Lelucon yang menertawakan diri
sendiri sudah barang biasa. Saya kadangkala juga melakukan hal tersebut.
“Terima kasih telah mengundang orangutan (orang yang berasal dari hutan
Kalimantan) seperti saya untuk acara ini,” kata saya di beberapa acara
perkumpulan pengusaha.
Prasangka atau stereotip antarsuku, etnis,
agama dan identitas lainnya adalah wajar. Sebagian dari prasangka itu
tercipta melalui pengalaman atau (salah) informasi. Stereotip tidak
sepenuhnya benar, tidak pula sepenuhnya salah. Karena itu, stereotip
hanya akan berbahaya ketika ia dianggap sebagai ciri-ciri budaya yang
hakiki, tetap dan berlaku untuk semua orang dalam kelompok identitas
tertentu.
Reaksi orang Kalimantan terhadap stereotip orang luar
itu beragam. Ada yang menerima, menolak atau tidak peduli. Sejauh
pengamatan saya, saat ini ada dua sikap yang menonjol, khususnya di
kalangan orang-orang terpelajar. Pertama, mereka yang berusaha
menunjukkan bahwa orang Kalimantan itu setara dengan suku lain di
tingkat nasional. Kedua, mereka yang berusaha menggali khazanah budaya
lokal.
Kita tentu turut berbangga jika ada warga Kalimantan yang
berhasil menjadi ‘tokoh’ di tingkat nasional. Sayangnya, ketokohan
kadang diartikan secara sempit, yaitu menjadi pejabat, artis atau
pengamat di media nasional. Kalau sudah ada yang diangkat jadi menteri,
tampil jadi peserta kontes dangdut atau sesekali diwawancarai televisi
nasional, seolah ‘orang kita’ sudah berhasil menjadi tokoh nasional.
Di sisi lain, usaha-usaha para budayawan menggali khazanah kearifan
lokal patut sekali diapresiasi. Banyak nilai-nilai moral dan spiritual
yang amat berharga, yang terkandung dalam tradisi lokal, yang perlu
dipelihara dan dikenalkan kepada generasi muda. Begitu pula, aneka
produk budaya seperti sasirangan, musik panting, ragam kue dan makanan,
hingga kesenian Islam lokal, perlu dilestarikan.
Tetapi jika
tidak berhati-hati, menggali tradisi lokal bisa berubah menjadi memuja
masa lampau atau mendewakan suku sendiri. Padahal, masa lalu suatu
masyarakat tentu tidak semuanya putih bersih tanpa noda. Sikap kritis
dan objektif sangat penting dalam melihat sejarah. Begitu pula, rasa
terikat kepada identitas suku atau identitas apa pun, jika berlebihan,
akan gampang mencederai keadilan.
Karena itu, kritik terhadap
budaya lokal perlu dilanjutkan. Misalnya, sebagian orang Kalimantan
kurang tertib berlalu lintas, konon karena nenek moyang mereka terbiasa
dengan jukung (sampan) yang tak ada remnya. Budaya politik Kalimantan
lebih dekat kepada budaya dagang yang cenderung pragmatis. Karena itu,
konon politik transaksional dan kesepekatan diam-diam di belakang publik
sering terjadi.
Kritik budaya tentu tidak hanya perlu di tingkat
lokal, tetapi juga di level nasional. Namun bagi Emha Ainun Nadjib,
orang Indonesia itu sebenarnya rendah hati, laksana padi berisi yang
merunduk. Kita kirim TKI ke luar negeri agar kita dikira miskin.
Padahal, kita hanya ingin membantu pembangunan bangsa lain. Kita
pura-pura krisis ekonomi, padahal mal, hotel dan restoran kita tetap
ramai. Dalam kompetisi olahraga melawan bangsa lain, kita juga suka
mengalah. Mengalah itu mulia.
Kata Emha, bangsa Indonesia ini
sudah maju sehingga mereka tidak perlu lagi mengejar kemajuan. Saking
makmurnya Indonesia, pemimpin yang buruk pun bisa membuat rakyatnya
tenang. Bangsa kita adalah bangsa yang paling suka tertawa meskipun
hidupnya penuh derita. Bangsa kita pandai melantunkan cengkok lagu apa
pun, dan bisa menikmati lagu patah hati dengan tetap bergoyang.
Saya terpingkal-pingkal membaca tulisan Emha. Saya tertawa sebagai
orangutan sekaligus orang Indonesia. Saya menertawakan diri sendiri.