Tuesday 27 January 2015

CINTA DIBALIK FOTOMU

CINTA DIBALIK FOTOMU

     DIKOTA-KOTA besar dan kecil di Indonesia, kita banyak melihat foto, baik foto seorang tokoh, yang ditokoh-tokohkan, maupun yang berambisi ingin jadi tokoh. apalagi saat pemilu kepala daerah sudah dekat, atau menjelang pemilu legislatif. Kota-kota seolah berubah menjadi album foto dengan beragam warna dan tampilan, ditambah sederetan kata perkenalan dan ajakan menggugah.
     Entahlah sejak kapan manusia suka menggambar dirinya. Mungkin sejak manusia sejak manusia tinggal di goa-goa. Yang jelas seni lukis berkembang pesat ketika sapuan kuas diatas kanvas dapat menghadirkan kenyataan alam, termasuk manusia, semirip mungkin. Tetapi ketika teknologi fotografi sudah ditemukan, seni lukis mulai kalah. Lebih-lebih ketika fotografi itu melahirkan gambar berwarna, seindah warna aslinya.
      sementara sebagai perlawarnaan, seni lukis bergerak kearah seni abstrak, teknologi fotografi juga terus melaju, mulai rekaman gambar bergerak dengan menggunakan film, hingga teknologi digital saat ini. sekarang, dengan teknologi digital, foto dan video dapat dibuat, direkayasa dan disimpan secepatnya dan sebanyak mungkin. sekarang, ponsel, tablet dan laptop umumnya sudah memiliki kamera.
     Foto itu bisa untuk pribadi, bisa pula untuk publik. Foto-foto pribadi biasanya hanya disimpan sebagai kenang-kenangan bagi yang bersangkutan. Foto waktu kecil, foto bersama keluarga, rekreasi bersama teman-teman dan yang sejenisnya. sedangkan foto publik adalah foto yang ditampilkan untuk dilihat orang banyak, seperti foto para pejabat dan artis di baliho dan spanduk.
    Karena sekarang foto begitu mudah dibuat dan disebarkan, maka perbedaan antara yang pribadi dan publik itu kadang kabur. Orang bisa saja menyebarkan foto pribadinya di jejaringan sosial sperti facebook sehingga menjadi publik. Bahkan mungkin pula, orang lain yang menyebarkannya. Tak jarang, foto yang bersifat pribadi itu, setelah menyebar ke publik, menimbulkan kontrversi.
     Adapun foto di baliho, billboard dan spanduk, jelas bersifat publik. karena sengaja dipamerkan disekitar jalan raya yang ramai. Kini teknologi percetakaan digital dengan mudah dapat memenuhi keinginan orang untuk membuat foto besar di spanduk besar. Ongkosnya tergantung pada besaran foto, berapa lama akan dipajang, dan posisinya dimana. Kadang, uang keamanan untuk preman juga diperlukan.
    Karena foto-foto itu jelas-jelas ditampilkan untuk publik, lantas apa tujuannya ? Mungkin, untuk iklan barang dan jasa. Mungkin, bagi yang belum terkenal, ingin dikenal publik, atau sekedar jual tampang. Jika dia pejabat, mungkin dia ingin memamerkan sebagai keberhasilannya, atau berusaha memjaga simpati masyarakat. Kedepan, ia berharap, nanti kalau pemilu (lagi), masyarakat akan memilihnya.
     Yang jadi soal adalah, foto-foto itu tidak berpikir dan tidak berbuat apa-apa. Padahal, untuk menjadi tokoh dan pemimpin sejati, orang harus memiliki banyak kualitas, seperti gagasan yang cemerlang, bertanggungjawab, jujur dan mampu melaksanakan tugas dengan baik.adapun foto,meski biaya pembuatan dan pemajangannya mahal, sama sekali tidak menunjukkan kualitas-kualitas itu.
     Tetapi saya kira, di dalam foto-foto itu ada cinta. Pemimpin sejati adalah orang yang cintanya altruistis, yang siap mengabdi dan berkorban untuk rakyat. sebaliknya, jika orang yang fotonya dipamerkan itu tidak punya gagasan dan tidndakan apa-apa, bahkan diam-diam mengibuli masyarakat, maka di dalam foto itu ada cinta yang egoistis, cinta yang mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri belaka.
     Nah, terlepas dari kontroversi soal larangan KPU (Komisi Pemilihan umum) terhadap para caleg untuk menampilkan foto di baliho dan billboard, kita mungkin bisa menebak, jenis cinta apa yang ada di balik setiap foto publik itu.

RINDUKU

RINDUKU

Semburat senyum membuka mata
Pagi menyapa degan cinta
Cinta pada dua perempuanku yang  tercinta

Cintaku
Kau lukisan kerinduan yang tak terkira
Dengan warna sempurna yaitu merah menyala

Cintaku
Andai jarak dapat kulipat
Maka takkan ada batasan untuk merapat
Kan ku putar lagi semuanya

Pagi berlalu begitu saja
Menyisakan kerinduan yang kian menyiksa
Kini senja menggayut manja melepaskan senyuman menggoda
Wahai senja aku merindukanya

Perempuan-perempuanku bercahaya senja
Selalu menari di pelupuk mata
Masih terbayang hangat keceriaanmu
Cintaku biarlah rindu kita menyatu lewat hembusan senja

AKIL BELUM AKIL BALIG

AKIL BELUM AKIL BALIG

      SELURUH mata dan telinga masyarakat Indonesia kini diarahkan kepada Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya pada Rabu (2/!0/13) malam. Bersama dia, ditangkap pula anggota DPR RI Chairun Nisa dan pengusaha Cornelis. Selanjutnya, KPK menangkap Bupati Gunungmas, Kalimantan Tengah, hambit Bintih dan sejumlah orang lainya. Mereka disangka melakukan praktek suap, terkait sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) disejumlah daerah.
     Sumpah serapah pun ditujukan kepada Akil. Mantan ketua MK, Mahfud MD, mengaku malu. Dia merasa upayanya dan para pendahulu di MK lainnya membangun lembaga tersebut sia-sia. Mahfud MD pun meminta agar Akil dihukum berat. Pendahulu Mahfud dan Akil yakni Jimly Asshidiqie bahkan meminta ketua MK tersebut dihukum mati. Wajar kiranya pemintaan tersebut. Soalnya yang ditangkap KPK kali ini adalah Ketua MK. Berbeda dengan penangkapan aparat hukum sebelumnya. KPK pernah menangkap polisi bahkan hingga berlevel jendral. KPK juga pernah menangkap jaksa bahkan hakim. Namun level mereka dinilai masih dibawah Akil.
     Masyarakat pun berikir jika sekelas ketua MK bisa menerima suap, pasti bawahannya juga ikut melakukanya. Jika ketua MK sudah tidak independen, kemana lagi rakyat mencari keadilan. Sedemikian geramnya terhadap korupsi, masyarakat kini tidak peduli lagi pada asas praduga tak bersalah. Apalagi yang melakukan penangkapan adalah KPK, lembaga yang selama ini dikenal independen dan tegas. KPK juga kerap punya bukti-bukti kuat sebelum melakukan penangkapan.
     Operasi tangkap tangan KPK ini juga memukul pemerintahan di Kalimantan Tengah. Soalnya Bupati Gunungmas, Hambit Bintih, terlibat. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bahkan langsung ke Gunungms untuk memastikan pemerintahan disana tetap berjalan. Korupsi memang merusak banyak sendi kehidupan. Penangkapan tersebut membuat MK dan sejumlah daerah yang baru saja melaksanakan pemilukada goncang. Namun bukanya penangkapan itu yang perlu disalahkan.
     Selama ini banyak kasus korupsi para pejabat ditutup-tutupi dengan alasan dapat mengganggu stabilitas. Kalaupun diproses itu dilakukan setelah pejabat tersebut pensiun. Ini sangat tidak benar. Apalagi masyarakat Indonesia ini kerap lupa. KIta juga perlu mengoreksi keberadaan muspida. Ini membuat polisi dan jaksa sulit bertindak jika ada pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi.
     Kasusu ini juga memberikan pelajaran dalam pelaksanaan pemilukada. Uang semakin jelas sangat berbicara. Politik uang ternyata tidak hanya untuk masyarakat kecil, tetapi juga sampai ke MK. Pasangan yang kalah dalam pemilukada  pun akan menjadi enggan mengajukan gugatan ke MK. Pilihannya ada dua. Pasrah menghadapi kekalahan atau rusuh, Pilihan kedua ini sangat tentu tidak diharapkan.
     MK harusn tetap menjadi pengambil keputusan, terlepas ada oknum di dalamnya. Dengan adanya penangkapan ini, MK harus bersih-bersih diri. ini tidak bisa dilakukan oleh MK sendiri, tetapi harus didorong pihak luar. Ini tidak hanya harus dilakukan oleh MK, tetapi juga Makamah Agung (MA). soalnya selama ini banyak penyelewengan terjadi di MA. Mulai dari pengambil keputusan hingga pemalsuan putusan. Kasus ini juga harus menjadi pelajaran bagi hakim-hakim lain, jaksa dan polisi agar lebih menjaga diri jika tidak ingin diborgol, mengenakan baju tahanan dan menjadi sorotan kamera. Siapa yang tak miris melihat Akil yang begitu agung mengenakan toga, kini justru mengenakan baju oranye bertuliskan tahanan KPK.

