Sunday 3 January 2016

FREEPORT YANG KEMPOT


Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur, Lisa Pease menuliskan bahwa kiprah Freeport di Tanah Air telah dimulai sebelum 1967. Berawal dari laporan JJ Dozy tahun 1936 tentang gunung tembaga di Papua Nugini yang disebut Ertsberg, kepala intelijen Amerika (CIA) Allen Welsh Dulles pun menelusurinya. Dulles lalu dibuat terkagum-kagum, karena ternyata Ertsberg juga dipenuhi bijih emas dan perak. Ia bahkan menemukan gunung emas yang lima kali lebih besar yang diberi nama Grasberg.
Penguasaan Freeport atas tambang emas di Papua berlangsung lewat pergolakan politik yang begitu sengit sejak masa Sukarno. Namun, Freeport akhirnya berhasil meneken kontrak dengan Suharto tahun 1967 berdasarkan UU No. 11/1967 tentang ketentuan pertambangan, didukung pengesahan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Sejak 1967 hingga sekarang, Freeport beberapa kali mengalami perpanjangan kontrak.
Sebelum menemukan tambang emas di Papua, Freeport bisa jadi bukan apa-apa. Tapi kini, Freeport masuk jajaran perusahaan top multinasional versi majalah Forbes. Dalam theglobal-review.com, diperkirakan sejak 1967-2010 (43 tahun), Freeport sudah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas.
Dengan hitungan harga emas per gram senilai Rp 500.000 saja, tiap tahun Freeport menghasilkan kekayaan kira-kira Rp 8.000 triliun. Bandingkan dengan APBN kita tahun 2015 yang hanya Rp 1.793,6 triliiun (kemenkeu.go.id). Saat ini, PT Freeport memegang saham sebesar 81,28 persen, pemerintah Indonesia 9,36 persen dan PT Indocopper Investama 9,36 persen.
Media kita saat ini masih dihebohkan soal polemik pencatutan nama Presiden dan Wapres oleh Ketua DPR Setya Novanto, dalam kasus permintaan saham dari PT Freeport. Kegaduhan ini seolah mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan sebenarnya, yaitu perpanjangan kontrak Freeport.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia memang berniat akan memperpanjang kontrak Freeport, tapi dengan syarat. Di antaranya pemerintah Indonesia meminta tambahan saham dari 9 persen menjadi 30 persen, lalu tambahan royalti dari 1 persen menjadi 3 persen.
Sayangnya, persoalan Freeport bukanlah sebatas seberapa persen royalti atau saham yang akan diberikannya pada kita. Tapi, pada kenyataannya, barang tambang di sana sangat banyak, dan itu milik rakyat. Dan kontrak antara pemerintah dan Freeport selama sekian tahun nyaris tidak menguntungkan rakyat Indonesia sama sekali, khususnya Papua. Sudah seyogyanya kontrak tidak lagi diperpanjang dan tambang itu diambil kembali untuk kesejahteraan rakyat. Karena toh, itu adalah milik kita sejak awal.
Dengan kekuatan uangnya, perusahaan ini bisa memberi apa pun dan siapa pun untuk mempertahankan kepentingannya. Inilah yang membuatnya tak tersentuh selama puluhan tahun. Apalagi dengan banyaknya agen dan komprador yang bekerja untuk kepentingannya. Belum lagi, penyesatan opini dan politik berkembang begitu massif, misalnya kita tidak mampu mengelola bahan tambang itu. Kemudian, jika Freeport dihentikan akan terjadi kekacauan di Papua, dan lain sebagainya.
Padahal, Freeport menggunakan sistem tambang terbuka (open pit mining) yang tidak memerlukan teknologi tinggi. Baru beberapa tahun terakhir ini saja Freeport menggunakan metode penambangan bawah tanah (underground mining), itu pun tidak sampai deep-well mining seperti Afrika Selatan.
