Monday 5 December 2016

PILIHAN


Ketika Jono memutuskan memilih Jana sebagai kekasih, seluruh keluarga tersentak. Bagaimana mungkin seorang laki-laki aktif organisasi, sosial tinggi, pendididkan tinggi, dengan prestasi gemilang, memilih Jana,--seorang perempuan biasa dan bahkan tertekan keluarga--dan mengabaikan Rani, dokter lulusan kampus ternama yang telah menyatakan kecocokan dengan Jono. Hanya karena kasihan, jiwa sosial yang tinggi dan ingin menolong dengan harapan bisa merubah dan mengangkat derajat dan nantinya dapat memupuk kepercayaan dengan pengalaman yang sudah diterima dalam kegiatan organisasinya.
Tidak ada yang mendukung keputusan Jono--bagi orang tua dan saudara-sadaranya, ini mustahil. Semua berkata, hubungan ini tak sepadan. Si perempuan biasa sangat beruntung mendapatkan Jono.
Namun waktu kemudian menjawabnya.
Sebuah peristiwa membuat Jana tidak dapat melakukan apa-apa yaitu sakit, nyaris tidak bisa apa-apa. Namun Jono tekun dan ikhlas yang merawat Jana dari bangun tidur hingga kembali tidur. Mengurus semua kebutuhannya tanpa keluh kesah, tak kenal lelah.
Mereka yang dulu mencela Jono, kini semakin mencela dengan keputusan tersebut,.Sungguh beruntung Jana menjalin bersama Jono yang memiliki jiwa sosial yang luar biasa, namun Jana setelah sehat dan di beri kepercayaan serta diajarkan cara kegiatan dengan dunia luar, dalam waktu yang tidak lama dengan hasil yang sangat fantastis berhasil besar, Jana bisa sekolah tinggi dengan kepercayaan tinggi masih disemangatin Jono, dan seloanjutnya bekerja di bidang sesuai jurusannya dan punya jabatan lumayan. karena pergaulanya luas dengan kenal berbagai kalangan, Jono telah dilupakan .Jana telah bersanding dengan orang lain yang lebih mapan dari Jono. kata orang "kacang lupa dengan kulitnya". tragis emang endingnya.
Bagian cerita di atas merupakan penggalan cerita dari pengggalan cerita Laki-laki luar biasa bisa merubah perempuan biasa menjadi luar biasa tapi balasanya tidak setimpal. Sebuah kisah yang terinspirasi kejadian nyata, yang membawa saya pada perenungan betapa hidup adalah pilihan.
Beragam pilihan harus dibuat dalam hidup, kadang ditentang lingkungan sekitar, akan tetapi kemudian waktu membuktikan. Tepatkah, kelirukah pilihan yang diambil? Dan hidup memang selalu tentang pilihan. Setiap kita dituntut untuk mampu menetapkan pilihan yang tepat. Bahkan freedom of will, kebebasan memilih yang membuat manusia karenanya lebih mulia, atau sebaliknya lebih hina dari ciptaan Allah lainnya.
Saat kecil manusia memang tidak mempunyai kekuasaan penuh untuk memilih, masih dikendalikan orang dewasa di sekitar. Sebagian besar dari kita, dulu tidak diberi pilihan, harus sekolah. Tapi dalam keadaan demikian pun punya pilihan, apakah mau belajar sungguh-sungguh atau malas-malasan. Berteman atau lebih suka menyendiri, ingin mendengarkan nasihat guru atau mengabaikan.
Semakin bertambah usia, kita kian punya kebebasan memilih. Saat kuliah, kita bebas mau kuliah di jurusan apa pun yang kita suka. Lalu setelah menjadi sarjana, juga bebas memilih ingin bekerja di mana. Tidak mesti sesuai latar belakang pendidikan.
Bagaimana dalam beragama? Kebanyakan kita hanya mengikuti apa yang diajarkan orang tua. Akan tetapi setelah beranjak dewasa kita pun mulai memilih. Apakah ingin menjadi orang yang mengimani kepercayaannya atau sekadar menyandangnya sebagai status. Apakah ingin menjalankan ajaran agama, atau sebatas simbolis saja.
Dalam kehidupan cinta kita juga memiliki kebebasan memilih. Bebas memilih untuk mencintai atau menolak cinta seseorang. Kita berhak memilih pasangan yang ingin dinikahi.
Demikian juga dengan dunia politik, sebagai warga negara kita bebas akan mendukung partai politik mana. Kita bebas menentukan calon pemimpin. Apakah kepercayaan kita letakkan pada sosok yang memberikan kinerja terbaik untuk masyarakat atau hanya sibuk dengan kekuasaan. Apakah pemimpin yang bekerja atau sekadar mengumbar janji saat kampanye. Memilih yang memberi ketenangan atau justru yang menciptakan kecemasan. Bahkan kebebasan berpolitik, termasuk di dalamnya kebebasan tidak memilih, kebebasan berpendapat di muka umum.
Akan tetapi penting diingat bahwa setiap pilihan tentu memiliki konsekuensi.
Jika salah memilih menu di restoran, mungkin kita hanya kehilangan selera tapi tetap mendapatkan energi. Kalau salah memilih pasangan, maka bisa jadi akan mengalami lika-liku pedih dalam kehidupan rumah tangga. Bila salah memilih pemimpin mungkin akan banyak yang menanggung kerusakan yang diakibatkannya.
Juga perlu diingat bahwa pilihan kita dibatasi oleh pilihan orang lain. Jika kita berseberangan dengan pilihan orang lain, maka sangat memungkinkan akan terjadi gesekan. Karena itu pula dalam kehidupan masyarakat kita mengenal toleransi, aturan, serta hukum. Hukum adalah aturan yang mengatur batas-batas pilihan seseorang. Menghormati hukum berarti menghormati pilihan sendiri dan pilihan orang lain.
Kita tidak pernah bisa menjamin bahwa pilihan yang diambil selalu benar. Kadang, pilihan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengetahui tepat atau melesetnya.
Beberapa pilihan lebih mudah dan bisa diprediksi kemungkinannya, akan tetapi banyak pilihan memberikan hasil yang berbeda dari perkiraan.
Pada akhirnya, hidup bukan hanya soal memilih keputusan yang tepat bagi kebahagiaan di dunia, melainkan juga mempertimbangkan apakah pilihan tersebut sekaligus akan menyelamatkan kita di akhir

