Tuesday 16 October 2018

KOPI SUSU

*KOPI SUSU*

Menemaniku
Disaat senang
Disaat susah
Segelas kopi susu

Coklat kecoklatan
tak selalu keruh
dan yang pahit
tak selalu sedih

Kopi susu
Didepanku
Menyajikan
Sensasi hati

Jangan lesu
Abaikan muka lusuh
Kantong mata menebal
Fokus dengan segelas
Berisikan kopi susu

Semoga hari ini
Penuh berkah
Selamat beraktifitas
Dan sukses selalu

POSITIF THINKING

POSITIF THINKING

Tak perlu memikirkan orang sesuka hati menilai hidup kita.
Tak perlu bersusah payah merisaukan orang yg terus merendahkan kita.
Tak perlu membalas perbuatan orang yang kurang baik kepada kita
Sebab ini hidup kita, bukan hidup mereka.
Kita yang menjalani hidup, bukan mereka dan Alloh sebaik-baik penilai untuk hidup yang kita jalani, bukan mereka.

Bukankah masih ada orang-orang yang tetap setia bersama kita?
Bukankah masih ada orang-orang yang senantiasa menyukai kita, tak peduli seburuk apapun diri kita?
Bukankah masih ada Alloh yang selalu bersedia menguatkan kita kala kita terjatuh menjalani hari kita?

Jika memang hal buruk yang mereka bicarakan mengenai diri kita adalah benar, maka terima dan perbaikilah.
Namun, jika hal buruk yang mereka bicarakan tentang kita adalah salah, maka tersenyumlah.
Sebab cara terbaik untuk menghadapi semua perbuatan mereka ialah memaafkan, mendoakan kebaikannya, ajak menuju kebaikan, beri contoh yg baik dan bertawakalah pd Alloh.
Hapus tangis kita dan tersenyumlah.

“Orang yang paling sabar di antara kamu ialah orang yang (memilih untuk) memaafkan kesalahan orang lain padahal ia sanggup untuk membalasnya.”
(HR. Baihaqi).

Terus tebarkan positif dlm tutur kata, berfikir & berbuat baik pada siapapun.

Semoga kita bisa terus istiqomah beribadah dg penuh keikhlasan berharap ridho Alloh.

Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.

POLITIK APA KEJAM

POLITIK APA KEJAM

Mesin politik ya di partai, banyak partai mengatakan paling jujur dan tidak pernah korupsi, nyatanya orang-orangnya begitu rapihnya menampakkan topeng palsu dengan mengatasnamakan mereka partai jujur. Padahal jika dilihat lebih seksama, kepentinganya untuk para kroni-kroninya, rakyat kecil yang menjadi alas perjuangan pun hanya jadi tumbal demi kemenangannya. Para calonnya berkeliaran untuk menyebarkan uang, demi menjadi penguasa di negeri ini meski rakyat kecil yang jadi tumbalnya.

Tatkala mereka masih membangun kekuatan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, mereka pun seperti saudara. Mereka selalu bergandeng, tatkala mereka ini memiliki visi dan misi yang berbeda akhirnya pun pecah kongsi.

Tak hanya konflik di Pusat saja. Di daerahpun tak ketinggalan mereka berebut simpati rakyat, Bahkan sesama partaipun sampai-sampai saling jegal dan mengambil untung dan kesempatan. Bahkan urusan saksi pun menjadi rebutan.

Dan beberapa kasus yang melibatkan para politisi, partai dan para konstituen dalam konflik yang cukup sengit. Sehingga siapapun sepatutnya bersikap sewajarnya saja. Jangan karena begitu ngefansnya dengan seorang tokoh atau partai, harus mengorbankan persaudaraan sejati. Persaudaraan sebangsa dan setanah air.

Di saat kepentingan tersebut membutuhkan kerja sama, maka kerjasama pun dibentuk. Namun akan mudah bubar kerjasama tatkala kedua kelompok saling memiliki tujuan yang berbeda.

Politik itu kejam, bagi saya yang masyarakat awam. Bagi para politisi kekejaman politik dianggap sebagai bumbu wajib dalam kompetisi dan hiruk-pikuk pesta demokrasi. Tak ada kawan maupun lawan yang sejati. Yang ada adalah kepentingan untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum.  Meskipun demikian, tak patut pula prinsip "kejam" itu dengan mengorbankan rakyat miskin, awam, yang tak mengerti urusan politik.

HOAX

HOAX

Pelajaran penting dari fenomena politik buruk ini adalah munculnya penurunan kualitas cara berpikir elite politik kita. Sungguh tidak ada penjelasan yang lebih lucu dibandingkan dengan bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik, terutama yang dilakukan oleh kelompok tertentu, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.

Menajamnya kutub politik seperti sekarang ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang tak kita duga. Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Fungsi politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik dalam memperebutkan kekuasaan.

Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan. Kebohongan dan drama oleh oknum menjadi penanda dibukanya kotak pandora baru. Masih ada ruang-ruang kebohongan lain yang mungkin akan kita jadikan perhatian bahwa hadirnya moral politik sangat penting.

TSUNAMI

TSUNAMI

Daerah Palu dan sekitarnya sejak lama sudah diketahui oleh para ilmuwan sebagai rentan gempa dan tsunami. Berdasarkan data yang dihimpun dari tahun 1820 hingga 2018, telah terjadi 19 kali tsunami di daerah ini. Ironisnya, pada 2011 - 2012 menunjukkan, mayoritas warga Kota Palu tidak mengetahui ancaman tersebut, dan tidak bersiap untuk itu.

Tentu saja, bukan bermaksud menyalahkan korban (blaming the victims). Tugas melindungi ‘seluruh rakyat Indonesia’ adalah tugas negara. Negara kita masih kurang serius dalam upaya mencegah bahaya-bahaya akibat gempa dan tsunami. Alih-alih mengantisipasi yang akan terjadi, kita sepertinya terus-menerus ‘kaget’ dengan bencana-bencana itu, baru kemudian membantu para korban.

Sikap kita itu belum sepenuhnya sejalan dengan iman pada takdir. Tugas manusia bukan saja menerima hukum alam, tetapi juga mempelajarinya untuk kemaslahatan bersama. Memang harus diakui bahwa pengetahuan dan kekuatan manusia itu terbatas. Ini juga takdir. Tetapi dalam keterbatasan itu, manusia punya ruang untuk memilih dan bertindak. Inilah yang disebut ikhtiyâr, menentukan pilihan/keputusan.

Alhasil, takdir meletakkan manusia di antara kekuatan dan kelemahan, pengetahuan dan kebodohan. Kekuatan dan pengetahuan mencegah manusia dari putus asa, sedangkan kelemahan dan kebodohan mencegah manusia dari sombong bertepuk dada. Tugas mendesak saat ini adalah menolong para korban. Setelah itu, kita harus mengantisipasi dan menyiapkan diri menghadapi bencana serupa.

SANTUN

SANTUN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang santun, ramah dan saling menghargai seolah luntur tergerus perilaku egois dan fanatisme berlebihan.

Laju perkembangan internet, media sosial, diiringi kecanggihan peralatan komunikasi pintar (smart phone) dalam satu dekade terakhir harus diakui membawa perubahan dan dampak yang kompleks berpotensi melunturkan nilai-nilai luhur karakter bangsa ini.

Kebebasan berekpresi di dunia maya medsos menggerus budaya santun dan saling menghargai . Pengguna dunia maya pun menjadikan media sosial, bak rimba raya tak berhukum, tanpa moral dan etika, di mana setiap orang bebas melakukan atau tepatnya mengatakan apa saja kepada orang lain.

Proses hukum berbagai kasus penghinaan di media sosial melalui perangkat aturan yang keras produk pemerintah sepertinya tak mampu memerangi persoalan itu. Orang tetap saja beringas di media sosial.
Komitmen bahwa bangsa ini terlahir karena dirajut atas dasar perbedaan, makin luntur. Akibat beda pandangan politik, termasuk para elite, kita cenderung abai akan kewajiban merawat bangsa ini dalam sebuah ikatan besar yang telah disepakati.

Berbagai insiden yang terjadi di Tanah Air, dalam dekat ini ada kampanye Capres dan Caleg sudah terjadi gesekan, termasuk pengeroyokan pendukung Persija, oleh pendukung Persib, sedikit banyak ada efek dari media sosial. Perang yang terjadi di media sosial akan mudah tersulut menjadi perang terbuka ketika kedua kelompok bertemu fisik secara langsung.

Tentu persoalan seperti ini tak bisa dibiarkan terus terjadi. Kita harus secepatnya mengembalikan budaya sopan santun yang telah dirajut nenek moyang sejak dulu. Perlu gerakan dan kemauan bersama menjadikan media sosial sebagai tempat bersilaturahmi berbagi ilmu pengetahuan, bukan tempat saling hujat dan caci maki.

INSTAN

INSTAN

Roda zaman terus berputar, dan teknologi komunikasi semakin canggih dan liar. Sejak 2007, dunia mengenal media sosial.

Manusia terhubung satu sama lain di dunia maya. Selain saling menyapa, di media sosial, orang-orang juga pamer kesuksesan, kekayaan hingga kemesraan. Wajar saja, jika orang kemudian membanding keadaan dirinya dengan, dan iri kepada, orang lain yang tampak lebih sejahtera.

Masalah bertambah rumit karena kita hidup di zaman instan. Semua tampak serba praktis dan mudah. Teknologi memang telah banyak membantu hidup kita, meningkatkan kekuatan dan kecepatan kita.

Namun, secara perlahan, kita mulai terbiasa dengan yang serba cepat. Orang menjadi tidak sabaran. Kalau ada jalan pintas, meskipun melanggar hukum dan agama, orang mau saja melakukannya.

Hidup sederhana, bukanlah retorika politik, tetapi nilai mulia untuk hidup bahagia. Sederhana artinya tidak berlebihan. Tidak kikir, tidak boros. Sederhana artinya tidak serakah dan tidak besar pasak daripada tiang, tetapi bersyukur atas apa yang diterima.

Nilai luhur lainnya adalah sabar menjalani proses. Tidak ada yang bim salabim. Semua yang diraih hari ini adalah buah dari perjuangan panjang yang telah kita lakukan sebelumnya.

Manusia tidak hanya perlu sabar menghadapi kegagalan, tetapi juga sabar menjalani proses mencapai keberhasilan. Bahkan orang harus sabar saat suatu keberhasilan tercapai, jika ia ingin meraih keberhasilan yang lebih tinggi.

Alhasil, kita umumnya belum bisa menjadi Sufi yang memilih hidup asketis (zuhd), miskin secara sukarela (kalau miskin terpaksa, banyak!). Namun, kita mungkin mampu hidup sederhana secara sukarela, bukan untuk pencitraan, bukan pula untuk orang lain, melainkan untuk kedamaian hidup kita sendiri.

INILAH HUKUM

INILAH HUKUM

Semboyan "Indonesia adalah negara hukum" pada awalnya diniatkan agar masyarakat menaati hukum dan tidak melanggar hukum. Namun, karena semboyan itu lama-lama jatuh sebagai jargon, setiap anak sekolah yang mendengarnya dari Pak Guru mengira bahwa di negara Indonesia ini setiap masalah mau tak mau harus diselesaikan secara hukum.

Dulu jaman saya sekolah, penggaris kayu melayang ke kepala atau badan murid sudah biasa apa lagi penghapus melayang ke muka murid itu hal biasa, murid melapor ke orang tua justru anaknya yang di marahi orang tua karena orang tua sudah tau kelakuan anaknya. Tapi jaman sekarang Guru menghukum murid bisa orang tua melaporkan ke polisi.

Dari situ, kata "damai" pun lambat-laun menjadi hina. Kata itu cuma mengingatkan kepada selembar uang yang kita selipkan diam-diam di kantong celana oknum, saat kita dicegat karena melanggar. Padahal, jika urusannya dengan sesama warga masyarakat, alias bukan dengan penegak hukum, sesungguhnya damai adalah prioritas. Begitu, bukan?

Jadi, apa yang kita cari sesungguhnya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat dan bertetangga? Hukum yang tegak, atau kedamaian dan harmoni yang terjaga?

Banyak di antara kita yang tak lagi ingat bahwa pilihan kedualah jawabannya. Hasilnya, kita melupakan mekanisme-mekanisme kuno yang sejak dulu kala menghidupi spesies kita, mendudukkan kita sebagai sesama manusia, dan dengannya akan pulih juga kualitas kemanusiaan kita.

"Lalu, kalau minta maaf saja cukup, buat apa ada polisi?"

