Tuesday 16 October 2018

KOPI SUSU

*KOPI SUSU*

Menemaniku
Disaat senang
Disaat susah
Segelas kopi susu

Coklat kecoklatan
tak selalu keruh
dan yang pahit
tak selalu sedih

Kopi susu
Didepanku
Menyajikan
Sensasi hati

Jangan lesu
Abaikan muka lusuh
Kantong mata menebal
Fokus dengan segelas
Berisikan kopi susu

Semoga hari ini
Penuh berkah
Selamat beraktifitas
Dan sukses selalu

POSITIF THINKING

POSITIF THINKING

Tak perlu memikirkan orang sesuka hati menilai hidup kita.
Tak perlu bersusah payah merisaukan orang yg terus merendahkan kita.
Tak perlu membalas perbuatan orang yang kurang baik kepada kita
Sebab ini hidup kita, bukan hidup mereka.
Kita yang menjalani hidup, bukan mereka dan Alloh sebaik-baik penilai untuk hidup yang kita jalani, bukan mereka.

Bukankah masih ada orang-orang yang tetap setia bersama kita?
Bukankah masih ada orang-orang yang senantiasa menyukai kita, tak peduli seburuk apapun diri kita?
Bukankah masih ada Alloh yang selalu bersedia menguatkan kita kala kita terjatuh menjalani hari kita?

Jika memang hal buruk yang mereka bicarakan mengenai diri kita adalah benar, maka terima dan perbaikilah.
Namun, jika hal buruk yang mereka bicarakan tentang kita adalah salah, maka tersenyumlah.
Sebab cara terbaik untuk menghadapi semua perbuatan mereka ialah memaafkan, mendoakan kebaikannya, ajak menuju kebaikan, beri contoh yg baik dan bertawakalah pd Alloh.
Hapus tangis kita dan tersenyumlah.

“Orang yang paling sabar di antara kamu ialah orang yang (memilih untuk) memaafkan kesalahan orang lain padahal ia sanggup untuk membalasnya.”
(HR. Baihaqi).

Terus tebarkan positif dlm tutur kata, berfikir & berbuat baik pada siapapun.

Semoga kita bisa terus istiqomah beribadah dg penuh keikhlasan berharap ridho Alloh.

Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.

POLITIK APA KEJAM

POLITIK APA KEJAM

Mesin politik ya di partai, banyak partai mengatakan paling jujur dan tidak pernah korupsi, nyatanya orang-orangnya begitu rapihnya menampakkan topeng palsu dengan mengatasnamakan mereka partai jujur. Padahal jika dilihat lebih seksama, kepentinganya untuk para kroni-kroninya, rakyat kecil yang menjadi alas perjuangan pun hanya jadi tumbal demi kemenangannya. Para calonnya berkeliaran untuk menyebarkan uang, demi menjadi penguasa di negeri ini meski rakyat kecil yang jadi tumbalnya.

Tatkala mereka masih membangun kekuatan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, mereka pun seperti saudara. Mereka selalu bergandeng, tatkala mereka ini memiliki visi dan misi yang berbeda akhirnya pun pecah kongsi.

Tak hanya konflik di Pusat saja. Di daerahpun tak ketinggalan mereka berebut simpati rakyat, Bahkan sesama partaipun sampai-sampai saling jegal dan mengambil untung dan kesempatan. Bahkan urusan saksi pun menjadi rebutan.

Dan beberapa kasus yang melibatkan para politisi, partai dan para konstituen dalam konflik yang cukup sengit. Sehingga siapapun sepatutnya bersikap sewajarnya saja. Jangan karena begitu ngefansnya dengan seorang tokoh atau partai, harus mengorbankan persaudaraan sejati. Persaudaraan sebangsa dan setanah air.

Di saat kepentingan tersebut membutuhkan kerja sama, maka kerjasama pun dibentuk. Namun akan mudah bubar kerjasama tatkala kedua kelompok saling memiliki tujuan yang berbeda.