SUPER 212


AKSI 2 Desember telah berlalu. Sejak awal sudah digaungkan bahwa kegiatan ini akan berjalan damai hingga muncul istilah ‘aksi super damai’ yang diisi doa bersama. Dan, memang hingga aksi berakhir, semua berlangsung, tertib, aman, dan damai.
Ini tentu patut disyukuri. Tak hanya bagi pemerintah, rakyat Jakarta dan mereka yang mengikuti aksi. Seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke pun tentu menyukurinya.
Menyukuri, karena negeri ini bukan hanya Jakarta. Apa yang terjadi di Jakarta, ibarat tubuh maka di ujung kuku yang sakit akan dirasakan seluruh badan. Begitu pula yang akan terjadi jika Jakarta rusuh. Memang imbasnya bisa jadi bukan dalam bentuk kisruh di daerah, tapi hancurnya perekonomian yang akan dirasakan di seluruh negeri.
Negara ini bukan hanya Jakarta. Ada 34 provinsi 514 kabupaten/kota, lebih 81 ribu desa/kelurahan di Indonesia, diisi lebih 250 juta jiwa manusia. Pastinya sebagian besar sangat berharap hidup damai, tak ada gontok-gontokkan sesama saudara sebangsa.
Dalam perjalanan bangsa ini hingga menjadi sebuah negara merdeka pada 17 Agustus 1945, sejarah membuktikan rakyat Indonesia mampu hidup berdampingan. Umat Islam yang mayoritas, tak mengusik mereka yang minoritas. Semua bisa menjalankan ibadah dengan damai dan saling hormati.
Meski ada riak sempat terjadi di beberapa daerah berupa ketegangan dengan motif agama, namun toh akhirnya kini semua kembali damai. Lantaran memang sifat dasar bangsa Indonesia sejak nenek moyang adalah cinta damai tanpa membeda-bedakan.
Bangsa ini pun ada dan merdeka berkat perjuangan seluruh bangsa, tanpa membedakan suku, golongan, maupun agama. Itu karena semua bisa saling hormati, saling ayomi, gotong royong, musyawarah untuk mufakat, yang merupakan nilai-nilai dasar yang ditanamkan nenek moyang hingga founding father.
Nilai ini kemarin telah ditunjukkan oleh semua elemen bangsa ini, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, petinggi dan aparat keamanan. Pada dasarnya, dengan nilai itu lah Indonesia kini menjadi negara besar. Negara yang bisa dibilang super. Super karena tercatat merupakan negara berpenduduk terbanyak kelima di dunia.
Super karena merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Super karena merupakan salah satu negara negara yang memiliki suku bangsa terbanyak di dunia.
Dengan kelebihan tersebut, apa yang dilihat dunia dari aksi super damai yang berlangsung dan berakhir indah kemarin itu? Dunia akan melihat, sebuah negara mayoritas muslim dengan multi-keberagaman mampu menjaga kedamaian.
Kemarin, negeri ini telah menunjukkan kesuperannya. Bukan karena jasa seseorang maupun kelompok atau organisasi. Bukan pula karena jasa pejabat negara maupun para pemimpin negara. Tapi semua itu karena jasa seluruh anak bangsa ini yang mampu menjaga kedamaian di tengah keberagaman dan perbedaan