Ya, polisi tetap harus ada. Demikian pula hukum. Keduanya akan sangat dibutuhkan ketika mekanisme-mekanisme pemulihan harmoni dari tengah masyarakat sendiri ternyata gagal menemukan jalan solusi.

Selanjutnya, mari kita sambut perayaan Hari Perdamaian Sedunia

KOPI SUSU SAK SRUPUT

*KOPI SUSU SAK SRUPUT*

Saya melihat Teman menyruput kopi susu. nampak nikmat sekali, setelah puas ditutupnya kembali gelas besar kopi susu.
Saya mencoba untuk belajar, merenung peristiwa ini.
Ternyata  pada akhirnya semua rasa itu sama.
Segelas kopi susu itu hanyalah seharga  Rp  3.000 ,00 (tiga ribu rupiah). Namun temen itu begitu menikmatinya, tidak beda dengan  nikmatnya kopi susu yang dibeli  di cafe atau resto dengan tarif harga mahal.
Seberapa lama kopi susu itu nikmat...?
Hanyalah sepanjang perjalanan sampai di tenggorokan, setelah itu rasanya lenyap.
Tidak berbeda dengan minuman semahal apapun.
Begitu pula nikmat-nikmat  yang lainnya, ketika tidur di kasur yang empuk ataupun tikar, ketika mata terpejam, kita tak bisa membedakan saat ini tidur di mana, nikmatnya kasur empuk hanyalah terasa sampai mata ini terpejam.
Begitu pula tentang sebuah penderitaan. Sewaktu nglaju dari Jogja - Banjarnegara, saya sering tidak mendapat tempat duduk di bis, pegel2, deh kaki ini, apalagi bawa bawaan, dan baru dapat tempat duduk, 10 menit menjelang turun.
Rasanya penderitaan 5 jam sebelumnya tidak terasa lagi, nikmaaatt sekali, yang 10 menit ini. Namun senikmat apapun, saat kondektur bilang "Banjanegara terakhir Banjarnegara terakhir..." maka tanpa pikir panjang atau berat hati saya berdiri, kursi saya tinggalkan.
Tak terpikir untuk membawa kursi bis.
Entah esok akan dapat kursi lagi atau tidak, pokoknya kursi saya tinggalkan.
Begitu pula dengan kursi jabatan, saatnya selesai, tinggalkan kursi dengan senang hati.
Ternyata kehidupan itu hanyalah tentang rasa, dan segala rasa hanyalah sebentar dan akan berganti rasa yang lain.
Apapun rasa yang hadir pada Anda saat ini, nikmati sajalah. karena semua hanya sementara.
Teman, maturnuwun, sudah mengajarkan ilmu panguripan, mugi slamet lan sehat nggih, benjang maleh.

BELAJAR

BELAJAR

Dahulu ada istilah ‘sarjana siap pakai’. Sekarang, gagasan seperti itu semakin sulit diwujudkan jika yang dimaksud adalah, setelah tamat dari Perguruan Tinggi, alumni tanpa harus belajar lagi, sudah siap dan lihai untuk bekerja di bidangnya. Hal ini sulit karena kehidupan kita mengalami perubahan yang sangat cepat, yang disebut ‘disrupsi’, yakni perubahan yang membuat kita tidak bisa menjalani hidup seperti biasa.

Di sini disebutkan 10 kecakapan utama yang diperlukan dunia kerja pada 2020, yaitu mampu memecahkan masalah yang kompleks, mampu mengelola, berpikir kritis, kreatif, bekerjasama, cerdas emosi, memutuskan, melayani, bernegosiasi dan berpikir fleksibel.

Pada 2020, 52 persen lapangan kerja membutuhkan kecakapan berpikir yang fleksibel, kreatif, logis, sensitif dan visual. Pekerja harus mampu menggunakan berbagai hal dengan berbagai cara; mampu menemukan ide-ide cerdas dalam berkegiatan dan memecahkan masalah; mampu membaca kemungkinan masalah ke depan, dan membayangkan yang bakal terjadi ketika sesuatu diatur ulang.

Tuntutan akan kemauan dan kemampuan untuk terus-menerus belajar itu menunjukkan bahwa tugas lembaga pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai itu kepada para peserta didik. Teori ‘kuno’ tentang pendidikan seumur hidup ternyata tak pernah usang. Sabda Nabi SAW, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat” juga terus relevan. Ijazah, nilai, gelar, hanyalah perhentian sementara alias halte.

Alhasil, dunia kerja membutuhkan manusia yang tidak hanya siap pakai, tetapi juga siap belajar, yakni siap berkembang dan mengembangkan diri tiada henti. Kita perlu pekerja-pembelajar.

RUPI AH

RUPI AH

Rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan kian tajam penurunannya hampir menyentuh angka psikologis Rp 15 ribu per dolar AS.

Indonesia sedang memasuki tahun politik. Tentu saja sasaran utamanya adalah Presiden yang sudah memastikan diri maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.

Di pihak pemerintah, mulai para menteri terkait maupun politisi, akademisi, pakar ekonomi, hingga tokoh yang pro-presiden memberikan berbagai argumen terkait pelemahan rupiah. Keterpurukan nilai tukar rupiah tidak semata-mata dan selalu dikaitkan dengan kebijakan ataupun dianggap sebagai ketidakberdayaan pemerintahan.

Tentu saja yang berseberangan dengan presiden, pengamat, pakar, ahli ekonomi menganalisa pelemahan rupiah dalam perspektif sebaliknya, yang intinya menilai pemerintahan tidak becus mengendalikan dan mengamankan rupiah.

Rupiah jatuh ke level terendah dalam kurun 20 tahun terakhir, yakni bertengger di angka Rp 14.940 hingga Rabu (5/9) siang. Angka tersebut melemah 2 poin atau 0,01 persen dibandingkan posisi pada pembukaan perdagangan, yakni Rp 14.925 per dolar AS.

Ternyata, rupiah tidak sendiri. Peso Argentina terjun bebas 16 persen dan sepanjang tahun ini telah merosotnya hampir 50 persen. Rupee India, tujuh hari berturut-turut dan kemarin menyentuh level 71,78 per dolar AS. Kemudian, lira Turki juga merosot. Afrika Selatan, rand, juga melorot tiga persen.

Tekanan ini sebagian diatribusikan dengan penguatan dolar AS dan kenaikan harga minyak, namun demikian isu sebenarnya adalah sentimen para trader.

Itu artinya, mestinya masih ada celah bagi pemerintah menemukan obat mujarab untuk mendongkrak rupiah. Terlebih tim ekonomi pemerintah saat ini diisi oleh orang-orang mumpuni bahkan kaliber internasional.

Saat ini, kita masih bisa sedikit lapang dada karena rupiah tidak sendiri. Tapi besok atau lusa, jangan sampai rupiah justru tertinggal sendirian. Pemerintah jangan lengah.

*SIAPA KITA" INDONESIA

"SIAPA KITA" INDONESIA

Dua minggu sudah perhelatan Asian Games meramaikan Tanah Air. Acara ditutup dengan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia. Kita bukan jadi juara, tapi mengutip ucapan politisi, kita realistis. Target 16 medali emas sudah jauh kita lampaui. Kita menutup Asian Games dengan berdiri kokoh di posisi 4 dengan mengoleksi 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu.

Dahsyatnya Indonesia Kalau Bersatu. Laki-laki, perempuan, tua, muda, ada yang pribumi, yang Tionghoa, yang Muslim, yang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, yang bertato, yang berjilbab, yang blasteran, yang naturalisasi, yang anak pemulung, sampai konglomerat.

Para atlet tidak akan ditanya pilih Jokowi atau Prabowo. Mereka cuma ditanya, sanggupkah kamu memanjat paling tinggi, lompat paling jauh, berenang paling cepat, lari paling kencang dan memasukkan bola paling banyak.

Momen terbaik Asian Games 2018 untuk bangsa kita adalah Jokowi dan Prabowo berpelukan berbalut bendera Merah Putih. Pesilat Hanifan yang memeluk Jokowi dan Prabowo seperti mewakili seluruh rakyat Indonesia yang sudah bosan bertengkar dan rindu bersatu.

Media sosial kita pun berganti tema. Broadcast kebencian dari pendukung fanatik kedua kubu politik jauh berkurang bukan? Berganti dengan broadcast jadwal pertandingan dan update perolehan medali.

Ribut-ribut soal politik tak bikin kita jadi juara Asian Games! Kita cermati sajalah urusan dukung-mendukung politik ini dengan wajar, tanpa terjebak fanatisme buta terhadap Jokowi atau Prabowo.

Ayo kita bawa Energy of Asia ini menjadi Energy for Indonesia. Jadikan pengalaman di Asian Games sebagai kenangan indah bahwa Indonesia itu kuat karena bisa bersatu dalam perbedaan. Jangan sampai lupa! Kalau besok ada yang sebar-sebar broadcastkebencian lagi, Anda balas saja dengan foto Jokowi-Prabowo pelukan dan teriakan, "Siapa kitaaa? INDONESIA!"

ENERGY OF ASIA

ENERGY OF ASIA

56 tahun lamanya hingga akhirnya kesempatan menjadi tuan rumah Asian Games akhirnya datang. Kita pernah menjadi tuan rumah pertama kali pada 1962, saat usia Republik kita masih muda, 17 tahun. Pemerintah kita saat itu punya mimpi besar, agar Indonesia dilihat oleh dunia. Asian Games adalah pesta olahraga Asia yang dirintis ketika kekuatan ideologi imperialisme barat mulai runtuh dan bangsa-bangsa di Asia mulai mendapat kemerdekaannya. Artinya, Asian Games menjadi momentum bagi lahirnya nasionalisme dan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia.

Ditengah dahaga panjang kita akan prestasi dunia olahraga saat ini, kita ingin bangsa kita bisa merasakan kembali semangat dan mentalitas sebagai pemenang dan juara dari kemenangan yang lahir dari setiap arena pertandingan. Indonesia butuh pencapaian baru, sebuah tonggak, suatu milestone, yang dibangun oleh tangan dan kaki generasi terbaru.

Dalam keikusertaan Indonesia di Asian Games, selain menjadi tuan rumah untuk yang kedua kalinya setelah tahun 1962, Indonesia kali ini akan mengirimkan sebanyak 1.388 orang yang terdiri dari 938 atlet, 396 ofisial yang akan mengikuti 40 cabang olahraga yang dipertandingkan.

Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang ini, dukungan 263 juta penduduk Indonesia berada di belakang para pahlawan olahraga, untuk berkumandangnya Indonesia Raya dan berkibarnya Bendera Merah Putih, dari setiap arena yang melahirkan kemenangan.

Slogan kita Energy of Asia. Sifat energi tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan, dan hanya dapat berubah bentuknya, oleh karena itulah Energy of Asia yang sudah ada dalam semangat dan gelora bangsa ini dalam menyelenggarakan Asian Games 2018 akan berubah bentuk menjadi semangat yang menyatukan bangsa-bangsa di Asia.

Ini Asian Games kita, ini pertarungan di kandang kita. Ini adalah sejarah yang harus kita ukir dengan tinta emas. Semoga Allah meridai perjuangan kita semua, Ayo Indonesia, Indonesia Juara!

BENCANA

BENCANA

Entah mengapa, bencana alam di negeri ini hampir selalu dihubungkan --bahkan secara spontan-- dengan hukuman Tuhan. Sejak gempa dan tsunami Aceh pada 2004, sampai gempa NTB baru-baru ini, anggapan itu selalu saja mengemuka. Saya tak hendak membahas kebenarannya. Yang jauh lebih gawat adalah narasi-narasi kebencian dan yang menyertainya. Di hadapan sesama warga-negara yang tertimpa musibah, mengapa reaksi spontan justru mengutuk atau membenci, alih-alih membantu atau paling sedikit bersimpati?

Di mana pun dan kapan pun, mengutuk atau menyalahkan korban selalu memalukan. Apalagi korban bencana alam. Adalah hak masing-masing untuk menganggap bencana alam sebagai --untuk mengutip kicauan Tifatul Sembiring tentang gempa Mentawai 2010 silam-- "kutukan Tuhan karena kekafiran mereka." Pun kalau benar demikian, dan Anda sungguh meyakininya, cukup katakan dalam hati saja, kemudian singsingkan lengan baju untuk membantu, sebab bantuan Anda jauh lebih penting daripada pengetahuan apakah gempa itu azab atau karena pergeseran dan tubrukan lempeng bumi.

Semoga kita, yang cukup mengerti apa artinya bela rasa bagi sesama yang sedang menderita, memiliki hati seluas samudra untuk merangkulnya.