Politik itu kejam, bagi saya yang masyarakat awam. Bagi para politisi kekejaman politik dianggap sebagai bumbu wajib dalam kompetisi dan hiruk-pikuk pesta demokrasi. Tak ada kawan maupun lawan yang sejati. Yang ada adalah kepentingan untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum.  Meskipun demikian, tak patut pula prinsip "kejam" itu dengan mengorbankan rakyat miskin, awam, yang tak mengerti urusan politik.

HOAX

HOAX

Pelajaran penting dari fenomena politik buruk ini adalah munculnya penurunan kualitas cara berpikir elite politik kita. Sungguh tidak ada penjelasan yang lebih lucu dibandingkan dengan bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik, terutama yang dilakukan oleh kelompok tertentu, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.

Menajamnya kutub politik seperti sekarang ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang tak kita duga. Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Fungsi politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik dalam memperebutkan kekuasaan.

Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan. Kebohongan dan drama oleh oknum menjadi penanda dibukanya kotak pandora baru. Masih ada ruang-ruang kebohongan lain yang mungkin akan kita jadikan perhatian bahwa hadirnya moral politik sangat penting.

TSUNAMI

TSUNAMI

Daerah Palu dan sekitarnya sejak lama sudah diketahui oleh para ilmuwan sebagai rentan gempa dan tsunami. Berdasarkan data yang dihimpun dari tahun 1820 hingga 2018, telah terjadi 19 kali tsunami di daerah ini. Ironisnya, pada 2011 - 2012 menunjukkan, mayoritas warga Kota Palu tidak mengetahui ancaman tersebut, dan tidak bersiap untuk itu.

Tentu saja, bukan bermaksud menyalahkan korban (blaming the victims). Tugas melindungi ‘seluruh rakyat Indonesia’ adalah tugas negara. Negara kita masih kurang serius dalam upaya mencegah bahaya-bahaya akibat gempa dan tsunami. Alih-alih mengantisipasi yang akan terjadi, kita sepertinya terus-menerus ‘kaget’ dengan bencana-bencana itu, baru kemudian membantu para korban.

Sikap kita itu belum sepenuhnya sejalan dengan iman pada takdir. Tugas manusia bukan saja menerima hukum alam, tetapi juga mempelajarinya untuk kemaslahatan bersama. Memang harus diakui bahwa pengetahuan dan kekuatan manusia itu terbatas. Ini juga takdir. Tetapi dalam keterbatasan itu, manusia punya ruang untuk memilih dan bertindak. Inilah yang disebut ikhtiyâr, menentukan pilihan/keputusan.

Alhasil, takdir meletakkan manusia di antara kekuatan dan kelemahan, pengetahuan dan kebodohan. Kekuatan dan pengetahuan mencegah manusia dari putus asa, sedangkan kelemahan dan kebodohan mencegah manusia dari sombong bertepuk dada. Tugas mendesak saat ini adalah menolong para korban. Setelah itu, kita harus mengantisipasi dan menyiapkan diri menghadapi bencana serupa.

SANTUN

SANTUN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang santun, ramah dan saling menghargai seolah luntur tergerus perilaku egois dan fanatisme berlebihan.

Laju perkembangan internet, media sosial, diiringi kecanggihan peralatan komunikasi pintar (smart phone) dalam satu dekade terakhir harus diakui membawa perubahan dan dampak yang kompleks berpotensi melunturkan nilai-nilai luhur karakter bangsa ini.

Kebebasan berekpresi di dunia maya medsos menggerus budaya santun dan saling menghargai . Pengguna dunia maya pun menjadikan media sosial, bak rimba raya tak berhukum, tanpa moral dan etika, di mana setiap orang bebas melakukan atau tepatnya mengatakan apa saja kepada orang lain.

