CINTA DIBALIK FOTOMU
DIKOTA-KOTA
besar dan kecil di Indonesia, kita banyak melihat foto, baik foto
seorang tokoh, yang ditokoh-tokohkan, maupun yang berambisi ingin jadi
tokoh. apalagi saat pemilu kepala daerah sudah dekat, atau menjelang
pemilu legislatif. Kota-kota seolah berubah menjadi album foto dengan
beragam warna dan tampilan, ditambah sederetan kata perkenalan dan
ajakan menggugah.
Entahlah sejak kapan manusia suka menggambar dirinya. Mungkin sejak manusia sejak manusia tinggal di goa-goa. Yang jelas seni lukis berkembang pesat ketika sapuan kuas diatas kanvas dapat menghadirkan kenyataan alam, termasuk manusia, semirip mungkin. Tetapi ketika teknologi fotografi sudah ditemukan, seni lukis mulai kalah. Lebih-lebih ketika fotografi itu melahirkan gambar berwarna, seindah warna aslinya.
sementara sebagai perlawarnaan, seni lukis bergerak kearah seni abstrak, teknologi fotografi juga terus melaju, mulai rekaman gambar bergerak dengan menggunakan film, hingga teknologi digital saat ini. sekarang, dengan teknologi digital, foto dan video dapat dibuat, direkayasa dan disimpan secepatnya dan sebanyak mungkin. sekarang, ponsel, tablet dan laptop umumnya sudah memiliki kamera.
Foto itu bisa untuk pribadi, bisa pula untuk publik. Foto-foto pribadi biasanya hanya disimpan sebagai kenang-kenangan bagi yang bersangkutan. Foto waktu kecil, foto bersama keluarga, rekreasi bersama teman-teman dan yang sejenisnya. sedangkan foto publik adalah foto yang ditampilkan untuk dilihat orang banyak, seperti foto para pejabat dan artis di baliho dan spanduk.
Karena sekarang foto begitu mudah dibuat dan disebarkan, maka perbedaan antara yang pribadi dan publik itu kadang kabur. Orang bisa saja menyebarkan foto pribadinya di jejaringan sosial sperti facebook sehingga menjadi publik. Bahkan mungkin pula, orang lain yang menyebarkannya. Tak jarang, foto yang bersifat pribadi itu, setelah menyebar ke publik, menimbulkan kontrversi.
Adapun foto di baliho, billboard dan spanduk, jelas bersifat publik. karena sengaja dipamerkan disekitar jalan raya yang ramai. Kini teknologi percetakaan digital dengan mudah dapat memenuhi keinginan orang untuk membuat foto besar di spanduk besar. Ongkosnya tergantung pada besaran foto, berapa lama akan dipajang, dan posisinya dimana. Kadang, uang keamanan untuk preman juga diperlukan.
Karena foto-foto itu jelas-jelas ditampilkan untuk publik, lantas apa tujuannya ? Mungkin, untuk iklan barang dan jasa. Mungkin, bagi yang belum terkenal, ingin dikenal publik, atau sekedar jual tampang. Jika dia pejabat, mungkin dia ingin memamerkan sebagai keberhasilannya, atau berusaha memjaga simpati masyarakat. Kedepan, ia berharap, nanti kalau pemilu (lagi), masyarakat akan memilihnya.
Yang jadi soal adalah, foto-foto itu tidak berpikir dan tidak berbuat apa-apa. Padahal, untuk menjadi tokoh dan pemimpin sejati, orang harus memiliki banyak kualitas, seperti gagasan yang cemerlang, bertanggungjawab, jujur dan mampu melaksanakan tugas dengan baik.adapun foto,meski biaya pembuatan dan pemajangannya mahal, sama sekali tidak menunjukkan kualitas-kualitas itu.
Tetapi saya kira, di dalam foto-foto itu ada cinta. Pemimpin sejati adalah orang yang cintanya altruistis, yang siap mengabdi dan berkorban untuk rakyat. sebaliknya, jika orang yang fotonya dipamerkan itu tidak punya gagasan dan tidndakan apa-apa, bahkan diam-diam mengibuli masyarakat, maka di dalam foto itu ada cinta yang egoistis, cinta yang mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri belaka.