APAKAH BARAT ITU KAFIR

APAKAH BARAT ITU KAFIR

      SUATU hari waktu ke kaliurang naik gunung merapi yang dampak letusan gunung, melihat dari dekat kami rombongan dari keluarga Indonesia di wakili kami sekeluarga, ada keluarga Pakistan dan keluarga Belanda, kami lebih akrab dengan keluarga Belanda yang baru belajar Bahasa Indonesia, setelah selesai kita menikmati dan ngobrol dari hulu ke hilir akhirnya setelah kami sampai dibawah lagi, kami saling berpamitan sebelum menuju tujuan masing-masing, keluarga Belanda yang baru belajar Bahasa Indonesia. Dia lalu berkata."Selamat meninggal." dalam kebingungan, kami yang dipamiti menjawab dengan tertawa "Sampai ketemu disana!"
      Kesalahan dalam berbahasa kadang memang bisa menimbulkan kelucuan, bahkan pertengkaran. Tetapi kalau kita cermati lebih jauh, perbedaan bahasa sebenarnya lebih sering mendorong manusia untuk saling memahami dan bekerjasama, ketimbang sebaliknya. Perbedaan bahasa dapat diatasi dengan bantuan penerjemah, atau salah satu pihak berusaha mempelajari dan menguasai bahasa pihak lain. Barangkali komunikasi antarbudaya dan bahasa yang berbeda dimulai dalam perdagangan.
     Orang Arab, Cina, India, dan Eropa di masa lampau, saling berjumpa melalui perdagangan. MUngkin dalam perdagangan itu, bahasa yang diperlukan tidak rumit.Yang penting, terjual dan pembeli sama-sama memahami nilai tukar suatu barang. Mungkin pula, pedagang pendatang berusaha belajar bahasa setempat. Perjumpaan antar budaya yang lebih mendalam pengaruhnya adalah dibidang agama, seni, sains dan teknologi. Islam di NUsantara sulit terbayangkan tanpa jasa para ulama seperti Nuzuddin al-Raniri, Arsyad al-Banjari, Abdus Shamad al-Falimbani, Yusuf al-Makassari dan lain-lain, yang mengarang kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu, atau menerjemahkan kitab-kitab Arab ke Bahasa Melayu. Begitu pula, perkembangan seni, sains dan tekologi, tak tercapai tanpa komunikasi antar ilmuwan dan seniman dari berbagai bangsa. Seni tari, musik dan sastra, menjadi kaya berkat perjumpaan antar budaya.
     Ada sentimen yang kuat di kalangan Muslim tertentu, bahwa Barat itu kafir dan musuh Islam yang paling berbahaya. Disisi lain, mereka tanpa malu menikmati seni, sains, dan teknologi yang berasal dari barat. Mereka tampaknya benci tapi rindu pada barat. Menurut Mahmoud M Ayoub, profesor di Temple University, Amerika Serikat, ada empat sebab di balik sikap negatif kaum MUslim terhadap Barat, yaitu (1) Perang salib; (2) penjajahan Eropa terhadap bangsa-bangsa Muslim; (3) gerakan misi Kristen yang agresif; (4) kajian kaum orientalis terhadap Islam yang bias dan dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme dan sentimen Kristen.
      Saya kira, siapa pun yang mempelajari sejarah, akan cenderung menerima penjelasan Ayoub di atas. Tetapi apakah kita harus tenggelam dalam luka-luka sejarah itu ? Apakah orang barat selamanya identik dengan orang-orang kafir yang memusuhi Islam / apakah kajian ilmiah pihak luar terhadap Islam sama sekali tidak berguna ? saya kira tidak. Sekarang, tidak sedikit umat Islam yang tinggal di Eropa.Amerika dan Australia. Jumlahnya cukup banyak, dari ribuan hingga jutaan orang. Karena itu, disana kita bisa temukan masjid dan perempuan berjilbab di jalan-jalan. Merka umumnya adalah anak-cucu para pendatang dari negeri-negeri Muslim, dan kini sudah menjadi warga negara setempat.
      Selain itu, ada pula orang Barat 'asli' yang masuk Islam. Begitu pula, hanya orang yang tak pernah membaca ensiklopedi Islam, konkordansi hadis, ribuan buku dan puluhan jurnal yang mengkaji pemikiran, sejarah, sosial-budaya masyarakat Islam yang ditulis para sarjana Barat, yang menganggap semua karya orientalis adalah sampah. Banyak dari sarjana Barat itu, juga mengkritik Orientalisme, dan kritikusnya yang paling tajam, Edward W.Said, adalah non-Muslim.
      Lalu, bagaimana dengan agresivitas misi Kristen ? Saya kira, gerakan misi agama apapun, yang agresif dan merendahkan martabat kemanusiaan, akan merugikan agama itu sendiri. Karena itu, para pemimpin agama yang sadar, termasuk tokoh-tokoh Kristen, akan terdorong mengutamakan dialog, saling menghormati dan menjaga, ketimbang mengganggu, martabat masing-masing pemeluk agama. Akhirnya, bukankah kini kita hidup di era globalisasi yang dominasi seni, sains dan teknologi Barat ? kemanakah kita akan sembunyi menutup diri ? Bukankah Islam mengajarkan, semua manusia adalah sama, keturunan Adam dan Hawa ? Bukankah Alqur'an menegaskan, Timur dan Barat adalah milik Allah ? Bukankah hadis mengatakan, ambillah kearifan (hikmah) dari mana pun asalnya ?
     

GELORA JIWA

GELORA JIWA

Segelas minuman
Menyejukkan kalbu
Menyelinap dalam rongga penglihatan
Kuping menjadi sakit
Gerimis datang menari-nari

Apa itu di atas bukit
Orang gila sedang menari
Berlari mengejar silau mentari orang gila penuh luka
Oh
Sungguh kasihan dia
Tiada kawan tiada saudara
Tuk berbagi malam berbagi derita

Hinaaan-hinaan datang setiap mata
Memandang hidup dalam kasta
Jiwa menggelora
Memanggil sukma nan sirna

Apa beda diri ini dan dia
Penuh luka dan warna
Dia musisi dalam gelora
Tiada pernah rasa kecewa

Tiap hari terasa indah dibuatnya
Merangkai kata dalam indahnya
Menembus batas
Menembus waras

DARAH KEBIRU-BIRUAN

DARAH KEBIRU-BIRUAN

     SAAT kami berkumpul dengan teman sesama alumni waktu di Jogja dulu, saat kami bercengkrama. Tiba-tiba seorang lelaki remaja, anak sang Pengusaha kelas Nasional, muncul. Sambil tersenyum ramah, dia berkata,"Om, saya mohon maaf tidak bisa ikut makan, karena harus masuk kerja malam ini," katanya. Saya mengangguk dan dia segera pergi." Kerja dimana dia ?" tanya saya pada ibunya."Itu, di supermarket. Dia ingin mengumpulkan uang untuk bisa menikmati liburan musim panas nanti," jelasnya. Saya dan istri cukup terkesan dengan penjelasan sang ibu. Seorang Pengusaha tersohor, dengan gaji yang cukup lumayan tinggi, justru mendorong anaknya untuk bekerja mencari uang sendiri untuk liburan. Padahal, apa susahnya dia memberi uang pada anaknya ? Dia juga bisa mengajak anaknya jalan-jalan ke berbagai penjuru dunia dari gaji dan berbagai penghasilan lain yang dia dapatkan.
     Kasus serupa pernah dialami oleh seorang anak ulama terkemuka di suatu daerah Kalimantan Selatan. Si anak sangat ingin kuliah ke al-Azhar, Mesir. Karena sang ayahnya kenal deket dengan Idham Chalid, ia memohon agar ayahnya memintakan rekomendasi pada Idham. Ternyata ayahnya menolak. Ia sangat kecewa dan sempat bolos sekolah. Andai tidak takut menjadi gembel kelak ketika tua, mungkin dia tidak mau sekolah lagi. Namun seiring perjalanan waktu, si anak makin dewasa. Ia mulai menyadari bahwa untuk berhasil. tidak baik menganalkan nama besar orangtua. Ia pun berjuang, merintis karier sebagai penyiar radio. Profesi itu ditekuninya dengan sungguh-sungguh, sampai akhirnya ia dikirim ke Jerman dan Korea Selatan. "Aku bangga padamu. Inilah yang kuharapkan. Kamu sukses karena perjuanganmu sendiri,"kata sang ayah.
     Berbeda dengan dua contoh diatas, kita juga banyak menemukan orangtua yang menggunakan nama besar dan pengaruhnya guna memuluskan karier anaknya. Si anak itu pun akhirnya suka membawa-bawa nama orangtuanya, kamanapun dia berada. Sia seolah tidak bisa lepas dari bayangan orangtuanya. Bahkan tanpa malu, dia berkata didepan publik,"Saya adalah anak si Anu." Tak dapat disangkal bahwa faktor keturunan turut berpengaruh terhadap masa depan seseorang. Dalam memilih jodoh misalnya, kita bisanya dianjurkan unutk mempertimbangkan siapa orangtua dari calon suami/istri kita. Apalagi bagi kalangan bangsawan, yang ingin mempertahankan kesinambungan garis darah biru (tentu bukan karena keracunan!). Apalagi ada mitos, raja-raja dahulu adalah tetesan dewa.
      Tetapi kalau ditelaah lebih jauh, faktor keturunan bukan satu-satunya, dan bukan pula paling penting, bagi keberhasilan seseorang. Alquran memang menunjukkan adanya garis keturunan para Nabi, seperti Ibrahim, Ishak dan Ismail. Tetapi Alquran juga menjelaskan, ayah Ibrahim adalah penyembah berhala, dan anak Nabi Nuh, ikut tenggelam bersama orang-orang kafir karena tidak beriman pada ayahnya. Dengan demikian, pada prinsipnya, manusia harus menjadi dirinya sendiri, karena tanggung jawab yang bersifat pribadi, sementara garis keturunan hanyalah faktor pendukung. Anak seorang tokoh mungkin akan lebih mudah melangkah ketimbang anak orang biasa. Tetapi, ia tidak akan benar-benar menjadi tokoh, jika ia tidak menjadi dirinya sendiri.
     Sebagai kiasan, pohon kecil ayang suka berteduh dibawah pohon besar dan rindang, tidak akan pernah menjadi besar dan rindang. Sebaliknya, pohon kecil yang berani menatap panasnya sinar matahari, ia akan tumbuh dan berkembang menjadi besar dan berbuah.Begitu pula, ayam kampung yang dilepas bebas, jauh lebih kuat dari ayam ras, yang dikurung dan diberi makan tiap hari oleh tuannya. Hal ini patut disadari oleh orangtua dan juga masyarakat. Jika anak seorang tokoh ingin menjadi pemimpin, patutlah orangtua mendorong anaknya untuk merasakan pahit getirnya jadi pemimpin yang berkorban dan berjuang untuk rakyat, sehingga kelak dia memang pantas dipilih oleh rakyat. Di sisi lain, masyarakat juga harus cerdas, mana anak tokoh yang memang pantas jadi tokoh, dan mana yang tidak.

MISTERI JODOH

MISTERI JODOH

     “BAGIKU,isteriku adalah perempuan tercantik di dunia,” kata seorang pria. “Bagiku juga.Suamiku adalah lelaki paling tampan sedunia, “ kata si wanita menimpali.Barangkali kedua orang itu benar, jika ikiran cantik dan tampan bersifatsubjektif, yakni ditentukan berdasarkan ikiran pribadi masing-masing. Apalagi,jika ungkapan ‘paling ayu’ atau ‘paling ganteng’ itu diucapkan ketika keduanyatengah dimabuk cinta. Cinta memang bisa membuat orang buta.
     “Kalau cinta sudah melekat, gula jawa rasacoklat,” kata bait sebuah lagu. Tetapi, betapapun mabuknya manusia oleh cinta,suatu saat ia akan kembali ke dunia nyata. Ia akan menemukan ukuran-ukuran yanglebih objektif dalam memandang pasangannya. Pada saat itulah dia mungkin akanberkata lebih jujur: “Istriku adalah wanita paling cantik diantara wanita yangmau kawin denganku,” atau “Suamiku adalah pria paling ganteng diantara priayang mau melamarku.”
     Semakin hidup bersama dijalani, dan usiaperkawinan bertambah, semakin insaflah manusia bahwa baik dirinya ataupunpasangannya, memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Suka dukakehidupan, yang telah dihadapibersama-sama, membuat mereka dapat merasakanperpaduan kepribadian masing-masing, yang saling melengkapi. Ketika itulahmuncul rasa saling menerima dan membutuhkan.
     Perjalanan dari mabuk cinta, objektivitashingga rasa saling menerima dan membutuhkan itu, mungkin adalah tahapan-tahapannormal dalam kehidupan perkawinan yang bahagia, yang dapat bertahan hingga mautmenjemput. Sayangnya, tidak semua pasangan berhasil melewati dan mencapainya.Tak sedikit pasangan yang bubar di tengah jalan. Bahkan ada yang hanya bertahanseumur jagung.
     Ada banyak sebab yang membuat perkawinanbubar. Angka terttinggi adalah karena hibingan yang tidak harmonis, karenagangguan pihak ketiga dan alasan ekonomi. Gangguan puhak ketiga atau selingkuhsalah satu penyebab perceraian dalah teknologi komunikasi didunia maya.“Mulaianya mereka main facebook-facebookan atau BBM, curhat. Dan dilanjutkankopi darat. Merasa pasangannya ‘berselingkuh’, akhirnya dibalas, yang berujungperceraian.’
     Perceraian akibat perselingkuhan melaluiteknologi komunikasi memang tampak lebih menarik karena menyangkut perkembanganbudaya kontemporer. Tetapi kalau dicermati lebih jauh, alasan-alasan lainseperti hibingan yang tidak harmonis dan faktor ekonomi, tidak kalah penting.Begitu pula alasan lainya seperti tidakan kekerasan.
     Namun, semua sebab dibalik percerian itutampaknya bermuara dari satu masalah : kesenjangan antara harapan dankenyataan. Sebelum menikah, baik pria ataupun wanita memiliki berbagai impiandan harapan yang ingin diraih dalam perkawinan itu. Jika salah satu puhak,apalagi keduanya, merasa gagal mewujudkan berbagai impiannya, maka perceraianakan terjadi.
     Selain aneka impian yang terpendam sejaksemula, manusia bisa pula menambah impian-impian baru karena perubahan hidupyang dijalaninya. Impian itu bisa tercipta karena sekarang si pria menjaditokoh yang sukses, atau sebaliknya, karier istri melampui sang suami. Ketikaperubahan terjadi, dan kesempatan datang, maka orang akan tergoda untukberpetualang mengejar impian barunya.
     Hidup manusia memang rumit, lebih-lebih yangmenyangkut jodoh. Ia adalahperpaduan antara kesenjangan dan kebetulan. Adasejumlah kebetulan yang membuat kita akhirnya berjodoh dengan seseorang. Tapianeka kebetulan itu tetap kembali kepada diri kita sendiri untuk mengambilkeputusan. Bagaimanapun, memilih dengan sengaja untuk kawin atau cerai.
     Karena itu, misteri jodoh selayaknyamembuat kita rendah hati sekaligus bertanggung jawab. Rendah hati karena semuakebetulan sebenarnya bukanlah kebetulan, melainkan kehendak dan kuasa Tuhan.Bertanggungjawab karena kita sendirilah yang membuat keputusan di hadapanberbagai kemungkinan yang diberikan-Nya pada kita. Dalam kerendahan hati, kitaberdoa untuk kebahagiaan perkawinan kita. Dalam bertanggungjawab, kita tidakboleh menyalahkan orang lain.

