin, tak seorang pun di antara mereka menyapa Anda. Cobalah naik bus umum di Jakarta. Ada banyak penumpang, bahkan berjejal, tapi tak seorang pun yang Anda kenal. Anda sepi di tengah keramaian. Para sosiolog menyebutnya ‘alienasi’.
Kesepian rupanya penyakit masyarakat urban modern yang hidup dalam ikatan-ikatan sosial yang longgar. Kota dihuni oleh rupa-rupa manusia dengan latar belakang etnis, agama, dan pekerjaan yang berbeda. Mereka datang ke kota terutama untuk mencari penghidupan. Semakin banyak orang, semakin tinggi persaingan. Persaingan melahirkan egoisme, dan egoisme melahirkan kesendirian.
Padahal, manusia modern jarang sendirian. Dia punya banyak teman di tempat kerja. Di jalan, dia berpapasan dengan banyak orang. Dia juga membentuk atau menjadi anggota organisasi, dari yang sifatnya sosial hingga partai politik. Dia berbicara tentang kepentingan bersama. Tetapi diam-diam, dia sebenarnya hanya berjuang untuk perutnya sendiri. Organisasi hanyalah alat bagi egoismenya.
Karena itulah, manusia modern haus akan obat hatinya yang sepi. Mulailah dia menciptakan teman dari benda-benda. Bermula dari koran yang menyajikan berita, lalu radio yang mengudarakan suara, televisi dengan gambar bergerak dan bersuara, hingga komputer dan internet. Benda-benda inilah yang menjadi temannya di kala sepi, yang menghadirkan orang tanpa tubuh yang dapat disentuh.
Setelah ponsel pintar diperkenalkan 2007 silam, rasa sepi itu seolah menemukan obat mujarabnya. Melalui benda ajaib itu, dunia dan seisinya seolah hanya berada dalam sentuhan jemari manusia. Di mana pun berada dan kapan pun suka, dia dapat menjalin komunikasi, menyambung silaturrahmi. Teman ada di mana-mana. Tak ada lagi alasan untuk kesepian. Dunia selalu siap berbagi untuk Anda!Menurut satu penelitian yang dikutip Jacob Weisberg (2016) dalam The New York Review of Books, orang Amerika rata-rata menghabiskan 5,5 jam sehari untuk media digital, dan lebih dari separuhnya dihabiskan untuk ponsel. Tiga perempat remaja usia 18-24 tahun mengaku langsung membuka ponselnya saat bangun tidur. Dalam sehari, orang rata-rata memeriksa ponselnya hingga 221 kali!
Tak dapat disangkal bahwa media sosial yang diakses melalui ponsel pintar telah banyak membantu manusia untuk berbagi berita, ilmu dan hiburan. Pertemanan lama yang mulai pudar bisa dibangun kembali. Jika media konvensional hanya menerbitkan tulisan, berita, foto dan video orang tertentu, media sosial tidak membatasi peluang itu. Siapa pun bisa unjuk diri, melalui tulisan, foto dan video.
Namun teknologi selalu berwajah ganda. Kita boleh senang dengan kebaikan-kebaikan yang diberikannya, tetapi kita juga harus waspada terhadap keburukan- keburukan yang diakibatkannya. Kita kiranya perlu menyimak hasil penelitian Sherry Turkle, sosiolog dan psikolog yang mengajar di MIT, Amerika Serikat, tentang dampak-dampak negatif ponsel terhadap kehidupan manusia.
Media sosial, kata Turkle, mengurangi kualitas hubungan antarmanusia. Komentar di media sosial, terutama dari akun tak jelas, cenderung kasar. Akibat ponsel, rasa empati juga menurun. Penurunan itu mencapai 40 persen di kalangan mahasiswa. Orang-orang berkumpul, tetapi tidak saling menyapa dan bercengkrama, bahkan di meja makan keluarga. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing!
Pokok judul buku Turkle memang mengena: Alone Together (sendiri bersama-sama). Suatu ironi yang nyata. Meminjam istilah Ishak Ngeljaratan: mereka bersama, tetapi tidak bersesama. Untuk dapat berempati, manusia perlu berinteraksi langsung dengan manusia konkret, bukan melalui benda. Untuk memahami orang lain, sesekali orang perlu menyendiri dan merenung, melepas ponselnya.
Alhasil, kita perlu pengendalian diri dalam menggunakan ponsel. Tetapi ini tidak mudah. Ragam aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan lain-lain, sengaja dibuat sedemikian rupa oleh pakar psikologi dan perilaku ekonomi, agar orang kecanduan. Ini soal duit. Makin banyak klik, makin banyak duit. Jika tak sadar, kita akan terperangkap. Kita akan sendiri bersama-sama!