Nah, terlepas dari kontroversi soal larangan KPU (Komisi Pemilihan umum) terhadap para caleg untuk menampilkan foto di baliho dan billboard, kita mungkin bisa menebak, jenis cinta apa yang ada di balik setiap foto publik itu.
Entahlah sejak kapan manusia suka menggambar dirinya. Mungkin sejak manusia sejak manusia tinggal di goa-goa. Yang jelas seni lukis berkembang pesat ketika sapuan kuas diatas kanvas dapat menghadirkan kenyataan alam, termasuk manusia, semirip mungkin. Tetapi ketika teknologi fotografi sudah ditemukan, seni lukis mulai kalah. Lebih-lebih ketika fotografi itu melahirkan gambar berwarna, seindah warna aslinya.
sementara sebagai perlawarnaan, seni lukis bergerak kearah seni abstrak, teknologi fotografi juga terus melaju, mulai rekaman gambar bergerak dengan menggunakan film, hingga teknologi digital saat ini. sekarang, dengan teknologi digital, foto dan video dapat dibuat, direkayasa dan disimpan secepatnya dan sebanyak mungkin. sekarang, ponsel, tablet dan laptop umumnya sudah memiliki kamera.
Foto itu bisa untuk pribadi, bisa pula untuk publik. Foto-foto pribadi biasanya hanya disimpan sebagai kenang-kenangan bagi yang bersangkutan. Foto waktu kecil, foto bersama keluarga, rekreasi bersama teman-teman dan yang sejenisnya. sedangkan foto publik adalah foto yang ditampilkan untuk dilihat orang banyak, seperti foto para pejabat dan artis di baliho dan spanduk.
Karena sekarang foto begitu mudah dibuat dan disebarkan, maka perbedaan antara yang pribadi dan publik itu kadang kabur. Orang bisa saja menyebarkan foto pribadinya di jejaringan sosial sperti facebook sehingga menjadi publik. Bahkan mungkin pula, orang lain yang menyebarkannya. Tak jarang, foto yang bersifat pribadi itu, setelah menyebar ke publik, menimbulkan kontrversi.
Adapun foto di baliho, billboard dan spanduk, jelas bersifat publik. karena sengaja dipamerkan disekitar jalan raya yang ramai. Kini teknologi percetakaan digital dengan mudah dapat memenuhi keinginan orang untuk membuat foto besar di spanduk besar. Ongkosnya tergantung pada besaran foto, berapa lama akan dipajang, dan posisinya dimana. Kadang, uang keamanan untuk preman juga diperlukan.
Karena foto-foto itu jelas-jelas ditampilkan untuk publik, lantas apa tujuannya ? Mungkin, untuk iklan barang dan jasa. Mungkin, bagi yang belum terkenal, ingin dikenal publik, atau sekedar jual tampang. Jika dia pejabat, mungkin dia ingin memamerkan sebagai keberhasilannya, atau berusaha memjaga simpati masyarakat. Kedepan, ia berharap, nanti kalau pemilu (lagi), masyarakat akan memilihnya.
Yang jadi soal adalah, foto-foto itu tidak berpikir dan tidak berbuat apa-apa. Padahal, untuk menjadi tokoh dan pemimpin sejati, orang harus memiliki banyak kualitas, seperti gagasan yang cemerlang, bertanggungjawab, jujur dan mampu melaksanakan tugas dengan baik.adapun foto,meski biaya pembuatan dan pemajangannya mahal, sama sekali tidak menunjukkan kualitas-kualitas itu.
Tetapi saya kira, di dalam foto-foto itu ada cinta. Pemimpin sejati adalah orang yang cintanya altruistis, yang siap mengabdi dan berkorban untuk rakyat. sebaliknya, jika orang yang fotonya dipamerkan itu tidak punya gagasan dan tidndakan apa-apa, bahkan diam-diam mengibuli masyarakat, maka di dalam foto itu ada cinta yang egoistis, cinta yang mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri belaka.
Nah, terlepas dari kontroversi soal larangan KPU (Komisi Pemilihan umum) terhadap para caleg untuk menampilkan foto di baliho dan billboard, kita mungkin bisa menebak, jenis cinta apa yang ada di balik setiap foto publik itu.