DETIK DETIK

DETIK DETIK

Kita nantikan saja detik-detik menegangkan ini dengan santai. Sesekali menonton tingkah polah politikus yang selalu dinamis –untuk tidak mengatakan tidak konsisten atau plin plan. Sebagai penonton, tentunya hanya komentar dan harapan yang bisa kita berikan. Harapan, mungkin tampaknya sangat absurd dalam kontestasi politik. Namun, doa atau harapan ini dalam konsepsi politik Islam sangat berperan penting. Dalam pilar negara.

Selain dua pilar ulama dan umara, ada dua pilar yang juga penting untuk diperhatikan. Pertama, aghniya', para hartawan-dermawan, kaum pemodal, pengusaha, atau bahasa ekstremnya para kapitalis. Mereka ini dalam kontestasi politik terbukti sangat menentukan. Tidak ada politisi yang tidak berkolaborasi dengan para pemodal, demikian pula para capres kita. Kedua, para fakir miskin (rakyat) seperti kita ini yang dalam redaksi hadis nabi tentang empat pilar ini disebutkan bi du'ai alfuqara' (doanya para fakir-miskin). 

Dalam teori negara demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Rakyat yang notabene hanya penonton ini akan mampu menentukan hasil akhir kontestasi. Betapapun hebat strategi politik, lincahnya manuver, lihainya akrobat yang dimainkan, rakyatlah yang akan menentukannya. Wahai para capres-cawapres, silakan beri kami pertunjukan yang menarik!

Sunday 29 July 2018

DEBAT (K)USIR

DEBAT (K)USIR

Baru-baru ini Saya terperangah dengan salah satu nasihat, “Hindarilah sebisa mungkin perdebatan, karena perdebatan itu menyimpan banyak penyakit, mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. Sumber setiap sifat tercela seperti pamer, dengki, sombong, dendam, permusuhan, bermegah-megahan dan lain-lain.”

Bahwa melalui diskusi dan perdebatan, orang bisa mendapatkan kebenaran dan kebaikan. Namun, hal ini hanya bisa dicapai dengan ketulusan hati. Ketulusan itu dapat dibuktikan dengan dua indikator.

Pertama, kamu tak membedakan apakah kebenaran itu muncul dari lidahmu atau orang lain. Kedua, kamu lebih suka diskusi itu dilaksanakan tertutup ketimbang di depan orang banyak.

Kemudian, Ketika orang mempertanyakan satu masalah kepadamu, kamu tidak mesti harus melayani. Ada empat tipe manusia, tiga di antaranya tidak perlu dilayani.

Tipe yang harus dilayani adalah orang yang memiliki kecerdasan memadai dan benar-benar mengharapkan petunjuk. Pertanyaannya tidak didorong oleh rasa benci, dengki, ingin menguji ataupun permusuhan.

Tiga tipe manusia lainnya, tidak perlu dilayani. Pertama, orang yang mendebat karena benci, dengki dan pamer semata. Kedua, orang yang memiliki wawasan sempit, tetapi sudah merasa pintar, melebihi orang yang telah mengkaji berbagai ilmu sepanjang hayat.

Ketiga, orang yang memiliki kecerdasan yang rendah. Dia ingin sekali paham, tetapi kecerdasannya tidak mampu menjangkaunya.

Bagi saya, tentang debat-debat panas di media sosial era digital ini. Patut kiranya kita bertanya, dari empat tipe manusia di atas, kita termasuk yang mana?

Friday 20 July 2018

FAVORIT


Masuk sekolah favorit justru saya mengalami fase awal masa remaja yang suram dan penuh rasa rendah diri. Saya yang selalu dapat peringkat standar-standar saja di SD tiba-tiba harus duduk ngesot di ranking bontot. Saya yang bisa bergaul santai dengan teman-teman kampung tiba-tiba harus tercebur ke pergaulan bersama anak-anak pejabat yang berpunya dan berfasilitas full lux yang lengkap lengkip pokoknya, yang membuat saya kadang ternganga karena semesta perbincangan yang tak saya pahami sepenuhnya.
Bagi seorang anak umur 12 tahun, ternyata itu sangat berat. Masih mendingan kalau memang metode pendidikan kualitas nomor wahid yang saya dapatkan. Otak saya bukan wahid, ya nggesot dan seperti kompor meledog....ha....ha.....
Begitu lulus SMP, harus berlomba masuk ke SMA terfavorit. Dengan beban psikologis seorang anak lulusan SMP favorit harus SMA walau SMA swasta favorit, dimasa saya banyak mengukir prestasi dan temen-temen banyak meraup prestasi yang paling handal yaitu drumband, sepak bola, basket, pramuka dan lain-lain.
Kita lompati cerita masa SMA yang terlalu indah itu. Tibalah masa kuliah. Di bangku universitas, ada satu hal yang membuat saya minder untuk kali ke sekian. Ternyata, kawan-kawan saya dari daerah-daerah lain pintar-pintar. Mereka sudah tahu ini-itu sejak SMA. Mereka membaca buku ini-itu sejak SMP. Apalagi anak-anak lulusan pesantren itu, mereka benar-benar membuat saya merasa tidak tahu apa-apa. mereka gemar membaca sejak dini sedang saya, wah sangat memprihatinkan, gau usah dibahas yang ini, jadi ingin malu, ha....ha.....
Lantas, saya mencoba menata teori tentang ini semua. Akar masalahnya ternyata sederhana: karena saya produk sekolah-sekolah favorit.
Karena sekolah saya favorit, guru-guru kami berjuang keras agar predikat favorit itu tidak lepas dari genggaman tangan. Caranya bermacam-macam. Bayangkan, jika nilai kami jeblok, bisa jadi ranking sekolah kami turun. Jika ranking sekolah turun, predikat favorit bisa hilang. Jika predikat favorit hilang, mana mau para orangtua berbondong-bondong berebut tempat dengan biaya masuk yang begitu tinggi?
Kami harus berangkat pukul enam pagi untuk mengikuti latihan tes, alias pendalaman materi. Begitu terus setiap hari. Sejak kelas dua, atau awal kelas tiga, segenap konsentrasi dan daya upaya dikerahkan menuju gol jauh di depan, yaitu bagaimana nilai Ebtanas kami melejit, dan bagaimana agar kami lolos semua ke perguruan tinggi negeri.
Dengan suasana kebatinan seperti itu, semua anak tertekan. Semua berjuang habis-habisan agar lolos UMPTN, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Setelah pengumuman UMPTN tersebar, sekolah akan menyulap nama-nama kami yang berhasil menjadi angka-angka statistik kesuksesan sekolah, dan melupakan anak-anak yang gagal.
Maka, saya ingat, betapa saya ambruk sedih berat ketika mengetahui nama saya tidak ada di koran Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu peserta UMPTN yang berjaya. karena memang tekanan peer group begitu berat. jelas tidak pernah diperhitungkan oleh guru-guru kami belasan tahun sebelumnya. setelah lama saya baru tau kampus swasta sekarang bisa berkwalitas lebih baik dari yang negeri, contohnya kampus sayapun banyak yang berebut untuk bisa masuk.
Lagi-lagi, alasannya jelas: hanya mereka yang lolos UMPTN yang akan mendongkrak nama sekolah, menjadikan sekolah tetap berpredikat favorit, dan menjadi kekuatan marketing yang dahsyat untuk menjaring siswa-siswa baru di tahun ajaran berikutnya. Simpel. Hukum pasar yang sangat simpel.
"Kalian ini hebat, teman-teman. Dunia kreatif dan intelektual selalu diramaikan oleh para pendatang. Saya orang asli kota ini, tapi saya sangat terlambat. Saya mengenal buku baru di tahun ketiga kuliah, padahal kalian akrab dengan bacaan sejak SMA. Di SMA, apalagi SMP, saya sama sekali tidak mengenal budaya membaca. Yang ada hanyalah budaya bermain dan bermain setiap hari belajar hanya selingan itu pun kalau sedang mau dan dipaksa oleh orang tua, demi meraih nilai tinggi di ujian akhir, agar sekolah kami tetap bertahan dalam predikat sekolah-sekolah favorit."
Huff, kira-kira begitulah secuil gambaran nyata sekolah-sekolah favorit kita. Barangkali tidak cukup mewakili, namun dari situ Anda bisa sedikit memahami betapa amat mendesaknya penerapan sistem zonasi.  

PALSU


Barangkali Anda geli mendengar celotehan tak berguna ini. Namun ingat, pola semacam itu selalu terjadi pada segenap bidang kehidupan kita. Hidup kita setiap saat selalu dibelit oleh sulur-sulur rumit yang terjalin antara kebenaran dan kepalsuan. Apa yang tampak benar pada hari ini bisa jadi ketahuan palsunya dua puluh tahun lagi. Apa yang tampak palsu di detik ini bukan mustahil ternyata asli pada lima dekade nanti.
Maka, tantangan hidup kita bukanlah untuk benar-benar memahami yang manakah yang paling benar, sebab hal itu membutuhkan kemampuan adimanusia. Tugas kita adalah terus berusaha untuk mendekati yang benar, atau mengambil kebaikan dari serpihan-serpihan realitas yang sekilas tampak benar.
Dalam kehidupan Anda yang sedang asyik-asyiknya menikmati pilihan politik pun rasanya tak beda. Anda boleh saja dengan sangat yakin membela junjungan-junjungan Anda, atau menghujat "musuh-musuh" Anda. Tapi jangan lupa, bisa jadi dalam 30 tahun ke depan akan terpampang di depan mata bahwa keyakinan yang nyaris setara iman di dada Anda itu terbongkar sebagai kepalsuan belaka.
Tidak mengapa. Nikmati saja perjalanan ini

MIRIS


Saat ini miris terjadi dengan kondisi pendidikan kita.
Orangtua berharap anaknya serba bisa.
Sangat stress ketika matematikanya dapat nilai 5.
Les A, Kursus B, Les C, kursus D, private E dan sebagainya dan berjibun kegiatan lain tanpa memperhatikan dan fokus pada potensi anaknya masing masing.
Mari kita syukuri karunia luar biasa yang sudah Allah amanahkan kepada para orangtua yang memiliki anak-anak yang sehat dan lucu.
Setiap anak memiliki belahan otak dominannya masing masing.
Ada yang dominan di limbik kiri, neokortek kiri, limbik kanan, neokortek kanan, juga batang otak.
Sehingga masing masing memiliki kelebihannya sendiri sendiri.
Fokuslah dengan kelebihan itu, kawal, stimulasi dan senantiasa fasilitasi agar terus berkembang.
Janganlah kita disibukkan dengan kekurangannya.
Karena sesungguhnya setiap anak yang terlahir di dunia ini adalah cerdas (di kelebihannya masing-masing), istimewa dan mereka adalah Bintang yang bersinar di antara kegelapan Malam.
Inilah saatnya kita bergandeng tangan menggali potensi diri anak kita.
*_Selamat berjuang para orang tua Semoga Allah mudahkan segala urusan kita mengiringi kesuksesan anak kita kelak di dunia dan di akhirat. Aaamiiin..._*

*NGELINGAKÉ AWAKKU DHÉWÉ*


Ora tuwo
Ora enom
Ora lanang
Ora wedok
Angger wis nyelehke HP ditinggal sedilut didelok maneh , ditutup sedilut dibukak maneh.

Kabeh sayang banget karo sing jenenge HP,
Lungo nggembol HP,
Jagong nggowo tas isine HP,
Sedino HP iso mlebu metu soko tas utowo kanthong Hem luwih soko ping seket.
Bar adus ndelok hp
Bar nyapu ndelok hp
Bar masak ndelok hp
Bar nyuci ndelok hp
Bar sarapan ndelok hp
Bar ketamon dayoh ndelok hp
Bar tangi turu ndelok hp
Tengah wengi nglilir ndelok HP...jiiiiiiaannn .

*BAKDA*


Bakda podo seneng, ning wong tuwo sewalike ... anake podo mulih gur mung arep reuni...
Ketemu mung sedilit.. Ya alhamdulillah iso sholat ied bareng, njur sungkem2an... bar kui klepat lungo... jare arep reuni ro kanca2ne... sedina pamit reuni ro kanca SD, sesuk-e reuni ro kanca SMP, sesuk-e maneh reuni kanca SMA.... sajak-e ya reuni ro kanca TK karo kanca kuliah barang....
Yen neng ngomah mung turu ro adus thok...yen ora, neng ngomah kui mung dudal dudul hp...
Karo pota poto ...
Ramudeng.. yen dijak omong mung njawab sak anane ...
Sirku kui yen mulih bakda ki ya kangen2an ro bpk ibune, ngobrol gojeg kaya jaman cah2 jik cilik biyen kae ...
Lha ki njur ujug2 pamit balik nyang omah-e dewe2.... jare preine bakda wes entek ...
Wong tuwo mung ditinggali duit.. tp duit ki kanggo opo wis ra ana gunane....
Ya wis laaah... mugo2 bakda tahun ngarep jik gelem mulih mrene...