INDAH TERBENAM

INDAH TERBENAM

Jangan nak jangan
Lagu keluar dari lisan
Melarang putra untuk berjalan
Menyuruh sayap dikepakkan

Sayang seribu sayang
Pelbagai larang kau terjang
Terjerat sukma di awan-gawang
Tiada pergi tiada pulang

Jangan remeh kau tanam
Meski layu dalam kelam
Walau terjerat rasa geram
Di ujung tanduk di ujung malam

ISLAM KTP

ISLAM KTP

     IA seorang sarjana asal luar negri yang terkemuka dan produktif. Saya mengenalnya sebagai sesama oraganisasi kampus. Mungkin karena sudah merasa akrab, suatu hari dia bertanya kepada saya, "Are you a practicing Muslim?" Saya tatap matanya, dan saya jawab tegas, "Yes, I am." Sebagai sesama pengamat sosial, saya dapat menangkap apa yang dimaksudnya dengan istilah 'practicing Muslim' itu. Yang beragama, seperti salat, puasa, zakat dan haji.
     Lawan dari 'practicing Muslim' adalah 'nominal Muslim' yaitu orang yang beragama Islam tetapi tidak taat, ada yang tidak atau kurang taat.Begitu pula, bukan hanya muslim Indonesia yang sebagai taat, sebagian tidak, kaum muslim di negara-negara lain, termasuk di Timur Tengah, tak terkecuali Arab Saudi, juga demikian. Hanya orang yang kurang pengalaman dan pengetahuan yang mengira, semua orang Arab itu taat beragama. Begitu pula, orang kalsel umumnya muslim, tetapi jangankan pula dikira semuanya taat beragama. Kalau dilihat dari jumlah Masjid, mushola dan langgar, serta semaraknya Ramadhan orang kalsel , ketaatan beribadah orang kalsel tampaknya sangat tinggi. Tetapi perkecualian tentu tetap ada. Yang kadang salat, kadang tidak,juga ada. Yang tidak puasa dan makan di warung sekadup,juga ada. Yang kecanduan narkoba, juga ada.
     Belum lagi jika ketaatan kita samakan dengan meninggalkan kemaksiatan. Sangat mungkin, orang yang rajin ibadah, rajin pula maksiat. Orang yang tahu agama, justru melanggar larangan agama. Orang yang berkali-kali umrah dan haji, tetap saja korupsi. Bahkan di negara Muslim yang sangat ketat menjaga aurat perempuan, justru terjadi kejahatan seksual, baik itu perzinaan maupun perkosaan.
     Apakah seorang yang mengaku percaya kepada ajaran Islam, tetapi tetap berbuat maksiat, bahkan melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin (beriman) atau sudah kafir ? Inilah salah satu masalah teologis yang menimbulkan kontroversi sejak abad pertama Hijriah. menurut kaum Khawarij, pelaku dosa besar sudah kafir. Menurut Muktazilah, dia bukan kafir, bukan pula mukmin, tetapi fasiq.
      Dari sudut pandang yang lain, pandangan Ahlussunnah sebenarnya mengajarkan suatu kerendahan hati dalam beragama. Meskipun seseorang tampak berbuat maksiat, kita tidak boleh menghakimi orang itu pasti masuk neraka. Soal surga-neraka adalah urusan Tuhan. Siapa tahu, suatu hari nanti dia bertobat dan Tuhan mengampuninya. Siapa tahu, suatu hari kelak, malah kita sendiri yang jatuh berbuat maksiat.
     Saya kembali teringat [ada srjana asal luar negri diatas. Setelah lama tak berhubungan, saya denger kabar, dia sempat jatuh sakit. Konon, dia dulunya tidak beragama, karena bingung menganut Hindu atau Islam. Tetapi akhirnya, dia memilih Islam. Manusia memang selalu mungkin berubah. Karena itu, dalam hidup yang penuh kemungkinan dan misteri ini, sekali lagi, kita perlu rendah diri.

POLISI INDIA

POLISI INDIA

     MEMANG polisi itu datangnya selalu terlambat, tetapi itu hanya di film India." Itulah secuil dialog stire yang dikemukan grup lawak masa lalu Warkop yang mengundang bukan hanya geer para penontonnya tetapi juga mendapat acungan jempol. Lalu bagaimana polisi kita tercinta ?
     Barangkali ada kesempatan dengan kasus batu bara yang diduga ilegal. Begitu pemberitahuan muncul lantas polisi menginstruksikan jajarannya untuk mendatangi lokasi dan memberikan garis polisi (police line) dan menghentikan aktivitas tersebut. Ada kesan jajaran polisi baru merasa 'tergugah' untuk menertibkan aktivitas itu setelah pemberitaan ramai sekaligus sebagai tanda sebagai tanda mereka responsif.
     Apakah itu berarti jajaran kepolisian kita 'terlambat' atau memang tidak tahu adanya aktivitas yang sebenarnya boleh disebut dilakukan secara terbuka? Untuk pertanyaan pertama terjawabnya ada di penafsiran masyarakat yang mengetahui masalah itu. Sedangkan untuk yang kedua benarkah polisi tidak mengetahui ?
     Kita mengetahui institusi kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu penegak hukum dilengkapi dengan tim intel. Prinsip kerja  mereka adalah mengendus suatu perkara atau hal yang mencurigakan jauh lebih tajam dan lebih cepat dari masyarakat termasuk pers. Untuk menemukan apalagi mengendus aktivitas batubara yang terduga ilegal ini rasanya tidak memerlukan investigasi yang begitu jelimet karena lokasinya bukan berada di atas gunung, didalam laut atau di tengah hutan.
      Kita khawatir kalau kerja aparat dan birokrat kita selalu seperti dalam berbagai kasus, maka tingkat kegiatan ilegal akan semakin sulit dihentikan. Baik kayu ilegal, tambang llegal ataupun segala hal yang berbau ilegal. Sebaliknya akan semakin subur mengingat aktivitas yang dilakukan secara terbuka saja, harus 'terlambat' diendus apalagi yang berada di balik pagar-pagar beton. Lebih-lebih bila perdagangnan ilegal untuk barang-barang kecil seperti minuman keras, obat terlarang atau narkoba.
     Yang lebih kita khawatirkan lagi adalah bagaimana kalau aparat dan birokrat kita yang mendapatkan amanah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban dan menganyomi masyarakat ini sudah kehilangan intuisi atau naluri akan tanggungjawab mereka. Kita kembali berharap semoga tidak demikian adanya. Jangan seperti polisi di film India seperti atirenya Warkop.

BANGSAT LOE

BANGSAT LOE

Berbohong lagi
Berbohong lagi
Dustai lagi
Dustai aku lagi

Sampai kau bohong lagi
Katanya ngga
Tapi bohong lagi
Dustai aku lagi

Ku bosan
Di bohongi lagi
Ku bosan
Kau dustai lagi

Cukup lah sudah
Kau berbohong
Berdustai
Aku lagi

Sakit
Hatiku
Selalu kau Bohongi
Dan dustai aku lagi

GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLARI

GURU KENCING BERDIRI, MURID KENCING BERLARI

     PADA 20 tahun lalu, menggunakan kekerasan masih dianggap lumrah oleh khalayak. makanya, anak-anak usia sekolah pada masa itu menerima saja ketika dipukul pakai penggaris kayu atau ditampar oleh sang pendidik. Kecuali jika perlakuan fisik guru sudah sangat berlebihan, misalnya membuat sia anak perlu perawatan di rumah sakit, maupun jadi korban kejahatan seksual, baru orangtua bereaksi.
     Kini, dua dasawarsa telah berlalu. Seharusnya, kekerasan fisik yang di lakukan guru terhadap siswanya itu sudah tidak lagi. Pada masa sekarang, pemukulan guru kepada anak didiknya meskipun dengan alasan yang jelas sangat terlarang. Ujung-ujungnya bisa berurursan dengan kepolisian.
     Terbaru adalah hanya gara-gara tidak bisa menjawab pertanyaan, 12 siswa SMP Budi Luhur Palangkaraya, Kalimantan Tengah ditampar lalu dijemur di halaman sekolah. Seorang siswanya melaporkan gurunya sekaligus kepala sekolah itu ke Polres Palangkaraya.
     Jadi, apa pun alasanya, kekerasan terhadap anak didik tidak boleh dilakukan dan tidak dibenarkan dalam dunia pendidikan. Selain sangat tidak mendidik, penganiayaan terhadap siswa bisa berdampak siswa jadi trauma. Lama kelamaan, jika dibiarkan sang guru bakal terbiasa pula melakukan kekerasan pada siswanya. Sementara siswa makin terganggu secara psikologis.
     Bukan hanya kekerasan itu melanggar hukum, tapi juga menunjukkan pola pendidikan semacam itu adalah sisa-sisa praktik kolonialisme masih melekat pada diri sejumlah pendidik. Sebab, kabarnya, guru-guru pada masa itu dibenarkan menggunakan kekerasan fisik.
     Lebih parah lagi ketika ada guru yang merasa kekrasan itu adalah bagian dari pendidikan. Ada guru yang sangat terbiasa memukul, menampar bahkan menghina siswanya lalu berlindung di balik alasan rasa kasih sayang, agar mereka menjadi orang sukses, berdisiplin dan sebagainya.
     Tentu saja alasan seperti itu tidak bisa dijadikan pembenaran, sehingga memukul, menampar dan kekerasan fisik lainnya boleh dilakukan guru kepada siswanya. Pendidikan umum juga tidak bisa disamakan dengan pendidikan berbasis militer seperti diterapkan di sekolah kemiliteran. Karena, memiliki aturan dan kurikulum pendidikan sendiri.
     Bukankah saat masih kuliah, para calon guru tidak diajarkan harus menggunakan kekerasan ketika mengajar ? Rasanyatidak ada mata kuliah khusus dengan bobot SKS tertentu berisi materi cara memukul atau menampar siswa, jika ada yang berbuat salah.Tapi, faktanya, kekerasan guru pada siswa itu terus dan kerap saja terjadi.
     Mungkin, berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi guru, kisruh rumah tangga atau persoalan lain yang berdampak pada psikisnya, sehingga terbawa saat mengajar. Bisa pula lantaran dipicu beberapa kejadian insidental seperti kurang tertibnya siswa saat proses belajar.
     Jadi, terlihat jelas bahwa kekerasan personal tidak terlibat kondidi struktural dalam lembaga pendidikan. Sebab, di dalamnya sebuah lembaga pendidikan ada sistem kurikulum, tata tertib, serta sisitem kebikan biaya pendidikan. Kekerasan ini sudah berada diluar sistem pendidkan. Merupakan bentuk refleksi atas permasalahan di luar sistem pendidkan yang dialami guru.
     Boleh dikatakan, sikap guru yang 'menghalalkan' kekrasan sangat tidak profesional. Membawa persoalanan pribadi atau masalah di luar lembaganya ke dalam sistem pendidikan dan lingkungan pendidikan sehingga siswa jadi korbannya.
     Dampak kekrasan fisik bukan hanya rasa sakit pada bagian tubuh, tapi juga mengganggu psikologis siswa. Palingkentara adalah rasa malu yang sangat besar karena diperlakukan tidak manusiawi di hadapan orang banyak, dihadapan teman-temannya. Dampaknya, motivasi belajar bisa jauh menurun.
    Ada baiknya, sekolah menjaga betul kredibelitasnya dengan menerapkan konsep pendidikan yang ramah dan santun. Sosialisasikan tata tertib terhadap siswa secar kontinyu. Bikin aturan yang disepakati dengan siswa sehingga mereka tahu konsekuensinya jika melanggar. Jadi, relasi antara siswa dan guru dibangun bukan lagi dilandasi rasa takut, melainkan kepentingan pendidikan dan rasa hormat sebagai orang yang memberi dan menyampaikan ilmu.
     Kalau mar lebih disederhanakan, guru itu digugu dan ditiru. Makanya, lalu ada pribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang dilakukan guru maka diikuti dan ditiru siswanya, termasuk melakukan kekerasan. Tentu para pendidk tak ingin siswanya menjadi orang yang arogan atau diktator bertangan besi yang dengan mudah main tangan demi melanggengkan kekuasan. Kiranya, semua guru pasti ingin anak didiknya menjadi orang-orang yang baik. Makanya, guru mendidik.