ASAL MBACOT


Jaman dulu jadi kuli tinta di kotabaru Kalimantan Selatan , seorang teman bercerita bahwa dia ditanyai ‘orang penting BIN ’ perihal saya,.pada waktu pilkada terlalu berani dan vokal bikin kegaduhan anggota. apakah saya ini termasuk golongan JIL (Jaringan Islam Liberal). Kontan saja, teman saya ini tertawa geli.
Sebenarnya saya sudah sering dituduh demikian, bahkan dikeluarga saya sendiri . Ada yang menghubungkannya dengan latar belakang pekerjaan saya yang kebetulan bermitra dengan ‘kafir’. Ada yang mengaitkannya dengan pendapat-pendapat saya yang kadang tidak sejalan dengan arus utama. Ada pula yang menggunakan label itu untuk menyingkirkan saya secara politik. Mungkin ada juga yang sekadar ikut-ikutan belaka.
Saya pribadi tidak terlalu ambil pusing dengan cap itu. Sebagai profisional kerja, saya sudah selayaknya tidak terikat dengan pendapat manapun, baik liberal, radikal, ekstrem atau moderat.
Bagi saya, melaksanakan pembelajaran yang ada, mengikuti seminar dan diskusi, juga berarti bersedia mendengarkan perbedaan pendapat. Yang terpenting, setiap pendapat ada argumennya, ada dalilnya, alias tidak asal bicara.
Namun rupanya, banyak orang yang tidak tahan dengan perbedaan itu. Apalagi perbedaan itu menyerbu menderu bagai kerumunan lebah. Melalui media, khususnya media sosial, perbedaan pendapat sangat marak. Perbedaan biasanya makin tajam jika menyangkut soal agama dan politik, seperti kasus Ahok yang belum juga dingin. Hampir tiap orang ingin ikut berbicara dan berpendapat, sehingga sangat bising!
Karena itu, wajar jika ada orang yang galau dan bingung. Inilah rupanya harga yang harus dibayar untuk kebebasan di alam demokrasi. Membaca pendapat yang berseberangan, apalagi kritik pedas, sedikit banyak akan membuat orang galau dan resah. Selain itu, banyaknya pilihan pendapat yang membanjiri saluran-saluran informasi dapat membuat orang bingung untuk memilih, manakah kiranya yang diikuti.
Mungkin karena tak tahan dengan kegalauan itu, akhirnya orang menutup telinga dari suara yang berbeda dengan menuduh lawannya liberal, radikal, sesat, kafir dan seterusnya. Tidak ada lagi keinginan untuk saling belajar dan melakukan introspeksi. Secara lahiriah memang terjadi dialog, tetapi pada hakikatnya hanyalah monolog. Mereka sama-sama berbicara, tetapi sudah tidak saling mendengarkan.
Dengan demikian tidak mengherankan jika perbedaan pendapat akhirnya berubah menjadi debat kusir. Kata-kata kasar dan sumpah serapah ditumpahkan tanpa menimbang sopan santun. Jangankan orang biasa, orang-orang yang dalam budaya kita dihormati, juga dicaci maki. Keadaan bertambah parah disebabkan oleh penyebaran berita-berita bohong oleh pihak tertentu yang sengaja memanas-manasi.
Dalam keadaan seperti ini, sangat bisa dipahami, muncul kerinduan akan seorang pemimpin kharismatik yang kuat dan bertangan besi. Diam-diam, sebagian orang ingin keriuhan perbedaan itu dapat diakhiri dengan kekuasaan otoriter yang dapat menyumbat mulut-mulut yang berbeda suara. Dengan ikut-manut pada satu pendapat, orang tidak perlu lagi berantem, dan tidak perlu pula bingung memilih.
Padahal, masalahnya adalah, ketika seseorang memiliki kewenangan berpendapat yang nyaris mutlak, maka dia cenderung akan menjadi makhluk yang berbahaya. Dia bisa menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Apalagi, sebagai manusia, seseorang tidak selalu benar dan tepat dalam berpendapat. Tanpa mau mendengarkan yang lain, sangat mungkin dia akan keliru.
Sebagaimana Tuhan memberikan kita dua telinga dan dua mata, kita harus mau mendengar segala suara yang bergema, dan melihat segala sesuatu yang dapat dilihat, jauh ataupun dekat. Semakin banyak informasi yang didapat, akan semakin arif pendapat yang diputuskan. Jika pun kita masih bingung dan tidak bisa menentukan pilihan, setidaknya, kita tidak sok tahu dan tetap rendah hati.
Sudah menjadi hukum kehidupan, setiap yang ekstrem akan memicu reaksi ekstrem pula. Perbedaan pendapat yang tajam adalah wujud pertentangan esktrem itu. Ketika keduanya berjumpa dan bersedia saling mendengarkan, niscaya akan lahir keseimbangan baru. Namun, jika masing-masing pihak ingin menang sendiri, maka akan terjadi adu kuat, dan sangat mungkin berujung pada tindak kekerasan.
Jadi, manakah yang akan kita pilih, titik imbang atau adu kuat?