(Curhat Wong Tuwo Jaman Now)

HITAM PUTIH POLITIK


Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah ambisi dan kepentingan saja.
Yang akan tercengang adalah pendukung fanatik kedua pihak. Orang-orang yang terbiasa memandang politik sebagai sesuatu yang hitam-putih akan kaget dengan situasi ini. Dulu banyak orang yang kagum pada sosok, jadi pendukungnya. Banyak yang kecewa ketika menjabat. Tapi pada pendukung ini tidak sedikit yang berbalik arah menjadi pembenci seseorang ketika ia menjadi calon, lalu jadi pejabat.
Nah, situasi ini yang seharusnya disadari oleh para pemilih. Ya, kita semua tak lebih dari seorang pemilih. Kita memilih politikus yang tersedia di hadapan kita saat kita berdiri dalam bilik suara. Kalau Anda pendukung seseorang, Anda tidak bisa menolak saat pada surat suara ada foto lawan di sebelah foto pilihan. Pilihan lain yang Anda punya mungkin lebih tidak menarik lagi. Apa boleh buat, Anda akan coblos foto pilihan, suatu langkah yang membuat orang di foto samping akan menjadi Wakilnya.
Tegasnya, pemilih tidak bisa ikut menentukan ramuan politik. Mereka hanya punya pilihan, menerima atau menolak ramuan itu. Peliknya, politik kita tidak punya standar apapun dalam membuat ramuan. Semua bisa terjadi. Partai a yang biasanya sangat anti pada Partai b, toh bisa sekubu dalam Pemilihan.
Dalam suasana seperti itu sangatlah bijak untuk tidak terlalu getol soal pilihan politik. Yang Anda cintai hari ini bisa berubah jadi yang Anda benci besok. Yang Anda benci hari ini, bisa berubah jadi yang Anda dukung besok. Apa yang tidak berubah? Kepentingan politik Anda. Kepentingan politik kita.
Apa kepentingan politik kita? Pemerintah yang bersih, tidak korupsi. Pemerintah yang membangun, menempatkan kepentingan rakyat di tempat paling tinggi. Atau, setidaknya pemerintah yang bekerja, meninggalkan sesuatu yang jelas wujudnya, bisa kita rasakan manfaatnya. Dukunglah politikus yang seperti itu. Sebaliknya, cabutlah dukungan kepada politikus yang tidak seperti itu.

SIPIL GUWIL


BANYAK orang terjebak hanya karena masalah sepele. Hal sepele, remeh, receh yang semula hanya dianggap angin lalu, ternyata bisa berubah menjadi angin badai. Pepatah mengatakan banyak orang tergelincir karena kerikil kecil, bukan batu besar. Belakangan ini banyak orang bertengkar dan saling lapor hanya karena masalah sepele. Orang-orang "zaman now" banyak yang mudah tersinggung hanya karena masalah sepele. Bahkan ada yang menganiaya atau membunuh hanya karena masalah sepele.
Pada tahun 2017, tepatnya di Jakarta Barat, seorang ibu muda berinisial NW (25 tahun) menganiaya anaknya berinisial GW yang baru berumur lima tahun. Ibu muda tersebut seperti kesetanan menganiaya anaknya hingga tewas! Apa penyebabnya? Hanya karena anak tersebut sering ngompol! Awal tahun 2018, ada guru kesenian SMAN I di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, tewas karena dipukul muridnya sendiri. Leher guru tersebut diduga patah, tak lama kemudian tewas. Penyebabnya, murid tersebut tak rela ditegur karena tak mengerjakan tugas, lalu berbalik memukul guru tersebut sampai tersungkur! Ada lagi berita yang pernah saya baca di media online, seorang ibu tega membunuh tiga anaknya yang masih kecil. Caranya dengan membenamkan masing-masing anaknya ke bak mandi hingga tewas. Penyebabnya, gara-gara uang Rp 20.000! Waktu itu istrinya meminta uang Rp 20.000 kepada suaminya untuk makan anak-anaknya hari itu. Tetapi suaminya tidak memberi, malah pergi ke luar rumah. Istrinya lantas mengancam, kalau tidak memberi uang maka ia akan bunuh semua anaknya. Suaminya malah menantang, bunuh saja! Baru-baru ini terjadi pembunuhan keluarga di Tangerang oleh Pendi (60) terhadap istrinya, Emah (40), dan kedua anaknya, Nova (20) dan Tiara (11). Hanya gara-gara istrinya telat membayar cicilan mobil! Emosi negatif Kenapa gara-gara hal sepele mereka bisa berbuat nekat?
Apa faktor penyebabnya? Kalau mau ditilik lebih jauh, dalam psikologi ada yang dinamakan gangguan emosional, khususnya emosi negatif, emosi yang tidak stabil. Emosi jenis ini akan menyeret masalah-masalah sepele menjadi masalah besar. Inilah yang melatarbelakangi kejadian di atas. Sebab, dalam emosi negatif terkandung di dalamnya rasa marah, gelisah, sedih, takut, benci, dendam, kecewa, sakit hati, rasa putus asa, tak berpikir panjang, berpikiran negatif, tidak bisa mengekang diri, egois, terlalu mudah kecewa, tidak sabaran. Emosi negatif tersebut tidak akan hilang selama tekanan eksternal masih ada. Hal ini selain menimbulkan amarah juga cenderung agresif.
Menurut Leonard Berkowitz (1926-2016), semakin banyak perasaan negatif semakin kuat dorongan agresi yang ditimbulkan. Adapun agresi, menurut Berkowitz, merupakan bentuk perilaku yang bertujuan menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Jadi, perilaku agresif ini tujuannya hanya untuk melukai atau mencelakakan, bahkan bisa membunuh. Persis seperti yang dikatakan oleh psikolog Florence Wedge bahwa emosi akan menjadi semakin kuat apabila disertai ekspresi fisik. Misalnya, mengepalkan tangan, menendang, memaki-maki, menuding-nuding, membentak. Ekspresi fisik ini bila dibiarkan akan menjadi brutal, tidak terkendali, kalap. Pelampiasan tersebut biasanya ditujukan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap lingkungan sekitar. Dengan demikian, timbul rasa puas hati setelah melampiaskan semuanya. Walaupun mungkin timbul penyesalan setelahnya.
Mengontrol diri Orang yang mudah meledak emosinya gara-gara hal sepele bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak dapat mengontrol diri. Padahal mengontrol diri (self control) adalah tiang pancang pada diri seseorang. Mengontrol diri berarti bisa menunda atau membatalkan sebuah perbuatan yang bisa berakibat buruk, baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Mengontrol diri, menurut Konsep Averill, terdiri dari beberapa tipe, yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional control. Behavioral control (kemampuan mengontrol perilaku) adalah kemampuan individu untuk mengontrol perilaku untuk mengurangi penyebab tekanan. Cognitive control (kemampuan kontrol kognitif) adalah kemampuan individu untuk mengubah atau memfokuskan pada hal-hal yang menyenangkan saja, bukan pada penyebabnya. Decisional control (kemampuan mengontrol keputusan) adalah kesempatan memilih tindakan yang diyakini benar.
Jadi, betapa pentingnya mengontrol diri dalam menghadapi hal-hal sepele. Melihat Konsep Averill tersebut, ternyata emosi bisa dikendalikan melalui self control ini. Apabila ia mampu mengendalikan hal sepele, hal kecil, maka ia pun akan mampu pula mengendalikan perkara yang lebih besar. 

KEJAWAAN


Kemuncullan kesulitan selepas kami mudik ke kampung halaman. Anda tahu, seorang anak sebelas tahun yang hidup pada 2018 tidak bisa begitu saja dijejali dogma-dogma. Maka, ketika saya memintanya untuk bahagia dan bangga menjadi anak Jawa Banjarnegara, dia bertanya kenapa. Saya pun geragapan berusaha mencari jawabnya. Kenapa dia harus bangga menjadi anak Jawa Banjarnegara? Bahkan lebih mendasar lagi: kenapa dia harus merasa sebagai anak Jawa atau Banjarnegara, dan menghilangkan imajinasi lamanya sebagai "anak Kalimantan"?
Satu-satunya pertimbangan yang bisa dicerna seorang anak dalam hal ini adalah perkara-perkara kognitif. Kenapa dia harus mencintai Jawa, sedangkan sebagian besar hal di Kotabaru Kalimantan Selatan dia lihat lebih baik daripada di Jawa? Mulai jalanan yang lebih tertib, lingkungan yang lebih bersih, burung-burung cantik yang bebas beterbangan, taman bermain yang gratis di mana-mana, sampai toilet umum yang tidak pesing dan tidak perlu bayar infak dua ribu untuk masuk ke sana. Bagaimana kami harus melawan jalan pikiran kanak-kanak yang demikian apa adanya?
Saya mencoba menggunakan senjata Lagu-lagu jawa dan kuliner yang sangat khas, yang selalu mengingatkan saya akan suara masa lalu. Ada satu aspek penting yang ditekankan dalam lagu itu, yakni "dawet ayu". Maka, saya katakan, "Kamu harus mencintai Jawa karena kamu lahir di Indonesia, Nak."
Sial, saya kaget dengan jawabannya. "Lho, berarti Ufa nggak harus lovesJawa? Kan Ufa lahir di Kalimantan? Berarti Ufa bukan Jawa, Yah? Ufa Kalimantan! Yeeee!"
Dhuer, matilah saya. Barulah saya ingat kalau Ufa memang lahir di Kalimantan tiga setengah tahun silam. Saya pun gagal menggunakan sepotong lirik di lagu dawet ayu yang khas Banjarnegara itu. Lalu?
"Hmmm. Coba begini. Kamu suka kepingin lihat bapaknya Ryan di Youtube Toys Review, kan? Karena bapaknya Ryan sering banget membelikan mainan, Kinderjoy-Kinderjoy dan banyak lagi, ya kan? Nah, Ayah enggak suka membelikan yang begitu-begitu. Berarti kamu mau ganti Ayah? Kamu mau bapaknya Ryan jadi bapakmu?"
Anak saya tertawa-tawa sambil memukuli lengan saya.
"Nah, kalau kamu nggak mau, coba lihat. Jawa tuh seperti orang tuamu sendiri. Mungkin Kalimantan bisa ngasih kamu macam-macam, tapi dia bukan orang tuamu. Begitu."
Tentu saja argumen saya itu cuma langkah putus asa, dari seorang bapak yang terpaksa membuat analogi masalah dengan tidak cukup setara. Lhatapi saya bisa apa?
Meski kasus anak saya agak khusus, tapi saya yakin dia tak sendiri. Ada sangat banyak anak Jawa yang sulit memahami kejawaan mereka, dengan kondisi lebih parah ketimbang anak saya. Bisa jadi karena mereka menjalani masa tinggal yang lebih panjang di daerah tersebut. Bisa jadi mereka sudah kehilangan bahasa Jawa mereka. Bisa jadi karena mereka dimasukkan ke sekolah-sekolah internasional yang agak menomorduakan pembentukan kesadaran murid sebagai manusia Jawa. Dan lain-lain.
Sekarang coba simak situasinya. Bahasa adalah pengikat utama imajinasi kebangsaan. Dengan menipisnya penggunaan bahasa Jawa, bagaimana ikatan imajiner itu diharapkan akan sekuat sebelumnya?
Ini sekilas tampak sebagai kekhawatiran berlebih. Namun, fakta sosial yang agak menggelikan memang saya lihat sendiri berkali-kali, yakni ketika sebagian orangtua merasa keren jika berhasil membuat anak mereka menjadi English speaker atau indonesia speaker seutuhnya. Nah, yang semacam ini lambat laun menjadi fenomena lazim di masyarakat kelas menengah perkotaan.
Bayangkan. Anak-anak itu semakin kurang dalam menggunakan bahasa Indonesia. Di saat yang sama, mereka mendapat akses sangat mudah atas dunia digital yang melesapkan batas-batas geografis, sehingga terus terpapar dengan realitas kampung global yang kian menyempit, dan membuat mereka tidak terlalu peduli kaki mereka sedang menginjak wilayah negara mana. Mereka juga anak-anak yang lebih memilih berkunjung ke Disneyland daripada ke proyek-proyek keindonesiaan semacam Taman Mini Indonesia Indah, apalagi ke Museum Nasional.
Lalu, sampai kapan kita berharap anak-anak tersebut terus terkondisi untuk membangun imajinasi kejawaan dalam kepala-kepala mungil mereka? Apakah mereka akan cukup peduli Pancasila, misalnya? Kalau toh peduli, dan mereka melihat sila-sila Pancasila sebagai nilai-nilai moral berupa ketuhanan, kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan, lalu bagaimana pandangan mereka atas Sila Persatuan Indonesia yang barangkali terlalu abstrak bagi pikiran mereka?
Entah pertanyaan-pertanyaan itu akan terus mengalir ke mana. Yang jelas, ancaman atas kejawaan kita, dan ancaman atas Pancasila, ternyata tidak semata datang dari kalangan so called radikal semata. Karena itulah, di bulan kelahiran Pancasila ini, saya berharap Ibu Mega selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila membantu saya untuk segera menemukan jawabannya.  

