Thursday 28 September 2017

TAKUT ISTRI

TAKUT ISTRI
Liku-liku dalam dunia pertemanan komunitas, ada-ada saja ada pasang surutnya mungkin ada titik jenuhnya ada kalanya naik lagi ini biasanya kalau ada maunya, he.....he...mungkin iya mungkin tidak tergantung persepsi perorangnya. Dalam waktu yang sama, saya pun lebih suka mencerna perbincangan-perbincangan besar di luar pertemanan komunitas. Bagaimana medan geopolitik di konflik Rohingya, misalnya. Padahal, apa yang bisa saya jalankan setelah sedikit banyak saya memahaminya? Paling-paling saya akan menulis status Facebook, mengajak teman-teman di friendlist saya untuk mencermati duduk perkara konflik itu dalam porsi yang semestinya.
Lah, memang apa pengaruhnya? Apakah kalau saya tidak menuliskan status itu, konflik Rohingya jadi tambah parah? Dan apakah kalau saya menuliskannya, maka pembunuhan dan entah apalah segala hal buruk di sana akan berkurang dengan sendirinya?
Saya tahu jawabannya sangat menyedihkan: tidak. Suara saya tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam waktu yang sama pula, bahkan saya lebih suka turut berkerut mencermati data-data sejarah, untuk menemukan fakta historis yang paling meyakinkan, tentang satu pertanyaan mahapenting dalam historiografi Indonesia: "Apakah Aidit merokok?"
Padahal, setelah saya berlelah-lelah mencermati versi Ilham Aidit dan versi wawancara media, juga mencermati foto Aidit dengan rokok di tangannya, paling-paling saya cuma akan manggut-manggut. Kemudian saya menawarkan sebuah hipotesis mengejutkan kepada publik:
"Ilham tidak bohong. Media juga tidak bohong. Aidit tidak pernah merokok di rumah. Namun ia selalu merokok di rapat-rapat PKI, sembari merahasiakan perilaku merokoknya itu dari keluarganya. Jadi saya mengajukan tesis, bahwa selain sebagai Ketua CC PKI, Aidit pun aktif sebagai Sekjen IMTI. Yakni Ikatan Marxis Takut Istri."
Sudah, cuma itu saja. Sebuah kesimpulan yang sangat ilmiah namun tidak berguna bagi masa depan peradaban.
Dan itu semua sungguh merupakan kebermanfaatan yang nyata, jauh lebih nyata ketimbang rokok Aidit atau 5000 pucuk senjata yang disebut-sebut Sang Panglima.

Sunday 24 September 2017

*BENGISNYA PKI*

Sejarah Indonesia pasca merdeka ditandai dengan adanya pemberontakan *Partai Komunis Indonesia (PKI)*.

Didahului gerakan revolusioner yang disebut formal fase nonparlementer, yakni pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang sah.

Usaha kudeta itu disertai pula penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk sipil, para ulama, santri, pejabat, dan polisi.

Aksi dalam bentuk kekerasan terjadi di beberapa daerah, berikut diantaranya:

- *Tegal* dan sekitarnya. Kekejian pertama PKI yaitu pada penghujung tahun 1945, tepatnya oktober. Di kota ini, ada seorang pemuda PKI di slawi, tegal, jawa tengah, berjuluk Kutil (nama asli Sakyani), telah menyembelih seluruh pejabat pemerintah disana. Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di brebes dan pekalongan. Si Kutil mengarak Kardinah (adik kandung RA Kartini) keliling kota dengan sangat memalukan, syukurlah ada yg sempat menyelamatkan Kardinah, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan mengeksekusi Kardinah.

- *Kota Lebak, Banten*. Kekejian datang dari Ce'Mamat, pimpinan gerombolan PKI dari Lebak (Banten) yg merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Gerombolan Ce'Mamat berhasil menculik dan menyembelih bupati Lebak R.Hardiwinangun di jembatan sungai Cimancak pada tanggal 9 desember 1945.