Proses hukum berbagai kasus penghinaan di media sosial melalui perangkat aturan yang keras produk pemerintah sepertinya tak mampu memerangi persoalan itu. Orang tetap saja beringas di media sosial.
Komitmen bahwa bangsa ini terlahir karena dirajut atas dasar perbedaan, makin luntur. Akibat beda pandangan politik, termasuk para elite, kita cenderung abai akan kewajiban merawat bangsa ini dalam sebuah ikatan besar yang telah disepakati.

Berbagai insiden yang terjadi di Tanah Air, dalam dekat ini ada kampanye Capres dan Caleg sudah terjadi gesekan, termasuk pengeroyokan pendukung Persija, oleh pendukung Persib, sedikit banyak ada efek dari media sosial. Perang yang terjadi di media sosial akan mudah tersulut menjadi perang terbuka ketika kedua kelompok bertemu fisik secara langsung.

Tentu persoalan seperti ini tak bisa dibiarkan terus terjadi. Kita harus secepatnya mengembalikan budaya sopan santun yang telah dirajut nenek moyang sejak dulu. Perlu gerakan dan kemauan bersama menjadikan media sosial sebagai tempat bersilaturahmi berbagi ilmu pengetahuan, bukan tempat saling hujat dan caci maki.

INSTAN

INSTAN

Roda zaman terus berputar, dan teknologi komunikasi semakin canggih dan liar. Sejak 2007, dunia mengenal media sosial.

Manusia terhubung satu sama lain di dunia maya. Selain saling menyapa, di media sosial, orang-orang juga pamer kesuksesan, kekayaan hingga kemesraan. Wajar saja, jika orang kemudian membanding keadaan dirinya dengan, dan iri kepada, orang lain yang tampak lebih sejahtera.

Masalah bertambah rumit karena kita hidup di zaman instan. Semua tampak serba praktis dan mudah. Teknologi memang telah banyak membantu hidup kita, meningkatkan kekuatan dan kecepatan kita.

Namun, secara perlahan, kita mulai terbiasa dengan yang serba cepat. Orang menjadi tidak sabaran. Kalau ada jalan pintas, meskipun melanggar hukum dan agama, orang mau saja melakukannya.

Hidup sederhana, bukanlah retorika politik, tetapi nilai mulia untuk hidup bahagia. Sederhana artinya tidak berlebihan. Tidak kikir, tidak boros. Sederhana artinya tidak serakah dan tidak besar pasak daripada tiang, tetapi bersyukur atas apa yang diterima.

Nilai luhur lainnya adalah sabar menjalani proses. Tidak ada yang bim salabim. Semua yang diraih hari ini adalah buah dari perjuangan panjang yang telah kita lakukan sebelumnya.

Manusia tidak hanya perlu sabar menghadapi kegagalan, tetapi juga sabar menjalani proses mencapai keberhasilan. Bahkan orang harus sabar saat suatu keberhasilan tercapai, jika ia ingin meraih keberhasilan yang lebih tinggi.

Alhasil, kita umumnya belum bisa menjadi Sufi yang memilih hidup asketis (zuhd), miskin secara sukarela (kalau miskin terpaksa, banyak!). Namun, kita mungkin mampu hidup sederhana secara sukarela, bukan untuk pencitraan, bukan pula untuk orang lain, melainkan untuk kedamaian hidup kita sendiri.

INILAH HUKUM

INILAH HUKUM

Semboyan "Indonesia adalah negara hukum" pada awalnya diniatkan agar masyarakat menaati hukum dan tidak melanggar hukum. Namun, karena semboyan itu lama-lama jatuh sebagai jargon, setiap anak sekolah yang mendengarnya dari Pak Guru mengira bahwa di negara Indonesia ini setiap masalah mau tak mau harus diselesaikan secara hukum.