Fakta menunjukkan 97 persen pekerja Freeport adalah orang Indonesia asli. Hampir semua proyek di sana dikerjakan oleh kita sendiri. Jadi, berlebihan bila tentang mitos bahwa kita tidak punya skill seandal yang Freeport punya, apalagi setelah sekian puluh tahun. Jangan sampai kita mengidap penyakit mental yang disebut Bung Hatta sebagai inferiority complex (perasaan selalu merasa rendah diri dan tidak mampu di hadapan bangsa asing).
Memang dibutuhkan keberanian dan kesungguhan untuk bisa memutus kontrak dengan Freeport. Kita perlu berkaca dari Hugo Chaves dan Ivo Moreles. Saat itu kapitalis global juga mengancam Venezuela dan Bolivia, tapi mereka tetap pada prinsipnya. Padahal, jika dilihat sisi SDM dan SDA, kedua negara Amerika Latin itu bisa dibilang masih kalah jauh dibanding Indonesia, tapi mereka berani mengambil alih penguasaan sumber daya alam demi kepentingan negerinya.
Perspektif Fiqih
Adalah sebuah ironi ketika undang-undang yang dibuat untuk mengatur kesejahteraan rakyat, justru membuka peluang pihak swasta menguasai hak publik. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî di dalam Kitab Bulûghul Marâm membawakan hadist riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud, yang artinya: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”. Dalam hadits Ibnumajah No. 2464 juga tertulis, dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang tidak boleh untuk dimonopoli: air, rumput dan api.”
Para fuqoha menjelaskan, yang dimaksud dengan air, padang rumput, dan api bukanlah zatnya itu sendiri, melainkan ketiganya memiliki ‘illat, yakni ketiganya termasuk dalam kategori sumberdaya alam yang memiliki sifat kepemilikan umum (milkiyah‘ ammah) karena depositnya yang tidak terbatas dan merupakan hajat hidup orang banyak. Maksud api dalam dua hadist ini adalah sumber energi dan semisalnyaseperti minyak, batu bara, emas, perak dan tembaga. Dengan kata lain, menyerahkan kepemilikan bahan tambang tersebut kepada pihak swasta adalah terlarang.
Sudah sepatutnya kita mencontoh bagaimana teladan baginda Rasulullah dalam pengurusan harta kepemilikan umum. Dalam hadist riwayat Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi, Abyadh bin Hamal al-Muzany r.a menuturkan bahwa ia suatu hari pernah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah meluluskan permintaan itu. Setelah ia pergi, ada seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan padanya? Sesungguhnya kau telah memberi dia sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-'idd)” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Kemudian Rasulullah SAW pun menarik kembali tambang itu darinya”. Dalam Islam, menarik kembali pemberian adalah sesuatu yang dicela. Jika pada kasus ini Rasulullah justru menarik tambang garam itu, maka bisa kita simpulkan bahwa menjadikan milkiyah 'ammah tetap berada di tangan umat jauh lebih utama daripada mempertahankan pemberian.
Masalah Freeport tidak mungkin bisa diselesaikan kecuali dengan memerdekaan negeri ini dari penjajahan asing. Akhirnya, pilihan kembali di tangan kita. Apakah kita akan terus menyuapi bangsa lain dengan sumberdaya alam kita sedang rakyat sendiri kelaparan, atau berani mengambil alih penguasaan SDA untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah harus berani menunjukkan pada dunia dan rakyatnya sendiri bahwa negara ini memang negara berdaulat.