FIGUR PEMIMPIN 2014

FIGUR PEMIMPIN 2014

     Seperti apa calon Presiden kita, Bangsa Indonesia ke depan membutuhkan figur pemimpin nasional yang tegas dan berkepala batu." maksudnya, figur pemimpin yang memiliki visi kebangsaan dan sikap yang kuat sehingga tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai isu dan intrik dari lawan politik.
     Figur Pemimpin dan Indonesia Pasca 2014. Pemimpin nasional kedepan yang ideal adalah figur yang tegas, tegar, dan mampu membawa bangsa dan negara Indonesia menjadi sejahtera, aman, serta warga negaranya cerdas.
     "Saat ini banyak tokoh yang sangat ingin menjadi pemimpin nasional, sehingga perlu dicermati apakah tokoh-tokoh tersebut memiliki sikap tegas, tegar, dan mampu membangun bangsa Indonesia."
     Dari banyaknya tokoh yang ingin menjadi pemimpin nasional, sebagaian hanya populer karena dukungan publikasi dari media tapi masih dipertanyakan sikap tegas, tegar, dan keberpihakannya kepada rakyat.
     Jika tokoh yang sudah populer dan masuk dalam bursa calon presiden tidak memiliki sikap tegas dan tegar, bila nantinya terpilih menjadi Presiden dikhawatirkan pemerintahannya akan lemah. Pemerintahannya akan mudah diintervensi oleh kekuatan tertentu.
     Kita tidak terjebak figur saja, jangan sampai memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung, dan agar tidak memilih figur yang sangat berambisi menjadi Presiden serta figur yang sungguh-sungguh tidak ingin jadi Presiden, karena dikhawatirkan tidak dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik. semoga kita tepat memilih pemimpin yang amanah dan sesuai hati kita serta sebagai pahlawan bangsa ini sesuai momen hari pahlawan 10 nopember.

MENDEM WEDOAN

MENDEM WEDOAN

Simbok-simbok
Aku njaluk kawin
Sing penting ono nyawane
Simbok-simbok wetengku luwe

Ana ketan aku tukukne
Simbok-simbok
Aku wis gede
Ana perawan coba takokne

Tole-tole ketan abang
Dicapuri kelopo parutan
Tole-tole rabine gampang
Sing penting golet gawean

Aduh simbok aku pingin kawin
Wis mendem wedoan
Aku ra iso turu amben mbengi
Kepingin ketemu-ketemu wae

Ora gampang bebejoan
Kudu biso golet sandang pangan
Yen wis dadi wong loro
Apa dipakani watu

Nek mengkono aku golet gawean
Kanggo golet duit kanggo nikahan

Pindonga simbok
Moga kalasanan ya le

PAHLAWAN DEVISA

PAHLAWAN DEVISA

     MELIHAT kota Mekah dari dekat, seperti menyaksikan keagungan Tuhan yang terbantahkan. Kota yang dikelilingi gunung batu menjulang dan padang sahara, yang hampir sepanjang tahun dibakar panas matahari, jelas bukan lingkungan yang ramah untuk didiami. Tetapi anehnya, orang-orang terus berduyun-duyun mengunjunginya, dan tak sedikit yang berusaha tinggal disana.
     Barangkali Tuhan sengaja menunjukkan keagunganNya dengan cara seperti itu. Ibarat tahi lalat dia atas kulit yang putih. Mekkah yang gersang itu, ternyata memiliki air zamzam, sumber air yang tiada habis-habisnya, meski jutaan orang meminumnya. Begitu pula, Kabah yang sepintas hanyalah rumah kubus sederhana, justru menjadi pusat kerinduan kaum Muslim seluruh dunia.
     Kesan paradoks semacam itu tampaknya juga berlaku bagi orang-orang yang tinggal di Makkah, tak terkecuali orang-orang Indonesia, baik yang bekerja di kedutaan kita maupun yang disebut Tki (Tenaga Kerja Indonesia), legal atau ilegal. Mereka mencari rezeki dengan berbagai cara, mengumpulkan riyal demi riyal, lalu dikirm kepada keluarga di Indonesia. Mereka disebut 'Pahlawan devisa'.
     Begitu banyak kisah anak-anak manusia di perantauan ini. ada yang pergi karena dicerai suami. ada yang sudah tak kuat menahan kemiskinan hidup di kampung, lalu mencoba mengadu nasib. ada yang sekedar ingin berhaji, dan tinggal lebih lama di kota suci.
    Ada pula yang niat utamanya adalah menuntut ilmu agama, bukan mencari harta. Bekerja baginya hanyalah tuntutan keadaan yang tak terelakan. Pekerjaan mereka macam-macam. Ada yang menjadi pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko, tukang bangunan, pelayan pesta, membersih masjid, pemandu ibadah haji dan umrah, penjahit, dan pedagang makanan.
     Ada pula yang menjadi calo wisata ziarah dan pembayaran dan bagi jemaah haji. Ada lagi yang menjadi ojek untuk mencium Hajar Aswad. Ada pula yang menjadi copet dan penipu. Tahun ini, cukup banyak kasus pemerasan oleh pengojek mencium Hajar Aswad. Mereka bekerja satu tim, dan tampaknya bersengkongkol dengan polisi penjaga Hajar Aswad.
     Biasanya korban ditawari bantuan, dan setelah berhasil mencium, baru diminta bayar, tapi dengan tarif amat tinggi : seribu riyal, bahkan lebih ! jika uang tak cukup, ponsel, gelang emas, dan benda berharga lainya, mereka rampas. Ada pula penipu yang memakai seragam petugas jemaah haji, padahal palsu. Orang-orang yang tersesat jalan, apalagi sudah tua dan tampak kebingungan, biasanya menjadi incaran petugas gadungan ini. Dia datang dengan wajah manis dan pura-pura mau membantu, padahal akhirnya merampas semua isi tas jemaah. Demikianlah, demi segenggam riyal, orang Indonesia tega 'memakan' sesama orang Indonesia.
     Tetapi, banyak pula yang bekerja dengan cara halal. Sekedar contoh, ada yang rela jadi pembantu rumah tangga, meski terkurung di rumah Arab berbulan-bulan. Kadang, si majikan malah tak membayar gajinya. Ada pula yang menjahit pakaian dengan modal sendiri, lalu membaginya ke toko-toko. Setelah laku, baru si pemilik toko membayar. Tapi ada pula yang enggan membayar atau kabur. Dan banyak lagi.
     Bulan ini, pemerintah SD\audi mulai melakukan pembersihan. Mereka yang ilegal akan ditangkap dan dipulangkan. Bahkan mereka yang memiliki izin tinggal, tetapi tidak berafiliasi pada lembaga tertentu atau penjamin tertentu, juga bisa ditangkap.
     Dalam keadaan genting begini, pemerasan dan penipuan oleh calo-calo imigrasi makin merajalela, dan konon sebagian orang Arab juga ikut bermain. Demikianlah kisah para pahlawan devisa. Ada yang pahlawan sejati, dan ada pula yang palsu. Ada yang bekerja dengan cara yang halal, ada pula dengan cara haram. Pergumulan antara baik dan buruk, pahala dan dosa, memang sudah menjadi hakikat keberadaan manusia, dimana pun ia berada, termasuk di tanah suci.

TAKHTA, HARTA DAN WANITA (3 ta)

TAKHTA, HARTA DAN WANITA (3 ta)

     TAKHTA, harta dan wanita adalah fenomena lama yang tidak pernah lekang. Begitu orang meraih takhta, kemudian menumpuk harta akhirnya larinya ke wanita. Itu watak laki-laki. sejak zaman dulu permpuan adalah objek yang selalu diperebutkan. Banyak pertumpahan darah karena berebut perempuan. dahulu tidak ada raja beristri satu, pangeran punya selir ibarat lagu wajib.
     sekarang pun orang yang sudah meraih takhta, kemudian menumpuk harta, muaranya juga permpuan. lihat saja para koruptor, sepertti irjen pol djoko susilo yang terlibat kasus pengadaan simulator sIM dan mantan presiden partai besar luthfi hasan ishaq yang terlibat kasus impor daging sapi. juga mantan ketua makhamah konstitusi  Akil Mochtar yang kini ditahan KPK karena kasus suap dari calon-calon kepala daerah yang minta dimenangkan perkaranya.
     Masih ada lagi, Ahmad Fathanah. Dia ini makelar segala urusan dengan pejabat tinggi, termasuk impor daging sapi. Tugasnya menjadi penghubung dengan petinggi. Dalam kasus daging sapi dia menjadi penghubung antara pemimpin partai dengan importir. Mengapa partai itu karena partai punya kader yang menjadi Menteri ertanian sehingga diharapkan semua bisa mulus. Fathanah yang baru saja divonis 14 tahun penjara juga punya koleksi perempuan. Dari hasilnya sebagai makelar dia mengumpulkan miliaran rupiah.
     Apakah semua yang pegang kuasa dan harta juga begitu ? Belum tentu juga, tergantug moralnya. Tapi paling tidak dari pengamatan sepintas terlihat bahwa mereka yang dari 'sononya' sudah kaya tidak banyak yang terlibat urusan perempuan. Misalnya Aburizal Bakrie, dia lahir sudah kaya jadi tidak heran dengan duit. Sampai tua ia lebih sibuk mengejar harta dan kekuasaan daripada perempuan.
     Juga Siswono Yudohusodo, Ketua Badan Kehormatan DPR. Dia sejak muda sudah menjadi pengusaha, setelah sukses ia masuk dunia politik. Dia pernah menjadi Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Tramigasi. jadi orang yang berlatar belakang melarat atau setidaknya tidak kaya, akan mudah berubah perangainya manakala mereka menggenggam kekuasaan dan uang. Mereka seperti 'balas dendam'. Mungkin ada yang hanya senang harta atau perempuan atau keduanya.
     Ada yang mengambil isteri muda belia dan tidak cuma satu. Ada yang mengawini gadis berstatus siswa sekolah menengah. Ada juga yang kecantol ratu dangdut dan ditrafer tiap bulan. Saat tertangkap KPK total transfernya Rp 900 juta. Itu baru dari stu pejabat, kalau dihitung semua, berapa duit rakyat yang dipakai untuk urusan syahwat. Tentu tidak sedikit pengusaha yang sukses lantas menggandeng perempuan lebih dari satu, tapi mereka tidak pakai uang rakyat.