Dulu jaman saya sekolah, penggaris kayu melayang ke kepala atau badan murid sudah biasa apa lagi penghapus melayang ke muka murid itu hal biasa, murid melapor ke orang tua justru anaknya yang di marahi orang tua karena orang tua sudah tau kelakuan anaknya. Tapi jaman sekarang Guru menghukum murid bisa orang tua melaporkan ke polisi.

Dari situ, kata "damai" pun lambat-laun menjadi hina. Kata itu cuma mengingatkan kepada selembar uang yang kita selipkan diam-diam di kantong celana oknum, saat kita dicegat karena melanggar. Padahal, jika urusannya dengan sesama warga masyarakat, alias bukan dengan penegak hukum, sesungguhnya damai adalah prioritas. Begitu, bukan?

Jadi, apa yang kita cari sesungguhnya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat dan bertetangga? Hukum yang tegak, atau kedamaian dan harmoni yang terjaga?

Banyak di antara kita yang tak lagi ingat bahwa pilihan kedualah jawabannya. Hasilnya, kita melupakan mekanisme-mekanisme kuno yang sejak dulu kala menghidupi spesies kita, mendudukkan kita sebagai sesama manusia, dan dengannya akan pulih juga kualitas kemanusiaan kita.

"Lalu, kalau minta maaf saja cukup, buat apa ada polisi?"

Ya, polisi tetap harus ada. Demikian pula hukum. Keduanya akan sangat dibutuhkan ketika mekanisme-mekanisme pemulihan harmoni dari tengah masyarakat sendiri ternyata gagal menemukan jalan solusi.

Selanjutnya, mari kita sambut perayaan Hari Perdamaian Sedunia

KOPI SUSU SAK SRUPUT

*KOPI SUSU SAK SRUPUT*

Saya melihat Teman menyruput kopi susu. nampak nikmat sekali, setelah puas ditutupnya kembali gelas besar kopi susu.
Saya mencoba untuk belajar, merenung peristiwa ini.
Ternyata  pada akhirnya semua rasa itu sama.
Segelas kopi susu itu hanyalah seharga  Rp  3.000 ,00 (tiga ribu rupiah). Namun temen itu begitu menikmatinya, tidak beda dengan  nikmatnya kopi susu yang dibeli  di cafe atau resto dengan tarif harga mahal.
Seberapa lama kopi susu itu nikmat...?
Hanyalah sepanjang perjalanan sampai di tenggorokan, setelah itu rasanya lenyap.
Tidak berbeda dengan minuman semahal apapun.
Begitu pula nikmat-nikmat  yang lainnya, ketika tidur di kasur yang empuk ataupun tikar, ketika mata terpejam, kita tak bisa membedakan saat ini tidur di mana, nikmatnya kasur empuk hanyalah terasa sampai mata ini terpejam.
Begitu pula tentang sebuah penderitaan. Sewaktu nglaju dari Jogja - Banjarnegara, saya sering tidak mendapat tempat duduk di bis, pegel2, deh kaki ini, apalagi bawa bawaan, dan baru dapat tempat duduk, 10 menit menjelang turun.
Rasanya penderitaan 5 jam sebelumnya tidak terasa lagi, nikmaaatt sekali, yang 10 menit ini. Namun senikmat apapun, saat kondektur bilang "Banjanegara terakhir Banjarnegara terakhir..." maka tanpa pikir panjang atau berat hati saya berdiri, kursi saya tinggalkan.
Tak terpikir untuk membawa kursi bis.
Entah esok akan dapat kursi lagi atau tidak, pokoknya kursi saya tinggalkan.
Begitu pula dengan kursi jabatan, saatnya selesai, tinggalkan kursi dengan senang hati.
Ternyata kehidupan itu hanyalah tentang rasa, dan segala rasa hanyalah sebentar dan akan berganti rasa yang lain.
Apapun rasa yang hadir pada Anda saat ini, nikmati sajalah. karena semua hanya sementara.
Teman, maturnuwun, sudah mengajarkan ilmu panguripan, mugi slamet lan sehat nggih, benjang maleh.