TERBAWA ANGIN


Kenangan hanya dikengan
biarkan terbang bersama angin
debu2 yg menempel di hati
segala kenangan & kata2 melukai


Segenap penghinaan yang
memurukan jiwa
perlakuan tak manusiawi
usah dikenang lagi

Meneraewang yg menyedikan
hanya menganugerahkan
hati yang pilu
mata sembab & sendu

Biarlah semua terbang
bersama angin
bukalah lembaran baru
putih bersih
tanpa titik2 noda

BELAJAR


Aku belajar melupakan
seseorang melupaknku

Aku belajar memaafkn
seseorang mnyakitiku

Aku belajar yg trbaik
sseorang mmprdayaiku

Aku belajar menerima
seseorang mmilih lain

Aku selalu belajar
seseorang mnggurui

Belajar
dan belajar

SIAPA SURUH


Siapa suruh
ke ibu kota
orang membayang
surga dunia


Jangan lihat gemerlapnya
disana ternyata
kejam tak pandang bulu
jadi jangan berharap banyak

Di daerah asal
masih berharap banyak
baik tenaga pemikiran
apa lagi dengan materi

Buat apa mempenuhi
dan saling sikut
hanya sepetak
sedang di asal berpetak2
dan sesukanya

MENTENTRAMKAN


Sedih & bahagia
lebih pd permainan
manakal hati ikhlas
terasa mudah & indah


Tapi berkeluh kesah
serasa panas hati
melihat yang lain sukses
bagai penjara sesak
hidup selalu mnggoda

Menentramkan jiwa
tangan & jiwa terbuka
semailah cinta kasih
redamkan dendam
kebencian & racun curiga

SEBENING


Sebening embun
secerah mentari
putih jernihkn hati nurani

Dari flek2 noda
seharum kemuning
sesejuk bayu

Seluas cakrawal
sedalam samudera
jiwa insan berjalan lurus
meniti cahaya-cahaya

Hidup itu indah
damailah hati
tentramlah sanubari

LESTARIKAN


Lestarikn lingkungan
bersih suci
indah brseri2
rawatlah amanat
dengan penuh cinta

dan tanpa pamrih

Demi kehidupan
tentram damai
manusiawikan sesama
sebarkan kasih sayang
penuh rasa setia tulus suci
jauhi permusuhan
dan dendam hati

BENING


Basahi jiwa dg
kebeningn embun sukma
tenggelamkn diri
dikeluasan samudra ilmu
asah tajam pisau penalaran
di cakrawala daya cipta


Mencari yang trsembunyi
menggali yg terpendam
selalu memadukan pikir
selalu menata & menata diri
gairah hidup menyala
dian nan tak kunjung padam

DISANA


Memandang
jauh kedepan
sampai jg kami
dipelataran sunyi


Apa yg didpt kesunyian
disana jualah ternyata
hati & jiwa bisa mnikmati
kemerdekaan, kedaulatn
dan kebebasan
yang hakiki

MIMPI


Senang & sedih
lebih merupakn
permainan hati
maka manakala
hati ikhlas mnsyukuri
hidup terasa
mudah & indah


Tapi manakala
hanya pandai
berkeluh kesah
serta panas hati

Hidup menjadi
penjara yg sesak
/ justru menjelma
kenikmatan mimpi
yg selalu menggoda

BERGELUT OMBAK


Memburu makna hidup
penuh ksadarn sll waspada
jgn kirany hanyut diarus lupa
jgn tenggelam ddasar samudra


Dlm satu rasa, dlm satu jiwa
dlm intuisi, dlm satu hati
mengarungi samudra
disamudra khidupn

CAKRAWALA


Dg mantap dan pasti
mncari yg trsembunyi
mnggali yg trpendam
sll memadukan pikir
sll menata & mnatar diri

gairah hidup mnyala
bagai dian nan tak
kunjung padam


Basahi jiwa dg
kbeningn embun sukma
tenggelamkan diri
di kluasn samudra ilmu
asah tajam pisau2 pnalarn
dicakrawala daya cipta

