Monday 14 September 2015

ALAM TELAH MENGGUGAT

SAYA kira semua orang pasti merindukan surga, meskipun ada film berjudul Surga yang Tak Dirindukan.
Lain halnya dengan hujan. Hujan bisa dirindukan, bisa juga tidak.

Kemarau panjang di sejumlah wilayah telah menimbulkan banyak masalah. Banyak sawah kekeringan sehingga gagal panen. Air bersih makin sulit didapatkan, dan listrik juga sering padam karena air waduk pembangkit listrik mulai kurang.

Musibah kebakaran pun datang silih berganti. Asap dari lahan yang ter(di)bakar membuat jadwal penerbangan kacau, dan orang terkena gangguan saluran pernapasan.

Kerugian material akibat kemarau ini luar biasa. Mungkin jika dihitung mencapai ratusan miliar rupiah. Nilai bangunan yang kebakaran saja sudah berapa.

Biaya pemadaman sejumlah titik api dari udara menggunakan helikopter seharinya mencapai lebih dari Rp 500 juta. Kerugian akibat kekacauan jadwal penerbangan juga mencapai ratusan juta rupiah sehari. Belum lagi kerugian akibat listrik padam dan air macet.

Kerugian mental pun tak kalah besar. Betapa sedih menyaksikan padi yang ditanam kering tak berbuah, atau melihat puing-puing rumah dan harta benda yang terbakar.

Betapa tinggi tekanan yang dirasakan ketika jadwal penerbangan terus-menerus ditunda. Betapa kesal hati ketika harus berhenti bekerja akibat listrik padam tiba-tiba. Betapa miris rasanya harus membeli air bersih ke tempat yang jauh.

Karena itu, wajar jika banyak pihak yang prihatin. melaksanakan Salat Istisqâ, salat memohon hujan. Mereka memohon ampunan Tuhan dan memanjatkan doa penuh harap agar hujan segera datang membasuh tanah yang kerontang.

Esok harinya, Jumat, 11 September 2015, hujan belum juga tercurah. Namun, dunia dikejutkan oleh hujan lebat disertai badai dahsyat di Kota Makkah, Arab Saudi yang berujung musibah.

Alat berat (crane) yang terpancang di sekitar Masjidilharam roboh, menimpa jemaah calon haji yang sedang bersiap melaksanakan Salat Magrib. Dilaporkan, 308 terluka, 107 wafat dan tujuh di antaranya dari Indonesia.

Hujan dan panas adalah peristiwa alam. Bagi para ilmuwan, peristiwa alam terjadi sesuai hukum alam, tak lebih dan tak kurang. Jika si ilmuwan adalah seorang ateis atau agnostik, dia tidak akan peduli dengan makna di balik semua peristiwa.

Dia akan mencemooh orang-orang yang berdoa meminta hujan, dan menertawakan mereka yang menganggap kematian di tempat suci sebagai kemuliaan.


Sebaliknya, bagi kaum beriman, semua gerak dan peristiwa di alam ini mengandung makna atau pesan. Dalam bahasa Arab, kata ‘âlam seakar dengan kata ‘ilm (ilmu) dan ‘alâmah (alamat).

Jadi, alam adalah alamat atau tanda dari kehadiran Tuhan. Karena itulah, semua objek pengetahuan, yaitu alam semesta, diri manusia dan kitab suci, disebut âyât, tanda-tanda. Tanda adalah simbol untuk menghadirkan makna.

Alam diciptakan Tuhan dalam keseimbangan. Siang dan malam, panas dan hujan, lelaki dan perempuan dan seterusnya, merupakan tanda keseimbangan. Jika keseimbangan terganggu, akan terjadi kekacauan.

Keseimbangan alam dapat terganggu karena proses alamiah, tetapi umumnya karena perbuatan manusia. Bagi kaum beriman, ada hubungan erat antara manusia, alam dan Tuhan.

Karena itu, ketika keseimbangan goyah, saat itulah kita harus berbenah. Apakah selama ini kita memperlakukan alam dengan penuh cinta, atau penuh loba?

Apakah pembabatan hutan, pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit telah merusak atau menjaga keseimbangan lingkungan? Apakah musim panas dan hujan yang tak teratur hanyalah ‘kebetulan’ atau suatu ‘teguran’ agar kita sadar?

Begitu pula dengan robohnya alat berat di Makkah itu. Apakah itu sekadar akibat hujan deras yang tak diperhitungkan atau suatu peringatan agar megaproyek perluasan masjid suci itu harus diistirahatkan selama musim haji ini?
Apakah megaproyek yang konon akan membuat Masjidilharam dikelilingi hotel mewah dan mal megah itu tidak bertentangan dengan kesucian Kabah?

Entahlah. Saya hanya bertanya sebagai ajakan untuk menggali makna di balik peristiwa. Selebihnya adalah hak tiap orang untuk memaknai semua peristiwa sesuai pikiran dan hati nurani masing-masing.