BELAJAR

BELAJAR

Dahulu ada istilah ‘sarjana siap pakai’. Sekarang, gagasan seperti itu semakin sulit diwujudkan jika yang dimaksud adalah, setelah tamat dari Perguruan Tinggi, alumni tanpa harus belajar lagi, sudah siap dan lihai untuk bekerja di bidangnya. Hal ini sulit karena kehidupan kita mengalami perubahan yang sangat cepat, yang disebut ‘disrupsi’, yakni perubahan yang membuat kita tidak bisa menjalani hidup seperti biasa.

Di sini disebutkan 10 kecakapan utama yang diperlukan dunia kerja pada 2020, yaitu mampu memecahkan masalah yang kompleks, mampu mengelola, berpikir kritis, kreatif, bekerjasama, cerdas emosi, memutuskan, melayani, bernegosiasi dan berpikir fleksibel.

Pada 2020, 52 persen lapangan kerja membutuhkan kecakapan berpikir yang fleksibel, kreatif, logis, sensitif dan visual. Pekerja harus mampu menggunakan berbagai hal dengan berbagai cara; mampu menemukan ide-ide cerdas dalam berkegiatan dan memecahkan masalah; mampu membaca kemungkinan masalah ke depan, dan membayangkan yang bakal terjadi ketika sesuatu diatur ulang.

Tuntutan akan kemauan dan kemampuan untuk terus-menerus belajar itu menunjukkan bahwa tugas lembaga pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai itu kepada para peserta didik. Teori ‘kuno’ tentang pendidikan seumur hidup ternyata tak pernah usang. Sabda Nabi SAW, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat” juga terus relevan. Ijazah, nilai, gelar, hanyalah perhentian sementara alias halte.

Alhasil, dunia kerja membutuhkan manusia yang tidak hanya siap pakai, tetapi juga siap belajar, yakni siap berkembang dan mengembangkan diri tiada henti. Kita perlu pekerja-pembelajar.

RUPI AH

RUPI AH

Rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan kian tajam penurunannya hampir menyentuh angka psikologis Rp 15 ribu per dolar AS.

Indonesia sedang memasuki tahun politik. Tentu saja sasaran utamanya adalah Presiden yang sudah memastikan diri maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.

Di pihak pemerintah, mulai para menteri terkait maupun politisi, akademisi, pakar ekonomi, hingga tokoh yang pro-presiden memberikan berbagai argumen terkait pelemahan rupiah. Keterpurukan nilai tukar rupiah tidak semata-mata dan selalu dikaitkan dengan kebijakan ataupun dianggap sebagai ketidakberdayaan pemerintahan.

Tentu saja yang berseberangan dengan presiden, pengamat, pakar, ahli ekonomi menganalisa pelemahan rupiah dalam perspektif sebaliknya, yang intinya menilai pemerintahan tidak becus mengendalikan dan mengamankan rupiah.

Rupiah jatuh ke level terendah dalam kurun 20 tahun terakhir, yakni bertengger di angka Rp 14.940 hingga Rabu (5/9) siang. Angka tersebut melemah 2 poin atau 0,01 persen dibandingkan posisi pada pembukaan perdagangan, yakni Rp 14.925 per dolar AS.

Ternyata, rupiah tidak sendiri. Peso Argentina terjun bebas 16 persen dan sepanjang tahun ini telah merosotnya hampir 50 persen. Rupee India, tujuh hari berturut-turut dan kemarin menyentuh level 71,78 per dolar AS. Kemudian, lira Turki juga merosot. Afrika Selatan, rand, juga melorot tiga persen.

Tekanan ini sebagian diatribusikan dengan penguatan dolar AS dan kenaikan harga minyak, namun demikian isu sebenarnya adalah sentimen para trader.

Itu artinya, mestinya masih ada celah bagi pemerintah menemukan obat mujarab untuk mendongkrak rupiah. Terlebih tim ekonomi pemerintah saat ini diisi oleh orang-orang mumpuni bahkan kaliber internasional.