- *Jakarta, Jalan Oto Iskandar Dinata* di selatan kampung melayu. Ingatlah kisah pembunuhan tokoh nasional Oto Iskandar Dinata yg dihabisi secara keji oleh laskar hitam ubel-ubel dari PKI, pada desember 1945.

- *Sumatera Utara*, ternyata banyak menyimpan kisah miris. Sebab PKI juga menumpas habis seluruh keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di tanjung pura, pada maret 1946, serta merampas harta benda milik kerajaan. Dalam peristiwa ini, putra mahkota kerajaan Langkat, Amir Hamzah (banyak dikenal sebagai penyair), ikut tertumpas. Tak ada lagi penerus kerajaan Langkat.

- *Dibelahan lain Sumatra, pematang siantar*. PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada 14 mei 1965, PKI melakukan aksi sepihak menguasai tanah-tanah negara. Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX bandar betsi. Pembantu letnan dua yg sedang ditugaskan di perkebunan kebetulan menyaksikan aksi perilaku anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan. Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akibatnya, Sudjono tewas dengan kondisi yg amat menyedihkan.

- *Berbagai kota di jawa timur*. Kekejian di jawa timur, yaitu saat Gubernur Jawa Timur RM Soerjo, pulang dari lawatan menghadap Soekarno. Di tengah jalan, mobil Gubernur Soerjo bersama dua pengawalnya dicegat pemuda rakyat PKI, lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 kilometer hinga meregang nyawa, lalu mayatnya dicampakkan di tepi kali.

- *Madiun,* PKI menusuk dubur banyak warga desa Pati dan Wirosari (Madiun) dengan bambu runcing. Lalu, mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah C diantaranya wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan ke tengah sawah.

- *Magetan,* Algojo PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian bupati magetan dibaringkan diatasnya. Ketika telentang terikat itu, algojo mengggergaji badannya sampai putus dua, lalu langsung dijatuhkan ke dalam sumur.

- *Kyai Sulaiman dari Magetan* ditimbun di sumur Soco bersama 200 orang santri lainnya, sembari tetap berdzikir, pada september 1948.

- *Kisah Kyai Imam Musyid Takeran* yg hilang tak tentu rimbanya, genangan darah setinggi mata kaki di pabrik gula gorang gareng, ayah dari Sumarso Sumarsono yg disembelih dibelakang pabrik gula, baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun. Bahkan para PKI mengadakan pesta daging bakar Ulama dan santri di lumbung padi.

- *Kisah Isro* yg sekarang menjadi guru di jawa timur. Ketika dulu masih berumur 10 tahun pada tahun 1965, Isro hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yg sudah hangus dibakar PKI di pinggir sawah dan hanya bisa dimasukkan ke dalam kaleng.

- *Blora,* pasukan PKI menyerang markas Kepolisian Distrik Ngawen pada 18 september 1948. Setidaknya, 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada 7 polisi yg masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 september 1948. Sementara, 7 orang polisi muda dieksekusi secara keji. Ditelanjangi, kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah 7 orang polisi dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.

- *Desa Kresek, Kecamatan wungu, Dungus*. PKI membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para korban dtemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Di antara para korban, ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan Ulama.

- *Wonogiri, Jawa Tengah*, ternyata akrab dengan amis darah kekejian PKI yg menculik pejabat pemerintahan, TNI, Polisi, dan Wedana. Semua dijadikan santapan empuk PKI di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomoyo. Saat itu PKI menyekap 212 orang, kemudian dibantai satu per satu dengan keji pada 4 oktober 1948.

- *Kecamatan Kras, Kediri.* Training Pelajar Islam Indonesia tanggal 13 januari 1965, diserang oleh PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Massa komunis ini menyiksa dan melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar islam perempuan. Tidak hanya sampai disitu, massa PKI pun menginjak-injak al-Qur'an. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dari LEKRA dengan lakon "Matinya Gusti Allah", dan berbagai lakon lain yg biadap dan tak bisa dimaafkan.