PUASA MEDSOS



Komputer membuat kita sibuk karena ia membantu pekerjaan kita dan melaluinya kita dapat terhubung dengan internet di dunia maya. Namun, sejak 2007 silam, kita dibuat lebih sibuk lagi oleh benda baru yang disebut ponsel pintar. Benda ini, selain berfungsi sebagai telepon, juga menghubungkan kita ke internet. Berbeda dengan laptop, hampir semua lapisan masyarakat memakai ponsel pintar.
Yang sering membuat kita sibuk dari ponsel pintar adalah media sosial. Ini ‘binatang’ baru pula. Seperti ditulis Daniel Dhakidae di Prisma (2015), media sosial itu “tidak diterbitkan seperti surat kabar, tidak disiarkan seperti radio dan televisi, akan tetapi di-post-kan (posting), dipamerkan (display), diumumkan dalam ruang internet.” Media baru ini melahirkan dampak-dampak positif dan negatif.
Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara,menyebutkan, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 130 juta. Selain itu, menurut Thomas Hidya Tjaya dalam artikelnya “Facebook dan Hasrat Kita” di Kompas (26 April 2018) penggunaan media sosial di Indonesia mencapai tiga jam 23 menit per hari.
Tak dapat disangkal, banyak kebaikan yang bisa diperoleh melalui media sosial. Misalnya, silaturrahmi dengan orang-orang yang jauh dan berkenalan dengan orang-orang baru. Menurut Jonah Lehrer (2011), media sosial dapat menghibur hati dan membantu menaikkan rasa harga diri orang. Namun, sebaliknya, media sosial juga menjadi ladang penebaran ujaran kebencian, berita bohong dan manipulasi politik.
Bagaimanakah memaksimalkan manfaat media sosial dan mencegah mudaratnya? Jawabnya, semua tergantung kita. Kita harus bisa mengendalikan benda yang kita ciptakan sendiri. Jangan sampai, senjata makan tuan. Gara-gara ponsel, bukannya persahabatan, malah permusuhan yang kita ciptakan. Gara-gara ponsel, percakapan intim dengan keluarga tak ada lagi. Yang jauh jadi dekat, yang dekat jadi jauh.
Dapatkah kita berpuasa dari ponsel?Puasa dalam bahasa Arab adalah shawm yang artinya menahan diri. Alquran mencatat, Maryam pernah puasa bicara, ketika orang-orang mempersoalkan status anaknya (QS 19:26). Puasa hanyalah jeda, bukan penghentian total. Ia adalah latihan pengendalian diri. Diri yang dimaksud di sini adalah keinginan rendah dan sifat buruk manusia yang disebut nafsu.
Akal atau ruh harus mengendalikan nafsu, bukan sebaliknya. Dalam Alqur’an, nafsu yang tak terkendali disebut ammarah (mendorong kepada kejahatan). Jika nafsu itu kadang bisa dikendalikan, kadang tidak, dia disebut lawwâmah (yang mencela dirinya). Jika sudah terkendali, nafsu itu disebut muthmainnah (yang damai). Nafsu yang terakhir ini kelak akan kembali kepada Allah dalam pelukan keridaan-Nya.
Alhasil, melalui puasa, kita dapat melatih diri untuk mengendalikan keinginan rendah dan sifat buruk kita, yang mendesak untuk disalurkan melalui benda ajaib bernama ponsel pintar itu. Kegagalan atau keberhasilan pengendalian diri ini akan menentukan apakah kita tergolong manusia yang bernafsu ammârah, lawâmah atau muthmainnah

BERJENGGOT, BERCADAR



Secara tidak sadar, sekalipun berdasarkan pengalaman sementara, seolah bahwa teroris adalah Muslim. Lalu mulai ter-frame sosok Muslim yang berjenggot, wanitanya berjilbab dan bercadar, serta mulai terekam identifikasi fisik lainnya. Dengan pola ini, terjadilah apa yang menimpa sang santri.
Lihatlah kelapangan hati sang santri. Setelah diperlakukan tidak menyenangkan, setelah dituduh tanpa alasan, setelah tersita waktu dan tenaga, juga terkikis harga diri, dengan mudah ia malah memaafkan. Sempat-sempatnya bersuka cita tanpa dendam.
Inilah sikap yang insya Allah mewakili wajah umat Islam kebanyakan sebagaimana yang berusaha disyiarkan lewat film 212 The Power of Loveyang sedang tayang di bioskop. Islam itu peace and love. Sebagian besar umat Islam Indonesia adalah pemaaf.
Sebagian besar umat Islam Indonesia sangat toleran. Nyaris semua cinta damai. Garis bawahi hal ini.
Jangan kemudian karena perilaku satu atau dua orang yang kebetulan beragama Islam, yang kebetulan memahami agama secara salah, yang kebetulan tidak paham ajaran Islam yang penuh damai, seluruh umat Islam lantas menjadi korbannya.
Memandang terorisme dengan kacamata stereotip sangat berbahaya, kita bisa dengan mudah teperdaya.
Padahal, pembunuh delapan orang di Oslo lalu pembantai 77 orang remaja di Pulau Utoya, Anders Behring Breivik, tidak mengenakan sarung atau kopiah. Pun tidak berjenggot. Jelas bukan seorang Muslim.
Sosok yang menghabisi nyawa 58 jiwa dan melukai 851 orang di sebuah konser di Las Vegas, Stephen Paddock, juga tidak mengenakan serban atau peci. Dia bahkan bukan dari kalangan miskin yang tidak punya penghidupan.
Ia meluncurkan serentetan tembakan dari satu kamar di sebuah hotel mewah.
Di Swedia kini juga gempar dengan munculnya aksi kekerasan (baca: teror) yang membuat takut warga yang dilakukan seseorang berpakaian badut.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa melabelkan kelompok tertentu (baca: Muslim) dengan pakaian dan tampilan fisik khas (baca: berjilbab, bercadar, celana cingkrang, berjenggot) justru akan mengekalkan dua keburukan.
Pertama, jelas menyakiti umat yang sama sekali tidak terlibat terorisme bahkan juga membencinya.
Kedua, bisa-bisa kita akan ditembus oleh aksi teroris yang tampil dengan tampilan fisik berbeda. Jika seorang Anders datang dengan jas, kita tidak akan menduga, juga seperti kejadian di Swedia saat sosok teroris datang justru dengan baju badut.
Baru-baru ini sebuah pemandangan menyejukkan terlukis di rumah sakit, ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengunjungi seorang polisi yang menjadi korban serangan aksi teror, ternyata istrinya mengenakan cadar.
Tentu saja ini menyejukkan. Pertama, karena kepolisian tidak mempermasalahkan anggota polisi mempunyai istri bercadar. Kedua, menunjukkan bahwa teroris adalah musuh semua. Teroris tidak punya mata dan hati.
Teroris sejatinya musuh wanita bercadar, musuh para Muslim yang memelihara janggut, pun musuh lelaki bercelana cingkrang, atau beserban, mereka pun musuh lelaki bersarung.
Teroris adalah musuh umat Islam, musuh umat beragama, musuh Indonesia. Lawan bersama!

SEKOLAH MANIA



Sekolah mana fa ?, tanyaku pada anakku Ufa yang sedang melaksanakan ujian dalam minggu-minggu ini, di sekolah sana aja yah, jawab Ufa spontan, saya kaget kepalang, kenapa ga sekolah ayah dulu yang sangat dinanti dan diidamkan orang tua lain, di sekolah favorit se Banjarnegara yaitu SMPN 1 sekolah teladan yang notabene ayahnya yang pernah memegang piala sekolah teladan waktu di kirab keliling banjarnegara, waktu itu ditugasi sebagai pasukan inti (Pasti) memegangi piala yang sebesar siswa smp yang diangkut mobil opencap, antara bingung dan setres, tp lihat nantilah setelah nilai ujiannya keluar baru ngambil keputusan.
Untuk para orang tua baru memilih sekolah tentu jadi tantangan tersendiri. Terlebih saat ini begitu banyak sekolah dengan beragam metode dan kurikulum pembelajaran.
Saya pernah mengikuti salah satu seminar bertema "Cara Tepat Memilih Sekolah", memaparkan mengenai jenis-jenis metode dan kurikulum pembelajaran yang sekarang banyak ditawarkan sekolah-sekolah di Indonesia.
Memilih metode maupun kurikulum sekolah sebaiknya disesuaikan dengan karakter anak. Tujuannya agar anak merasa nyaman dan tak frustasi menghadapi hari-harinya sekolah.
Pertama, metode Montessori. Metode ini biasanya menggunakan alat bantu dalam proses pembelajaran. Anak-anak di sekolah Montessori umumnya akan lebih aktif dari gurunya. Mereka umumnya jarang mendapat work sheet.
Anak-anak dengan karakter rapih, logis dan terstruktur cocok dengan sekolah metode Montessori.
Kemudian ada sekolah berbasis alam. Sekolah ini pada umumnya menggunakan kurikulum dari Dinas Pendidikan. Hanya saja semua alat-alat yang digunakan melibatkan alam. Misalnya belajar biologi langsung di alam, matematika dengan alat-alat dari alam dan sebagainya.
Sekolah jenis ini sangat umum melakukan banyak kegiatan di alam, sehingga sangat cocok untuk anak-anak yang aktif atau berkarakter observer dan eksploratif. Tapi jangan coba-coba memasukkan anak rapih ke sekolah ini. Mereka mungkin akan tertekan.
Ada lagi sekolah karakter. Sekolah dengan metode ini juga sedang banyak digandrungi. Sekolah karakter biasanya akan memasukkan nilai moral dalam setiap pelajarannya. Ada sembilan karakter yang akan dilibatkan dalam setiap pelajaran yang diberikan.
Lalu sekolah dengan metode multiple intelligence. Untuk sekolah jenis ini biasanya akan melibatkan delapan kecerdasan dalam kegiatan pembelajarannya. Tujuannya untuk melihat dari delapan kecerdasan tersebut di mana anak paling menonjol.
Selain soal metode, ada pula kurikulum. Di Indonesia setidaknya ada sekitar lima kurikulum yang diterapkan. Pertama kurikulum Dinas Pendidikan (diknas) dan Departemen Agama (depag). Diknas produknya biasanya sekolah-sekolah negeri. Sementara Depag sekolah seperti madrasah. Anak-anak tekun, rapih dan terstruktur pas di sekolah dengan kurikulum ini.
Kemudian sekolah Islam terpadu. Umumnya ada muatan Islam lebih banyak seperti hafalan Alquran. Untuk anak-anak yang sekolah di Sekolah Islam Terpadu, agar orang tuanya ikut menyesuaikan. Jangan sampai anak belajar hafalan dan melaksanakan berbagai shalat sunah, namun orang tuanya tidak.
Anak-anak yang tekun, logis, rapih dan terstruktur cocok untuk sekolah dengan kurikulum ini.
Untuk yang keempat adalah kurikulum Cambridge. Kurikulum ini biasanya sangat akademis dan mengejar prestasi akademis. Terakhir adalah International Baccalaureate (IB). Anak-anak IB biasanya baru benar-benar belajar di kelas enam Sekolah Dasar.
Cukup memusingkan bukan? Tapi begitulah gambarannya saat ini. Menjadi orang tua bukan hanya memasukkan anak ke sekolah dan selesai. Setiap apa yang dipilih harus diperhatikan baik-baik oleh orang tua. Ingat untuk menyesuaikannya dengan anak dan tidak memaksakan kehendak atau ambisi orang tua. Sebab jika salah pilih, maka potensi anak tak akan tereksplorasi secara maksimal.
Selamat memilih sekolah.