BARU STOK LAMA, 2016


Pagi-pagi itu, udara dingin terasa menggigit. Aku menemuinya di bandara Samsuddinnor Banjarbaru Kalimantan Selatan. Tak sulit baginya mengenaliku di antara kerumunan penumpang yang keluar Bandara. Ia melambaikan tangan sambil memanggilku. Aku pun segera mengenalinya. Kami bersalaman dan berpelukan.
Sudah 15 tahun kami tak bersua, sejak aku di Yogyakarta di 2000 silam. Pria asal anak Jogja ini adalah kawan seperjuangan saat kuliah dulu. Perjuangannya untuk bisa membawa anak-istri dan menjadi warga Kalimantan Selatan sungguh berat. Tetapi dia sabar dan berhasil. Kini hidupnya sudah mapan dan nyaman. Istri jadi dokter, dan anak-anaknya sudah besar.
“Apakah kamu masih Marxis seperti dulu?” tanyaku bercanda. “Git, hidup itu berubah, dan kita pun berubah,” katanya bijak. Aku sendiri sudah berusia 42 tahun, dan dia bahkan sudah 46 tahun. Uban di kepala kami juga semakin nampak. Ini sudah hukum alam. Bumi, bulan dan matahari terus berputar, menandai pergantian hari, minggu, bulan dan tahun, dan bersama mereka kita berubah.
Namun, setiap kali aku berjumpa kawan lama, seringkali pula aku menemukan sesuatu yang tidak banyak berubah, yaitu pandangannya tentang apa, mengapa dan bagaimana hidup ini harus dijalani. Inilah pandangan hidup yang diperoleh manusia melalui proses belajar dalam ‘sekolah kehidupan’. Tampaknya pandangan hidup mulai mantap di usia kuliah, dan semakin matang setelah itu.
Apakah kiranya yang dikejar dalam hidup ini? Banyak orang mungkin akan menjawab, secara terbuka ataupun malu-malu, yang dikejar itu jelas: kekayaan, kekuasaan, ketenaran dan kenikmatan. Namun, ada pula yang dengan yakin menjawab, yang dicarinya adalah hati yang tenang dalam sabar dan syukur, serta berilmu dan bermanfaat. Tak berkuasa, tak kaya raya, tak terkenal, tak mengapa.
Menjadi penguasa, kaya, terkenal dan hidup penuh nikmat ragawi dapat disingkat dalam satu kata: sukses. Tampaknya, kini sukses adalah impian hampir semua orang. Karena itu, orang yang mengaku tak ingin menumpuk harta benda, tak berminat terhadap jabatan, tak peduli dengan ketenaran dan tak mabuk dengan kenikmatan, akan ditertawakan orang. Ia akan dianggap abnormal atau munafik!
Di sisi lain, tak bijak pula kiranya menganggap orang yang berambisi ingin menjadi kaya, berkuasa, dan tenar dipastikan telah terjerumus ke lembah nista dunia yang berbahaya. Boleh jadi, dia ingin menggunakan kekayaan, kekuasaan dan ketenarannya untuk bisa lebih banyak berbuat baik. Orang miskin, tak punya kuasa dan tak dikenal, tentu sangat terbatas kemampuaannya dalam berbuat baik.
Karena itu, masalah paling utama adalah tujuan dan cara. Apakah sukses semata-mata sebagai tujuan hidup, atau sekadar cara atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih agung? Apakah orang yang menahan diri dari memburu kekayaan, kekuasaan dan ketenaran memang karena dia khawatir akan sisi gelap hidup sukses, atau justru hanya karena dia lemah dan putus asa untuk meraihnya?
Yang pasti, kesamaan pandangan hidup akan mempertemukan hati manusia. Mereka akan cepat bersahabat dan saling menyukai. “Ketika aku bertemu denganmu, seolah aku telah mengenalmu ribuan tahun yang lalu,” kata seorang pria. Ini mungkin sekadar rayuan gombal, tetapi mungkin juga tidak. Ia merasa telah mengenal lawan bicaranya karena menemukan kesamaan pandangan hidup.
Mungkin itulah yang sering kurasakan saat bertemu sahabat-sahabat lama. Meski rambut kami kian memutih, dan usia merangkak tua, tetapi pandangan tentang bagaimana hidup ini seharusnya dijalani pada dasarnya tidak berubah, bahkan semakin mantap dan matang. Aku bahagia sekali jika bertemu sahabat yang demikian. Kami bertukar cerita yang berbeda, tetapi garis besarnya serupa.
Hari-hari terus berganti. Pengusaha dan penguasa jatuh bangun. Perubahan adalah watak alamiah kehidupan. Tetapi di balik semua perubahan itu selalu ada yang tetap. Langit tetap langit, dan bumi tetap bumi. Air, api, tanah dan udara hakikatnya tetap sama. Semua ini mungkin baru hancur binasa, kala kiamat sudah tiba, ketika bumi dan langit diganti dengan sesuatu yang benar-benar berbeda.
Demikianpula pandangan hidup. Ketika manusia sudah dewasa, pandangan hidup itu semakin sulit, meskipun tidak mustahil, untuk berubah. Perubahan pandangan hidup kala dewasa menuntut perjuangan yang berat dan keberanian yang tinggi. Tahun Baru mungkin adalah hidup baru, tetapi bagi kebanyakan orang dewasa, tidak berarti pandangan hidup baru.