Sunday 29 July 2018

DEBAT (K)USIR

DEBAT (K)USIR

Baru-baru ini Saya terperangah dengan salah satu nasihat, “Hindarilah sebisa mungkin perdebatan, karena perdebatan itu menyimpan banyak penyakit, mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. Sumber setiap sifat tercela seperti pamer, dengki, sombong, dendam, permusuhan, bermegah-megahan dan lain-lain.”

Bahwa melalui diskusi dan perdebatan, orang bisa mendapatkan kebenaran dan kebaikan. Namun, hal ini hanya bisa dicapai dengan ketulusan hati. Ketulusan itu dapat dibuktikan dengan dua indikator.

Pertama, kamu tak membedakan apakah kebenaran itu muncul dari lidahmu atau orang lain. Kedua, kamu lebih suka diskusi itu dilaksanakan tertutup ketimbang di depan orang banyak.

Kemudian, Ketika orang mempertanyakan satu masalah kepadamu, kamu tidak mesti harus melayani. Ada empat tipe manusia, tiga di antaranya tidak perlu dilayani.

Tipe yang harus dilayani adalah orang yang memiliki kecerdasan memadai dan benar-benar mengharapkan petunjuk. Pertanyaannya tidak didorong oleh rasa benci, dengki, ingin menguji ataupun permusuhan.

Tiga tipe manusia lainnya, tidak perlu dilayani. Pertama, orang yang mendebat karena benci, dengki dan pamer semata. Kedua, orang yang memiliki wawasan sempit, tetapi sudah merasa pintar, melebihi orang yang telah mengkaji berbagai ilmu sepanjang hayat.

Ketiga, orang yang memiliki kecerdasan yang rendah. Dia ingin sekali paham, tetapi kecerdasannya tidak mampu menjangkaunya.

Bagi saya, tentang debat-debat panas di media sosial era digital ini. Patut kiranya kita bertanya, dari empat tipe manusia di atas, kita termasuk yang mana?

Friday 20 July 2018

FAVORIT


Masuk sekolah favorit justru saya mengalami fase awal masa remaja yang suram dan penuh rasa rendah diri. Saya yang selalu dapat peringkat standar-standar saja di SD tiba-tiba harus duduk ngesot di ranking bontot. Saya yang bisa bergaul santai dengan teman-teman kampung tiba-tiba harus tercebur ke pergaulan bersama anak-anak pejabat yang berpunya dan berfasilitas full lux yang lengkap lengkip pokoknya, yang membuat saya kadang ternganga karena semesta perbincangan yang tak saya pahami sepenuhnya.
Bagi seorang anak umur 12 tahun, ternyata itu sangat berat. Masih mendingan kalau memang metode pendidikan kualitas nomor wahid yang saya dapatkan. Otak saya bukan wahid, ya nggesot dan seperti kompor meledog....ha....ha.....
Begitu lulus SMP, harus berlomba masuk ke SMA terfavorit. Dengan beban psikologis seorang anak lulusan SMP favorit harus SMA walau SMA swasta favorit, dimasa saya banyak mengukir prestasi dan temen-temen banyak meraup prestasi yang paling handal yaitu drumband, sepak bola, basket, pramuka dan lain-lain.
Kita lompati cerita masa SMA yang terlalu indah itu. Tibalah masa kuliah. Di bangku universitas, ada satu hal yang membuat saya minder untuk kali ke sekian. Ternyata, kawan-kawan saya dari daerah-daerah lain pintar-pintar. Mereka sudah tahu ini-itu sejak SMA. Mereka membaca buku ini-itu sejak SMP. Apalagi anak-anak lulusan pesantren itu, mereka benar-benar membuat saya merasa tidak tahu apa-apa. mereka gemar membaca sejak dini sedang saya, wah sangat memprihatinkan, gau usah dibahas yang ini, jadi ingin malu, ha....ha.....
Lantas, saya mencoba menata teori tentang ini semua. Akar masalahnya ternyata sederhana: karena saya produk sekolah-sekolah favorit.
Karena sekolah saya favorit, guru-guru kami berjuang keras agar predikat favorit itu tidak lepas dari genggaman tangan. Caranya bermacam-macam. Bayangkan, jika nilai kami jeblok, bisa jadi ranking sekolah kami turun. Jika ranking sekolah turun, predikat favorit bisa hilang. Jika predikat favorit hilang, mana mau para orangtua berbondong-bondong berebut tempat dengan biaya masuk yang begitu tinggi?
Kami harus berangkat pukul enam pagi untuk mengikuti latihan tes, alias pendalaman materi. Begitu terus setiap hari. Sejak kelas dua, atau awal kelas tiga, segenap konsentrasi dan daya upaya dikerahkan menuju gol jauh di depan, yaitu bagaimana nilai Ebtanas kami melejit, dan bagaimana agar kami lolos semua ke perguruan tinggi negeri.
Dengan suasana kebatinan seperti itu, semua anak tertekan. Semua berjuang habis-habisan agar lolos UMPTN, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Setelah pengumuman UMPTN tersebar, sekolah akan menyulap nama-nama kami yang berhasil menjadi angka-angka statistik kesuksesan sekolah, dan melupakan anak-anak yang gagal.
Maka, saya ingat, betapa saya ambruk sedih berat ketika mengetahui nama saya tidak ada di koran Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu peserta UMPTN yang berjaya. karena memang tekanan peer group begitu berat. jelas tidak pernah diperhitungkan oleh guru-guru kami belasan tahun sebelumnya. setelah lama saya baru tau kampus swasta sekarang bisa berkwalitas lebih baik dari yang negeri, contohnya kampus sayapun banyak yang berebut untuk bisa masuk.
Lagi-lagi, alasannya jelas: hanya mereka yang lolos UMPTN yang akan mendongkrak nama sekolah, menjadikan sekolah tetap berpredikat favorit, dan menjadi kekuatan marketing yang dahsyat untuk menjaring siswa-siswa baru di tahun ajaran berikutnya. Simpel. Hukum pasar yang sangat simpel.
"Kalian ini hebat, teman-teman. Dunia kreatif dan intelektual selalu diramaikan oleh para pendatang. Saya orang asli kota ini, tapi saya sangat terlambat. Saya mengenal buku baru di tahun ketiga kuliah, padahal kalian akrab dengan bacaan sejak SMA. Di SMA, apalagi SMP, saya sama sekali tidak mengenal budaya membaca. Yang ada hanyalah budaya bermain dan bermain setiap hari belajar hanya selingan itu pun kalau sedang mau dan dipaksa oleh orang tua, demi meraih nilai tinggi di ujian akhir, agar sekolah kami tetap bertahan dalam predikat sekolah-sekolah favorit."
Huff, kira-kira begitulah secuil gambaran nyata sekolah-sekolah favorit kita. Barangkali tidak cukup mewakili, namun dari situ Anda bisa sedikit memahami betapa amat mendesaknya penerapan sistem zonasi.  

PALSU


Barangkali Anda geli mendengar celotehan tak berguna ini. Namun ingat, pola semacam itu selalu terjadi pada segenap bidang kehidupan kita. Hidup kita setiap saat selalu dibelit oleh sulur-sulur rumit yang terjalin antara kebenaran dan kepalsuan. Apa yang tampak benar pada hari ini bisa jadi ketahuan palsunya dua puluh tahun lagi. Apa yang tampak palsu di detik ini bukan mustahil ternyata asli pada lima dekade nanti.
Maka, tantangan hidup kita bukanlah untuk benar-benar memahami yang manakah yang paling benar, sebab hal itu membutuhkan kemampuan adimanusia. Tugas kita adalah terus berusaha untuk mendekati yang benar, atau mengambil kebaikan dari serpihan-serpihan realitas yang sekilas tampak benar.
Dalam kehidupan Anda yang sedang asyik-asyiknya menikmati pilihan politik pun rasanya tak beda. Anda boleh saja dengan sangat yakin membela junjungan-junjungan Anda, atau menghujat "musuh-musuh" Anda. Tapi jangan lupa, bisa jadi dalam 30 tahun ke depan akan terpampang di depan mata bahwa keyakinan yang nyaris setara iman di dada Anda itu terbongkar sebagai kepalsuan belaka.
Tidak mengapa. Nikmati saja perjalanan ini

MIRIS


Saat ini miris terjadi dengan kondisi pendidikan kita.
Orangtua berharap anaknya serba bisa.
Sangat stress ketika matematikanya dapat nilai 5.
Les A, Kursus B, Les C, kursus D, private E dan sebagainya dan berjibun kegiatan lain tanpa memperhatikan dan fokus pada potensi anaknya masing masing.
Mari kita syukuri karunia luar biasa yang sudah Allah amanahkan kepada para orangtua yang memiliki anak-anak yang sehat dan lucu.
Setiap anak memiliki belahan otak dominannya masing masing.
Ada yang dominan di limbik kiri, neokortek kiri, limbik kanan, neokortek kanan, juga batang otak.
Sehingga masing masing memiliki kelebihannya sendiri sendiri.
Fokuslah dengan kelebihan itu, kawal, stimulasi dan senantiasa fasilitasi agar terus berkembang.
Janganlah kita disibukkan dengan kekurangannya.
Karena sesungguhnya setiap anak yang terlahir di dunia ini adalah cerdas (di kelebihannya masing-masing), istimewa dan mereka adalah Bintang yang bersinar di antara kegelapan Malam.
Inilah saatnya kita bergandeng tangan menggali potensi diri anak kita.
*_Selamat berjuang para orang tua Semoga Allah mudahkan segala urusan kita mengiringi kesuksesan anak kita kelak di dunia dan di akhirat. Aaamiiin..._*

*NGELINGAKÉ AWAKKU DHÉWÉ*


Ora tuwo
Ora enom
Ora lanang
Ora wedok
Angger wis nyelehke HP ditinggal sedilut didelok maneh , ditutup sedilut dibukak maneh.

Kabeh sayang banget karo sing jenenge HP,
Lungo nggembol HP,
Jagong nggowo tas isine HP,
Sedino HP iso mlebu metu soko tas utowo kanthong Hem luwih soko ping seket.
Bar adus ndelok hp
Bar nyapu ndelok hp
Bar masak ndelok hp
Bar nyuci ndelok hp
Bar sarapan ndelok hp
Bar ketamon dayoh ndelok hp
Bar tangi turu ndelok hp
Tengah wengi nglilir ndelok HP...jiiiiiiaannn .

*BAKDA*


Bakda podo seneng, ning wong tuwo sewalike ... anake podo mulih gur mung arep reuni...
Ketemu mung sedilit.. Ya alhamdulillah iso sholat ied bareng, njur sungkem2an... bar kui klepat lungo... jare arep reuni ro kanca2ne... sedina pamit reuni ro kanca SD, sesuk-e reuni ro kanca SMP, sesuk-e maneh reuni kanca SMA.... sajak-e ya reuni ro kanca TK karo kanca kuliah barang....
Yen neng ngomah mung turu ro adus thok...yen ora, neng ngomah kui mung dudal dudul hp...
Karo pota poto ...
Ramudeng.. yen dijak omong mung njawab sak anane ...
Sirku kui yen mulih bakda ki ya kangen2an ro bpk ibune, ngobrol gojeg kaya jaman cah2 jik cilik biyen kae ...
Lha ki njur ujug2 pamit balik nyang omah-e dewe2.... jare preine bakda wes entek ...
Wong tuwo mung ditinggali duit.. tp duit ki kanggo opo wis ra ana gunane....
Ya wis laaah... mugo2 bakda tahun ngarep jik gelem mulih mrene...