NARSIS


Salahkah cinta diri itu? Ya dan tidak. Seperti Narsis, cinta diri menjadi petaka ketika dia hanya melihat dirinya melalui telaga. Akibatnya, dia hanya melihat dirinya sendiri, sementara manusia-manusia lain dianggap tidak ada. Padahal, melihat diri sendiri tanpa bantuan orang lain sama artinya dengan tidak melihat. Dia merasa melihat padahal buta. Dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dia bodoh kuadrat!
Sebaliknya, cinta diri akan positif jika ditemukan melalui orang lain. “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya,” sabda Nabi. Melalui orang lain sebagai cermin, manusia akan menemukan kesamaan sekaligus perbedaan, kekurangan sekaligus kelebihan dirinya dan orang lain. Cinta diri semacam ini akan melahirkan kerendahan hati karena dia bisa melihat dirinya sebagaimana adanya.
Karena itu, cinta diri tidak harus berarti cinta egoistik, mementingkan diri sendiri dan mengorbankan orang lain. Cinta diri yang sejati justru akan membangkitkan cinta kepada sesama manusia. Sabda Nabi SAW,“Tidak beriman seseorang kecuali dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Inilah dasar dari aturan emas: perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.
Cinta diri bahkan dapat melahirkan cinta kepada Tuhan. “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” kata sebuah hadis. Orang yang sungguh-sungguh merenung tentang siapa dirinya, darimana dia berasal dan kemana akan kembali, akhirnya akan sampai kepada Tuhan. Semakin sadar betapa besar rahmat dan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya, dia pun akan semakin mencintai-Nya.
Sufi terkenal, Fariduddin Attar (w. 1230) menulis satu karya berjudul Manthiq al-Thair (Logika Burung atau Musyawarah Burung). Ini adalah kisah simbolik perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Tuhan. Diceritakan, ada tiga puluh burung dari berbagai jenis terbang mencari Sang Raja. Di akhir perjalanan, para burung itu terkejut melihat Sang Raja yang disebut ‘Simurgh’ mirip dengan diri mereka sendiri.
Simurgh kemudian berkata, karena burung-burung itu berjumlah tiga puluh, maka Simurgh pun terlihat seperti tiga puluh burung (si-murgh dalam bahasa Persia berarti 30). “Tetapi aku lebih dari tiga puluh burung. Aku hakikat Sang Simurgh yang sejati itu sendiri. Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian sendiri,” kata Simurgh.
Alhasil, Narsis menunjukkan bahwa cinta diri dapat menghancurkan diri sendiri, tetapi dapat pula menumbuhkan pribadi yang mencintai sesama manusia dan Sang Pencipta. Lantas, manakah cinta diri yang berlaku ketika kita bermedsos?

OPLOSAN



Aksi mabuk-mabukan minuman keras (miras) oplosan di Cicalengka (Kabupaten Bandung) dan Pelabuhan Ratu (Sukabumi) memakan banyak korban jiwa. Kasus ini kian menambah bukti bahaya konsumsi miras oplosan di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Pemerintah bukan tidak tanggap menyikapi kasus-kasus mengenaskan terkait konsumsi miras. Pada 2015, misalnya, Kementerian Perdagangan di bawah kepemimpinan Rachmat Gobel melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 menetapkan pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol dengan melarang minimarket menjual minuman beralkohol golongan A karena dianggap meresahkan masyarakat. Namun, pada Agustus 2015, langkah Gobel terhenti oleh reshuffle kabinet. Posisinya lantas digantikan Thomas Lembong yang merilis kebijakan kontroversial, yaitu melonggarkan penjualan minuman beralkohol di beberapa daerah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kebijakan pelonggaran itu jelas mendapat respons di daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk muslim. Meski nyatanya, hukum haram minum khamr (minuman beralkohol) yang --semestinya-- diimani umat Islam ternyata tidak sepenuhnya dipraktikkan di daerah-daerah yang mayoritas muslim itu sendiri. Bisnis miras tampaknya selalu ada dan berlangsung karena ada konsumen yang mencarinya --sekalipun produksi, distribusi, transaksi, dan konsumsinya-- dilakukan secara klandestin.
Saya bertanya-tanya, apa dan siapa yang sebenarnya gagal menghentikan bisnis terselubung ini? Apakah ini karena agama telah kehilangan fungsinya menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat, atau negara yang salah arah dalam mengatur regulasi miras? Atau, jangan-jangan, konsumsi miras sebenarnya adalah budaya tua yang tidak bisa ditumpas tuntas oleh norma agama dan hukum negara sekalipun?
Sekadar catatan, sebelum Islam menanamkan pengaruhnya di Nusantara sejak abad ke-13 hingga abad ke-15 M, kebiasaan minum minuman mengandung alkohol telah mengada jejaknya pada masa Hindu-Budha (bahkan jauh sebelum itu). Hal itu terbukti dari beberapa prasasti Jawa Kuna sejak abad ke-10 M yang telah menyebut beberapa jenis minuman beralkohol dari hasil proses fermentasi.
Sebut saja di antaranya badeg (dari gula kelapa), tampo, dan arak (beras), serta tuak (aren). Tidak heran jika dalam naskah Nagara-kertagama (1365) disebutkan menu pesta di Istana Majapahit yang dipenuhi berbagai jenis minuman fermentasi. Konon, Hang Tuah, tokoh legenda Melayu itu pernah bertandang ke Istana Majapahit dalam sebuah helat, dan menyaksikan betapa Gadjah Mada dan para punggawanya mabuk berat.
Lalu, seiring makin luasnya pengaruh Islam di Nusantara, apakah konsumsi miras itu secara serta-merta tergusur? Tidak juga. Justru, Islam dengan hukum halal dan haramnya hanya berhasil menggusur kebiasaan mengkonsumsi makanan haram (seperti daging babi) di kalangan mereka yang berhasil diislamkan. Apapun itu jenis dan nama minuman fermentasi, hal yang pasti ini tidak berarti selalu bercitrakan minuman memabukkan belaka. Minuman fermentasi sebenarnya memiliki proses pengolahan bertahap untuk mencapai taraf yang disebut memabukkan.
Sebagaimana disinggung Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1988, jilid 1), seperti halnya bahan adiktif semisal sirih dan tembakau, pada masa kuno ragam minuman fermentasi erat kaitan fungsinya sebagai "kesejahteraan fisik", atau boleh juga disebut sebagai "minuman kesenangan" (joy drink). Tidak heran jika selama berabad-abad, konsumsi minuman beralkohol terbilang permisif dikonsumsi oleh masyarakat Islam di Nusantara. Bahkan, seorang Pangeran Diponegoro dengan citra salehnya sekalipun, dengan merujuk riset Peter Carey dalam The Power of Prophecy (2008), didapati suka sekali minum anggur putih. Sang pangeran menganggap anggur putih itu berkhasiat sebagai obat kala badannya lemah.
Seyogianya kini pemerintah Indonesia belajar dari sejarah bagaimana mengawasi mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi miras melalui regulasi ketat dan sanksi hukum yang tegas untuk menghindarkan penyalahgunaannya oleh masyarakat. Keresahan sosial dan jatuhnya korban jiwa yang ditimbulkan akibat dari konsumsi miras serta praktik pengoplosan miras yang telah menyebabkan kematian massal selama ini, cukup menjadi bukti bahwa kemudaratan miras telah mencapai kondisi darurat.
Pemerintah perlu hadir secara preventif. Jangan biarkan insan-insan mabuk bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Jika dibiarkan, Darwin mungkin akan terus mengejek: "dalam urusan mabuk, ternyata kera lebih bijak ketimbang manusia."  

JUARA


Putriku Aurora Rishanaov Alfatiha (UFA) bukan si juara umum (di sekolah dulu waktu di kalimantan bisa juara 2 disekolahnya nilai tertinggi tapi di jawa juara terbawah), bukan bintang utama di pengajian, juga bukan pemain inti di lapangan badminton, dan tidak juga juara melukis ataupun pemenang lomba beladiri.
Dia adalah anak-anak tiga belas tahun , kelas Enam SD, yang senang bermain tiada henti, menikmati keciprak air hujan, mengayuh sepeda menantang angin, dan tak terlalu suka belajar sejak di jawa(belajar dalam pengertian umum orang Indonesia, yaitu membaca buku pelajaran sampai hafal titik koma nya).
Ini menyebabkan rumah eyangnya tak punya piala, kecuali punya saya dulu juara 2 basket dan penghargaan lainya.
Terkadang, sebongkah kecewa bergayut di hati, kecewa pada nilai matematikanya yg tak sempurna padahal soalnya gampang, kecewa pada hafalan surat pendek al quran yang masih salah, kecewa pada kegagalan menggambar yang masih belum stabil, tidak seperti saya yang pernah dapat penghargaan.
Mana pialamu , duhai kesayanganku?
“Kamu adalah ayah yang sangaaaaaaaaat jauh dari sempurna, dan putrimu tak pernah menuntut lebih, dia ikhlas, tak melayangkan protes atas segala kekuranganmu, lalu kenapa kamu tak membalasnya dengan cara serupa? Kamu sedemikian banyak menuntut dari putrimu,” aku terkesiap.
Kau mencuci piring, dan mencuci pakainnya, sebelum kusuruh. mengaji yang sudah mengenal sejak umur setahun dan sudah mulai mengenal alquran, sudah berpuasa penuh sejak TK.
Aku tertidur pulas, terbangun dengan sentuhan jemarimu di badanku yang sedang lelah dengan pijatan lembut, terasa lepas lelahku dengan pijatanmu, semua tanpa kuminta.
Memasak hanya telur mata sapimu membuat rasa lahap makan malamku.
Mataku menghangat, kuterima dengan seksama, seperti pak presiden menerima bendera pusaka.
Terimakasih putriku, engkau telah memberi piala juaramu, dan ini adalah sebenar-benarnya piala, piala yang sesungguhnya untukku.
Nak, ijinkan aku mencium tanganmu, sebagai wujud permohonan maaf atas segala tuntutanku...
Putriku yang shalihah... juara yg sesungguhnya

OH GARAM KU


Garam sangat dibutuhkan, selain digunakan untuk rumah tangga sebagai garam dapur juga banyak digunakan oleh berbagai macam industri, seperti industri pangan dan kuliner, industri obat-obatan, industri kosmetik, industri kertas, industri tekstil, dan sebagainya. Artinya, garam memang sangat dibutuhkan manusia dalam siklus hidupnya. Makanan tanpa garam, yang berfungsi mengikat bumbu, akan terasa hambar. Zat warna tekstil tidak akan melekat dengan baik di kain tanpa dilarutkan dengan NaCl atau garam, dan sebagainya.
Jenis garam memang dibagi dua, yaitu garam untuk rumah tangga/konsumsi dan garam untuk industri. Kedua jenis garam ini mempunyai spesifikasi dan kualitas yang berbeda. Garam industri dapat dipakai di rumah tangga sebagai garam dapur tetapi garam rumah tangga tidak dapat dipakai sebagai garam industri. Petambak atau petani atau pembudidaya garam di Indonesia dan PT Garam (Persero) umumnya memproduksi garam dapur, bukan garam industri yang memerlukan proses lanjut.
Garam produksi petani masih dibuat dengan cara primitif, yaitu mengeringkan air laut di kolam/tambak yang sudah disiapkan di tepi pantai. Produksinya sangat tergantung pada cuaca, terutama panas matahari. Tanpa panas matahari yang cukup, produksi garam pasti jeblok. Petani garam di Indonesia dan PT Garam belum tersentuh teknologi, akibatnya hampir seluruh produksi garam rakyat tidak dapat digunakan sebagai garam industri. Kalaupun dapat, proses pembuatannya mahal, kualitas tidak konstan, dan jumlahnya terbatas. Sementara garam impor (misalnya dari Australia) berasal dari tambang garam yang tidak tergantung pada cuaca.
Jadi jangan heran jika petani garam di Indonesia tidak pernah hidup sejahtera. Bahkan PT Garam pun "senin-kamis" nasibnya. Selain cara produksinya primitif, mereka juga tergantung hidupnya pada makelar atau tengkulak yang pada umumnya hidup sejahtera. Makelar ini berdasi dan punya power, jadi bisa menguasai media dengan baik, Pemerintah pun kewalahan. Kasus garam sama dengan kasus gula. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah supaya krisis garam tidak terus berulang?Dengan kondisi industri garam rakyat yang "senin-kamis" karena nir teknologi dan meningkatnya kebutuhan garam industri, maka pemerintah dalam jangka waktu pendek tidak mungkin bergantung pada produksi garam rakyat karena untuk diolah menjadi garam industri selain membutuhkan teknologi yang mahal juga perlu waktu, sementara kebutuhan sudah mendesak. Impor garam merupakan satu-satunya cara yang lebih murah karena berasal dari tambang garam yang kualitasnya memenuhi kriteria atau standar industri, misalnya dari Australia dan India.
Di sisi lain pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara BUMN harus memberdayakan PT Garam melalui penggunaan teknologi at any cost supaya dapat menghasilkan garam dengan standar industri, murah, dan suplainya berkelanjutan. Masalahnya, bagaimana kita mau sombong dengan mempertahankan produksi lokal yang mahal dan tidak bisa berkelanjutan, sementara ada produk impor yang jauh lebih murah, berkualitas prima. Garam industri impor bisa jadi mahal karena makelarisasi berdasi yang selama ini berkeliaran. Kita tunggu apa rencana ke depan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan garam industri yang terus meningkat.
Jadi, yang penting memang pemerintah harus melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara baik, benar, dan tegas. Tanpa itu sudah pasti garam industri impor akan berceceran sebagai garam konsumsi di pasar-pasar, persis sama dengan kasus gula industri impor. Salam!