GARA-GARA SOSMEDI


Saya kadang heran kok bisa ya seorang temen saya yang satu ini. Dulu jaman sekolah bisa berubah-rubah dari sekolah dasar sampai kuliah dan berkeluarga. dari kehidupan yang tertekan sampai kehidupan bebas bahkan super liar. Tapi dalam menapaki dunia sekarang dimana kata orang sekarang dunia kejam. malah dia bisa super tenang bahkan berbagai terpaan masalah misal dengan ditipu rekan kerja berjumlah sampai Milyaran tapi cukup dengan kata. itu bukan milikku dan heranya lagi tidak berusaha mencari kepradaan milyaran tersebut dan bukan itu saja masih banyak masalah. bikin terheran dan geleng kepala saya. Susah cari orang seperti itu. Sabar dan menerima dengan lapang dada.
Seorang teman bercerita, konon katanya, dia punya masalah dengan mertuanya gara-gara ribut kubu Ahok dan Anti-Ahok. Anggap saja begini: Ia dan suaminya adalah golongan yang menganggap Ahok tidak menista Alquran, sedangkan mertuanya adalah kubu yang menuntut kasus mulut comel Ahok diusut hingga tuntas.
Dua kubu ini berdebat seru di grup-grup whatsapp serta akun-akun sosial media mereka perihal alur kasus di Kepulauan Seribu, aksi bela Islam jilid pertama, jilid kedua hingga jilid-jilid yang akan datang. Lama kelamaan, tanpa mereka sadari, debat tekstual itu makin panas. Kebetulan, baik menantu maupun mertua sama-sama terpelajar pula. Mereka berdua merasa punya sikap beragama yang dilandasi konsekuensi logis dan pijakan perspektif yang kuat. Saya pun menjawab dengan serius,"Kalau mau berantem itu soal diskusi mau beli tanah atau debat harga rumah aja kan lebih keren. Berantem kok gara-gara Ahok…"
Rasa-rasanya, sejak akun sosmed kita jarang adem ayem pasca pilpres dua tahun lalu, fenomena semacam ini tidak ada habisnya. Coba diingat-ingat, siapa di antara kita yang belum baikan sama sahabat gara-gara beda pilihan calon presiden, padahal Jokowi sama Prabowo sendiri sudah kencan berkali-kali mulai dari nyari kodok hingga naik kuda. Atau, siapa diantara kita yang sering membatin dalam hatinya semacam ini: "Si A itu sebetulnya baik sih, dia temanku sejak kecil, dia suka membantu orang lain…tapi kok sekarang jadi buzzer politik ya…tapi kok sekarang jadi bala jonru ya… tapi kok sekarang posting di akunnya bego banget ya…". Dih, hayo, ternyata nggak saya aja!
kalimat tidak berpanjang-panjang itu mestinya justru menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk bersama-sama mengakui ketololan diri masing-masing dan merasa konyol untuk larut dalam aktivitas sindir menyindir di sosial media karena merasa lebih saleh dan bertakwa. Ada juga lho yang kadarnya sudah sampai sulit tidur gara-gara hari ini kalah debat dalil dan kalah argumen ilmiah, dan dalam batin berniat untuk melanjutkan debat lanjutan di hari esok dengan persiapan dukungan data yang lebih lengkap. Halo, Ibu-ibu, itu gorengan ikan di dapur gosong sudah diangkat?
Agama itu kan mestinya sederhana: biar tenang, biar damai, biar rajin bekerja, biar nambah saudara, biar sayang keluarga, biar saling tolong menolong dalam kebaikan. Lah, zaman sekarang, kebanyakan cabang dewan debat aliran agama, udah nggak ada bedanya sama hatersnya Agnes Mo atau fansnya JKT 48. Memang betul sih, di mimbar-mimbar yang mereproduksi agama secara instan, ia seolah-olah menjadi alat untuk membangun sebuah kerajaan utopis yang mustahil bagi kehidupan manusia.
Semesta itu berbentuk dunia Islam dalam sempitnya pemikiran ideologi-ideologi tertentu yang menolak realitas kemanusiaan. Mereka menghilangkan sifat Ar Rahman Allah yang memayungi seluruh makhluk. Maka, muncul generasi baru yang suka marah, mengumpat dan menyerang umat lainnya sebab gagal mewujudkan cita-cita hidup yang seragam itu.
Generasi anti-realitas itu jumlahnya terus berlipat ganda dan semakin nyata. Banyak dari mereka bahkan sudah tidak lebih percaya dan tidak menaruh adab pada orang tuanya sendiri. Mereka memasrahkan akal sehatnya pada guru yang jauh dari kapasitas murabbi ruuh. Demi ideologisasi keseragaman yang mustahil, mereka rela meninggalkan orang tua, dan pelan-pelan juga membuat batas pada saudara, sanak keluarga, serta teman-teman dekatnya sendiri.
Mereka menggunakan hadis seruan jihad (perlawanan) untuk mendukung keputusannya, sedangkan tugas utama manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah fil ardh, atau penjaga yang baik bagi bumi seisinya. Gelombang pendakwah kalah yang tidak siap pada berbagai kondisi iman dan ragam manusia tidak akan mencipta harmoni, melainkan chaos satu ke chaos lainnya.
Seperti pula Almarhum Gus Dur, memang sosok guru yang cenderung unik. Keunikan itu dapat kita saksikan lewat hal-hal yang paling dekat dengan beliau sendiri. Sebagai pribadi yang "nyeni" dan pandai bergaul dengan semua golongan, mereka justru kerap dianggap aneh dan diragukan keulamaannya. Gus Mus bertopi ala penyair Pablo Neruda, membuat sajak dan melukis.
Kuntowijoyo memang pernah bertanya,"Jika agama tidak boleh kubawa berpolitik, apa ia mesti disimpan dalam lemari?" Kita tentu boleh bersepakat dengan Kuntowijoyo, tetapi yang ia maksud dengan kata "berpolitik" tentu saja bukan sekadar sotoy di sosial media. Bolehlah menguji nilai Islam mana yang lebih baik untuk membangun sekolah, bolehlah kita mengadu konsep Islam yang lebih baik dalam mewujudkan ekonomi berasas keadilan, bolehlah kita berpikir konsep Islam bagian mana yang anti macet Jakarta dan bisa mengurangi pengangguran. Diskusi yang begitu sih sepertinya nggak bakalan berisik. Hehehe…
Jadi, kalau hari ini atau besok sedang debat agama trus ngomel-ngomel sendiri, coba dicek itu agama atau apa kok bikin stres.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari

MAKAR APA MAHAR


Makar kalau bawa senjata. Kalau bawa sajadah namamya Mahar. Makar harus diakui rada menyeramkan. Seolah saat ini negeri kita yang damai ini seperti berada dalam keadaaan genting. Sedemikian gentingkah keadaan negeri kita saat ini?
Boleh jadi, dari kacamata aparat keamanan --setidaknya untuk saat ini– suhu politik dalam negeri memang sedang mengarah ‘mendidih’. Aneh memang rasanya, ujug-ujug Kapolri Tito Karnavian menyatakan ada pihak-pihak yang berusaha melakukan makar terhadap pemerintahan saat ini.
Dalam analogi sederhana, kata itu memiliki makna berlebihan. Kenapa begitu phobianya aparat keamanan kita, sehingga harus mengondisikan negeri ini seolah dalam keadaaan genting. Kata ‘makar’ pun mengedepan dan terpublikasi luas ke seluruh negeri.
Padahal, jujur harus dikatakan, keadaan negeri kita dalam suasana yang kondusif. Kalaupun hangat, hanya Kota Jakarta semata. Kita melihat beberapa hari terakhir, Presiden Jokowi santai-santai saja tidak gelisah. Presiden secara berurutan mengundang makan siang dan minum teh para pemimpin partai politik dengan penuh canda dan tawa.
Adanya keinginan sekelompok orang ingin menggelar keramaian akbar lanjutan, bukanlah sesuatu yang memaksa negara ini disaput kekhawatiran yang berlebihan. Harus kita akui memang, ketika suatu kondisi ditarik-tarik ke ranah di luar keadaan yang wajar, pastinya melahirkan suatu prasangka berlebihan. Dan ini pula yang terjadi pada sikap aparat keamanan kita dalam menangkap rencana keramaian massa pada 2 Desember mendatang.
Kapolri secara gamblang menyebut aksi keramaian mendatang sangat mungkin disusupi dengan agenda terselubung untuk melakukan aksi makar terhadap pemerintahan yang sah. Dan, kabarnya, Polri punya data intelijen atas maksud-maksud jahat terhadap negara.
Benar tidaknya data intelijen itu, tapi logika sederhana kita melihat suatu yang absurd dari sikap aparat keamanan di negeri ini. Setidaknya, kita bisa mencermati peristiwa keramaian 4 November dimana Presiden Jokowi –yang konon berdasar data intelijen– menuding ada aktor politik ikut bermain di sana. Faktanya, hingga hari ini, siapa aktor dimaksud presiden tidak jelas.
Artinya, kalau petinggi Polri kembali memakai data intelijen tentunya harus dikorelasikan dengan realitas yang ada saat ini.
Fakta bahwa keramaian massa belum lama terjadi dan akan kembali dihelat umat Islam, sejatinya adalah murni menyuarakan penegakan hukum secara adil. Rasanya tidak berlebihan kalau mereka menuntut ditahannya Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang sudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama.
Boleh saja polisi berpendapat bahwa tidak ditahannya Ahok karena memang tidak mengharuskan seperti itu karena adanya alasan subjektif dan objektif. Di sini sebenarnya dituntut keprofesionalan polisi dalam menjabarkan hukum secara benar.
Dan, persoalan itu pun menjadi semakin absurd ketika kata makar tiba-tiba bergelinding begitu saja tanpa kontrol. Entah kemana maksud dari makar itu.
Jangan sampai seperti sebelumnya kata aktor politik yang terasa begitu jamak menjadi bias akhirnya dan menimbulkan syak wasangka di antara anak bangsa.
Kita semua ingin negeri ini sejuk tanpa kegaduhan yang tidak perlu. Sampai kapan kita bisa maju kalau saban kali terus dijejali kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan yang tiada berujung.

KAMU ADA MANA


Dulu ketemu temen kuliah yang sudah mapan saya tanyai sejumlah pengusaha muda . Kebanyakan mereka ahli di bidang ilmu alam. saya bertanya, “Apa yang Anda sukai di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora? Apakah Anda suka sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, filsafat atau sastra?”