- *Lubang Buaya Jakarta* adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung 6 orang jenderal (Letjen TNI A.Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI MT Hardjono, Mayjen TNI S.Parman, Brigjen TNI DI. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomiharjo), ditambah Lettu Piere Andries Tendean, dimasukkan kedalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur lubang buaya di Jakarta Timur.

*Semua negara Komunis* di dunia ini melakukan pembantaian dan penyembelihan kepada rakyatnya sendiri.
500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923),
6.000.000 petani kulak Rusia dibantai Stalin (1929),
40.000.000 dibantai Stalin (1925-1953),
50.000.000 penduduk rakyat cina dibantai Mao Tse Tung (1947-1976),
2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979),
1.000.000 rakyat eropa timur diberbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980),
150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim komunis disana,
1.700.000 rakyat diberbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis,
dan 1.500.000 rakyat Afghanistan dibantai Najibullah (1978-1987).

Barangkali, jika waktu itu komunisme berhasil menguasai negeri ini, kita tak akan bisa membaca karya-karya sastra relijius milik Hamka, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Karena, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yg dikomandani oleh Pramoedya Ananta Toer, sempat menuding Hamka sebagai plagiator atas novelnya yg berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non-komunis dilakukan oleh LEKRA. Hujatan-hujatan terhadap sastrawan anti-LEKRA terus dilakukan.
Penyair Chairil Anwar (pelopor angkatan 45) juga digugat dan dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Bahkan, buku-buku sastra karya sastrawan anti-LEKRA dibakar.

Ini hanya sebagian, Masih banyak sejarah kebiadaban PKI yang lain di berbagai daerah.
Bagaimanapun, kelompok Palu Arit ini telah dua kali melakukan kudeta dengan keji. Mereka menyembelih para santri, para Kyai, para agamawan, para penjaga NKRI yg menolak paham kiri.

Agar generasi saat ini tau bahwa komunis memang bengis.

Saturday 23 September 2017

ISLAM X BUDHA

Orang awam melihat orang Islam, citra yang mereka tangkap mula-mula adalah ciri-ciri yang tertangkap mata. Yang perempuan berjilbab atau berburqa. Yang lelaki berjubah, bersurban, berkopiah, dan berjenggot.

Semua itu mulai menjadi masalah ketika apa yang mereka identifikasi tersebut berkali-kali hadir bersama hal-hal buruk yang muncul dengan efek psikologis tertentu. Dalam hal ini, hal buruk itu adalah aksi-aksi teror yang keji.

Para pelaku teror yang mengatasnamakan Islam seringkali berjubah dan berjenggot, walhasil orang berjubah dan berjenggot yang bukan pelaku teror pun akan direspons sebagai teroris.

Jadi, pola "menyikapi semua orang berjubah dan berjenggot setara dengan menyikapi teroris". Atau biar tidak dikira umpatan kasar, pola identifikasi dangkal semacam itu adalah identifikasi level hewani. Manusia memang wajar pula melakukannya, namun level hewani tersebut merupakan tingkat intelegensi paling rendah..

Maka, jika ingin menjadi manusia pembelajar yang baik, pelan-pelan kita mesti memahami bahwa orang yang berjubah dan berjenggot belum tentu teroris. Bahkan kita akan tahu bahwa sebagian besar orang berjubah dan berjenggot memang bukan teroris.
Pemelihara jenggot panjang itu tidak semuanya pendukung khilafah. Atau tidak semua mereka gemar menyesat-nyesatkan orang di luar kelompoknya. Atau tidak semua mereka merupakan fans Kerajaan Arab Saudi. Dan sebagainya.

Salah satu contoh yang relevan dengan rasisme berbekal identifikasi kepercayaan adalah yang sedang hangat-hangatnya kita bicarakan saat ini. Ya, ini tentang tragedi kemanusiaan di Rohingya.