VIRUS KORUPSI JAMAK

VIRUS KORUPSI JAMAK

     BICARA soal korupsi di negeri ini, rasanya tidak akan pernah ada kata akhir. Bak ode [lagu] gugur bunga ;'gugur satu tumbuh seribu.....'ya, koruptor di bumi kita yang kaya ini selalu tumbuh dan tidak mengenal ruang dan waktu. Dia terus berevolusi dan bermetamorfosis seiring kemajuan peradaban. Inilah sejatinya persoalan terbesar bangsa kita yang tidak pernah tuntas. Karena memang, tidak ada ang tidak bisa dikorusi di negeri ini. Semuanya serba biasa dimanipulasi, diakali, dan dijahati. Dimana ada kesempatan disitu ada peluang melakukan tindak kejahatan korupsi. Fakta yang kita lihat, dari tahun ke tahun kejahatan korupsi tumbuh bak jamur di musim hujan. makin canggih pula polanya.
     Menarik mencermat, pola korupsi di Indonesia telah mengalami transformasi sosial budaya yang sedemikian cepat. Dimasa lalu, korupsi masih berpola konvensional berupa suap. Saat ini korupsi telah berevolusi dalam wujudnya yang canggih. Asal tahu saja, kejahatan model seperti ini tidak sembarangan orang yang bisa melakukannya. Soalnya, itu biasa dilakukan oleh kaum cerdik pandai alias intelektual, dan terpandang.
     Secara gamblang fakta telah membeberkan kepada kita peran kaum cendikia dan terpandang dalam berbagai kejahatan korupsi kelas premium atau kejahatan kerah putih [white collar crime] yang terjadi di negeri ini. Salah satunya, kasus Bank Century yang melibatkan sejumlah cendikia dan tokoh terpandang. Itu sebabnya, kalau boleh kita tafsirkan KPK seakan mengalami kesulitan mengurai kasus Bank Century.
     Sejatinya, dalam menangani kasus-kasus korupsi kelas premium seperti Century, KPK bisa dengan mudah menyelesaikannya denganmata tajam pisau UU Tindak Pidana Korupsi dan perangkat UU lainnya. Tapi, yang kita dapati kasus Century yang sudah berusia lebih dari lima tahun seperti berputar-putar tanpa kepastian. Dan, benar seperti dikatakan mantan ketua Makamah Konstitusi, kasus korupsi besar terjadi karena semua sudah saling mengunci dengan tindakan-tindakan korup. Dan, publik memang harus tetap dibuat bingung, siapa sebenarnya staring dari lakon Century.
     Tren pelaku kejahatan korupsi juga sudah mengalami regenerasi. Sekarang ini kecenderungan korupsi dilakukan oleh kaum muda yang masih berusia di bawah 40 tahun.Sebut saja, Nazaruddin, Angelina Sondakh, G ayus Tambunan yang masih berusia di bawah 35 tahun, Pendek kata, kejahatan korupsi telah mengalami metaforsis dalam bentuk dan motif yang baru. Salah satu bentuk yang kini menjadi sebuah tren adalah dalam menyarkan uang hasil kejahatan korupsi. Para koruptor menyamarkan uang hasil kejahatan dalam bentuk harta atau money laundering sudah menjadi kecenderungan di kalangan koruptor. Bentuk ini yang terkadang terabaikan oleh para penegak hukum dalam memburu rampasan hasil korupsi.
     Contoh sederhana si fulan mencuci uang hasil kejahatan korupsi dalam bentuk polis asuransi untuk anak-anaknya, sehingga sulit terlacak. Dia juga membelanjakan uang haram dalam bentuk reksa dana atau saham. Tujuanya jelas agar tindakan yang dilakukannya tak di endus aparat penegak hukum. Kurang respontifnya penegak hukum menjadi salah satu simpul tumpulnya pisau hukum menangani kejahatan korupsi di negeri ini. Kepolisian, kejaksaan, dan peradilan seakan masih kurang percaya diri memfungsikan perannya sebagai penegak hukum. Kalaupun ya, pencegahan dan penindakan kejahatan korupsi yang dilakukan tidak maksimal dan profosional. Wajar saja kalau kemudian masyarakat kurang menaruh harapan besar kepada ketiga lembaga tersebut dalam menangani kasus korupsi.
     penampilan para koruptor selalu terlihat sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan sempurna. Tapi, sebenarnya di dalamnya penuh dengan kebusukan. Dan, benar, seperti yang sering kita lihat di layar kaca betapa sosok para koruptor begitu muda, rupawan, dan santun. Tidak sedikit dia antara mereka yang dermawan, dan sangat rajin melaksanakan ibadah sepeti yang diyakininya.

SEBODOH ITUKAH KITA

SEBODOH ITUKAH KITA

“Mereka menjadi guru hanya karena ingin jadi PNS, bukan ingin jadi pendidik”
JUMAT, 14 Februari 2014 kemarin, media memberitakan, 13 murid SDN Teluk Tiram 6 Banjarmasin, keracunan akibat menenggak minuman oplosan, yang merupakan campuran Big Cola, Susu Yes, Madu Rasa, Pulpy Orange, dan baby oil alias minyak bayi.
Ini sebenarnya bukan kasus baru. Korban minuman oplosan di Banjarmasin memang tinggi. Pada Januari 2014, Polresta Banjarmasin menangkap tak kurang dari 300 orang peminum miras oplosan.
Di bulan yang sama, media melaporkan, seorang ayah dan anaknya tewas akibat menenggak minuman serupa. Ini baru di Banjarmasin. Bagaimana di kota-kota lain di Kalimantan, Jawa, Sumatera dan lain-lain?
Selain itu, banyak anak usia SD dan SMP di Banua, yang suka menghisap aroma lem Fox, yang konon bisa membawa orang ke alam khayal.
Mahasiswi kami, Uun Nurhayatin, pernah meneliti Pasar Tungging di Kelayan, Lokasi dan Pekauman. Di sana ia menemukan anak-anak menghirup lem. Menurut cerita kawan, aksi serupa juga ditemukan sore hari di sekitar Taman Kamboja. Di beberapa kabupaten lain juga ada.
Sementara itu, Kalsel ditengarai sudah berada di peringkat kelima nasional dalam penyalahgunaan narkoba. Koran ini pernah melaporkan, pada 2012 penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh 928 pihak swasta, 522 pengangguran, 93 ibu rumah tangga, disusul 13 pelajar dan 8 mahasiswa (BPost 16-3-2013). Sangat mungkin, kasus-kasus yang belum terungkap lebih banyak lagi.
Desember 2013 lalu, polisi menyita 87.000 butir ekstasi di Bandara Kualanamu, Sumut, yang akan dikirim ke Banjarmasin. April 2013, dua tersangka narkoba ditembak polisi, dan ditemukan barang bukti 102,5 gram sabu, dan 10 ribu butir ekstasi.
Kasus ini merupakan pengembangan penangkapan pengedar narkoba di Banjarmasin, dengan barang bukti 7 kilogram sabu dan 7.000 butir ekstasi (BPost, 3-12-2013).
Saya yakin, banyak di antara kita yang menghela napas panjang mengetahui semua ini. Mungkin beban hidup terlalu berat, sementara kebutuhan dan angan-angan makin tinggi.
Pengangguran dan kemiskinan membuat banyak orang frustrasi, tak punya harapan di masa depan, hingga putus asa dan memilih untuk teler. Sementara sebagian orang kaya, tergoda mencoba narkoba sampai akhirnya kecanduan.
Kegalauan kita pun akan kian bertambah, jika membaca dua esai yang ditulis Elizabeth Panini di dunia maya, Desember 2013 lalu. Yang pertama berjudul a nation of dunces? (bangsa orang-orang bodoh?), terbit di insideindonesia.org dan yang kedua berjudul Indonesian kids don’t know how stupid they are (anak-anak Indonesia tidak tahu betapa bodoh mereka), terbit di portraitindonesia.com.
Panini mencatat, tiga tahun sekali, anak-anak usia 15 tahun dari 65 negara, mengikuti tes Program for International StudentAssessment (PISA). Hasilnya, anak-anak Indonesia selalu berada di urutan sangat bawah.
Pada 2012, mereka berada di urutan ke-64 dalam bidang sains dan matematika, dan ke-60 dalam kemampuan membaca. Mereka kalah dari anak-anak Singapura, Korea bahkan Malaysia.
Padahal, kata Panini, anggaran pendidikan kita sangat besar. Jumlah guru di daftar gaji sangat banyak, tapi jumlah guru yang benar-benar mengajar justru sedikit.
Banyak guru yang malas dan bolos. Mereka rupanya menjadi guru hanya karena ingin jadi PNS, bukan ingin jadi pendidik. Selain itu, nyontek sudah jadi budaya di sekolah-sekolah kita. Ujian Nasional (UN) malah memperparah budaya nyontek ini.
Kita boleh marah pada tulisan Elizabeth Panini, atau menolaknya dengan menunjukkan prestasi-prestasi hebat siswa-siswi kita.
Tetapi tak ada salahnya kita mendengarkan kritik orang asing itu, yang kiranya berdasarkan fakta pula. Apalagi jika kita kembali ke soal minuman oplosan, lem Fox, miras dan narkoba. Bagaimanakah nanti jadinya generasi muda kita? Sudah bodoh otaknya, dirusak pula otak itu!
Jika pemerintah, aparat penegak hukum, anggota DPR, ulama, guru, dan terutama para orangtua, tak mau peduli dengan semua ini, berarti benarlah yang dikatakan Panini: we don’t know how stupid we are! Kita tak tahu betapa bodohnya kita ini!

MISTERI WAKTU

MISTERI WAKTU

     KALA masih kecil, di siang hari saya suka berbaring di lantai depan rumah kami. Saya melamun sambil memandangi langit dan awan-awan putih yang berarak laksana kapas. Lalu muncul pertanyaan di benak. Sudah berapa lama alam semesta ini ada? Bagaimanakah ‘keadaan’ ketika ia belum ada? Ketika belajar filsafat, barulah saya sadar bahwa para filosof dan ilmuwan juga berpikir seperti anak-anak, yang serba takjub, heran dan penuh tanya. Kita mengenal pembagian waktu berupa jam, menit dan detik; atau hari, minggu, bulan, tahun, abad dan milenium. Mereka bertanya, apa hakikat waktu? Apakah waktu sudah ada sebelum alam ini ada? Apa hubungan waktu dengan ruang, materi dan energi? Masalah waktu terasa relevan karena kita akan sudah meninggalkan 2013, memasuki 2014. Berbagai kegiatan sudah disiapkan untuk menyambut tahun melenium. Ada yang ingin melaksanakan muhâsabah, menghitung apa yang telah dilakukan dalam hidup ini, baik atau buruk. Ada pula yang ingin pesta, pesta disko, atau bahkan pesta narkoba. Ada pula yang ingin tidur saja di rumah. Memang tak jarang, ada mitos di balik waktu. Misalnya, orang Yunani kuno menyebut nama-nama hari dengan nama-nama planet, yang masing-masing dianggap dewa, mulai dari hari dewa matahari, bulan, mars, merkurius, yupiter, venus dan saturnus. Nama-nama hari dalam bahasa Eropa masih menyisakan mitos ini. Misalnya dalam Bahasa Inggris: Sunday (hari matahari) dan Monday (hari bulan). Dalam Yahudi dan Islam tidak ada mitos seperti itu, kata Nurcholish Madjid (1992), sehingga nama-nama hari disebut dengan urutan angka saja, dari satu sampai tujuh (Ibrani: risyon, syeni, sylisyi, revii, hamisyi, syisyi, syabat;  dan Arab: ahad, istnain, tsulasa’, arbi’a, khamis, jum’ah, sabat). Namun Islam menyebut hari keenam jum’ah, yaitu hari berkumpul untuk beribadah. Sementara Yahudi, beribadah di hari Sabtu. Selain mitos di balik nama-nama hari, menjelang akhir tahun, sering kita saksikan di televisi, paranormal yang meramalkan yang akan terjadi berdasarkan bintang seseorang, atau shio tahun yang akan datang. Konon, 2014 menurut tradisi Cina adalah shio kuda. Paraperamal pun ramai mengartikan yang dimaksud dengan kuda dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, hingga asmara. Padahal, manusia sudah dianugerahi akal agar ia dapat mengembangkan ilmu mengenai  dirinya dan alam semesta. Manusia dapat menggali hukum-hukum alam dan kehidupan untuk menemukan mata rantai sebab-akibat. Berdasarkan tali-temali sebab-akibat itu, ia dapat meramalkan apa yang bakal terjadi nanti. Inilah ramalan ilmiah yang lebih layak dipercaya ketimbang ramalan paranormal. Namun perlu juga ditegaskan, kebenaran ilmiah tidaklah mutlak. Alam dan manusia tetap menyimpan misteri. Mari kita kembali ke pertanyaan di atas. Apa hakikat waktu? Gerak melahirkan waktu, kata Aristoteles. Ruang dan waktu itu mutlak, kata Newton. Ruang dan waktu itu relatif, bantah Einstein. Materi di sini, menyebabkan ruang melengkung di sana, lalu membuat materi di sini bergerak. Anda bingung? Saya juga. Tapi mungkin inilah ambang batas, agar kita ingat pada Dia Yang Tak Terbatas. “Jangan kalian memaki waktu, karena Akulah sang Waktu,” kata Allah dalam hadis qudsi. Bagaimanapun hebatnya, ilmu manusia tetaplah terbatas. Karena itulah, manusia harus tetap rendah hati.