(Curhat Wong Tuwo Jaman Now)

HITAM PUTIH POLITIK


Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah ambisi dan kepentingan saja.
Yang akan tercengang adalah pendukung fanatik kedua pihak. Orang-orang yang terbiasa memandang politik sebagai sesuatu yang hitam-putih akan kaget dengan situasi ini. Dulu banyak orang yang kagum pada sosok, jadi pendukungnya. Banyak yang kecewa ketika menjabat. Tapi pada pendukung ini tidak sedikit yang berbalik arah menjadi pembenci seseorang ketika ia menjadi calon, lalu jadi pejabat.
Nah, situasi ini yang seharusnya disadari oleh para pemilih. Ya, kita semua tak lebih dari seorang pemilih. Kita memilih politikus yang tersedia di hadapan kita saat kita berdiri dalam bilik suara. Kalau Anda pendukung seseorang, Anda tidak bisa menolak saat pada surat suara ada foto lawan di sebelah foto pilihan. Pilihan lain yang Anda punya mungkin lebih tidak menarik lagi. Apa boleh buat, Anda akan coblos foto pilihan, suatu langkah yang membuat orang di foto samping akan menjadi Wakilnya.
Tegasnya, pemilih tidak bisa ikut menentukan ramuan politik. Mereka hanya punya pilihan, menerima atau menolak ramuan itu. Peliknya, politik kita tidak punya standar apapun dalam membuat ramuan. Semua bisa terjadi. Partai a yang biasanya sangat anti pada Partai b, toh bisa sekubu dalam Pemilihan.
Dalam suasana seperti itu sangatlah bijak untuk tidak terlalu getol soal pilihan politik. Yang Anda cintai hari ini bisa berubah jadi yang Anda benci besok. Yang Anda benci hari ini, bisa berubah jadi yang Anda dukung besok. Apa yang tidak berubah? Kepentingan politik Anda. Kepentingan politik kita.
Apa kepentingan politik kita? Pemerintah yang bersih, tidak korupsi. Pemerintah yang membangun, menempatkan kepentingan rakyat di tempat paling tinggi. Atau, setidaknya pemerintah yang bekerja, meninggalkan sesuatu yang jelas wujudnya, bisa kita rasakan manfaatnya. Dukunglah politikus yang seperti itu. Sebaliknya, cabutlah dukungan kepada politikus yang tidak seperti itu.

SIPIL GUWIL


BANYAK orang terjebak hanya karena masalah sepele. Hal sepele, remeh, receh yang semula hanya dianggap angin lalu, ternyata bisa berubah menjadi angin badai. Pepatah mengatakan banyak orang tergelincir karena kerikil kecil, bukan batu besar. Belakangan ini banyak orang bertengkar dan saling lapor hanya karena masalah sepele. Orang-orang "zaman now" banyak yang mudah tersinggung hanya karena masalah sepele. Bahkan ada yang menganiaya atau membunuh hanya karena masalah sepele.
Pada tahun 2017, tepatnya di Jakarta Barat, seorang ibu muda berinisial NW (25 tahun) menganiaya anaknya berinisial GW yang baru berumur lima tahun. Ibu muda tersebut seperti kesetanan menganiaya anaknya hingga tewas! Apa penyebabnya? Hanya karena anak tersebut sering ngompol! Awal tahun 2018, ada guru kesenian SMAN I di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, tewas karena dipukul muridnya sendiri. Leher guru tersebut diduga patah, tak lama kemudian tewas. Penyebabnya, murid tersebut tak rela ditegur karena tak mengerjakan tugas, lalu berbalik memukul guru tersebut sampai tersungkur! Ada lagi berita yang pernah saya baca di media online, seorang ibu tega membunuh tiga anaknya yang masih kecil. Caranya dengan membenamkan masing-masing anaknya ke bak mandi hingga tewas. Penyebabnya, gara-gara uang Rp 20.000! Waktu itu istrinya meminta uang Rp 20.000 kepada suaminya untuk makan anak-anaknya hari itu. Tetapi suaminya tidak memberi, malah pergi ke luar rumah. Istrinya lantas mengancam, kalau tidak memberi uang maka ia akan bunuh semua anaknya. Suaminya malah menantang, bunuh saja! Baru-baru ini terjadi pembunuhan keluarga di Tangerang oleh Pendi (60) terhadap istrinya, Emah (40), dan kedua anaknya, Nova (20) dan Tiara (11). Hanya gara-gara istrinya telat membayar cicilan mobil! Emosi negatif Kenapa gara-gara hal sepele mereka bisa berbuat nekat?
Apa faktor penyebabnya? Kalau mau ditilik lebih jauh, dalam psikologi ada yang dinamakan gangguan emosional, khususnya emosi negatif, emosi yang tidak stabil. Emosi jenis ini akan menyeret masalah-masalah sepele menjadi masalah besar. Inilah yang melatarbelakangi kejadian di atas. Sebab, dalam emosi negatif terkandung di dalamnya rasa marah, gelisah, sedih, takut, benci, dendam, kecewa, sakit hati, rasa putus asa, tak berpikir panjang, berpikiran negatif, tidak bisa mengekang diri, egois, terlalu mudah kecewa, tidak sabaran. Emosi negatif tersebut tidak akan hilang selama tekanan eksternal masih ada. Hal ini selain menimbulkan amarah juga cenderung agresif.
Menurut Leonard Berkowitz (1926-2016), semakin banyak perasaan negatif semakin kuat dorongan agresi yang ditimbulkan. Adapun agresi, menurut Berkowitz, merupakan bentuk perilaku yang bertujuan menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Jadi, perilaku agresif ini tujuannya hanya untuk melukai atau mencelakakan, bahkan bisa membunuh. Persis seperti yang dikatakan oleh psikolog Florence Wedge bahwa emosi akan menjadi semakin kuat apabila disertai ekspresi fisik. Misalnya, mengepalkan tangan, menendang, memaki-maki, menuding-nuding, membentak. Ekspresi fisik ini bila dibiarkan akan menjadi brutal, tidak terkendali, kalap. Pelampiasan tersebut biasanya ditujukan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap lingkungan sekitar. Dengan demikian, timbul rasa puas hati setelah melampiaskan semuanya. Walaupun mungkin timbul penyesalan setelahnya.
Mengontrol diri Orang yang mudah meledak emosinya gara-gara hal sepele bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak dapat mengontrol diri. Padahal mengontrol diri (self control) adalah tiang pancang pada diri seseorang. Mengontrol diri berarti bisa menunda atau membatalkan sebuah perbuatan yang bisa berakibat buruk, baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Mengontrol diri, menurut Konsep Averill, terdiri dari beberapa tipe, yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional control. Behavioral control (kemampuan mengontrol perilaku) adalah kemampuan individu untuk mengontrol perilaku untuk mengurangi penyebab tekanan. Cognitive control (kemampuan kontrol kognitif) adalah kemampuan individu untuk mengubah atau memfokuskan pada hal-hal yang menyenangkan saja, bukan pada penyebabnya. Decisional control (kemampuan mengontrol keputusan) adalah kesempatan memilih tindakan yang diyakini benar.
Jadi, betapa pentingnya mengontrol diri dalam menghadapi hal-hal sepele. Melihat Konsep Averill tersebut, ternyata emosi bisa dikendalikan melalui self control ini. Apabila ia mampu mengendalikan hal sepele, hal kecil, maka ia pun akan mampu pula mengendalikan perkara yang lebih besar. 

KEJAWAAN


Kemuncullan kesulitan selepas kami mudik ke kampung halaman. Anda tahu, seorang anak sebelas tahun yang hidup pada 2018 tidak bisa begitu saja dijejali dogma-dogma. Maka, ketika saya memintanya untuk bahagia dan bangga menjadi anak Jawa Banjarnegara, dia bertanya kenapa. Saya pun geragapan berusaha mencari jawabnya. Kenapa dia harus bangga menjadi anak Jawa Banjarnegara? Bahkan lebih mendasar lagi: kenapa dia harus merasa sebagai anak Jawa atau Banjarnegara, dan menghilangkan imajinasi lamanya sebagai "anak Kalimantan"?
Satu-satunya pertimbangan yang bisa dicerna seorang anak dalam hal ini adalah perkara-perkara kognitif. Kenapa dia harus mencintai Jawa, sedangkan sebagian besar hal di Kotabaru Kalimantan Selatan dia lihat lebih baik daripada di Jawa? Mulai jalanan yang lebih tertib, lingkungan yang lebih bersih, burung-burung cantik yang bebas beterbangan, taman bermain yang gratis di mana-mana, sampai toilet umum yang tidak pesing dan tidak perlu bayar infak dua ribu untuk masuk ke sana. Bagaimana kami harus melawan jalan pikiran kanak-kanak yang demikian apa adanya?
Saya mencoba menggunakan senjata Lagu-lagu jawa dan kuliner yang sangat khas, yang selalu mengingatkan saya akan suara masa lalu. Ada satu aspek penting yang ditekankan dalam lagu itu, yakni "dawet ayu". Maka, saya katakan, "Kamu harus mencintai Jawa karena kamu lahir di Indonesia, Nak."
Sial, saya kaget dengan jawabannya. "Lho, berarti Ufa nggak harus lovesJawa? Kan Ufa lahir di Kalimantan? Berarti Ufa bukan Jawa, Yah? Ufa Kalimantan! Yeeee!"
Dhuer, matilah saya. Barulah saya ingat kalau Ufa memang lahir di Kalimantan tiga setengah tahun silam. Saya pun gagal menggunakan sepotong lirik di lagu dawet ayu yang khas Banjarnegara itu. Lalu?
"Hmmm. Coba begini. Kamu suka kepingin lihat bapaknya Ryan di Youtube Toys Review, kan? Karena bapaknya Ryan sering banget membelikan mainan, Kinderjoy-Kinderjoy dan banyak lagi, ya kan? Nah, Ayah enggak suka membelikan yang begitu-begitu. Berarti kamu mau ganti Ayah? Kamu mau bapaknya Ryan jadi bapakmu?"
Anak saya tertawa-tawa sambil memukuli lengan saya.
"Nah, kalau kamu nggak mau, coba lihat. Jawa tuh seperti orang tuamu sendiri. Mungkin Kalimantan bisa ngasih kamu macam-macam, tapi dia bukan orang tuamu. Begitu."
Tentu saja argumen saya itu cuma langkah putus asa, dari seorang bapak yang terpaksa membuat analogi masalah dengan tidak cukup setara. Lhatapi saya bisa apa?
Meski kasus anak saya agak khusus, tapi saya yakin dia tak sendiri. Ada sangat banyak anak Jawa yang sulit memahami kejawaan mereka, dengan kondisi lebih parah ketimbang anak saya. Bisa jadi karena mereka menjalani masa tinggal yang lebih panjang di daerah tersebut. Bisa jadi mereka sudah kehilangan bahasa Jawa mereka. Bisa jadi karena mereka dimasukkan ke sekolah-sekolah internasional yang agak menomorduakan pembentukan kesadaran murid sebagai manusia Jawa. Dan lain-lain.
Sekarang coba simak situasinya. Bahasa adalah pengikat utama imajinasi kebangsaan. Dengan menipisnya penggunaan bahasa Jawa, bagaimana ikatan imajiner itu diharapkan akan sekuat sebelumnya?
Ini sekilas tampak sebagai kekhawatiran berlebih. Namun, fakta sosial yang agak menggelikan memang saya lihat sendiri berkali-kali, yakni ketika sebagian orangtua merasa keren jika berhasil membuat anak mereka menjadi English speaker atau indonesia speaker seutuhnya. Nah, yang semacam ini lambat laun menjadi fenomena lazim di masyarakat kelas menengah perkotaan.
Bayangkan. Anak-anak itu semakin kurang dalam menggunakan bahasa Indonesia. Di saat yang sama, mereka mendapat akses sangat mudah atas dunia digital yang melesapkan batas-batas geografis, sehingga terus terpapar dengan realitas kampung global yang kian menyempit, dan membuat mereka tidak terlalu peduli kaki mereka sedang menginjak wilayah negara mana. Mereka juga anak-anak yang lebih memilih berkunjung ke Disneyland daripada ke proyek-proyek keindonesiaan semacam Taman Mini Indonesia Indah, apalagi ke Museum Nasional.
Lalu, sampai kapan kita berharap anak-anak tersebut terus terkondisi untuk membangun imajinasi kejawaan dalam kepala-kepala mungil mereka? Apakah mereka akan cukup peduli Pancasila, misalnya? Kalau toh peduli, dan mereka melihat sila-sila Pancasila sebagai nilai-nilai moral berupa ketuhanan, kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan, lalu bagaimana pandangan mereka atas Sila Persatuan Indonesia yang barangkali terlalu abstrak bagi pikiran mereka?
Entah pertanyaan-pertanyaan itu akan terus mengalir ke mana. Yang jelas, ancaman atas kejawaan kita, dan ancaman atas Pancasila, ternyata tidak semata datang dari kalangan so called radikal semata. Karena itulah, di bulan kelahiran Pancasila ini, saya berharap Ibu Mega selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila membantu saya untuk segera menemukan jawabannya.  