Saat ini, kita masih bisa sedikit lapang dada karena rupiah tidak sendiri. Tapi besok atau lusa, jangan sampai rupiah justru tertinggal sendirian. Pemerintah jangan lengah.

*SIAPA KITA" INDONESIA

"SIAPA KITA" INDONESIA

Dua minggu sudah perhelatan Asian Games meramaikan Tanah Air. Acara ditutup dengan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia. Kita bukan jadi juara, tapi mengutip ucapan politisi, kita realistis. Target 16 medali emas sudah jauh kita lampaui. Kita menutup Asian Games dengan berdiri kokoh di posisi 4 dengan mengoleksi 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu.

Dahsyatnya Indonesia Kalau Bersatu. Laki-laki, perempuan, tua, muda, ada yang pribumi, yang Tionghoa, yang Muslim, yang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, yang bertato, yang berjilbab, yang blasteran, yang naturalisasi, yang anak pemulung, sampai konglomerat.

Para atlet tidak akan ditanya pilih Jokowi atau Prabowo. Mereka cuma ditanya, sanggupkah kamu memanjat paling tinggi, lompat paling jauh, berenang paling cepat, lari paling kencang dan memasukkan bola paling banyak.

Momen terbaik Asian Games 2018 untuk bangsa kita adalah Jokowi dan Prabowo berpelukan berbalut bendera Merah Putih. Pesilat Hanifan yang memeluk Jokowi dan Prabowo seperti mewakili seluruh rakyat Indonesia yang sudah bosan bertengkar dan rindu bersatu.

Media sosial kita pun berganti tema. Broadcast kebencian dari pendukung fanatik kedua kubu politik jauh berkurang bukan? Berganti dengan broadcast jadwal pertandingan dan update perolehan medali.

Ribut-ribut soal politik tak bikin kita jadi juara Asian Games! Kita cermati sajalah urusan dukung-mendukung politik ini dengan wajar, tanpa terjebak fanatisme buta terhadap Jokowi atau Prabowo.

Ayo kita bawa Energy of Asia ini menjadi Energy for Indonesia. Jadikan pengalaman di Asian Games sebagai kenangan indah bahwa Indonesia itu kuat karena bisa bersatu dalam perbedaan. Jangan sampai lupa! Kalau besok ada yang sebar-sebar broadcastkebencian lagi, Anda balas saja dengan foto Jokowi-Prabowo pelukan dan teriakan, "Siapa kitaaa? INDONESIA!"

ENERGY OF ASIA

ENERGY OF ASIA

56 tahun lamanya hingga akhirnya kesempatan menjadi tuan rumah Asian Games akhirnya datang. Kita pernah menjadi tuan rumah pertama kali pada 1962, saat usia Republik kita masih muda, 17 tahun. Pemerintah kita saat itu punya mimpi besar, agar Indonesia dilihat oleh dunia. Asian Games adalah pesta olahraga Asia yang dirintis ketika kekuatan ideologi imperialisme barat mulai runtuh dan bangsa-bangsa di Asia mulai mendapat kemerdekaannya. Artinya, Asian Games menjadi momentum bagi lahirnya nasionalisme dan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia.

Ditengah dahaga panjang kita akan prestasi dunia olahraga saat ini, kita ingin bangsa kita bisa merasakan kembali semangat dan mentalitas sebagai pemenang dan juara dari kemenangan yang lahir dari setiap arena pertandingan. Indonesia butuh pencapaian baru, sebuah tonggak, suatu milestone, yang dibangun oleh tangan dan kaki generasi terbaru.

Dalam keikusertaan Indonesia di Asian Games, selain menjadi tuan rumah untuk yang kedua kalinya setelah tahun 1962, Indonesia kali ini akan mengirimkan sebanyak 1.388 orang yang terdiri dari 938 atlet, 396 ofisial yang akan mengikuti 40 cabang olahraga yang dipertandingkan.

Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang ini, dukungan 263 juta penduduk Indonesia berada di belakang para pahlawan olahraga, untuk berkumandangnya Indonesia Raya dan berkibarnya Bendera Merah Putih, dari setiap arena yang melahirkan kemenangan.

Slogan kita Energy of Asia. Sifat energi tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan, dan hanya dapat berubah bentuknya, oleh karena itulah Energy of Asia yang sudah ada dalam semangat dan gelora bangsa ini dalam menyelenggarakan Asian Games 2018 akan berubah bentuk menjadi semangat yang menyatukan bangsa-bangsa di Asia.

Ini Asian Games kita, ini pertarungan di kandang kita. Ini adalah sejarah yang harus kita ukir dengan tinta emas. Semoga Allah meridai perjuangan kita semua, Ayo Indonesia, Indonesia Juara!

BENCANA

BENCANA

Entah mengapa, bencana alam di negeri ini hampir selalu dihubungkan --bahkan secara spontan-- dengan hukuman Tuhan. Sejak gempa dan tsunami Aceh pada 2004, sampai gempa NTB baru-baru ini, anggapan itu selalu saja mengemuka. Saya tak hendak membahas kebenarannya. Yang jauh lebih gawat adalah narasi-narasi kebencian dan yang menyertainya. Di hadapan sesama warga-negara yang tertimpa musibah, mengapa reaksi spontan justru mengutuk atau membenci, alih-alih membantu atau paling sedikit bersimpati?

Di mana pun dan kapan pun, mengutuk atau menyalahkan korban selalu memalukan. Apalagi korban bencana alam. Adalah hak masing-masing untuk menganggap bencana alam sebagai --untuk mengutip kicauan Tifatul Sembiring tentang gempa Mentawai 2010 silam-- "kutukan Tuhan karena kekafiran mereka." Pun kalau benar demikian, dan Anda sungguh meyakininya, cukup katakan dalam hati saja, kemudian singsingkan lengan baju untuk membantu, sebab bantuan Anda jauh lebih penting daripada pengetahuan apakah gempa itu azab atau karena pergeseran dan tubrukan lempeng bumi.

Semoga kita, yang cukup mengerti apa artinya bela rasa bagi sesama yang sedang menderita, memiliki hati seluas samudra untuk merangkulnya.

DETIK DETIK

DETIK DETIK

Kita nantikan saja detik-detik menegangkan ini dengan santai. Sesekali menonton tingkah polah politikus yang selalu dinamis –untuk tidak mengatakan tidak konsisten atau plin plan. Sebagai penonton, tentunya hanya komentar dan harapan yang bisa kita berikan. Harapan, mungkin tampaknya sangat absurd dalam kontestasi politik. Namun, doa atau harapan ini dalam konsepsi politik Islam sangat berperan penting. Dalam pilar negara.

Selain dua pilar ulama dan umara, ada dua pilar yang juga penting untuk diperhatikan. Pertama, aghniya', para hartawan-dermawan, kaum pemodal, pengusaha, atau bahasa ekstremnya para kapitalis. Mereka ini dalam kontestasi politik terbukti sangat menentukan. Tidak ada politisi yang tidak berkolaborasi dengan para pemodal, demikian pula para capres kita. Kedua, para fakir miskin (rakyat) seperti kita ini yang dalam redaksi hadis nabi tentang empat pilar ini disebutkan bi du'ai alfuqara' (doanya para fakir-miskin). 

Dalam teori negara demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Rakyat yang notabene hanya penonton ini akan mampu menentukan hasil akhir kontestasi. Betapapun hebat strategi politik, lincahnya manuver, lihainya akrobat yang dimainkan, rakyatlah yang akan menentukannya. Wahai para capres-cawapres, silakan beri kami pertunjukan yang menarik!