KETIKA HIDUP DIMULAI

KETIKA HIDUP DIMULAI

     KINI kita berada di musim hujan. Hujan itu bermacam-macam. Ada hujan lebat, hujan gerimis, hujan buatan, hingga hujan lokal.
Yang tidak disukai para santri adalah ‘hujan lokal’, yaitu diguyur air di tempat tidur oleh pengasuh asrama akibat tidur kesiangan. saya dapat cerita dari temen yang pernah di asrama pesantren.
Air hujan lokal itu memang tidak membahayakan. Paling-paling membuat yang tidur terperanjat dan terjaga, lalu menggigil kedinginan.
     Yang lebih tidak enak adalah rasa malu pada pengasuh, dan juga kawan-kawan seasrama. Apalagi akibat siraman itu, dia harus menjemur kasurnya yang basah, yang sudah tentu menjadi bahan tontonan dan tertawaan pula.
     Begitulah pendidikan di Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, ketika teman saya nyantri di sana pada pertengahan 2000-an. Mungkin bagi sebagian kita, cara seperti itu terkesan berlebihan.
Namun yang jelas, tujuannya sangat baik, yaitu melatih dan membiasakan para santri untuk bangun pagi setiap hari. Agar terbiasa, mula-mula harus dipaksa. Bagi yang tetap tak peduli, akan diberi sanksi berupa hujan lokal tadi.
     Semua kita kiranya pernah mengalami beratnya bangun pagi. Apalagi anak-anak dan remaja, yang masih memerlukan jam tidur lebih lama daripada orang dewasa.
Orang dewasa pun bisa mengalami sulitnya bangun pagi, jika ia terlambat tidur hingga larut malam, atau bekerja terlalu lelah di siang hari. Pendek kata, beratnya kepala untuk bangun pagi, bisa menimpa siapa saja, tua ataupun muda.
     Bagi kaum Muslim, bangun pagi adalah keharusan, karena adanya kewajiban melaksanakan Salat Subuh. Sekitar setengah jam sebelum tiba waktu salat, biasanya pengeras suara di langgar dan masjid sudah berbunyi.
Itupun belum tentu membuat orang bangun untuk salat. Apalagi ketika cuaca hujan dan dingin. Saat terbangun, tahu-tahu matahari sudah bersinar, sehingga ‘keringlah’ qunut salat Subuhnya.
     Kalau direnungkan, tampaknya sulit menentukan, apakah tidur atau jaga yang ada terlebih dahulu. Mungkin tidur adalah awal dan bangun adalah akhir.
Kita tidur di rahim ibu, lalu jaga ketika lahir, tidur lagi ketika mati, terus jaga lagi di alam kubur, dan tidur lagi hingga jaga di hari kebangkitan. Tapi mungkin pula, jaga adalah awal, karena konon ruh sudah ada dan jaga sebelum tubuh diciptakan.
     Keterkaitan tidur dan jaga itu amat terasa dalam soal bangun pagi di atas. Kondisi kita ketika bangun sangat ditentukan oleh kondisi tidur kita. Kalau tidurnya nyenyak dan tenang, bangunnya akan segar dan bergairah.
Sementara itu, untuk bisa tidur nyenyak dan tenang, kondisi jaga sebelum tidur juga harus baik dan tenang. Kalau pikiran kacau, tidur akan gelisah, sehingga bangun pun akan berat.
     Dengan demikian, tidur dan jaga memiliki satu titik yang sangat penting dan menentukan, yaitu ketika memulai prosesnya. Setiap memulai itu sulit. All starts is difficult, kata ungkapan dalam Bahasa Inggris.
Mengapa sulit? Karena memulai berarti mengambil keputusan, menentukan arah dan pilihan. Memulai adalah wujud dari kebebasan dan tanggung jawab manusia terhadap hidupnya.
     Mungkin karena itulah, agama mengajarkan doa-doa menjelang tidur dan bangun. Doa-doa itu adalah suatu permohonan kepada-Nya yang menguasai hidup dan mati, agar berkenan memberikan kepada kita awal yang baik, dan akhir yang baik pula.
     Yang baik itu adalah yang bermanfaat, dan yang bermanfaat itu adalah yang membahagiakan. Bukankah kita ingin bahagia dalam tidur maupun jaga?
Alhasil, bangun pagi itu penting. Bukan sekadar udara pagi itu sejuk dan segar. Bukan sekadar matahari pagi itu indah dan hangat. Bukan sekadar kicau burung pagi itu merdu. Bukan pula karena sekarang sudah di tahun 2014.
Bangun pagi adalah perjuangan melawan godaan jangka pendek, untuk meraih kebaikan jangka panjang. Ia adalah momen penting, ketika kita memulai hidup setiap hari.

DASAR SINGKEK

DASAR SINGKEK

     “...sering yang mayoritas tidak mau merangkul yang minoritas, baik karena curiga, maupun karena merasa kuat”  “ORANG Cina itu tidak sombong, bahkan sangat rendah hati, karena ia tak pernah memandang orang lain dengan sebelah mata. Soalnya, dengan dua belah mata saja susah!” kata Ernest Prakasa, seorang warga keturunan Cina yang kini dikenal luas sebagai comic alias pelawak <a>Stand Up Comedy</a>.

Sejak pintu kebebasan berpendapat dan berserikat terbuka lebar di negeri ini, kita tampaknya makin belajar lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan tidak lagi dianggap mengancam, melainkan memperkaya persatuan. Warga Cina, sebagaimana warga lainnya, bebas menampilkan berbagai wujud kebudayaan mereka yang khas, sebagai bagian dari keragaman budaya Indonesia.

     Yang lebih menarik lagi, keragaman itu dapat disatukan melalui komedi. Jika slogan negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, maka Pandji Pragiwaksono menerjemahkannya dalam komedi menjadi Bhinneka Tunggal Tawa. Perbedaan akan larut dalam tawa. Ketika dipicu oleh sesuatu yang lucu, secara alamiah, orang akan tertawa. Dalam tawa, kita temukan kesamaan diri kita sebagai manusia.

     Dalam Ngenest, Ngetawain Hidup ala Ernest (2013), Ernest Prakasa mengulas banyak hal tentang orang-orang Cina di Indonesia dan berbagai stereotip tentang mereka. Ia uraikan bahwa tidak benar semua orang Cina itu kaya, karena banyak pula yang miskin. Orang Cina itu bukannya pelit, tapi hanya tak mau rugi dan banyak akal dalam berbisnis. Orang Cina juga tidak semuanya pandai bikin makanan enak.

     Memang sudah lazim, kata Ernest, kaum minoritas ditindas oleh mayoritas, bahkan di  negeri Cina sendiri. Sekitar 91 persen penduduk Cina adalah orang Han, sehingga mereka yang bukan Han sering didiskriminasi.

Contoh lain, dulu Ernest sekolah di SMA yang mayoritas siswanya anak keturunan Cina. Di kelasnya, hanya ada dua siswa bukan Cina yang sering jadi korban, dikerjai teman-temannya.

Karena itu, bagi Ernest, kaum minoritas harus sabar. Ia membuat contoh lain. Hampir semua televisi di Indonesia menyiarkan sinetron, dan ratingnya tinggi. Jika Anda tidak suka sinetron, berarti Anda minoritas. Anda harus sabar. Begitu pula, sepeda motor itu mayoritas, dan mobil minoritas. Jika Anda naik mobil lalu disalip seenaknya atau ditabrak para pengendara sepeda motor, Anda harus sabar.

     Suara Ernest tersebut barangkali merupakan upaya memahami diri sekaligus anjuran untuk dipahami. Ungkapan ‘harus bersabar’ adalah peringatan ke dalam, sekaligus memberi pengertian kepada pihak luar. Bagi pihak luar yang tergolong mayoritas, kewajibannya tentu bukan bersabar, melainkan melindungi dan menghormati minoritas agar diperlakukan setara dengan warga negara lainnya.

     Di sisi lain, ada satu hal penting yang tampaknya kurang diperhatikan Ernest, yaitu sikap kaum minoritas dalam berhubungan dengan mayoritas, dan sebaliknya. Tak jarang, kelompok minoritas cenderung suka mengasingkan diri alias eksklusif, baik karena takut atau sebaliknya, karena sombong. Begitu pula, sering yang mayoritas tidak mau merangkul yang minoritas, baik karena curiga, maupun karena merasa kuat.

      Chang-Yau Hoon (2011) dalam studinya menemukan, tiga dari empat sekolah Kristen paling bergengsi di Jakarta, yang pemiliknya dan siswanya mayoritas warga keturunan Cina kelas atas, ternyata cenderung mempertebal garis perbedaan etnis, agama dan kelas sosial. Kecenderungan ini, kata Hoon, seperti menguatkan kembali kebijakan pemisahan dan pengistimewaan etnis Cina di zaman kolonial Belanda.

Empat sekolah yang diteliti Hoon di atas, jelas tidak bisa dijadikan dalil untuk menyamaratakan semua sekolah serupa yang tersebar di negeri ini. Tetapi ia adalah suatu peringatan, bahwa peran lembaga pendidikan amat penting untuk menciptakan sikap dan pola hubungan antar warga negara. Karena itu, patut pula dikaji sebaliknya: seberapa terbuka sekolah-sekolah lain menerima warga Cina?

     Selebihnya, kita berterima kasih kepada comic seperti Ernest. Ia menyadarkan kita akan kesatuan dalam perbedaan melalui lelucon yang ia lontarkan. Kita dapat tertawa bersama, meskipun kita berbeda.

NYEPI MENGHALAU SEPI

NYEPI MENGHALAU SEPI

     SAYA belum pernah mengalami Nyepi di Bali,hanya dapat cerita temen-temen yang pernah mengalami nyepi di Bali. katanya Sejak pukul 6 pagi, suasana hening, senyap dan sunyi. Jalan-jalan lengang. Suara radio dan televisi juga tak terdengar. Toko, kantor, sekolah dan universitas tutup.  Orang-orang mendekam di rumah masing-masing.

     Di malam hari, sepi sunyi itu makin bertambah, ketika lampu-lampu dimatikan dan orang-orang terbenam dalam kegelapan. Bagi para turis, Bali adalah tempat yang eksotis, bukan sekadar karena alamnya yang indah, tetapi juga karena seni budayanya yang unik.

     Seorang pengajar asal Australia bercanda mengatakan, Bali adalah singkatan dari ‘banyak libur’. Ini bukan hanya karena orang suka pergi berlibur ke Bali, tetapi juga karena banyaknya hari-hari besar keagamaan yang ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah setempat.

     Tetapi Nyepi bukanlah hari libur lokal, melainkan nasional. Bagi para penganut Hindu di negeri ini, di manapun mereka berada, mereka akan merayakan Nyepi, sebagai langkah awal memasuki Tahun Baru Saka.

Pada hari ini, mereka melaksanakan Catur Brata, yaitu tidak menggunakan api, tidak bekerja, tidak bepergian dan tidak menikmati hiburan. Sebagian orang juga berpuasa dan bermeditasi.