Sebagian pengisaha muda itu tampak terkejut, tak menyangka ada pertanyaan seperti itu. Ternyata cukup banyak juga yang berwawasan sempit perihal ilmu sosial dan humaniora. Mungkin hal ini akibat pembidangan ilmu yang kaku. Mungkin pula karena anggapan yang salah bahwa ilmu alam lebih tinggi dari ilmu sosial dan humaniora, sehingga anak pintar ditaruh di kelas IPA, dan anak bodoh di kelas IPS.
Padahal, memahami hidup manusia tak kalah sulit, bahkan lebih sulit, dibanding memahami alam. Orang yang memahami alam dan sibuk meneliti di laboratorium tetapi tidak memiliki wawasan yang memadai tentang manusia, cenderung bermasalah secara sosial. Dia bisa menjadi manusia apatis, yang tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Lebih parah lagi jika dia merasa benar sendiri dan arogan.
Karena itu, orang perlu memiliki wawasan tentang hidup manusia. Melalui karya sastra seperti cerpen, novel, roman bahkan puisi misalnya, kita akan belajar tentang manusia dengan segala kebaikan dan keburukan sifatnya. Kita akan belajar tentang aneka perasaan manusia seperti cinta, benci, dendam, takut, harap dan lain-lain. Sastra dapat menyajikan hidup manusia yang rumit secara lebih utuh.
Selain ahli ilmu alam, orang yang mendalami kajian agama kadang juga bersikap kaku terhadap bidang ilmu lainnya. Sebagai umat Islam, kita tentu harus membaca Alquran. Tetapi membaca koran juga penting. Ilmu sosial, humaniora dan ilmu alam juga penting.
Selain Alquran , bukankah alam semesta dan diri manusia juga termasuk ayat-ayat Tuhan? Semua itu harus dibaca, dikaji dan direnungkan.
Kecenderungan kajian agama yang normatif, yang selalu menekankan apa yang seharusnya menurut kitab suci dan pendapat ulama, tanpa menimbang kenyataan yang terjadi di masyarakat, merupakan wujud dari ketertutupan terhadap kajian bidang ilmu lainnya itu. Padahal, agama hadir untuk diamalkan manusia yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu, yang bergumul dalam sejarah.
Orang boleh saja berbicara tentang agama tertentu sebagai ‘musuh’, dengan merujuk kepada beberapa ayat Alquran . Namun orang juga harus ingat, dia berada di Indonesia, negeri yang sangat beragam.
Di atas kertas, Islam memang mayoritas. Tetapi jika dilihat penduduk tiap provinsi, kenyataannya akan berbeda. Di beberapa daerah, muslim justru minoritas. Lantas, apakah kita ingin perang saudara?
Di sisi lain, kesenjangan sosial yang semakin lebar, tingginya angka pengangguran dan korupsi yang merajalela, adalah daun kering yang siap dibakar kapan saja, termasuk dengan ‘bensin’ agama. Sayangnya, kalangan yang mencoba menawarkan pemahaman agama yang terbuka dan kontekstual kadangkala juga kurang peduli bahkan menutup mata terhadap sebab-sebab sosial ini.
Dengan demikian, kita tampaknya menderita kekurangan empati, yakni kemampuan membayangkan seolah-olah diri kita berada pada posisi orang lain. Pernahkah Anda membayangkan diri sebagai anggota dari agama dan etnis minoritas? Sebaliknya, apakah Anda dapat membayangkan diri Anda dari kelas menengah ke bawah sementara pemilu sama sekali tidak mengubah kesejahteraan hidup Anda?
Karena itu, sudah saatnya kita keluar dari kotak sempit yang mengungkung diri kita. Kita perlu saling memahami dan menumbuhkan rasa empati. Kita tidak hanya perlu berbicara, tetapi juga mendengarkan dan merasakan. Sesekali kita perlu menangis dan tertawa dengan membaca novel atau menonton film. Kita pun sesekali perlu menangis dan tertawa menghayati berbagai kejadian nyata di sekitar kita.
Namun yang pasti, kita takkan pernah bisa menangis dan tertawa dengan tulus, jika kita tak berempati!