Melihat betapa mengerikannya kejahatan sistematis yang terjadi di sana, dengan level kecerdasan paling rendah kita akan mengidentifikasi. "Oh, korbannya Muslim. Oh, pelakunya orang Burma anggota etnis mayoritas. Oh, mayoritas orang Burma adalah penganut agama Budha. Berarti ini adalah pembantaian orang Islam oleh orang Budha."

Identifikasi yang paling sederhana itu menemukan gong-nya, ketika salah satu sosok yang muncul sebagai penggerak pembunuhan adalah Aksin Wirathu, seorang pemuka agama Budha di sana. Walhasil, dengan mekanisme pikiran paling primitif kita akan melihat bahwa pembantaian itu "direstui" oleh ajaran Budha.

Banyak orang beranjak menuju level identifikasi yang lebih spesifik lagi. Misalnya dengan membaca informasi bahwa masjid-masjid di kota Yangoon tetap aman-aman saja. Artinya, tidak semua muslim di Burma dimusuhi. Lalu informasi lain yang lebih rumit, misalnya bahwa Aksin Wirathu hanyalah pion yang dijalankan oleh rezim militer untuk propaganda penghantaman atas etnis Rohingya, dengan amunisi legitimasi agama. Dan sebagainya.

Di Indonesia, bahan untuk identifikasi sudah mulai berlimpah. Pimpinan Wihara Mendut, Bante Sri Pannyavaro, mengecam keras pembantaian muslim Rohingya. Bahkan sampai-sampai dia menolak Aung San Suu Kyi yang berencana datang ke Candi Borobudur dan Mendut. Disusul kemudian oleh Bhiksu Suhu Dutavira Mahastavira, yang menyatakan bahwa para bhiksu di kelompok Aksin Wirathu telah kehilangan kebhiksuannya.

Beragam aksi dan pernyataan pun bermunculan dari umat Budha. Di Surabaya, di Karanganyar, di Kebumen, dan entah di mana lagi. Pendek kata, tampak jelas sikap umat Budha Indonesia, bahwa mereka ingin menegaskan: "Kami umat Budha, tapi kami tidak sama dengan Wirathu!"

Sialnya, orang-orang yang berhasil menjalankan identifikasi tingkat lanjut untuk memahami bahwa "tidak semua umat Budha sama dengan Wirathu" hanyalah mereka yang memang berusaha menjaga harkat kemanusiaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aksi kemanusiaan bukanlah sekadar mengampanyekan belas kasihan, melainkan aksi untuk mengutuhkan kualitas "ke + manusia + an". Mereka serius untuk menjadi manusia.

Kadang saya berkhayal, bagaimana jika umat Islam menjadi minoritas di Indonesia. Apakah selepas peristiwa pembantaian dan penculikan oleh Boko Haram, misalnya, ribuan orang akan berbondong-bondong berdemonstrasi di depan kantor PP Muhammadiyah, atau kantor PBNU,?

Ah, khayalan itu terlalu mengerikan. Meskipun sesungguhnya rencana pengepungan tempat ibadah untuk mengecam geng kepercayaan pun benar-benar tidak kalah mengerikan.

Monday 11 September 2017

ROHINGYA KINI



Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang tertindas, dan ironisnya mereka tidak mempunyai negara (stateless). Mereka tinggal di Rakhine, salah satu negara bagian Myanmar, tapi mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Sejak Myanmar merdeka pada 1948 hingga sekarang ini, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Tidak lama setelah merdeka, Myanmar mengeluarkan The Union Citizenship Act yang di dalamnya menjelaskan tentang etnis-etnis yang diakui sebagai warga-negara. Sejak saat itu, etnis Rohingnya sudah tidak diakui sebagai warga-negara.