     Hari Nyepi barangkali khas Hindu, tetapi bahwa manusia sewaktu-waktu perlu menyepi agar dapat menemukan makna hidup yang sejati, mungkin bersifat universal.

     Sidharta Gautama, sebelum menjadi Buddha, juga menyepi di bawah pohon besar. Bahkan, Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi rasul, juga menyepi, beribadah di Gua Hira di Jabal al-Nur, gunung batu setinggi 281 meter di kota Makkah. Padahal, di zaman itu belum ada koran, radio, televisi dan internet. Belum ada media yang tiap saat menyediakan serbaneka informasi dan hiburan. Belum ada ponsel dan tablet yang membuat kita sibuk terhubung ke mana-mana dengan mudah dan murah. Belum ada iklan-iklan penuh rayuan di media cetak dan elektronik ataupun di baliho dan billboard. Belum ada pula pemilu yang hingar bingar.

     Di era informasi dan globalisasi ini, jelas tidak mudah bagi kita untuk benar-benar menyepi. Anehnya, tak sedikit pula orang di zaman sekarang yang merasa kesepian. Penduduk makin banyak, jalan-jalan makin dipenuhi kendaraan, pasar dan mal terus diserbu pengunjung. Namun, manusia justru merasa sepi di tengah keramaian, merasa terasing dan teralienasi. Inilah paradoks zaman modern.

     Paradoks itu terjadi antara lain karena untuk mengisi hidupnya, manusia modern mengejar sesuatu yang berada di luar dirinya. Dia meletakkan nilai dirinya pada apa yang dia miliki dan bagaimana sikap orang lain terhadapnya. Karena itulah, ia berusaha menumpuk harta, kuasa dan membangun citra. Tetapi karena semua ini berada di luar dirinya dan tidak melekat pada jati dirinya, ia akhirnya kesepian.

     Berbeda dengan kesepian yang tak diharapkan, menyepi adalah suatu pilihan. Menyepi berarti memilih untuk menyendiri, menghindardari berbagai hubungan dengan dunia luar. Menyepi adalah upaya menemukan diri yang sejati atau suatu percakapan intim dengan diri sendiri. Diri menjadi subjek sekaligus objek. Adapun dunia luar, ia hanya ditatap dari jarak jauh, untuk memahami diri yang di sini.

     Pada kisah Mahabarata, Pandawa dan Kurawa berperang, dengan menggunakan senjata dan kesaktian masing-masing. Ribuan prajurit mati dalam perang itu hingga akhirnya Pandawa menang. Namun, Yudhistira, sang pemimpin Pandawa, malah sedih. Ia telah berusaha sekuat tenaga agar pertumpahan darah itu bisa dihindari, tetapi gagal. Perang seolah suatu keniscayaan, ketika kekuasaan dipertaruhkan.

Saat itulah, Kresna menasihatinya. “Sebagaimana engkau harus berperang melawan Durna dan Bisma, sekaranglah saatnya kau berperang melawan dirimu sendiri.”

     Itu pula yang diyakini pemimpin gerakan kemerdekaan India, Mahatma Gandhi. Bagi Gandhi, penjajahan terjadi karena kita membiarkan diri kita dijajah oleh hawa nafsu. Percuma kita mengusir penjajah asing, jika hawa nafsu tetap menjajah diri kita.

Sayangnya, kita sering abai terhadap pertarungan di dalam diri itu, yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai jihad yang paling besar. Mengapa? Antara lain karena kita selalu sibuk dengan dunia, dan enggan menyepi, untuk merenungi diri, hidup dan kehidupan ini



WANI PIRO

WANI PIRO

     Kampanye yang hingar bingar, ditingkahi musik dan goyang aduhai
artis-artis ganteng dan cantik sudah berakhir. Sejak kemarin, kita sudah
memasuki masa tenang. Selama rentang waktu tiga minggu kampanye,
suasana persaingan antarpartai dan tokoh-tokohnya amatlah terasa, baik
yang diucapkan langsung oleh juru kampanye, atau berupa sindirian dalam
paket iklan. Warna-warni atribut partai, foto caleg hingga calon
presiden dari partai tertentu, yang tumpah ruah di ruang publik, seolah
menjadi karikatur dari pertarungan politik yang tengah berlangsung. Namun,
betapa pun panasnya persaingan, masa kampanye tahun ini relatif
berjalan aman. Memang ada sedikit kasus kekerasan di Aceh, tetapi di
daerah-daerah lain di Indonesia, umumnya berjalan aman dan damai. Ini
satu prestasi yang patut kita syukuri.
     Jelas tidaklah mudah
mengatur negeri yang amat luas dengan penduduk 240 juta ini, dengan
keragaman yang luar biasa dari segi etnis, budaya dan agama. Kalau
kita bandingkan dengan pemilu Orde Baru, maka keadaan sekarang  jauh
lebih baik. Ketika itu, pemilu hanyalah formalitas, dengan hasil yang
sudah jelas: Golkar menang di atas 60 persen, dan Soeharto tetap sebagai
presiden.
     Demi tercapainya hasil itu, seluruh aparat pemerintah,
sipil dan militer turut campur, dengan berbagai cara, termasuk melalui
ancaman, manipulasi dan kekerasan. Kita juga patut bersyukur jika
menengok keluar, ke negara-negara lain. Malaysia dan Singapura misalnya,
adalah dua negara yang tampaknya secara ekonomi lebih makmur dari kita,
tetapi dari segi kebebasan politik dalam berdemokrasi, saya kira
Indonesia lebih baik. Apalagi kalau kita melihat lebih jauh ke
Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Mesir, Suriah, Libya, Irak dan
Palestina. Indonesia masih jauh lebih baik. Namun, tentu saja kita
tidak boleh puas dengan semua ini. Masih banyak masalah yang harus
diatasi. Selama masa kampanye, masalah-masalah itu bisa kita temukan
dalam iklan-iklan politik atau pidato-pidato para juru kampanye.
     Semuanya
mengaku akan menjadi pemecah masalah, bukan sumber masalah. Mereka
berjanji anti-korupsi, pro-rakyat, dan tidak menggadaikan negara ke
pihak asing. Namanya juga kampanye, masa merayu pemilih agar mau
memilih. Berbagai cara pun dilakukan agar rakyat percaya. Segala
kesalahan dan janji-janji palsu di masa lalu sekuat tenaga dihapus dari
ingatan rakyat. Triliunan rupiah digelontorkan untuk iklan-iklan
serba indah menggugah di televisi, koran, baliho dan bilboard. Pada
akhirnya, kampanye hampir sama dengan iklan: membujuk, meski kadang
palsu.
     Mungkin keadaan ini akan mendorong kita kepada berbagai
pertanyaan serius. Apakah arti kebebasan berdemokrasi jika dalam
kenyataan pemilih disuguhi citra-citra dan kesan-kesan indah belaka?
Apakah makna kebebasan jika akhirnya uang jualah yang menang, bukan
nilai-nilai moral seperti kemanusiaan, keadilan dankejujuran? Apakah
demokrasi akhirnya tidak lebih dari kemunafikan yang santun? Saya
kira semua pertanyaan ini jawabnya gampang sekaligus susah. Gampang
karena pada akhirnya yang menentukan kualitas demokrasi adalah kita
semua yang terlibat dalam berdemokrasi. Jika pemilih cerdas dan kritis,
sadar akan tipu daya iklan dan kampanye, mungkin dia tidak mudah
terbujuk. Begitu pula politisi yang baik, tidak akan menggunakan
cara-cara yang tak bermoral dalam mendulang suara. Di sisi lain,
membuat demokrasi kita makin sehat dan dewasa jelas tidak gampang. Kita
tidak hanya perlu politisi yang baik, tetapi juga rakyat pemilih yang
baik.
     Kita tidak hanya perlu aturan pemilu yang jujur dan adil,
tapi para pelaksana yang jujur dan adil pula. Sementara kejujuran dan
keadilan adalah nilai-nilai moral yang ditanamkan dalam waktu yang lama,
melalui pendidikan dan kehidupan nyata sehari-hari.
     Meminjam
Erich Fromm, kita telah berhasil berjuang demi kebebasan (for freedom)
dari penindasan politik, dan kini tiba saatnya kita berjuang dengan
kebebasan itu (with freedom) demi kesejahteraan bersama. Dalam situasi
serbagalau, kata Fromm, kadang manusia justru takut dan lari dari
kebebasan (escape from freedom), lalu menyerahkan semua keputusan kepada
seorang pemimpin otoriter.
Semoga yang terakhir ini takkan pernah terjadi. Mari kita buktikan pada 9 April 2014!

SUARA RAKYAT

SUARA RAKYAT

      Suara rakyat akan menentukan masa depan bangsa ini. Pemilu
legislatif 9 April 2014 kemarin sedang dihitung. Setelah itu ada lagi
pemilu untuk memilih presiden dan wapres. Pemilu legislatif
paling bergairah terjadi pada 1999 saat PDIP menang dengan suara 30
persen lebih. Sementara pemilu presiden paling bergairah pada 2009
ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengalahkan lawan-lawannya dalam sekali
putaran saat pemilihan presiden. Tapi keduanya tidak menghasilkan
pemerintahan yang kuat.
     Pemilu 1999 dimenangi PDIP tapi yang
menjadi presiden adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena permainan
politik. Meski akhirnya Gus Dur digusur dan Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri naik dari wapres menjadi presiden, parlemen yang berisi
banyak partai tetap menampilkan banyak keinginan.
Bahkan ketika
Yudhoyono menjadi presiden pada 2004, kondisi pemerintahan tetap sama.
Kepentingan partai di parlemen sangat dominan, apalagi Partai Demokrat
(PD) yang memerintah saat itu hanya ‘partai gurem’.
Tapi pada 
2009 Yudhoyono memenangi lagi kursi presiden dengan lebih 60 persen
suara, partainya juga memenangi pemilu legislatif. Tapi pemerintahannya
malah tidak jelas, presidensial tapi koalisi. Ujung-ujungnya Yudhoyono
ditelikung oleh partai-partai kecil yang ‘numpang hidup’ dalam
koalisinya. Waktunya pun sebagian disita untuk partai, begitu pula
menteri-menterinya. Apalagi setelah Yudhoyono mengambil alih jabatan
ketua umum PD.
     Kata orang, Pemilu kali ini milik PDIP. Nah, dari
mana hitungan mereka? Rupanya mereka melihat faktor Joko Widodo
(Jokowi), Gubernur DKI yang kini menjadi calon presiden (Capres) dari
PDIP. Itulah sebabnya Megawati mengumumkan pencalonan Jokowi
sebelum pemilu legislatif agar bisa mendongkrak suara. Memang
macam-macamlah cara yang ditempuh untuk meraup suara.
     Dibanding
negara maju seperti Amerika Serikat (AS) memang beda. Di sana menarik
suara lewat program, seperti pajak, hak asasi manusia atau perekonomian.
Di sini pernah dicanangkan seperti itu tapi tidak laku karena
kebanyakan program hanya bohong. Yang sungguhan saja tidak jalan apalagi
yang hanya tipu-tipu.
Rakyat justru terbiasa dengan perilaku para
pemimpinnya, menjaring suara pakai uang. Jadilah pemilu di Indonesia
selalu diwarnai dengan politik uang atau sembako. Jokowi saja ketika di
Lampung dimintai duit, padahal dia menawari traktir makan malam pada
orang-orang yang mengurubungi. “Mentahan saja, Pak,” kata mereka yang
langsung ditolak Jokowi.
     Yang celaka adalah kampanye dengan
mengusung kejayaan mantan Presiden Soeharto. Padahal reformasi itu
justru untuk mengoreksi Orde Baru (Orba) yang otoriter dan bermandi
darah.
     Kalau melihat berbagai komentar di jagad maya,
Pemilu 2014 initampaknya lebih bergairah. Rakyat mememendam harapan
besar setelah 15 tahun reformasi hanya menyaksikan ketidakberdayaan
pemimpin. DPR menjadi gudang koruptor, pemerintah melawan preman pun tak
berdaya.
     Tahun 2014 ini ada suasana baru, ada calon presiden
alternatif yang ditunggu-tunggu, Jokowi, yang diharapkan membawa angin
segar. Megawati pernah bilang, Jokowi itu kerempeng tapi banteng.
Artinya biar dia kecil tenaganya luar biasa. Dalam setahun memimpin
Jakarta dia bisa menertibkan kawasan Tanah Abang, waduk Pluit dan Ria
Rio, dan memindahkan penduduk kampung-kampung kumuh. Dia juga bisa
membungkam DPRD, yang biasanya panen duit menjadi ‘paceklik’ berat.
     Jokowi
seperti Barack Obama, kemunculannya langsung disambut hangat rakyat AS,
padahal dia berkulit hitam. Orang AS hanya ingin yang lain, bosan
dengan jago-jago politik yang sudah gaek. Persamaan lainnya, jika Jokowi
terpilih waktunya juga tidak akan terbagi untuk partai seperti
presiden-presiden sebelumnya.
Tahun 1998 pun kita pernah punya tekad, yang penting bukan Soeharto. Ternyata yang muncul Gus Dur.
Perjalanan
sejarah telah mengantarkan kepada kita tokoh-tokoh muda yang menjadi
dambaan rakyat. Selain Jokowi ada Wagub DKI Basuki Tjahaya Purnama
(Ahok), ada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya, Risma
Triharini (bersama Jokowi menjadi nominator walikota terbaik dunia).
Jokowi bahkan merupakan salah satu dari 50 pemimpin terbaik dunia versi
majalah Fortune.
      Kalau Jokowi menang harus didukung DPR yang kuat. Syaratnya PDIP harus menang besar. Ini
menuntut partai bekerja keras. Apalagi saat ini pun Jokowi sudah banyak
mendapat serangan, dari sindiran sampai hujatan, dari caci maki sampai
puisi.