Bermedia Sosial dengan Waras


Sudah berapa kali ya saya nulis tentang bermedsos dengan bijak, ah banyak mungkin, sampai lupa. berapa kali, banyak apa lupa ya...hahahaaaa masih muda kali jadi lupa,,,,,
sudah mualai ajalah kali ini sedikit aja biar ga mbosanin,
Media sosial hanyalah alat yang membantu manusia supaya lebih mudah dalam proses bersosialisasi di dunia nyata. Namun karena pemahaman yang tumpul akan fungsi dan peran tersebut, banyak pengguna media sosial yang akhirnya terperangkap dalam sikap antisosial. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak tersebut, maka perlu ada edukasi khusus untuk para pengguna media sosial.
Edukasi tersebut bisa dilakukan secara nyata di rumah, di sekolah, dan di tempat ibadah. Edukasi itu pun dapat dilakukan di dunia maya, dengan cara mendiskusikan topik-topik seperti ini, baik di dalam grup diskusi ataupun secara perseorangan. Selain itu, menulis di media sosial juga menjadi cara terbaik untuk mendidik penggunanya. Tulisan yang dibaca oleh pengguna media sosial akan berpengaruh dalam cara ia menggunakan media sosial.
Jika tulisan yang dibaca bersifat konstruktif dan dapat membangun kesadaran akan pentingnya keseimbangan sosialisasi di dunia maya dan di dunia nyata, maka pengguna akan semakin bijak dalam memanfaatkan media sosial. Sebaliknya, jika tulisan yang sering dibaca oleh pengguna media sosial bersifat destruktif dan tidak membangun kesadaran dalam penggunaan media sosial, maka sudah pasti efek buruk dari media sosial lebih mungkin untuk terjadi. Oleh karena itu, di era media sosial ini, setiap kita ditantang agar bisa menjadi waras dalam bermedia sosial.

BERHALA JAMAN NOW


Banyak orang yang kecanduan ponsel. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, yang disentuh dan dielus tiada lain daripada ponsel. Ponsel seolah berhala, yakni ciptaan manusia yang membuat manusia tunduk kepadanya. Sekali lagi, kecanduan ini memang sengaja direkayasa oleh pembuat aplikasi medsos dengan menyediakan tombol suka dan komentar sehingga emosi dan rasa ingin tahu orang terbakar.
Demikialah, jika ditinjau secara ilmiah, selain teknologi, para pembuat aplikasi itu menerapkan psikologi dan antropologi untuk mengikat pengguna. Misalnya, aplikasi itu lebih menyentuh emosi ketimbang nalar. Mungkin ini sebabnya, dalam bermedsos orang cenderung emosional dan faksional. Debat yang berapi-api tanpa berkesudahan seringkali terjadi. Diskusi di medsos jarangkali menghasilkan solusi.
Selain itu, media sosial yang dapat menghubungkan manusia satu sama lain justru menggerus kualitas hubungan itu. Tak jarang, orang sibuk berhubungan melalui ponsel dengan teman yang jauh, sementara teman bahkan keluarga yang di depan mata tidak dipedulikan. Padahal, hubungan melalui alat itu tidak sepenuhnya nyata. Dia hadir sekaligus absen. Hubungan semacam itu bisa mereduksi kemanusiaan kita.
Kita tentu maklum bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dia hidup bermasyarakat (dari kata Arab: musyârakah artinya bersekutu). Namun, kata Sherry Turkle, manusia perlu sesekali menyendiri jika dia ingin memahami dirinya dan orang lain. Orang yang terkoneksi terus-menerus dengan orang lain tanpa ada kesempatan untuk merenung sendirian akan kehilangan kemampuan untuk memahami orang lain.
Karena itu, Sherry Turkle menyarankan agar kita secara sadar mengendalikan diri dalam menggunakan ponsel. Batasi waktu penggunaannya. Jangan berlebihan. Utamakan percakapan berhadap-hadapan ketimbang melalui media. Tinggalkan ponsel saat berbincang dengan tamu, sahabat atau saat makan bersama keluarga. Cari kegiatan yang lebih menarik dan bermanfaat dibanding bermedsos belaka.
Akhirnya, saya sungguh terkesan dengan anjuran Turkle agar kita sesekali dalam sehari menyendiri dan merenung. Kita perlu menembus irisan tipis antara diri pribadi kita dan orang lain. Kita sama sekaligus berbeda. Bagi kaum beriman, manusia juga perlu sendiri bersama Yang Maha Sendiri (alone with Alone). Hanya dengan cara itulah kiranya, keseimbangan antara kesendirian dan kebersamaan dapat tercipta!

CLURIT



Ceritanya, pada waktu itu sedang nge-hits sebuah alat pijat. Bentuknya seperti tanda tanya. Tangkai pegangannya panjang, ujungnya ada bola kayunya, sehingga bisa digunakan untuk self-massage punggung oleh penggunanya.
Karena banyak orang merasa terbantu, apalagi buat mereka yang kesepian sehingga tak punya siapa pun sebagai tempat mengadu di kala punggungnya pegal-pegal, alat itu pun laris manis. Banyak warung memajang dan menjajakannya, banyak orang membelinya.
Namun tiba-tiba bapak-bapak dari Kodim melakukan razia. Alat pijat enak itu disita dari warung-warung. Ia tak boleh diperjualbelikan lagi, dan untuk membawanya ke luar rumah pun orang-orang yang kadung membelinya tak mungkin bakal berani. Dasar pemikiran pelarangan itu ternyata sangat ilmiah: yaitu karena bentuk alat pijat tersebut diianggap mirip dengan lambang partai terlarang! Dhuerrr!
Imajinasi yang maut, bukan? Karena alat pijat itu bentuknya melengkung, pak tentara jadi ingat bentuk arit. Karena teringat bentuk arit, terbayanglah di kepala mereka simbol komunis. Canggihnya, aritnya sendiri malah tidak dilarang. Tidak terdengar satu kali pun razia digelar di sawah-sawah, untuk menyita arit-arit dan membebaskan para petani dari paparan bahaya laten komunis. Tidak terdengar juga aparat negara mengambil paksa palu-palu dari tangan para tukang batu, juga dari lapak-lapak toko besi.
Kebiasaan berimajinasi seperti itu terus mentradisi, menjadi skillkebanggaan manusia Indonesia. Kalau mau dikorek, masih banyak sekali contoh kasus lainnya. Namun yang paling cespleng memang semua yang terkait dengan bahaya laten komunis. Kenapa? Sebab negeri ini memang punya trauma komunal mendalam terkait potongan sejarah kelam 50 tahun lalu. Trauma itu terus menjadi kebun subur bagi tersemainya ketakutan, dan ketakutan adalah alat pemasaran yang sangat menjanjikan peluang-peluang.
Jadi jangan heran-heran amat, kalau tiap kali musim politik tiba, isu kebangkitan komunis selalu dijadikan bahan dagangan. Dengan berjualan isu kebangkitan komunis, imajinasi publik bisa merebak dengan liarnya. Celakanya, sangat sedikit tokoh politik yang berani membantahnya, atau menetralisasinya. Sebab para praktisi imajinasi tetap mengikuti alur logika yang konsisten imajinatif: siapa pun yang membantah isu kebangkitan komunis, otomatis dia pro-komunis.
Nah, politisi mana yang mau dituduh pro-komunis, coba? Bisa-bisa habis karier politiknya, padahal belum lunas utang-utang biaya kampanyenya.
Lebih sial lagi, para aktivis muda yang sepertinya kepingin menjalankan edukasi publik agar kita tidak terus-menerus terpasung dalam trauma massal 50 tahun silam, justru kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang norak, caper, dan kekanak-kanakan. Misalnya dengan memakai kaos palu-arit di ruang publik, dalam ajang demonstrasi buruh pula.
Hasilnya, alih-alih menetralisasi imajinasi umat agar tak lagi mudah diaduk-aduk emosinya dengan isu kebangkitan komunis, yang terjadi malah sebaliknya: bumerang tajam! Orang kebanyakan justru semakin percaya bahwa kebangkitan komunis itu nyata. "Tuh lihat, nyata sekali mereka semakin terang-terangan menampakkan diri! Rapatkan barisan! Siagakan kekuatan umat!"
Padahal yang sebenarnya terjadi tak lebih dari kebangkitan seorang anak muda labil dan krisis eksistensi, yang mau pamer kaos oleh-oleh dari temannya, sepulangnya si teman dari Vietnam untuk misi darmawisata. Healah....
***
Hari-hari ini, imajinasi atas bangkitnya komunis sudah mulai dikitik-kitik lagi. Maklum, tahun politik. Sisa panas 2014 terus membara, dinyalakan lagi oleh Pilkada dan Dua-Satu-Dua. Sekarang musim Pilkada di mana-mana, dan tahun ini Pemilu dan Pilpres akan kembali memanaskan ruang-ruang kasak-kusuk kita. Sempurna sudah, Sodara.
Menu pertama untuk merebus isu kebangkitan komunis, kita tahu, adalah serangan orang-orang gila. Karena yang diserang adalah para ulama, dan karena di masa lalu kaum ulama pernah berkonflik dengan orang komunis, maka imajinasi yang paling gampang diracik adalah: PKI bangkit lagi dan menyerang para ulama. Apa bukti dugaan itu? Tidak ada. Ya, tidak ada.
Lihat, lagi-lagi imajinasi menjalankan perannya.
Lalu apakah semua ini kebetulan semata? Bisa ya, bisa tidak. Meski sampai detik ini saya belum percaya, tapi kemungkinan bahwa aksi-aksi orang gila itu by design bukan lantas tertutup. Kemungkinan itu selalu ada, negeri ini pernah mengalami pola-pola serupa, dan saya sangat mendukung aparat yang punya wewenang untuk secara serius mengusutnya. Namun, kalau boleh saya berpesan, ada satu hal yang ingin saya sampaikan.
Begini. Jika memang kemunculan orang-orang gila itu ada sutradaranya, secara logis tujuannya jelas, yakni untuk menciptakan keresahan dan instabilitas. Maka semakin kita reaktif, semakin kita emosi dan gagal mengendalikan diri, semakin kita berteriak memanaskan situasi dan bukan malah meredamnya, maka sesungguhnya dengan konyol kita sudah jatuh ke dalam perangkap yang dipasang Si Sutradara. Gotcha