Meskipun demikian, keluarga-keluarga etnis Rohingya yang sudah dua generasi tinggal di Myanmar mendapatkan kartu identitas. Di antara mereka pada masa itu ada yang menjadi anggota parlemen.

Namun, situasinya berubah setelah kudeta militer 1962. Seluruh warga negara harus mendapatkan kartu tanda penduduk. Sementara, etnis Rohingya hanya mendapatkan kartu sebagai warga negara asing yang kegunaannya sangat terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.

Pada 1982, Myanmar mengeluarkan Undang-undang Kewarganegaraan yang secara eksplisit tidak mengakui etnis Rohingya di antara 135 etnis yang diakui oleh negara. Akibat dari Undang-undang tersebut, etnis Rohingya mendapatkan kesulitan untuk melakukan aktivitas, karena mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Tidak terelakkan konflik terjadi sejak lama. Konon, konflik sudah muncul sejak dekade 70-an, tidak lama setelah junta militer berkuasa. Utamanya, konflik terjadi antara milisi Rohingya, yang dikenal dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan militer Myanmar. Milisi Rohingya kerap melakukan aksi penyerangan terhadap polisi dan militer Myanmar.

Pada 2012, sejumlah warga etnis Rohingya melakukan pemerkosaan yang menimbulkan kemarahan besar dari warga Rakhine. Situasinya terus memburuk, hingga pada 2013 Human Right Watch menyimpulkan bahwa ada indikasi pembasmian etnis Rohingya di Rakhine.

Pada 2016 lalu, ARSA melakukan penyerangan yang menewaskan 9 polisi perbatasan Myanmar. Hal tersebut menyebabkan munculnya balasan dari militer Myanmar terhadap milisi Rohingya. Celakanya, aksi balasan militer tidak hanya menyasar milisi Rohingya, melainkan anak-anak dan perempuan yang tidak terlibat langsung dengan ARSA.

Aksi penyerangan ARSA terhadap pos polisi di akhir Agustus lalu menimbulkan ketegangan antara militer dengan etnis Rohingya. Setidaknya ada 10 wilayah yang rumah-rumah milik etnis Rohignya dibakar. Inilah yang menyebabkan puluhan bahkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh yang berbatasan langsung dengan Rakhine, dan ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

Apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tragedi yang menimpa etnis Rohingya?

Kita harus mengambil pelajaran berharga dari tragedi etnis Rohingya. Akar masalahnya adalah diskriminasi. Diskriminasi hanya melahirkan diskriminasi. Itu yang terjadi di Rakhine. Spiral diskriminasi. Yang mampu menyetop diskriminasi hanya rekonsiliasi dan rekognisi. Jika tidak, Rohingya akan mengalami diskriminasi hingga kiamat.

Di negeri ini, masih banyak kelompok mengalami diskriminasi. Kelompok ekstrem kerap menggunakan kebijakan yang diskriminatif untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Padahal konstitusi kita memberikan mandat agar melindungi seluruh warga. Konstitusi kita menjamin hak asasi setiap warga negara, khususnya kemerdekaan beribadah dan berkeyakinan.

Nun jauh di sana, kita juga mendapatkan masalah-masalah yang terkait dengan sulitnya pembangunan masjid, vihara, dan pura, khususnya di daerah-daerah bagi kelompok minoritas umat beragama. Intinya, kelompok mayoritas seolah-olah mempunyai lisensi untuk menindas kelompok minoritas atas nama agama dan kepentingan politik.

Sekali lagi, kita lebih beruntung dari Myanmar, karena konstitusi kita menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan kedamaian bagi setiap warganegara di bumi pertiwi ini. Tapi, harus diakui kita masih kerap melakukan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas.

Sekali lagi, saya salut melihat sejumlah politisi yang marah dan mengecam terhadap pemerintah Myanmar atas persekusi dan diskriminasi terhadap etnis Rohignya. Tapi, jangan lupa terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kelompok minoritas di dalam negeri  kelompok minoritas lainnya.