PUASA MEDSOS



Komputer membuat kita sibuk karena ia membantu pekerjaan kita dan melaluinya kita dapat terhubung dengan internet di dunia maya. Namun, sejak 2007 silam, kita dibuat lebih sibuk lagi oleh benda baru yang disebut ponsel pintar. Benda ini, selain berfungsi sebagai telepon, juga menghubungkan kita ke internet. Berbeda dengan laptop, hampir semua lapisan masyarakat memakai ponsel pintar.
Yang sering membuat kita sibuk dari ponsel pintar adalah media sosial. Ini ‘binatang’ baru pula. Seperti ditulis Daniel Dhakidae di Prisma (2015), media sosial itu “tidak diterbitkan seperti surat kabar, tidak disiarkan seperti radio dan televisi, akan tetapi di-post-kan (posting), dipamerkan (display), diumumkan dalam ruang internet.” Media baru ini melahirkan dampak-dampak positif dan negatif.
Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara,menyebutkan, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 130 juta. Selain itu, menurut Thomas Hidya Tjaya dalam artikelnya “Facebook dan Hasrat Kita” di Kompas (26 April 2018) penggunaan media sosial di Indonesia mencapai tiga jam 23 menit per hari.
Tak dapat disangkal, banyak kebaikan yang bisa diperoleh melalui media sosial. Misalnya, silaturrahmi dengan orang-orang yang jauh dan berkenalan dengan orang-orang baru. Menurut Jonah Lehrer (2011), media sosial dapat menghibur hati dan membantu menaikkan rasa harga diri orang. Namun, sebaliknya, media sosial juga menjadi ladang penebaran ujaran kebencian, berita bohong dan manipulasi politik.
Bagaimanakah memaksimalkan manfaat media sosial dan mencegah mudaratnya? Jawabnya, semua tergantung kita. Kita harus bisa mengendalikan benda yang kita ciptakan sendiri. Jangan sampai, senjata makan tuan. Gara-gara ponsel, bukannya persahabatan, malah permusuhan yang kita ciptakan. Gara-gara ponsel, percakapan intim dengan keluarga tak ada lagi. Yang jauh jadi dekat, yang dekat jadi jauh.
Dapatkah kita berpuasa dari ponsel?Puasa dalam bahasa Arab adalah shawm yang artinya menahan diri. Alquran mencatat, Maryam pernah puasa bicara, ketika orang-orang mempersoalkan status anaknya (QS 19:26). Puasa hanyalah jeda, bukan penghentian total. Ia adalah latihan pengendalian diri. Diri yang dimaksud di sini adalah keinginan rendah dan sifat buruk manusia yang disebut nafsu.
Akal atau ruh harus mengendalikan nafsu, bukan sebaliknya. Dalam Alqur’an, nafsu yang tak terkendali disebut ammarah (mendorong kepada kejahatan). Jika nafsu itu kadang bisa dikendalikan, kadang tidak, dia disebut lawwâmah (yang mencela dirinya). Jika sudah terkendali, nafsu itu disebut muthmainnah (yang damai). Nafsu yang terakhir ini kelak akan kembali kepada Allah dalam pelukan keridaan-Nya.
Alhasil, melalui puasa, kita dapat melatih diri untuk mengendalikan keinginan rendah dan sifat buruk kita, yang mendesak untuk disalurkan melalui benda ajaib bernama ponsel pintar itu. Kegagalan atau keberhasilan pengendalian diri ini akan menentukan apakah kita tergolong manusia yang bernafsu ammârah, lawâmah atau muthmainnah

BERJENGGOT, BERCADAR



Secara tidak sadar, sekalipun berdasarkan pengalaman sementara, seolah bahwa teroris adalah Muslim. Lalu mulai ter-frame sosok Muslim yang berjenggot, wanitanya berjilbab dan bercadar, serta mulai terekam identifikasi fisik lainnya. Dengan pola ini, terjadilah apa yang menimpa sang santri.
Lihatlah kelapangan hati sang santri. Setelah diperlakukan tidak menyenangkan, setelah dituduh tanpa alasan, setelah tersita waktu dan tenaga, juga terkikis harga diri, dengan mudah ia malah memaafkan. Sempat-sempatnya bersuka cita tanpa dendam.
Inilah sikap yang insya Allah mewakili wajah umat Islam kebanyakan sebagaimana yang berusaha disyiarkan lewat film 212 The Power of Loveyang sedang tayang di bioskop. Islam itu peace and love. Sebagian besar umat Islam Indonesia adalah pemaaf.
Sebagian besar umat Islam Indonesia sangat toleran. Nyaris semua cinta damai. Garis bawahi hal ini.
Jangan kemudian karena perilaku satu atau dua orang yang kebetulan beragama Islam, yang kebetulan memahami agama secara salah, yang kebetulan tidak paham ajaran Islam yang penuh damai, seluruh umat Islam lantas menjadi korbannya.
Memandang terorisme dengan kacamata stereotip sangat berbahaya, kita bisa dengan mudah teperdaya.
Padahal, pembunuh delapan orang di Oslo lalu pembantai 77 orang remaja di Pulau Utoya, Anders Behring Breivik, tidak mengenakan sarung atau kopiah. Pun tidak berjenggot. Jelas bukan seorang Muslim.
Sosok yang menghabisi nyawa 58 jiwa dan melukai 851 orang di sebuah konser di Las Vegas, Stephen Paddock, juga tidak mengenakan serban atau peci. Dia bahkan bukan dari kalangan miskin yang tidak punya penghidupan.
Ia meluncurkan serentetan tembakan dari satu kamar di sebuah hotel mewah.
Di Swedia kini juga gempar dengan munculnya aksi kekerasan (baca: teror) yang membuat takut warga yang dilakukan seseorang berpakaian badut.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa melabelkan kelompok tertentu (baca: Muslim) dengan pakaian dan tampilan fisik khas (baca: berjilbab, bercadar, celana cingkrang, berjenggot) justru akan mengekalkan dua keburukan.
Pertama, jelas menyakiti umat yang sama sekali tidak terlibat terorisme bahkan juga membencinya.
Kedua, bisa-bisa kita akan ditembus oleh aksi teroris yang tampil dengan tampilan fisik berbeda. Jika seorang Anders datang dengan jas, kita tidak akan menduga, juga seperti kejadian di Swedia saat sosok teroris datang justru dengan baju badut.
Baru-baru ini sebuah pemandangan menyejukkan terlukis di rumah sakit, ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengunjungi seorang polisi yang menjadi korban serangan aksi teror, ternyata istrinya mengenakan cadar.
Tentu saja ini menyejukkan. Pertama, karena kepolisian tidak mempermasalahkan anggota polisi mempunyai istri bercadar. Kedua, menunjukkan bahwa teroris adalah musuh semua. Teroris tidak punya mata dan hati.
Teroris sejatinya musuh wanita bercadar, musuh para Muslim yang memelihara janggut, pun musuh lelaki bercelana cingkrang, atau beserban, mereka pun musuh lelaki bersarung.
Teroris adalah musuh umat Islam, musuh umat beragama, musuh Indonesia. Lawan bersama!

SEKOLAH MANIA



Sekolah mana fa ?, tanyaku pada anakku Ufa yang sedang melaksanakan ujian dalam minggu-minggu ini, di sekolah sana aja yah, jawab Ufa spontan, saya kaget kepalang, kenapa ga sekolah ayah dulu yang sangat dinanti dan diidamkan orang tua lain, di sekolah favorit se Banjarnegara yaitu SMPN 1 sekolah teladan yang notabene ayahnya yang pernah memegang piala sekolah teladan waktu di kirab keliling banjarnegara, waktu itu ditugasi sebagai pasukan inti (Pasti) memegangi piala yang sebesar siswa smp yang diangkut mobil opencap, antara bingung dan setres, tp lihat nantilah setelah nilai ujiannya keluar baru ngambil keputusan.
Untuk para orang tua baru memilih sekolah tentu jadi tantangan tersendiri. Terlebih saat ini begitu banyak sekolah dengan beragam metode dan kurikulum pembelajaran.
Saya pernah mengikuti salah satu seminar bertema "Cara Tepat Memilih Sekolah", memaparkan mengenai jenis-jenis metode dan kurikulum pembelajaran yang sekarang banyak ditawarkan sekolah-sekolah di Indonesia.
Memilih metode maupun kurikulum sekolah sebaiknya disesuaikan dengan karakter anak. Tujuannya agar anak merasa nyaman dan tak frustasi menghadapi hari-harinya sekolah.
Pertama, metode Montessori. Metode ini biasanya menggunakan alat bantu dalam proses pembelajaran. Anak-anak di sekolah Montessori umumnya akan lebih aktif dari gurunya. Mereka umumnya jarang mendapat work sheet.
Anak-anak dengan karakter rapih, logis dan terstruktur cocok dengan sekolah metode Montessori.
Kemudian ada sekolah berbasis alam. Sekolah ini pada umumnya menggunakan kurikulum dari Dinas Pendidikan. Hanya saja semua alat-alat yang digunakan melibatkan alam. Misalnya belajar biologi langsung di alam, matematika dengan alat-alat dari alam dan sebagainya.
Sekolah jenis ini sangat umum melakukan banyak kegiatan di alam, sehingga sangat cocok untuk anak-anak yang aktif atau berkarakter observer dan eksploratif. Tapi jangan coba-coba memasukkan anak rapih ke sekolah ini. Mereka mungkin akan tertekan.
Ada lagi sekolah karakter. Sekolah dengan metode ini juga sedang banyak digandrungi. Sekolah karakter biasanya akan memasukkan nilai moral dalam setiap pelajarannya. Ada sembilan karakter yang akan dilibatkan dalam setiap pelajaran yang diberikan.
Lalu sekolah dengan metode multiple intelligence. Untuk sekolah jenis ini biasanya akan melibatkan delapan kecerdasan dalam kegiatan pembelajarannya. Tujuannya untuk melihat dari delapan kecerdasan tersebut di mana anak paling menonjol.
Selain soal metode, ada pula kurikulum. Di Indonesia setidaknya ada sekitar lima kurikulum yang diterapkan. Pertama kurikulum Dinas Pendidikan (diknas) dan Departemen Agama (depag). Diknas produknya biasanya sekolah-sekolah negeri. Sementara Depag sekolah seperti madrasah. Anak-anak tekun, rapih dan terstruktur pas di sekolah dengan kurikulum ini.
Kemudian sekolah Islam terpadu. Umumnya ada muatan Islam lebih banyak seperti hafalan Alquran. Untuk anak-anak yang sekolah di Sekolah Islam Terpadu, agar orang tuanya ikut menyesuaikan. Jangan sampai anak belajar hafalan dan melaksanakan berbagai shalat sunah, namun orang tuanya tidak.
Anak-anak yang tekun, logis, rapih dan terstruktur cocok untuk sekolah dengan kurikulum ini.
Untuk yang keempat adalah kurikulum Cambridge. Kurikulum ini biasanya sangat akademis dan mengejar prestasi akademis. Terakhir adalah International Baccalaureate (IB). Anak-anak IB biasanya baru benar-benar belajar di kelas enam Sekolah Dasar.
Cukup memusingkan bukan? Tapi begitulah gambarannya saat ini. Menjadi orang tua bukan hanya memasukkan anak ke sekolah dan selesai. Setiap apa yang dipilih harus diperhatikan baik-baik oleh orang tua. Ingat untuk menyesuaikannya dengan anak dan tidak memaksakan kehendak atau ambisi orang tua. Sebab jika salah pilih, maka potensi anak tak akan tereksplorasi secara maksimal.
Selamat memilih sekolah.