MIRIS

Saya kadang miris. Temen sering nyinggung jangan terlalu menampakkan keislaman atau kearab-araban, katanya tidak gaul, ketinggal jamankah atau mereka tersinggung belum siap berubah keislaman. apa lagi saya tau persis jaman dulu dan sekarangpun masih seperti dulu hanya saja sekarang lebih mapan
Sesungguhnya kita seharus bangga dengan keislaman kita "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”(lihat Al-Maidah : 54 - 56).
Mari membaca Alquran pada setiap kesempatan dalam keseharian, tiada hari tanpa tilawah. Ia adalah santapan rohani bagi jiwa kita. Namun tidak cukup hanya membaca, kita perlu meresapi dan merenungi kandungannya.

Imam Nawawi berkata, i’lam anna tilawatal-qur’ani hiya afdhaludz-dzikri, wal-mathlub al-qira’atu bittadabburi, artinya, “Ketahuilah bahwa membaca Alquran adalah zikir yang paling utama, dalam membaca dituntut tadabbur (penghayatan).”
Tadabbur adalah memahami dan menghayati kandungan Alquran , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran”. (lihat QS. An-Nisa 82)
Sudahkah Alquran merasuk jiwa kita. Seorang filosof Pakistan, Muhammad Iqbal, berkata : Make the Quran as if it is given for you. Artinya, “Jadikanlah Alquran itu sepertinya turun untukmu”.
Seorang mantan Perdana Menteri Inggris, Gladstone, pernah berkata; It’s useless we fight against muslims. We will not be able to dominate them so long as there is the Quran in the hearts of the youth. Our duty now is to revoke the Quran of their hearts. Only with this way we will win and control them.
Artinya, “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam ini bertengger Alquran. Tugas kita sekarang adalah mencabut Alquran di hati-hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.”