MASIGIT


MASIGIT ini bukan nama saya aja apa lagi menyanjung nama saya ha....ha...ha...., tapi bahasa dan tulisannya di kalimantan adalah Masigit kalau di tempat kita Masjid sebagai tempat ibadah, tapi dulu saya waktu kecil lebih didokrin bahwa Masigit atau Masjid hanya khusus ibadah bukan yang lain titik, nah lho. tapi sekarang saya lebih sering senang tiduran dan bersantai di masjid Annur Banjarnegara yang adem dan tenang, eh tapi ibadah juga lho....ha...ha.....
lain dengan anak saya Ufa, dulu masih dikandungan sudah kami dengarkan pengajian lagu religi mengenalkan masjid dan sudah lahir pun tetap kami biasakan dengan suara pengajian, lagu religi dan ibadah sudah mulai kami kenalkan, belum genap satu tahun kami kenalkan untuk beribadah jamaah yang lama yaitu sholat tarawih, waktu pertama kali masih susah dan kami masih kawatir karena tempat pria dan wanita dipisahkan dan ufa masih harus bolak balik mencari orang tua dan rewel, yang lebih khawatir kami masjid dengan kondisi tangga yang masuk ke ruang masjid tinggi sekitar dua meter karena di kalimantan pemanfaatan lahan semaksimal mungkin dengan dibawah tempat sekolah SD dan ruang TK di atasnya sebagai masjid, selain kotanya padat dan tanah rawa sudah menjadi hunian. dengan beberapa kali coba coba dan coba, ufa sudah mulai bisa melakukan ibadah di masjid inshallah seterusnya.
Kenapa pemuda sekarang ogah main-main ke Masjid ? -karena sejak kecil didoktrin "Masjid bukan tempat main" maka mainlah mereka di tempat PS -karena yang di pikiran mereka Masjid itu cuma tempat ibadah ritual, tobat, inget dosa, sama inget mati -karena Masjidnya tidak menyediakan tempat mencari jati diri maka mereka carinya di Mall -karena penjaga di Masjidnya galak, gak kayak penjaga Warnet Padahal Rasulullah sangat memanjakan anak-anak di Masjid -"Pelit, tiduran aja gak boleh !" Padahal Ibnu umar waktu bujang numpang tidur siang malam di Masjid (dah kayak hotel) -"Gimana mau nongkrong, jam 8 tutup" Padahal Masjid jaman Nabi buka 24 jam (kalah minimarket) -karena mereka tidak melihat Masjidnya sebagai sentral kemakmuran umat. yang ada minta dimakmurin mulu -"Emang ada apaan ? paling orang Sholat sama baca Qur'an" Padahal di zaman Nabi Masjid bisa jadi tempat latihan Beladiri -Karena doktrin "di Masjid gak boleh ngomongin Politik" Maka mereka mencari ideologi lain di luar -Doktrin "Masjid bukan tempat nyari jodoh, luruskan niat !" Padahal, Nabi pernah "dilamar" seorang wanita di Masjid yang sedang mencari jodoh "Kalau orang ke Masjid niatnya untuk nongkrong/nyari jodoh/berpolitik/tidur/wifi-an/, apa jadinya ?"
Jawabannya : lho memang ada larangannya ? justru ketika Masjid dijadikan sentral kegiatan positif, maka masjid akan makmur seperti di zaman Nabi
Tugas kita para da'i, jangan cuma neriakin anak muda tuk datang ke Masjid, tapi datangi mereka untuk membuat mereka tertarik ke Masjid
Dulu ketika puasa diakui enak sambil istirahat atau tidur di masjid atau musalah. Apalagi ketika niat i’tikaf.
Tetapi sekarang ini kebanyakan masjid memajang tulisan: "Dilarang Tidur di Masjid." ini mengusik kenyamanan, bukan?
Padahal i'tikaf dianjurkan oleh Islam ketika berpuasa, yakni beri’tikaf di masjid.
Kalau sudah niat, i’tikaf bisa diisi dengan aneka ibadah, minimal zikiran sambil rebahan atau tidur.
Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani dalam Syarah Kasyifatus Saja ala Matni Safinatin Naja mengatakan,
Tidak masalah tidur di masjid bagi orang yang tidak junub meskipun dia menjomblo, belum berkeluarga.
Sejarah mencatat bahwa Ash-Habus Shuffah –mereka adalah para sahabat yang zuhud, fakir dan perantau– tidur (bahkan tinggal) di masjid pada zaman Rasulullah SAW.
Semoga pemrintah memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini. -------------------------------------------------------------------------------------------------- Banyak Pertanyaan-Pertanyaan untuk kita.
Kalo bawa anak, takut ribut dan mengganggu kekhusuan. > Saudaraku... Apakah sahabat lupa, Rasulullah dengan Para Sahabat nya tetap melaksanakan shalat berjamaah di medan perang? Bagaimana dengan Shalahuddin Al Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih. penakluk kota Konstatinopel.
Dan Apa yg di katakan sang penakluk kota Konstatinopel ini ?? " Jika suatu saat masa kelak kamu TIDAK lagi mendengar bunyi bising dan gelak tertawa anak-anak riang di antara shaf-shaf Shalat di masjid-masjid, maka sesungguhnya takutlah kalian akan kejatuhan Generasi muda kalian di masa itu " dan ini BAHAYA saudaraku..
Masa kita hanya karena anak kecil saja sudah begitu enggan membawa anak ke masjid atau kita melarang nya. Biarkanlah anak-anak bermain dan bercanda di lingkungan masjid-masjid dan suraw-suraw. agar ia mencintai dan terbiasa di lingkungan2 masjid. Apakah sahabat akan malah senang ia di biarkan bermain HP, android, Gadget, Game, Warnet?? Biarkan ia hidup terbiasa senang dan bermain di masjid, biarkan ia mencintai masjid.
ada pertanyaan, Anak kecil merusak Microphone kadang suka berebutan untuk shalawatan, ya Alloh bang beli lagi. Mendingan Mic Rusak karena di Pake shalawatan dari pada rusak karena gak di pakai. Betul?
Pada Akhirnya kita berharap, Keamanan dan Kebersihan tetap terjaga. dan Jama'ah dan Musyafir pulak merasa nyaman di masjid dan suraw-suraw. mendapat palayanan yang santun dan baik dari Penjaga Masjid. Kita saling menjaga keamanan,Kebersihan dan Kenyamanan Masjid-Masjid kita. dan terus memakmurkan masjid-masjid kita. Aamiin
Satu Lagi : Semoga Pemerintah Memberikan Gaji atau Tunjungan Khusus untuk para Pengelola, Penjaga, dan Pengurus Masjid. karena ini bagian dari tugas yang berat dan di uji keikhlasan.

DARAH BIRU



" kalo lihat orang Jawa miskin kok nggak kasihan-kasihan amat? Begitu orang kulit putih yang miskin, kok jadi kasihan banget? Hahaha!"
Tentu saja, kesan yang muncul di benak emak saya itu lazim saja bagi masyarakat awam pascakolonial. Kita pernah dijajah orang Eropa selama ratusan tahun. Citra orang kulit putih selalu kuat dan hebat, juga kaya raya. Kita inferior di depan mereka. Apalagi pada masa selepas perang pun hegemoni budaya kulit putih terus meneguhkan superioritas mereka. Lewat film, lewat foto-foto, lewat produk-produk teknologi, dan entah lewat apa lagi.
Maka, para turis bule yang datang ke tempat kita pun selalu kita anggap orang-orang kaya. Jadi jangan kaget kalau teman Anda yang berpenampilan Kaukasoid diminta membayar dua atau tiga kali lipat dari harga biasa, saat makan-minum di angkringan dekat rumah saya. Dia di-thuthuk, kalau istilah Jawanya. Lha semua orang bule kan pasti kaya! Hehehe.
Hari ini, setelah media jenis apa pun dengan gampang kita akses, setelah jangkauan pergaulan meluas dengan aneka kemudahan untuk melawan sindrom kurang piknik, kita tahu bahwa teori sosial "semua orang kulit putih pasti kaya" itu mitos belaka. Kita paham bahwa banyak wisatawan di bilangan Prawirotaman, Jogja adalah para buruh rendahan di negaranya. Kita mengerti bahwa tak sedikit turis Australia yang mabuk-mabukan di Legian adalah pengangguran di negeri mereka, mendapat santunan dari negara, lalu dengan uang santunan itu mereka ke Bali menghabiskan dolar untuk bertamasya.
Sebagaimana tidak semua orang kulit putih itu kaya, tidak semua juga orang kulit berwarna itu miskin. Kaya dan miskin toh bukan takdir yang melekat pada warna kulit dan ciri fisik. Orang bisa kaya karena banyak kemungkinan. Karena kerja keras dipadu kemampuan berhemat, karena cerdik campur licik, karena hidupnya beruntung terus, karena punya akses ke banyak sumber ekonomi, karena licin dan lincah dalam bergaul, karena berkah doa orangtua, dan lain-lain. Tapi kita semua pasti mencibir kalau ada orang mengaku mak-cling otomatis jadi kaya hanya karena sejak lahir sudah membawa warna kulit tertentu sesuai warna kulit bapak-ibunya.
Iya, kan? Setuju, kan? Kayak gitu aja kok masih pakai dibahas....
Saya paham, memang banyak warga keturunan sukses dalam perjuangan ekonominya. Mereka kaya-kaya. Namun asal muasalnya tidak terletak pada etnisitas mereka. Mereka kaya karena bekal mentalitas perantau yang berjibaku melakukan apa saja untuk memenangkan hidup. Mereka kaya karena di masa Orba tidak boleh menjadi ABRI maupun pegawai negeri, sehingga mayoritas di antara mereka menempuh satu-satunya jalan yakni berdagang. Tidak ada tentara dan polisi yang kaya raya kecuali korupsi, dan tidak ada pegawai negeri yang makmur sejahtera kecuali punya sabetan rupa-rupa.
Sementara, pedagang yang kaya ya banyak. Kalau mau kaya ya jadilah pedagang. Jangan jadi karyawan, apalagi jadi penulis.
Saya juga paham, pada awal masa Orba banyak keluarga keturunan difasilitasi negara untuk membangun kerajaan bisnis mereka. Mereka memang sengaja dibesarkan Orba, sehingga kemudian para konglomerat Indonesia didominasi oleh keturunan. Langkah itu ditempuh rezim Suharto karena blue print yang cerdik. "Meski kelompok minoritas kuat secara ekonomi, mereka tetap tidak akan melawan kekuasaan karena jumlahnya sedikit. Tapi kalau yang dibesarkan Soeharto adalah kelompok mayoritas, misalnya umat Islam, ada kemungkinan suatu saat mereka akan melawan. Dan, itu ancaman." Begitu lebih kurang yang disampaikan Prof. Vedi Hadiz dalam sebuah kuliahnya. Cari saja di Youtube kalau nggak percaya.
Nah, meski memang ada keluarga-keluarga keturunan yang dibesarkan Orba, apa iya keberuntungan mereka itu otomatis jatuh kepada semua orang keturunan di Indonesia? Keluarga Salim mungkin masih eksis dan perkasa, tapi apa ada efeknya ke bapak berkulit kuning bermata sipit yang jualan bolang-baling di sudut Jalan Bantul, yang tiap kali saya lewat selalu saya lirik warungnya yang sepi itu? Keluarga Hartono mungkin masih menikmati kejayaan mereka, tapi toh seseorang keturunan nggak lantas bisa hidup ongkang-ongkang, masih dibelain mengedit naskah tiap hari dan cari proyek penulisan di sana dan sini.
Selebihnya, meski saya punya banyak teman beretnis keturunan, justru orang-orang paling tajir yang saya kenal, yang aset ekonominya berjibun dan tanahnya ada di mana-mana, justru mereka yang so called"pribumi".
Lha 'mereka' yang berkhianat itu siapa? Kalau kakeknya nenek saya alias simbah canggah saya menjilat Belanda sehingga kemudian diangkat jadi pemuka desa dalam struktur pemerintahan kolonial, apa sampeyan mau menyebut saya sebagai anti-republik? Kalau punya kakek buyut yang turun dari sebuah kapal Inggris lalu membantai orang-orang Aborigin, apakah saya harus menyebut itu sebagai pelanggar HAM? Siapa yang bisa memilih orangtua? Siapa yang bisa memilih terlahir sebagai orang Jawa, orang Bali, atau orang Dayak? Siapa yang bisa menentukan nasib untuk terlahir dalam keluarga Kraton, atau dari keluarga jelata? Anda bisa? Hebat dong.
Kadang saya merenung-renung, bisa jadi alam pikiran semacam itu tetap masuk akal juga pada masanya. Tapi, hmm, semua tentu ada masa berlakunya.
Dulu, di Amerika Serikat bagian selatan pada masa Jim Crow, orang pun meyakini bahwa struktur otak manusia berkulit hitam memang menakdirkan mereka untuk selalu patuh dan cocok disuruh-suruh. Jadi orang kulit hitam memang harus menjadi budak. Namun kemudian sains dan naluri kemanusiaan menemukan bahwa itu semua hoax belaka.
Dulu, banyak orang Jawa meyakini bahwa orang Eropa memang ditakdirkan berkuasa, dan kaum pribumi ditakdirkan sebagai kawula. Namun belakangan muncul gagasan kebangsaan, gagasan kesetaraan, dan perjuangan harkat kemanusiaan yang menolak penjajahan. Akhirnya keyakinan lama itu runtuh porak poranda.
Sebagaimana teknologi, barangkali beberapa sistem logika pun mengalami masa kadaluarsa. Namun tidak semua orang mau mengakuinya