NARSIS


Salahkah cinta diri itu? Ya dan tidak. Seperti Narsis, cinta diri menjadi petaka ketika dia hanya melihat dirinya melalui telaga. Akibatnya, dia hanya melihat dirinya sendiri, sementara manusia-manusia lain dianggap tidak ada. Padahal, melihat diri sendiri tanpa bantuan orang lain sama artinya dengan tidak melihat. Dia merasa melihat padahal buta. Dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dia bodoh kuadrat!
Sebaliknya, cinta diri akan positif jika ditemukan melalui orang lain. “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya,” sabda Nabi. Melalui orang lain sebagai cermin, manusia akan menemukan kesamaan sekaligus perbedaan, kekurangan sekaligus kelebihan dirinya dan orang lain. Cinta diri semacam ini akan melahirkan kerendahan hati karena dia bisa melihat dirinya sebagaimana adanya.
Karena itu, cinta diri tidak harus berarti cinta egoistik, mementingkan diri sendiri dan mengorbankan orang lain. Cinta diri yang sejati justru akan membangkitkan cinta kepada sesama manusia. Sabda Nabi SAW,“Tidak beriman seseorang kecuali dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Inilah dasar dari aturan emas: perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.
Cinta diri bahkan dapat melahirkan cinta kepada Tuhan. “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” kata sebuah hadis. Orang yang sungguh-sungguh merenung tentang siapa dirinya, darimana dia berasal dan kemana akan kembali, akhirnya akan sampai kepada Tuhan. Semakin sadar betapa besar rahmat dan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya, dia pun akan semakin mencintai-Nya.
Sufi terkenal, Fariduddin Attar (w. 1230) menulis satu karya berjudul Manthiq al-Thair (Logika Burung atau Musyawarah Burung). Ini adalah kisah simbolik perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Tuhan. Diceritakan, ada tiga puluh burung dari berbagai jenis terbang mencari Sang Raja. Di akhir perjalanan, para burung itu terkejut melihat Sang Raja yang disebut ‘Simurgh’ mirip dengan diri mereka sendiri.
Simurgh kemudian berkata, karena burung-burung itu berjumlah tiga puluh, maka Simurgh pun terlihat seperti tiga puluh burung (si-murgh dalam bahasa Persia berarti 30). “Tetapi aku lebih dari tiga puluh burung. Aku hakikat Sang Simurgh yang sejati itu sendiri. Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian sendiri,” kata Simurgh.
Alhasil, Narsis menunjukkan bahwa cinta diri dapat menghancurkan diri sendiri, tetapi dapat pula menumbuhkan pribadi yang mencintai sesama manusia dan Sang Pencipta. Lantas, manakah cinta diri yang berlaku ketika kita bermedsos?

OPLOSAN



Aksi mabuk-mabukan minuman keras (miras) oplosan di Cicalengka (Kabupaten Bandung) dan Pelabuhan Ratu (Sukabumi) memakan banyak korban jiwa. Kasus ini kian menambah bukti bahaya konsumsi miras oplosan di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Pemerintah bukan tidak tanggap menyikapi kasus-kasus mengenaskan terkait konsumsi miras. Pada 2015, misalnya, Kementerian Perdagangan di bawah kepemimpinan Rachmat Gobel melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 menetapkan pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol dengan melarang minimarket menjual minuman beralkohol golongan A karena dianggap meresahkan masyarakat. Namun, pada Agustus 2015, langkah Gobel terhenti oleh reshuffle kabinet. Posisinya lantas digantikan Thomas Lembong yang merilis kebijakan kontroversial, yaitu melonggarkan penjualan minuman beralkohol di beberapa daerah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kebijakan pelonggaran itu jelas mendapat respons di daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk muslim. Meski nyatanya, hukum haram minum khamr (minuman beralkohol) yang --semestinya-- diimani umat Islam ternyata tidak sepenuhnya dipraktikkan di daerah-daerah yang mayoritas muslim itu sendiri. Bisnis miras tampaknya selalu ada dan berlangsung karena ada konsumen yang mencarinya --sekalipun produksi, distribusi, transaksi, dan konsumsinya-- dilakukan secara klandestin.
Saya bertanya-tanya, apa dan siapa yang sebenarnya gagal menghentikan bisnis terselubung ini? Apakah ini karena agama telah kehilangan fungsinya menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat, atau negara yang salah arah dalam mengatur regulasi miras? Atau, jangan-jangan, konsumsi miras sebenarnya adalah budaya tua yang tidak bisa ditumpas tuntas oleh norma agama dan hukum negara sekalipun?
Sekadar catatan, sebelum Islam menanamkan pengaruhnya di Nusantara sejak abad ke-13 hingga abad ke-15 M, kebiasaan minum minuman mengandung alkohol telah mengada jejaknya pada masa Hindu-Budha (bahkan jauh sebelum itu). Hal itu terbukti dari beberapa prasasti Jawa Kuna sejak abad ke-10 M yang telah menyebut beberapa jenis minuman beralkohol dari hasil proses fermentasi.
Sebut saja di antaranya badeg (dari gula kelapa), tampo, dan arak (beras), serta tuak (aren). Tidak heran jika dalam naskah Nagara-kertagama (1365) disebutkan menu pesta di Istana Majapahit yang dipenuhi berbagai jenis minuman fermentasi. Konon, Hang Tuah, tokoh legenda Melayu itu pernah bertandang ke Istana Majapahit dalam sebuah helat, dan menyaksikan betapa Gadjah Mada dan para punggawanya mabuk berat.
Lalu, seiring makin luasnya pengaruh Islam di Nusantara, apakah konsumsi miras itu secara serta-merta tergusur? Tidak juga. Justru, Islam dengan hukum halal dan haramnya hanya berhasil menggusur kebiasaan mengkonsumsi makanan haram (seperti daging babi) di kalangan mereka yang berhasil diislamkan. Apapun itu jenis dan nama minuman fermentasi, hal yang pasti ini tidak berarti selalu bercitrakan minuman memabukkan belaka. Minuman fermentasi sebenarnya memiliki proses pengolahan bertahap untuk mencapai taraf yang disebut memabukkan.
Sebagaimana disinggung Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1988, jilid 1), seperti halnya bahan adiktif semisal sirih dan tembakau, pada masa kuno ragam minuman fermentasi erat kaitan fungsinya sebagai "kesejahteraan fisik", atau boleh juga disebut sebagai "minuman kesenangan" (joy drink). Tidak heran jika selama berabad-abad, konsumsi minuman beralkohol terbilang permisif dikonsumsi oleh masyarakat Islam di Nusantara. Bahkan, seorang Pangeran Diponegoro dengan citra salehnya sekalipun, dengan merujuk riset Peter Carey dalam The Power of Prophecy (2008), didapati suka sekali minum anggur putih. Sang pangeran menganggap anggur putih itu berkhasiat sebagai obat kala badannya lemah.
Seyogianya kini pemerintah Indonesia belajar dari sejarah bagaimana mengawasi mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi miras melalui regulasi ketat dan sanksi hukum yang tegas untuk menghindarkan penyalahgunaannya oleh masyarakat. Keresahan sosial dan jatuhnya korban jiwa yang ditimbulkan akibat dari konsumsi miras serta praktik pengoplosan miras yang telah menyebabkan kematian massal selama ini, cukup menjadi bukti bahwa kemudaratan miras telah mencapai kondisi darurat.
Pemerintah perlu hadir secara preventif. Jangan biarkan insan-insan mabuk bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Jika dibiarkan, Darwin mungkin akan terus mengejek: "dalam urusan mabuk, ternyata kera lebih bijak ketimbang manusia."  

JUARA


Putriku Aurora Rishanaov Alfatiha (UFA) bukan si juara umum (di sekolah dulu waktu di kalimantan bisa juara 2 disekolahnya nilai tertinggi tapi di jawa juara terbawah), bukan bintang utama di pengajian, juga bukan pemain inti di lapangan badminton, dan tidak juga juara melukis ataupun pemenang lomba beladiri.
Dia adalah anak-anak tiga belas tahun , kelas Enam SD, yang senang bermain tiada henti, menikmati keciprak air hujan, mengayuh sepeda menantang angin, dan tak terlalu suka belajar sejak di jawa(belajar dalam pengertian umum orang Indonesia, yaitu membaca buku pelajaran sampai hafal titik koma nya).
Ini menyebabkan rumah eyangnya tak punya piala, kecuali punya saya dulu juara 2 basket dan penghargaan lainya.
Terkadang, sebongkah kecewa bergayut di hati, kecewa pada nilai matematikanya yg tak sempurna padahal soalnya gampang, kecewa pada hafalan surat pendek al quran yang masih salah, kecewa pada kegagalan menggambar yang masih belum stabil, tidak seperti saya yang pernah dapat penghargaan.
Mana pialamu , duhai kesayanganku?
“Kamu adalah ayah yang sangaaaaaaaaat jauh dari sempurna, dan putrimu tak pernah menuntut lebih, dia ikhlas, tak melayangkan protes atas segala kekuranganmu, lalu kenapa kamu tak membalasnya dengan cara serupa? Kamu sedemikian banyak menuntut dari putrimu,” aku terkesiap.
Kau mencuci piring, dan mencuci pakainnya, sebelum kusuruh. mengaji yang sudah mengenal sejak umur setahun dan sudah mulai mengenal alquran, sudah berpuasa penuh sejak TK.
Aku tertidur pulas, terbangun dengan sentuhan jemarimu di badanku yang sedang lelah dengan pijatan lembut, terasa lepas lelahku dengan pijatanmu, semua tanpa kuminta.
Memasak hanya telur mata sapimu membuat rasa lahap makan malamku.
Mataku menghangat, kuterima dengan seksama, seperti pak presiden menerima bendera pusaka.
Terimakasih putriku, engkau telah memberi piala juaramu, dan ini adalah sebenar-benarnya piala, piala yang sesungguhnya untukku.
Nak, ijinkan aku mencium tanganmu, sebagai wujud permohonan maaf atas segala tuntutanku...
Putriku yang shalihah... juara yg sesungguhnya

OH GARAM KU


Garam sangat dibutuhkan, selain digunakan untuk rumah tangga sebagai garam dapur juga banyak digunakan oleh berbagai macam industri, seperti industri pangan dan kuliner, industri obat-obatan, industri kosmetik, industri kertas, industri tekstil, dan sebagainya. Artinya, garam memang sangat dibutuhkan manusia dalam siklus hidupnya. Makanan tanpa garam, yang berfungsi mengikat bumbu, akan terasa hambar. Zat warna tekstil tidak akan melekat dengan baik di kain tanpa dilarutkan dengan NaCl atau garam, dan sebagainya.
Jenis garam memang dibagi dua, yaitu garam untuk rumah tangga/konsumsi dan garam untuk industri. Kedua jenis garam ini mempunyai spesifikasi dan kualitas yang berbeda. Garam industri dapat dipakai di rumah tangga sebagai garam dapur tetapi garam rumah tangga tidak dapat dipakai sebagai garam industri. Petambak atau petani atau pembudidaya garam di Indonesia dan PT Garam (Persero) umumnya memproduksi garam dapur, bukan garam industri yang memerlukan proses lanjut.
Garam produksi petani masih dibuat dengan cara primitif, yaitu mengeringkan air laut di kolam/tambak yang sudah disiapkan di tepi pantai. Produksinya sangat tergantung pada cuaca, terutama panas matahari. Tanpa panas matahari yang cukup, produksi garam pasti jeblok. Petani garam di Indonesia dan PT Garam belum tersentuh teknologi, akibatnya hampir seluruh produksi garam rakyat tidak dapat digunakan sebagai garam industri. Kalaupun dapat, proses pembuatannya mahal, kualitas tidak konstan, dan jumlahnya terbatas. Sementara garam impor (misalnya dari Australia) berasal dari tambang garam yang tidak tergantung pada cuaca.
Jadi jangan heran jika petani garam di Indonesia tidak pernah hidup sejahtera. Bahkan PT Garam pun "senin-kamis" nasibnya. Selain cara produksinya primitif, mereka juga tergantung hidupnya pada makelar atau tengkulak yang pada umumnya hidup sejahtera. Makelar ini berdasi dan punya power, jadi bisa menguasai media dengan baik, Pemerintah pun kewalahan. Kasus garam sama dengan kasus gula. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah supaya krisis garam tidak terus berulang?Dengan kondisi industri garam rakyat yang "senin-kamis" karena nir teknologi dan meningkatnya kebutuhan garam industri, maka pemerintah dalam jangka waktu pendek tidak mungkin bergantung pada produksi garam rakyat karena untuk diolah menjadi garam industri selain membutuhkan teknologi yang mahal juga perlu waktu, sementara kebutuhan sudah mendesak. Impor garam merupakan satu-satunya cara yang lebih murah karena berasal dari tambang garam yang kualitasnya memenuhi kriteria atau standar industri, misalnya dari Australia dan India.
Di sisi lain pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara BUMN harus memberdayakan PT Garam melalui penggunaan teknologi at any cost supaya dapat menghasilkan garam dengan standar industri, murah, dan suplainya berkelanjutan. Masalahnya, bagaimana kita mau sombong dengan mempertahankan produksi lokal yang mahal dan tidak bisa berkelanjutan, sementara ada produk impor yang jauh lebih murah, berkualitas prima. Garam industri impor bisa jadi mahal karena makelarisasi berdasi yang selama ini berkeliaran. Kita tunggu apa rencana ke depan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan garam industri yang terus meningkat.
Jadi, yang penting memang pemerintah harus melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara baik, benar, dan tegas. Tanpa itu sudah pasti garam industri impor akan berceceran sebagai garam konsumsi di pasar-pasar, persis sama dengan kasus gula industri impor. Salam!