CALEG VS CALENG

CALEG VS CALENG


      “KITA
ini adalah bangsa yang luar biasa. Demi memperjuangkan kepentingan
rakyat, orang rela berkorban habis-habisan. Orang mau menjual rumah,
tanah, mobil dan lain-lain, bahkan mau berutang ratusan juta rupiah,
demi memerjuangkan kepentingan rakyat. Dan ketika gagal terpilih jadi
wakil rakyat, dia sangat sedih, bahkan gila, karena tak bisa
memperjuangkan kepentingan rakyat!”. Seorang caleg perempuan,“Jujur, saya
tidak hanya galau, tapi ngeri mendengar komentar tadi, karena
dicontohkan kasus-kasus yang tidak-tidak. Saya ini jadi caleg, tidak
ingin jadi gila, Pak. Apalagi saya ini tak punya modal, sementara tadi
dikatakan, modal jadi caleg itu harus besar,” katanya, yang disambut
tepuk tangan hadirin.
      Kurang dari tiga bulan kemudian, pemilu
legislatif digelar, 9 April 2014 lalu. Ternyata, media memang ramai
memberitakan kasus-kasus pilu caleg yang gagal. Ada yang mengamuk,
meminta kembali uang sogokannya.
Ada pula yang marah-marah, bukan
calegnya, tapi suaminya atau ayahnya. Tak sedikit pula yang mengobati
diri ke pesantren, kiai hingga rumah sakit jiwa. Bahkan ada yang gantung
diri.
      Kita mungkin tersenyum sinis menyaksikan caleg-caleg gagal
yang memelas itu. Padahal, kalau dipikir-pikir, sebenarnya ironi dan
derita yang menimpa mereka, adalah cermin dari perilaku politik kita
juga.
Kita tidak bisa hanya menyalahkan caleg, tanpa mengkritik
para pemilih. Bukankah politik uang takkan jalan, jika pemilih menolak?
Faktanya, banyak pemilih bukannya menolak, malah meminta uang itu.
Di
sisi lain, derita yang ditanggung caleg gagal itu, menunjukkan bahwa
masih banyak caleg yang terjun ke dunia politik tanpa kesiapan mental
dan biaya. Sebagaimana bidang-bidang keahlian lain, politik
menuntut suatu keahlian dan kematangan tertentu, yang tidak cukup hanya
dipelajari melalui buku atau pidato, tetapi yang lebih penting lagi,
diasah melalui pengalaman terjun langsung ke dunia politik.
      Dalam
satu kuliah yang disampaikan di Munich University pada 1918 berjudul
Politics as Vocation, sosiolog Jerman, Max Weber antara lain menyatakan,
bahwa politisi adalah orang yang hidup demi politik, dan dari politik.
Seorang
politisi harus memiliki ambisi untuk berkuasa, entahdemi satu
cita-cita, atau demi prestise kekuasaan saja. Dengan berkuasa, ia juga
mendapatkan penghasilan untuk hidup.
Politisi yang berhasil,
menurut Weber, paling tidak memiliki tiga kualitas, yaitu gairah
(passion), rasa tanggung jawab (responsibility) dan keseimbangan (sense
of proportion).
      Gairah politisi muncul dari cita-cita yang ingin
diperjuangkannya. Dari gairah itu akan muncul rasa tanggung jawab. Namun
gairah harus terkendali oleh keseimbangan, yaitu kemampuan melihat
kenyataan secara objektif, lalu bertindak.
Kelemahan politisi,
kata Weber, umumnya adalah karena kurangnya kemampuan melihat kenyataan
secara apa adanya. Politik adalah seni kemungkinan berdasarkan
kenyataan.
Penilaian atas dasar emosi pribadi, sombong atau
terlalu percaya diri, seringkali akan menjatuhkan si politisi. Karena
itu, politisi yang baik adalah orang yang mampu menjaga jarak antara
dirinya dan realitas sehingga ia lebih objektif.
Kesadaran akan
kenyataan objektif inilah kiranya yang kini makin kita perlukan, bukan
hanya untuk caleg yang gagal, tapi juga untuk pemilu presiden nanti.
Melihat
hasil hitung cepat, ternyata tak ada satu pun partai yang mencapai 20
persen suara. Ini berarti koalisi antar partai tak dapat dihindari.
Koaliasi adalah tuntutan kenyataan. Partai yang tak mau berkoalisi
dengan partai lain, bisa jadi akan tersingkir.
Politisi harus
realistis, seperti kata Muawiyah bin Abi Sufyan, “Aku takkan memukul
jika lidahku sudah memadai, dan takkan menggunakan pedang jika cambuk
sudah cukup. Jika ada sehelai rambut yang mengikat diriku dengan
teman-temanku, aku akan berusaha mempertahankannya supaya tidak putus.
Jika mereka menarik, aku akan mengendorkan, dan jika mereka
mengendorkan, aku akan menarik.”
Lantas, apa beda antara
realistis, idealis dan oportunis? Mungkin, realistis berarti
mempertimbangkan kenyataan secara objektif. Pertimbangan akan kenyataan
itu kemudian menjadi dasar untuk bertindak.
Jika kita bertindak
dalam rangka mencapai cita-cita mulia, maka kita adalah politisi idealis
(idealis-realis). Jika tindakan itu hanya untuk kepentingan pribadi
yang sempit, maka kita adalah politisi oportunis.
Alhasil, tidak mudah menjadi seorang politisi. Lebih sulit lagi menjadi politisi yang baik dan sukses.

FENOMENA 'CABE-CABEAN' (CABE=Cewek Alay Bisa Ehem)

FENOMENA 'CABE-CABEAN' (CABE=Cewek Alay Bisa Ehem)

      FENOMENA menarik kini tengah hangat di negeri ini. Bukan tentang
pesta akbar demokrasi yang dihelat Komisi Pemlihan Umum. Bukan pula
fenomena Jokowi yang membikin panas wajan politik. Tapi, ini fenomena
remaja yang nyeleneh dan membuat kita mengurut dada. Fenomena
‘cabe-cabean’. Demikian istilah baru di kalangan remaja yang sejatinya
tidak jelas rekam jejak istilah kata cabe-cabean tersebut. Pastinya,
kata ini sudah menjadi trending topics di masyarakat, khususnya kalangan
remaja. Kata cabe-cabean menjadi sebutan bagi remaja putri yang senang
keluyuran malam, dan nongkrong berkelompok dalam komunitas pembalap
liar.
     Tak bisa dipungkiri, bangsa kita memang dikenal penggemar
berat cabai atau cabe. Dan, ketika cabe hilang di pasaran, semua orang
pun mengeluh lantaran tidak bisa menikmati sajian kuliner sebagaimana
mestinya. Itu sebabnya, urusan tanaman yang satu ini terkadang harus
digelar sidang kabinet. Inilah betapa unik dan menariknya cabe bagi
masyarakat di negeri ini. Soal cabe-cabean pun menjadi menarik
jika kita merujuk pada akronim ‘Cabe’ = “Cewek Alay Bisa Ehem”. Nah,
dengan definisi yang longgar itu menggambarkan gadis-gadis belia
mengintrodusir norma dan etika di masyarakat dengan cara pandang seenak
hatinya. Dan, kota-kota besar di negeri ini memberi banyak ruang
munculnya fenomena “cabe-cabean”.
     Cabe-cabean bukan saja sekadar
menganut paham bebas bergaul, melainkan juga udah sampai pada tahap seks
bebas. Seperti dimedia-media berita, tarif
untuk cabe-cabean mencapai puluhan juta rupiah. Dunia cabe-cabean
dikenal klasifikasi atau kategori, mulai cabe ijo, cabe merah dan cabe
oranye. Cabe ijo biasanya remaja putri SMA yang suka nongkrong di
tempat-tempat tertentu yang tengah ngetrend. Sedangkan cabe merah
biasanya remaja putri suka kongkow di klub-klub atau kafe dan
supermarket. Sementara cabe oranye adalah tipe gadis jalanan yang biasa
nongkrong sambil menonton balapan liar. Suka naik motor bonceng tiga,
dan tidak pakai helm. Biasanya sambil cekikikan, main HP, dan pakai
behel. Kita meyakini fenomena cabe-cabean tidak hanya terjadi di Jakarta
tapi juga terjadi di banyak kota besar, termasuk Banjarnegara.
      Sejatinya,
fenomena “cabe-cabean” sudah muncul di Indonesia sejak tahun 2000. Kala
itu, seperti laporan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) munculnya fenomena pekerja seks komersial yang dilakukan siswa
sekolah menengah atas. Fenomena itu kemudian meluas hingga ke tingkat
sekolah menengah pertama. Harus diakui, berkembangnya pekerja seks
komersial pada usia anak karena selama ini belum ada hukuman yang
memberi efek jera untuk ‘agen’ yang memasarkan ‘cabe-cabe’ Seharusnya,
para agen dikenakan pasal berlapis bila terbukti menyalurkan pekerja
seks komersial di bawah 18 tahun. Sebenarnya, di dalam UU Perlindungan
Anak sudah ada sanksi hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
merugikan anak.
      Sayangnya, selama ini, penegak hukum hanya
menggunakan KUHP yang terbilang konvensional sehingga sering pelaku
hanya dijatuhi hukuman beberapa bulan penjara. Padahal, jika digunakan
UU Perlindungan Anak, sanksi pidana yang berat bisa memberikan efek jera
bagi pelaku. Ketua Komisi Perlindungan Anak, Seto Mulyadi menilai
fenomena cabe-cabean adalah tindakan kreatif yang keliru yang dilakukan
remaja, Sejatinya, tidak hanya fenomena cabe-cabean, fenomena arisan
seks remaja, dan tawuran juga terjadi karena energi mereka yang tidak
tersalurkan secara positif. Semua ini berkorealsi kuat pola asuh
orangtua yang begitu permisif ikut menyuburkan fenomena tersebut.
      Mencegah
gadis-gadis remaja agar tidak terpengaruh dan larut dalam fenomena ini,
bukanlah pekerjaan yang mudah. Semua tergantung pergaulan yang dipilih
anak-anak dan norma yang diterapkan keluarga. Orangtua dan sekolah
berperan besar dalam upaya pencegahan. Orangtua harus melakukan mengatur
dan mengawasi anak-anaknya keluar malam, sementara sekolah harus tegas
dengan aturan berpakaian siswi-siswinya