Bermedia Sosial dengan Waras


Sudah berapa kali ya saya nulis tentang bermedsos dengan bijak, ah banyak mungkin, sampai lupa. berapa kali, banyak apa lupa ya...hahahaaaa masih muda kali jadi lupa,,,,,
sudah mualai ajalah kali ini sedikit aja biar ga mbosanin,
Media sosial hanyalah alat yang membantu manusia supaya lebih mudah dalam proses bersosialisasi di dunia nyata. Namun karena pemahaman yang tumpul akan fungsi dan peran tersebut, banyak pengguna media sosial yang akhirnya terperangkap dalam sikap antisosial. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak tersebut, maka perlu ada edukasi khusus untuk para pengguna media sosial.
Edukasi tersebut bisa dilakukan secara nyata di rumah, di sekolah, dan di tempat ibadah. Edukasi itu pun dapat dilakukan di dunia maya, dengan cara mendiskusikan topik-topik seperti ini, baik di dalam grup diskusi ataupun secara perseorangan. Selain itu, menulis di media sosial juga menjadi cara terbaik untuk mendidik penggunanya. Tulisan yang dibaca oleh pengguna media sosial akan berpengaruh dalam cara ia menggunakan media sosial.
Jika tulisan yang dibaca bersifat konstruktif dan dapat membangun kesadaran akan pentingnya keseimbangan sosialisasi di dunia maya dan di dunia nyata, maka pengguna akan semakin bijak dalam memanfaatkan media sosial. Sebaliknya, jika tulisan yang sering dibaca oleh pengguna media sosial bersifat destruktif dan tidak membangun kesadaran dalam penggunaan media sosial, maka sudah pasti efek buruk dari media sosial lebih mungkin untuk terjadi. Oleh karena itu, di era media sosial ini, setiap kita ditantang agar bisa menjadi waras dalam bermedia sosial.

BERHALA JAMAN NOW


Banyak orang yang kecanduan ponsel. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, yang disentuh dan dielus tiada lain daripada ponsel. Ponsel seolah berhala, yakni ciptaan manusia yang membuat manusia tunduk kepadanya. Sekali lagi, kecanduan ini memang sengaja direkayasa oleh pembuat aplikasi medsos dengan menyediakan tombol suka dan komentar sehingga emosi dan rasa ingin tahu orang terbakar.
Demikialah, jika ditinjau secara ilmiah, selain teknologi, para pembuat aplikasi itu menerapkan psikologi dan antropologi untuk mengikat pengguna. Misalnya, aplikasi itu lebih menyentuh emosi ketimbang nalar. Mungkin ini sebabnya, dalam bermedsos orang cenderung emosional dan faksional. Debat yang berapi-api tanpa berkesudahan seringkali terjadi. Diskusi di medsos jarangkali menghasilkan solusi.
Selain itu, media sosial yang dapat menghubungkan manusia satu sama lain justru menggerus kualitas hubungan itu. Tak jarang, orang sibuk berhubungan melalui ponsel dengan teman yang jauh, sementara teman bahkan keluarga yang di depan mata tidak dipedulikan. Padahal, hubungan melalui alat itu tidak sepenuhnya nyata. Dia hadir sekaligus absen. Hubungan semacam itu bisa mereduksi kemanusiaan kita.
Kita tentu maklum bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dia hidup bermasyarakat (dari kata Arab: musyârakah artinya bersekutu). Namun, kata Sherry Turkle, manusia perlu sesekali menyendiri jika dia ingin memahami dirinya dan orang lain. Orang yang terkoneksi terus-menerus dengan orang lain tanpa ada kesempatan untuk merenung sendirian akan kehilangan kemampuan untuk memahami orang lain.
Karena itu, Sherry Turkle menyarankan agar kita secara sadar mengendalikan diri dalam menggunakan ponsel. Batasi waktu penggunaannya. Jangan berlebihan. Utamakan percakapan berhadap-hadapan ketimbang melalui media. Tinggalkan ponsel saat berbincang dengan tamu, sahabat atau saat makan bersama keluarga. Cari kegiatan yang lebih menarik dan bermanfaat dibanding bermedsos belaka.
Akhirnya, saya sungguh terkesan dengan anjuran Turkle agar kita sesekali dalam sehari menyendiri dan merenung. Kita perlu menembus irisan tipis antara diri pribadi kita dan orang lain. Kita sama sekaligus berbeda. Bagi kaum beriman, manusia juga perlu sendiri bersama Yang Maha Sendiri (alone with Alone). Hanya dengan cara itulah kiranya, keseimbangan antara kesendirian dan kebersamaan dapat tercipta!

CLURIT



Ceritanya, pada waktu itu sedang nge-hits sebuah alat pijat. Bentuknya seperti tanda tanya. Tangkai pegangannya panjang, ujungnya ada bola kayunya, sehingga bisa digunakan untuk self-massage punggung oleh penggunanya.
Karena banyak orang merasa terbantu, apalagi buat mereka yang kesepian sehingga tak punya siapa pun sebagai tempat mengadu di kala punggungnya pegal-pegal, alat itu pun laris manis. Banyak warung memajang dan menjajakannya, banyak orang membelinya.
Namun tiba-tiba bapak-bapak dari Kodim melakukan razia. Alat pijat enak itu disita dari warung-warung. Ia tak boleh diperjualbelikan lagi, dan untuk membawanya ke luar rumah pun orang-orang yang kadung membelinya tak mungkin bakal berani. Dasar pemikiran pelarangan itu ternyata sangat ilmiah: yaitu karena bentuk alat pijat tersebut diianggap mirip dengan lambang partai terlarang! Dhuerrr!
Imajinasi yang maut, bukan? Karena alat pijat itu bentuknya melengkung, pak tentara jadi ingat bentuk arit. Karena teringat bentuk arit, terbayanglah di kepala mereka simbol komunis. Canggihnya, aritnya sendiri malah tidak dilarang. Tidak terdengar satu kali pun razia digelar di sawah-sawah, untuk menyita arit-arit dan membebaskan para petani dari paparan bahaya laten komunis. Tidak terdengar juga aparat negara mengambil paksa palu-palu dari tangan para tukang batu, juga dari lapak-lapak toko besi.
Kebiasaan berimajinasi seperti itu terus mentradisi, menjadi skillkebanggaan manusia Indonesia. Kalau mau dikorek, masih banyak sekali contoh kasus lainnya. Namun yang paling cespleng memang semua yang terkait dengan bahaya laten komunis. Kenapa? Sebab negeri ini memang punya trauma komunal mendalam terkait potongan sejarah kelam 50 tahun lalu. Trauma itu terus menjadi kebun subur bagi tersemainya ketakutan, dan ketakutan adalah alat pemasaran yang sangat menjanjikan peluang-peluang.
Jadi jangan heran-heran amat, kalau tiap kali musim politik tiba, isu kebangkitan komunis selalu dijadikan bahan dagangan. Dengan berjualan isu kebangkitan komunis, imajinasi publik bisa merebak dengan liarnya. Celakanya, sangat sedikit tokoh politik yang berani membantahnya, atau menetralisasinya. Sebab para praktisi imajinasi tetap mengikuti alur logika yang konsisten imajinatif: siapa pun yang membantah isu kebangkitan komunis, otomatis dia pro-komunis.
Nah, politisi mana yang mau dituduh pro-komunis, coba? Bisa-bisa habis karier politiknya, padahal belum lunas utang-utang biaya kampanyenya.
Lebih sial lagi, para aktivis muda yang sepertinya kepingin menjalankan edukasi publik agar kita tidak terus-menerus terpasung dalam trauma massal 50 tahun silam, justru kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang norak, caper, dan kekanak-kanakan. Misalnya dengan memakai kaos palu-arit di ruang publik, dalam ajang demonstrasi buruh pula.
Hasilnya, alih-alih menetralisasi imajinasi umat agar tak lagi mudah diaduk-aduk emosinya dengan isu kebangkitan komunis, yang terjadi malah sebaliknya: bumerang tajam! Orang kebanyakan justru semakin percaya bahwa kebangkitan komunis itu nyata. "Tuh lihat, nyata sekali mereka semakin terang-terangan menampakkan diri! Rapatkan barisan! Siagakan kekuatan umat!"
Padahal yang sebenarnya terjadi tak lebih dari kebangkitan seorang anak muda labil dan krisis eksistensi, yang mau pamer kaos oleh-oleh dari temannya, sepulangnya si teman dari Vietnam untuk misi darmawisata. Healah....
***
Hari-hari ini, imajinasi atas bangkitnya komunis sudah mulai dikitik-kitik lagi. Maklum, tahun politik. Sisa panas 2014 terus membara, dinyalakan lagi oleh Pilkada dan Dua-Satu-Dua. Sekarang musim Pilkada di mana-mana, dan tahun ini Pemilu dan Pilpres akan kembali memanaskan ruang-ruang kasak-kusuk kita. Sempurna sudah, Sodara.
Menu pertama untuk merebus isu kebangkitan komunis, kita tahu, adalah serangan orang-orang gila. Karena yang diserang adalah para ulama, dan karena di masa lalu kaum ulama pernah berkonflik dengan orang komunis, maka imajinasi yang paling gampang diracik adalah: PKI bangkit lagi dan menyerang para ulama. Apa bukti dugaan itu? Tidak ada. Ya, tidak ada.
Lihat, lagi-lagi imajinasi menjalankan perannya.
Lalu apakah semua ini kebetulan semata? Bisa ya, bisa tidak. Meski sampai detik ini saya belum percaya, tapi kemungkinan bahwa aksi-aksi orang gila itu by design bukan lantas tertutup. Kemungkinan itu selalu ada, negeri ini pernah mengalami pola-pola serupa, dan saya sangat mendukung aparat yang punya wewenang untuk secara serius mengusutnya. Namun, kalau boleh saya berpesan, ada satu hal yang ingin saya sampaikan.
Begini. Jika memang kemunculan orang-orang gila itu ada sutradaranya, secara logis tujuannya jelas, yakni untuk menciptakan keresahan dan instabilitas. Maka semakin kita reaktif, semakin kita emosi dan gagal mengendalikan diri, semakin kita berteriak memanaskan situasi dan bukan malah meredamnya, maka sesungguhnya dengan konyol kita sudah jatuh ke dalam perangkap yang dipasang Si Sutradara. Gotcha

MASIGIT


MASIGIT ini bukan nama saya aja apa lagi menyanjung nama saya ha....ha...ha...., tapi bahasa dan tulisannya di kalimantan adalah Masigit kalau di tempat kita Masjid sebagai tempat ibadah, tapi dulu saya waktu kecil lebih didokrin bahwa Masigit atau Masjid hanya khusus ibadah bukan yang lain titik, nah lho. tapi sekarang saya lebih sering senang tiduran dan bersantai di masjid Annur Banjarnegara yang adem dan tenang, eh tapi ibadah juga lho....ha...ha.....
lain dengan anak saya Ufa, dulu masih dikandungan sudah kami dengarkan pengajian lagu religi mengenalkan masjid dan sudah lahir pun tetap kami biasakan dengan suara pengajian, lagu religi dan ibadah sudah mulai kami kenalkan, belum genap satu tahun kami kenalkan untuk beribadah jamaah yang lama yaitu sholat tarawih, waktu pertama kali masih susah dan kami masih kawatir karena tempat pria dan wanita dipisahkan dan ufa masih harus bolak balik mencari orang tua dan rewel, yang lebih khawatir kami masjid dengan kondisi tangga yang masuk ke ruang masjid tinggi sekitar dua meter karena di kalimantan pemanfaatan lahan semaksimal mungkin dengan dibawah tempat sekolah SD dan ruang TK di atasnya sebagai masjid, selain kotanya padat dan tanah rawa sudah menjadi hunian. dengan beberapa kali coba coba dan coba, ufa sudah mulai bisa melakukan ibadah di masjid inshallah seterusnya.
Kenapa pemuda sekarang ogah main-main ke Masjid ? -karena sejak kecil didoktrin "Masjid bukan tempat main" maka mainlah mereka di tempat PS -karena yang di pikiran mereka Masjid itu cuma tempat ibadah ritual, tobat, inget dosa, sama inget mati -karena Masjidnya tidak menyediakan tempat mencari jati diri maka mereka carinya di Mall -karena penjaga di Masjidnya galak, gak kayak penjaga Warnet Padahal Rasulullah sangat memanjakan anak-anak di Masjid -"Pelit, tiduran aja gak boleh !" Padahal Ibnu umar waktu bujang numpang tidur siang malam di Masjid (dah kayak hotel) -"Gimana mau nongkrong, jam 8 tutup" Padahal Masjid jaman Nabi buka 24 jam (kalah minimarket) -karena mereka tidak melihat Masjidnya sebagai sentral kemakmuran umat. yang ada minta dimakmurin mulu -"Emang ada apaan ? paling orang Sholat sama baca Qur'an" Padahal di zaman Nabi Masjid bisa jadi tempat latihan Beladiri -Karena doktrin "di Masjid gak boleh ngomongin Politik" Maka mereka mencari ideologi lain di luar -Doktrin "Masjid bukan tempat nyari jodoh, luruskan niat !" Padahal, Nabi pernah "dilamar" seorang wanita di Masjid yang sedang mencari jodoh "Kalau orang ke Masjid niatnya untuk nongkrong/nyari jodoh/berpolitik/tidur/wifi-an/, apa jadinya ?"
Jawabannya : lho memang ada larangannya ? justru ketika Masjid dijadikan sentral kegiatan positif, maka masjid akan makmur seperti di zaman Nabi
Tugas kita para da'i, jangan cuma neriakin anak muda tuk datang ke Masjid, tapi datangi mereka untuk membuat mereka tertarik ke Masjid
Dulu ketika puasa diakui enak sambil istirahat atau tidur di masjid atau musalah. Apalagi ketika niat i’tikaf.
Tetapi sekarang ini kebanyakan masjid memajang tulisan: "Dilarang Tidur di Masjid." ini mengusik kenyamanan, bukan?
Padahal i'tikaf dianjurkan oleh Islam ketika berpuasa, yakni beri’tikaf di masjid.
Kalau sudah niat, i’tikaf bisa diisi dengan aneka ibadah, minimal zikiran sambil rebahan atau tidur.
Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani dalam Syarah Kasyifatus Saja ala Matni Safinatin Naja mengatakan,
Tidak masalah tidur di masjid bagi orang yang tidak junub meskipun dia menjomblo, belum berkeluarga.
Sejarah mencatat bahwa Ash-Habus Shuffah –mereka adalah para sahabat yang zuhud, fakir dan perantau– tidur (bahkan tinggal) di masjid pada zaman Rasulullah SAW.
Semoga pemrintah memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini. -------------------------------------------------------------------------------------------------- Banyak Pertanyaan-Pertanyaan untuk kita.
Kalo bawa anak, takut ribut dan mengganggu kekhusuan. > Saudaraku... Apakah sahabat lupa, Rasulullah dengan Para Sahabat nya tetap melaksanakan shalat berjamaah di medan perang? Bagaimana dengan Shalahuddin Al Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih. penakluk kota Konstatinopel.
Dan Apa yg di katakan sang penakluk kota Konstatinopel ini ?? " Jika suatu saat masa kelak kamu TIDAK lagi mendengar bunyi bising dan gelak tertawa anak-anak riang di antara shaf-shaf Shalat di masjid-masjid, maka sesungguhnya takutlah kalian akan kejatuhan Generasi muda kalian di masa itu " dan ini BAHAYA saudaraku..
Masa kita hanya karena anak kecil saja sudah begitu enggan membawa anak ke masjid atau kita melarang nya. Biarkanlah anak-anak bermain dan bercanda di lingkungan masjid-masjid dan suraw-suraw. agar ia mencintai dan terbiasa di lingkungan2 masjid. Apakah sahabat akan malah senang ia di biarkan bermain HP, android, Gadget, Game, Warnet?? Biarkan ia hidup terbiasa senang dan bermain di masjid, biarkan ia mencintai masjid.
ada pertanyaan, Anak kecil merusak Microphone kadang suka berebutan untuk shalawatan, ya Alloh bang beli lagi. Mendingan Mic Rusak karena di Pake shalawatan dari pada rusak karena gak di pakai. Betul?
Pada Akhirnya kita berharap, Keamanan dan Kebersihan tetap terjaga. dan Jama'ah dan Musyafir pulak merasa nyaman di masjid dan suraw-suraw. mendapat palayanan yang santun dan baik dari Penjaga Masjid. Kita saling menjaga keamanan,Kebersihan dan Kenyamanan Masjid-Masjid kita. dan terus memakmurkan masjid-masjid kita. Aamiin
Satu Lagi : Semoga Pemerintah Memberikan Gaji atau Tunjungan Khusus untuk para Pengelola, Penjaga, dan Pengurus Masjid. karena ini bagian dari tugas yang berat dan di uji keikhlasan.

DARAH BIRU



" kalo lihat orang Jawa miskin kok nggak kasihan-kasihan amat? Begitu orang kulit putih yang miskin, kok jadi kasihan banget? Hahaha!"
Tentu saja, kesan yang muncul di benak emak saya itu lazim saja bagi masyarakat awam pascakolonial. Kita pernah dijajah orang Eropa selama ratusan tahun. Citra orang kulit putih selalu kuat dan hebat, juga kaya raya. Kita inferior di depan mereka. Apalagi pada masa selepas perang pun hegemoni budaya kulit putih terus meneguhkan superioritas mereka. Lewat film, lewat foto-foto, lewat produk-produk teknologi, dan entah lewat apa lagi.
Maka, para turis bule yang datang ke tempat kita pun selalu kita anggap orang-orang kaya. Jadi jangan kaget kalau teman Anda yang berpenampilan Kaukasoid diminta membayar dua atau tiga kali lipat dari harga biasa, saat makan-minum di angkringan dekat rumah saya. Dia di-thuthuk, kalau istilah Jawanya. Lha semua orang bule kan pasti kaya! Hehehe.
Hari ini, setelah media jenis apa pun dengan gampang kita akses, setelah jangkauan pergaulan meluas dengan aneka kemudahan untuk melawan sindrom kurang piknik, kita tahu bahwa teori sosial "semua orang kulit putih pasti kaya" itu mitos belaka. Kita paham bahwa banyak wisatawan di bilangan Prawirotaman, Jogja adalah para buruh rendahan di negaranya. Kita mengerti bahwa tak sedikit turis Australia yang mabuk-mabukan di Legian adalah pengangguran di negeri mereka, mendapat santunan dari negara, lalu dengan uang santunan itu mereka ke Bali menghabiskan dolar untuk bertamasya.
Sebagaimana tidak semua orang kulit putih itu kaya, tidak semua juga orang kulit berwarna itu miskin. Kaya dan miskin toh bukan takdir yang melekat pada warna kulit dan ciri fisik. Orang bisa kaya karena banyak kemungkinan. Karena kerja keras dipadu kemampuan berhemat, karena cerdik campur licik, karena hidupnya beruntung terus, karena punya akses ke banyak sumber ekonomi, karena licin dan lincah dalam bergaul, karena berkah doa orangtua, dan lain-lain. Tapi kita semua pasti mencibir kalau ada orang mengaku mak-cling otomatis jadi kaya hanya karena sejak lahir sudah membawa warna kulit tertentu sesuai warna kulit bapak-ibunya.
Iya, kan? Setuju, kan? Kayak gitu aja kok masih pakai dibahas....
Saya paham, memang banyak warga keturunan sukses dalam perjuangan ekonominya. Mereka kaya-kaya. Namun asal muasalnya tidak terletak pada etnisitas mereka. Mereka kaya karena bekal mentalitas perantau yang berjibaku melakukan apa saja untuk memenangkan hidup. Mereka kaya karena di masa Orba tidak boleh menjadi ABRI maupun pegawai negeri, sehingga mayoritas di antara mereka menempuh satu-satunya jalan yakni berdagang. Tidak ada tentara dan polisi yang kaya raya kecuali korupsi, dan tidak ada pegawai negeri yang makmur sejahtera kecuali punya sabetan rupa-rupa.
Sementara, pedagang yang kaya ya banyak. Kalau mau kaya ya jadilah pedagang. Jangan jadi karyawan, apalagi jadi penulis.
Saya juga paham, pada awal masa Orba banyak keluarga keturunan difasilitasi negara untuk membangun kerajaan bisnis mereka. Mereka memang sengaja dibesarkan Orba, sehingga kemudian para konglomerat Indonesia didominasi oleh keturunan. Langkah itu ditempuh rezim Suharto karena blue print yang cerdik. "Meski kelompok minoritas kuat secara ekonomi, mereka tetap tidak akan melawan kekuasaan karena jumlahnya sedikit. Tapi kalau yang dibesarkan Soeharto adalah kelompok mayoritas, misalnya umat Islam, ada kemungkinan suatu saat mereka akan melawan. Dan, itu ancaman." Begitu lebih kurang yang disampaikan Prof. Vedi Hadiz dalam sebuah kuliahnya. Cari saja di Youtube kalau nggak percaya.
Nah, meski memang ada keluarga-keluarga keturunan yang dibesarkan Orba, apa iya keberuntungan mereka itu otomatis jatuh kepada semua orang keturunan di Indonesia? Keluarga Salim mungkin masih eksis dan perkasa, tapi apa ada efeknya ke bapak berkulit kuning bermata sipit yang jualan bolang-baling di sudut Jalan Bantul, yang tiap kali saya lewat selalu saya lirik warungnya yang sepi itu? Keluarga Hartono mungkin masih menikmati kejayaan mereka, tapi toh seseorang keturunan nggak lantas bisa hidup ongkang-ongkang, masih dibelain mengedit naskah tiap hari dan cari proyek penulisan di sana dan sini.
Selebihnya, meski saya punya banyak teman beretnis keturunan, justru orang-orang paling tajir yang saya kenal, yang aset ekonominya berjibun dan tanahnya ada di mana-mana, justru mereka yang so called"pribumi".
Lha 'mereka' yang berkhianat itu siapa? Kalau kakeknya nenek saya alias simbah canggah saya menjilat Belanda sehingga kemudian diangkat jadi pemuka desa dalam struktur pemerintahan kolonial, apa sampeyan mau menyebut saya sebagai anti-republik? Kalau punya kakek buyut yang turun dari sebuah kapal Inggris lalu membantai orang-orang Aborigin, apakah saya harus menyebut itu sebagai pelanggar HAM? Siapa yang bisa memilih orangtua? Siapa yang bisa memilih terlahir sebagai orang Jawa, orang Bali, atau orang Dayak? Siapa yang bisa menentukan nasib untuk terlahir dalam keluarga Kraton, atau dari keluarga jelata? Anda bisa? Hebat dong.
Kadang saya merenung-renung, bisa jadi alam pikiran semacam itu tetap masuk akal juga pada masanya. Tapi, hmm, semua tentu ada masa berlakunya.
Dulu, di Amerika Serikat bagian selatan pada masa Jim Crow, orang pun meyakini bahwa struktur otak manusia berkulit hitam memang menakdirkan mereka untuk selalu patuh dan cocok disuruh-suruh. Jadi orang kulit hitam memang harus menjadi budak. Namun kemudian sains dan naluri kemanusiaan menemukan bahwa itu semua hoax belaka.
Dulu, banyak orang Jawa meyakini bahwa orang Eropa memang ditakdirkan berkuasa, dan kaum pribumi ditakdirkan sebagai kawula. Namun belakangan muncul gagasan kebangsaan, gagasan kesetaraan, dan perjuangan harkat kemanusiaan yang menolak penjajahan. Akhirnya keyakinan lama itu runtuh porak poranda.
Sebagaimana teknologi, barangkali beberapa sistem logika pun mengalami masa kadaluarsa. Namun tidak semua orang mau mengakuinya 

SONTOLOYO



Siang itu cuaca terik. Saya meluncur ke Pasar kota Banjarnegara karena ingin membuktikan informasi seorang teman, katanya, ada penjual pecel plus combrang, buntil dan dawet ayu yang enak Khas Banjarnegara Jawa Tengah Indonesia raya .....he...he.... Saya memesan masing-masing empat bungkus untuk dibawa pulang.
Teman saya tidak berbohong. pecel plus combrang pedas segar, buntil yang nylekamin dan dawet ayu rasa durennya mantap. Cocok dinikmati di tengah udara panas.
Namun, menyaksikan sampah plastik belanjaan tersebut, saya diganduli perasaan bersalah.
Tiap porsi pecel diwadahi mangkuk plastik pengganti daun pisang yang semakin langka, tiap porsi dawet diwadahi gelas plastik, belum lagi sendok-sendok plastik, dan sepasang tas kresek untuk membawanya. Betul-betul tidak ramah lingkungan.
Beberapa hari sebelumnya saya menemukan infografis tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk proses penguraian beberapa jenis sampah. Tas kresek perlu 10-20 tahun. Sendok plastik perlu 100-100 tahun. Beberapa jenis sampah --diwakili gambar botol plastik-- diperkirakan tak bakal terurai. Kecuali kalau kena bom nuklir barangkali. Ngeri.
Bukan cuma susah terurai, menurut sebuah artikel di Time, sampah plastik juga merusak perairan, membuatnya kebak bibit penyakit. Salah satu dampaknya, kerusakan terumbu karang.
Itu baru satu jenis sampah. Kalikan dengan beragam sampah yang mencemari alam. Lipat gandakan dengan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan dari kebanyakan orang. Bayangkan dampaknya jika berbagai sampah itu terus terakumulasi bertahun-tahun. Ngeri kuadrat!
Bagaimana kita bisa sedia payung sebelum hujan --mencegah jauh-jauh hari biar bumi tak rusak kian parah gara-gara kesembronoan dan ketidakpedulian manusia?
Suku Indian Amerika punya ucapan bijak, "Kita bukan mewarisi Bumi ini dari nenek moyang kita; kita meminjamnya dari anak-cucu kita." Kalimat ini kerap digunakan para aktivis lingkungan untuk menyerukan pentingnya pelestarian alam.
Dalam konteks negara kita, yang Pancasilais dan ber-Ketuhanan yang Mahaesa, kalimat itu dapat diselaraskan: "Bumi ini adalah pinjaman atau titipan Tuhan --suatu amanah-- untuk kita gunakan dan kita pelihara, untuk kita daya gunakan bukan hanya bagi generasi saat ini, melainkan juga generasi-generasi yang akan datang sampai akhir zaman."
Yang jelas, kedua hal tersebut --warisan dan pinjaman-- mengandung perbedaan yang halus, tetapi sangat tajam. Berlainan beban moralnya.
Warisan menyiratkan bahwa kitalah sang pemilik. Kita boleh berbuat semaunya atas Bumi ini. Mau kita keruk mineralnya sambil tandas, mau kita sedot air dan minyaknya sampai kerontang, mau kita babat hutan pohonnya menjadi hutan beton, mau kita cemari air, tanah, dan udaranya, siapa peduli?
Bagaimana dengan generasi berikutnya? Ya, kita tinggalkan dan kita sisakan bagi mereka dalam keadaan seadanya. Kalau masih baik dan berlimpah, ya syukurlah. Kalau sudah rusak dan tercemar, ya merekalah yang mesti berusaha memperbaikinya. Memangnya ada makan siang gratisan?
Sikap yang betul-betul jahanam. Kita tentu akan memaki jika ada orangtua yang sesontoloyo itu. Nyatanya, entah dalam dosis rendah entah dosis tinggi, kita sering memperlakukan Bumi ini dengan sesuka hati tanpa memikirkan dampak masa depannya, bukan?
Pinjaman atau titipan mengingatkan bahwa kita ini hanya petugas atau penjaga sementara. Kita mengelola, merawat, dan memanfaatkan Bumi seperlunya. Pada waktunya kita mesti mengembalikan bumi ini kepada Sang Pemilik, dan bagi generasi penerus --dalam keadaan seperti semula, bahkan jika mungkin dalam kondisi lebih baik.
Lain kali kepingin menikmati pecel, buntil dan dawet ayu lagi, tampaknya saya perlu berpikir ulang. Mungkin cukup makan di tempat saja. Atau, membawa wadah dari rumah. Atau, kalau terpaksa membawa pulang wadah plastik, perlulah saya memikirkan bagaimana bisa mendaur ulang sampahnya.
Ribet ya? Siapa bilang bertanggung jawab atas barang pinjaman itu tidak repot. Kalau tidak mau repot ya jangan pinjam.
Perbedaan antara warisan atau pinjaman ini bukan hanya menyangkut masalah sampah dan lingkungan. Hal itu juga bisa meluas ke soal sikap hidup dalam berhubungan dengan sesama.
Ketika kita hidup dalam pertengkaran dan kebencian, misalnya, kita merusak kehidupan yang dipinjamkan pada kita, dan merampas kesempatan generasi berikutnya untuk menikmati kebaikan hidup, kesempatan untuk menjalani kehidupan dalam persaudaraan dan perdamaian. Sebaliknya, ketika kita mengembangkan kebajikan, kita memelihara kehidupan ini bagi generasi yang akan datang.
Jadi, rupanya saya bukan hanya perlu mengontrol sampah dan polutan lainnya, tetapi juga sikap dan gaya hidup yang berpotensi mencemari dan mencekik kesejahteraan lintas generasi. 

GILA


Aparat keamanan segera mencari tahu dan menangkap siapa para pelaku penganiayaan ustadz, tokoh agama, dan persekusi kepada berbagai tempat ibadan lainnya. Mereka harus segera memperjelas keadaan sehingga pertanyaan umat Islam dan berbagai pihak lainnya segera dapat dijelaskan.
‘’Jadi buatlah semua kasus kekerasan kepada para agamawan dan tempat ibadah menjadi jelas. Rakyat kini penasaran dan ingin tahu. Petugas keamanan yang memang bertugas untuk itu menjelaskannya,
Beberapa hari lalu misalnya ada ustadz yang digebuki seseorang. Setelah pelakunya ditangkap kata Polisi dia adalah orang gila. Di Yogyakarta ada orang dari Banyuwangi atau di luar jamaah memukuli pastur. Sedangkan kemarin ada warga menangkap ada orang yang ditangkap karena dianggap sebagai orang gila yang akan melakukan kekerasan kepada seorang tokoh agama.
‘’Semua ini harus jelas karena seperti dilakukan secara masif dan terencana. Apakah benar pelakunya adalah orang gila atau orang yang jahat. Jadi ini yang harus dibuka ke publik,’’.
Umat Islam dan Ormas Islam punya pengalaman yang cukup terkait segala kasus kekerasan yang menimpa tokoh atau ulamanya. Dan ini terjadi sepanjang kurun waktu yang lama. Bukan hanya zaman Orde Baru, tapi sudah menyintas ke era Orde Lama bahkan era zaman kolonial.
‘’Jadi sudah kenyang terhadap apa yang telah terjadi. Maka butuh penjelasan yang seterang-terangnya dari pihak keamanan serta pihak lain di negera ini yang memang sudah diembani tugas untuk itu,’’.
Seperti ramai beritakan, penyerangan terhadap ulama beberapa hari lalu kembali terjadi. Kali ini, percobaan penyerangan terjadi terhadap KH Hakam Mubarok, yang merupakan Pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Menurut informasi dapatkan, kejadian itu langsung dari warga setempat. terdapat seorang laki-laki muda diduga gila duduk di pendopo rumah Yai Man. Kemudian, Kiai Hakam menyuruh orang gila tersebut untuk pindah. Akan tetapi, orang gila tersebut tidak mau dan akhirnya justru mengejar dan melawan Kiai Hakam hingga ia terjatuh.
"Alhamdulillah ada orang yang mengamankan atau memisahkan. Pelaku kemudian diringkus dan kemudian diserahkan kepada pihak yang berwajib. Kendati demikian, orang gila tersebut tidak tampak seperti gila dari tanda fisiknya. Karena rambut dan giginya juga bersih.
Dengan rentetan peristiwa tersebut sebagai Pr buat kita semua dan selalu waspada, semoga bisa terungkap motifnya dan masyarakat bisa tenang kembali,

SEKS


Kapan sebaiknya anak dikenalkan dengan materi seks? Ini pertanyaan yang sering diajukan. Menariknya, pertanyaan ini sering pula diajukan orangtua mengenai banyak hal, bukan hanya soal seks. Jawaban saya adalah, tidak ada standar. Anak-anak itu unik. Perkembangan mereka pun unik. Maka, untuk memulai sesuatu soal anak, kita tidak bertanya tapi mencari jawabnya dari anak kita sendiri. Jangan pernah menjadikan anak orang lain sebagai acuan. Kalau kita biasa berkomunikasi dengan anak, kita akan tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan atau mengajarkan sesuatu.
Kalau kita memandang seks sebagai soal yang bukan melulu soal senggama, maka sebenarnya soal pendidikan seks bukan hal yang sangat spesifik. Ini hanya soal informasi biasa, sesederhana memperkenalkan bahwa ayah adalah laki-laki, dan ibu perempuan. Selanjutnya, secara alami kita jelaskan apa beda laki-laki dan perempuan. Dari situ kita bisa mulai menjelaskan soal perbedaan anatomi.
Menjelaskan soal kelamin memang sering jadi hambatan bagi banyak orang. Banyak orang merasa rikuh atau sungkan. Apa masalahnya? Masalahnya bukan pada topik yang dibahas, tapi soal persepsi yang ada di benak orang tentangnya. Kita semua dibesarkan dengan memandang seks sebagai tabu. Maka, kita enggan membicarakannya.
Untuk menyederhanakannya, ingatlah bahwa alat kelamin hanyalah salah satu bagian dari tubuh. Dalam pelajaran biologi, anak-anak belajar soal sistem kerangka tubuh, otot, peredaran darah, saraf, dan sebagainya. Kelamin adalah bagian dari sistem reproduksi. Tidak ada yang istimewa soal itu dari sudut pandang anatomi. Maka, tidak perlu pula pembahasannya dilakukan secara istimewa.
Maka jelaskanlah bagian-bagian tubuh secara apa adanya. Dengan cara itu anak-anak akan memandang soal seksualitas secara alami. Rasa malu atau sungkan kita justru akan membuat topik ini menjadi misterius, dan sulit dijelaskan.
Anak-anak di usia dini biasanya tidak bertanya soal senggama. Mereka lebih sering bertanya soal dari mana aku berasal, atau adik bayi berasal. Ketika pertanyaan itu muncul, jawaban yang harus kita berikan adalah jawaban yang benar, dalam bahasa yang mudah dicerna anak.
Cepat atau lambat, kita memang harus menjelaskan soal senggama. Dalam soal ini, tembok kejengahan orangtua jadi menjulang tinggi. Apakah senggama demikian istimewa? Sama seperti penjelasan soal organ, senggama juga bukan sesuatu yang istimewa. Anak-anak harus belajar soal makhluk hidup yang berkembang biak. Salah satu cara berkembang biak adalah melalui perkawinan. Dalam hal manusia, itu disebut senggama.
Dari sudut pandang lain, manusia melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhannya, seperti makan, tidur, dan bergaul. Berhubungan seks hanyalah salah satu bagian dari kebutuhan itu. Anak-anak harus diajarkan untuk memahami senggama dengan cara itu.
Tapi, bukankah senggama hal yang tidak sepatutnya dilakukan secara terbuka? Ya. Ada tata krama untuk setiap tindakan. Makan ada tata kramanya. Ada makanan yang boleh dimakan, ada yang tidak. Saat makan pun ada tata krama yang harus dipatuhi. Demikian pula soal hubungan seks. Ini pun bagian dari pendidikan seks yang harus kita lakukan terhadap anak.
Ringkasnya, tidak ada hal khusus yang membuat seks itu jadi sulit untuk diajarkan. Yang membuatnya sulit hanyalah cara berpikir kita. Untuk membuatnya mudah, ubahlah persepsi kita tentang seks.

MAK PAR



Sebuah kota bernama Banjarnegara diabadikan dalam tiga kata: rindu, pulang dan warung remang. Tetapi, suara-suara dari warung remang seringkali tidak bernada romantik seperti manisnya syair. Dari warung remang yang sempit dan tempias,rerasan tentang para pengutang yang pergi tanpa bayar lebih sering jadi objek pembicaraan.
"Yu Nah utang makan seminggu di sini 24 ribu tidak kutagih. Biar sajalah. Biar sadar sendiri."
Penjual warung remang Mak Par mengadu kepada seorang tukang becak yang juga ngutang "udud" di warungnya. Yang dimaksud Yu Nah itu konon seorang janda dengan penghasilan tak menentu yang berasal dari rupa-rupa pekerjaan seperti buruh laundry, memijat, dan lainnya. Yu Nah punya dua anak yang masih bersekolah.
Gerimis rapat. warung remang yang sempit tetap hangat bersama empat ceret berisi rebusan air yang sewaktu-waktu dituang untuk membuat teh hangat, jeruk hangat dan krampul hangat. Minuman jenis terakhir itu nikmat sekali, terbuat dari teh tubruk yang dicampur dengan perasan air jeruk. Orang kota biasa menyebut dengan lemon tea, tapi lemon tea sudah pasti hanya tersaji di kedai, kafe atau restauran, bukan pada sebuah gerobak dengan atap terpal di pinggir jalan atau di sudut jalanan kampung dengan penerangan lampu minyak ketika malam menjelang.
Ketika mengenang warung mak Par sewaktu saya masih sekolah SDN Krandegan VI yang sudah tergerus jaman Now karena dengan perluasan SDN IV barangkali sedang mengenang teman-temannya yang sering jajan makanan ke warung mak par yang bersebelahan dengan sekolah SD VI. Warung Mak Par sesungguhnya juga milik para sales yang kejar setoran, tukang ojek pangkalan, pegawai kantor dan pegawai pabrikan dengan upahan rendah, pekerja seks komersial (PSK) dan pencopet. Soal PSK, tentu bisa kau jumpai mereka di warung ini yang ada di sudut lokalisasi. Dari profesi terakhir itu, kau bisa dengan mudah mendengar rencana konspirasi mereka di warung remang-remang seputaran tempat wisata. Mereka sungguh berbicara dengan blaka suta, blak-blakan alias tanpa malu-malu ketika bercerita tentang pengalamannya terpeleset ketika mencuri uang hanya beberapa polohan rupiah saja di sebuah kosan atau berbagi cerita perihal keluar-masuk bui karena aktivitasnya.
Namun, yang ngangeni dari warung Mak Par sesungguhnya adalah sego kucing dan segala macam penganan pelengkapnya. Sego isi sambel bandeng, sambel teri, dan orek tempe adalah primadona, bersama tempe mendoan, tahu isi, sate telor sunduk, pisang goreng, dan kerupuk rantang. potret unik. Di kota ini, manusia di warung ini tidak bisa ditebak latar belakang sosialnya. Manusia dengan penghasilan 15 ribu rupiah per hari hingga mereka yang menghasilkan puluhan juta dalam hitungan jam, memiliki kualitas perut yang sama dalam mencerna hidangan yang murah meriah. Dari tenda yang suk-sukan ini, manusia disatukan dalam bahasa kesederhanaan.
Sementara itu, di televisi, narasi orang-orang kelas bawah disajikan dengan begitu memuakkan. Orang miskin di televisi adalah objek tayangan reality show dengan konsep pelunasan utang, pemberian hadiah atau tukar nasib. Untuk rating, mereka dijual dengan tayangan mengumbar kesedihan yang membangkitkan rasa emosional dan iba. Tak jarang, mereka juga dijual sebab wajah ndeso, keluguan, kelucuan dan kekonyolannya. Potret wajah orang miskin di televisi adalah kepedulian yang naif pada realitas ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang dan hukum yang tidak berpihak.
Wajah orang miskin di warung adalah wajah nyata dan suara-suara tentang hidup yang berjuang. Perihal utang makan yang seminggu tak dibayar adalah kearifan khas masyarakat kita yang jiwanya teruji lapang dan besar. Dulu sekali, warung malah tidak tersaji pada gerobak. Hidangan Istimewa Kampung itu dipikul dengan angkring, semacam pikulan yang dikombinasikan dari bahan kayu, rotan dan bambu. Penjual yang berkeliling itu melahirkan tradisi mengobrol, melanggan, hingga persaudaraan.
Belakangan ini, kata angkringan mulai dikooptasi dalam wajah baru. Ia tak lagi dipikul angkring atau berupa gerobak beratap tenda terpal. Angkringan masa kini adalah angkringan yang bertempat pada kedai, kafe bahkan resto eksklusif. Sajiannya memang masih berupa ragam sego kucing, berbagai gorengan dan minuman wedangan. Akan tetapi, harganya tentu saja tidak dapat dijangkau oleh tukang becak, buruh pabrikan dan tukang copet. Beragam merek mobil mewah pun memadati halaman parkir angkringan wajah baru ini. Makanan kampung rupa-rupanya sudah naik kelas. Aplikasi makanan pesan-antar memungkinkan sajian dapat dipesan cukup lewat gawai, sehingga tradisi berbincang pun tereduksi dengan banal.
Di Jakarta, hidangan-hidangan kampung ini memang sering laris sebab mewakili sebuah rasa rindu pulang dibanding substansinya sebagai makanan sederhana. Sehingga kehadiran angkringan modern di Jakarta pun ramai dikunjungi pelanggan.
Tenda angkringan atai warung remang yang sempit dan tempias di sudut jalan kampung sesungguhnya adalah wajah sosial sebuah masyarakat. Betapa di sudut-sudut jalan kampung ada orang-orang kecil yang tak pernah merengek meminta keadilan meskipun hidup terhimpit kesulitan. Modal sosial mereka bukanlah kekayaan, tetapi kehangatan percakapan sepanjang hari dan kehangatan persaudaraan. Mereka hidup terhormat dengan cara menyenangkan, meskipun sejarah seringkali luput mendokumentasikan 

HUBUNGAN GURU-MURID


Saya jadi ingat, suatu hari, seorang akademisi di disuatu daerah, meminta saya mengirim riwayat hidup atau CV (Curriculum Vitae). Saya pun segera mengirimkannya melalui email. Yang mengejutkan, esok harinya, dia membalas dan meminta saya untuk melengkapi CV itu dengan menyebutkan nama dua pembimbing skripsi saya. Saya baru sadar, dalam tradisi perusahaan Eropa, siapa yang menjadi guru kita sangatlah penting.
Hubungan guru-murid dalam tradisi akademik di Eropa memang dekat. Di ijazah Sarjana saya, yang tanda tangan selain dekan adalah dua pembimbing saya, dosen senior UGM yg susah banget ditemui karena jam terbangnya ngajar di Eropa. Selama kuliah saya merasakan hubungan saya dengan mereka, laksana hubungan anak dengan orangtua dan laksana musuh, pernah juga mau berkelahi karena suatu pegang prinsip tapi akhir cerita jadi baikan karena salah paham dengan di lerai pihak ketiga.....wkkkkkkk......jadi ingin malu. Hubungan ini terus berlanjut hingga sekarang, meski saya sudah lama selesai Kuliah.
Hubungan yang baik dan hangat antara dosen dan Mahasiswa itu terutama terjalin karena adanya kesamaan minat akademik dan gairah ilmiah. Dalam hubungan itu, keduanya belajar satu sama lain. Guru belajar dari hasil penelitian murid. Murid belajar dari kritik dan saran guru. Di sini, standar akademik tidak boleh dicederai. Jika memang jelek, dibilang jelek. Baik, dibilang baik. Dekat, tetapi tetap profesional.
Menurut George Makdisi (1970) di abad pertengahan Eropa, otoritas universitas umumnya dipegang oleh kerajaan bersama gereja, sehingga yang memberikan gelar dan otoritas  mengajar adalah kedua lembaga itu. Sebaliknya, di dunia Islam, yang berwenang memberikan otoritas atau ijâzah adalah guru. Karena itu, setiap murid bisa mendapatkan beberapa ijâzah dari guru yang sama atau berbeda.
Karena itulah, hubungan guru-murid di abad pertengahan di dunia Islam sangat dekat. Dari kalangan filosof, Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail. Ketika Ibnu Thufail sudah merasa tua, dia meminta kepada sultan agar Ibnu Rusyd yang menggantikannya. Di bidang fiqh, Syafi’i adalah guru dari Ahmad Ibn Hanbal. Keduanya dekat, meski kelak masing-masing menjadi imam mazhab hukum yang berbeda.
Tetapi kini, ketika pendidikan tinggi semakin terlembaga, hubungan guru-murid menjadi semakin formal. Dosen mengajar, memeriksa makalah, membimbing karya ilmiah, kemudian selesai. Rektor dan dekan menandatangani ijazah. Yang mewisuda adalah dekan atau rektor, meskipun bisa jadi keduanya tidak pernah mengajar si mahasiswa. Setelah sarjana, seolah semua sudah usai. Hubungan pun putus.
Di sisi lain, di pesantren, hubungan guru-murid, kiai-santri, tetap berkesinambungan. Kapan pun dan di mana pun bertemu, santri akan tetap mencium tangan kiainya. Di pesantren tradisional, otoritas memberikan ijazah, juga masih dipegang guru, meskipun sertifikat formal tetap diberikan lembaga. Hal ini antara lain karena Islam tradisional masih menjaga tradisi lisan di balik teks-teks keagamaan, yang berasal dari pengarang hingga murid-murid yang mempelajari teks-teks itu di zaman sekarang.
Dengan demikian, tampaknya hubungan guru-murid model Islam abad pertengahan, yang masih bertahan di banyak pesantren, dengan sedikit perbedaan, justru diterapkan oleh dosen-dosen di Eropa. Sebaliknya, pola hubungan yang serbaformal, dan sangat bersifat kelembagaan yang dulu diterapkan di universitas-universitas di Eropa abad pertengahan, justru yang kita lakukan sekarang ini.
Ironisnya lagi, hubungan formal itu kemudian malah berubah menjadi sangat informal dalam bentuk skandal. Guru yang seharusnya menjadi teladan bagi muridnya, justru mengajak si murid ke lembah nista. Tapi, bagaimanakah jika si mahasiswi bukan muridnya? Tentu tak ada beda. Dalam pandangan sosial, guru adalah guru, pendidik yang digugu dan ditiru, meskipun ia tidak mengajar semua orang.