RAGU


Dilanda keraguan yang parah. Keraguan itu berawal dari banyaknya aliran pemikiran Islam yang berkembang. Tiap-tiap aliran itu mengaku paling benar dan menuduh yang lain sesat bahkan kafir. Semua aliran itu dipelajarinya, dan ternyata masing-masing memiliki argumen yang kurang lebih setara.
Dalam kebimbangan, yakni jalan yang ditempuh manusia dalam mendapatkan pengetahuan. memulai dengan indra. Indra yang paling utama adalah mata. Mata ternyata tidak bisa dipercaya. Bayangan tampak tak bergerak, tetapi sejurus kemudian berpindah. Bintang tampak kecil. Tetapi menurut ilmu astronomi, bintang itu besar sekali, bahkan melebihi bumi.
Indra didustakan akal. Tetapi dapatkah akal ditolak? ‘Ya’, Saat kita tidur, kita bermimpi. Dalam mimpi, semua seolah nyata. Tetapi setelah terjaga, semua sirna. Bisa jadi, mimpi itu sebenarnya juga nyata, tapi di alam yang berbeda. Nabi bersabda, “Manusia di dunia ini tengah tertidur. Kelak setelah mati, baru mereka terjaga.” Artinya, ada jalur lain di atas akal untuk mendapatkan pengetahuan.
Jalur lain itulah yang ditempuh kaum sufi, melalui pembersihan hati dan pendekatan diri kepada Allah. Jalan inilah pula yang dipilih, yang kelak membuat lebih terbuka. argumen-argumen rasional itu kuat, tetapi penyingkapan ruhani yang langsung dari Allah jauh lebih meyakinkan. Orang yang fanatik terhadap satu pendapat, akan terdinding dari penyingkapan ruhani tersebut.
Jalan terjal yang ditempuh kaum sufi itu tidaklah mudah. Dalam perjalanan itu, keraguan tetap penting agar orang tidak tertipu. Merasa yakin seratus persen berada di jalur yang benar sama buruknya dengan putus asa, merasa tak bisa keluar dari jalur yang salah. Yang terbaik adalah, orang harus terus waspada. Dia harus berada pada posisi antara ‘harap’ dan ‘takut’. Inilah yang membuatnya tetap rendah hati.
Metode keraguan itu bukan saja penting untuk perjalanan ke langit, tetapi juga di bumi. Meski mantap dengan pendapat yang dipilihnya, orang yang rendah hati selalu menyisakan ruang cadangan, sekecil apapun ruang itu, untuk menyangsikan pendapatnya. Sebaliknya, orang yang yakin penuh tanpa cadangan keraguan sedikitpun akan menjadi angkuh dan menutup telinganya dari pendapat orang lain.
Banyak sekali ayat Alquran yang mengingatkan manusia agar mereka rendah hati dan tidak sombong. “Janganlah kalian sok suci. Dialah yang paling tahu siapa yang bertakwa”(QS 53:32); “Janganlah suatu kaum mencela kaum lainnya. Boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari yang mencela” (QS 49:11). Alquran juga menganjurkan manusia untuk saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran (QS 103:3).
Ayat-ayat itu menunjukkan, ruang cadangan keraguan itu penting karena manusia bukanlah malaikat tanpa dosa. Manusia juga bukan Tuhan yang mengetahui segalanya. Keraguan di sini bukan berarti orang meninggalkan pegangan hidup (agama). Hidup tanpa pegangan itu berbahaya. Yang diragukan di sini bukanlah pegangannya, tetapi si pemegang. Apakah benar kita sudah berpegang pada pegangan itu?
Demikianlah, menyisakan ruang keraguan terhadap diri sendiri diperlukan agar manusia tetap rendah hati. Hanya dengan sikap rendah hati itulah, manusia akan saling menghormati dan menghargai.

DEMO TRASI


Saya termasuk orang yang khawatir bahwa demonstrasi 4 November 2016 lalu akan berubah menjadi kerusuhan dan tindak kekerasan. Kekhawatiran itu bertambah karena saya selalu mengikuti berita baik dari media cetak maupun media elektronik, jika hal buruk itu terjadi?
Jumat, 4 November 2016, ternyata memang memuat berita demonstrasi itu di halaman pertama. Setelah menonton dan membaca isi beritanya, saya bernapas lega. Ternyata tak ada tindak kekerasan atau kerusuhan. Jakarta relatif aman!
Selama bulan-bulan terakhir, masalah Ahok ini cukup menguras banyak energi kita. Perdebatan panas sering muncul di media sosial, dari yang santun sampai yang kasarnya minta ampun. Televisi nasional juga tidak ketinggalan mengangkat masalah ini. Berita-berita surat kabar tak kalah bersemangat. Belum lagi obrolan sesama kawan di tempat kerja, di warung kopi, hingga di rumah. Pokoknya heboh.
Dalam suasana panas itu, para pemimpin dan kaum terpelajar mengambil sikap yang beragam. Ada yang dengan gagah berani menuntut agar Ahok diadili, dan ada pula yang membela Ahok habis-habisan. Ada yang menganggap makna ayat yang dikutip Ahok sudah jelas, dan ada pula yang menafsirkannya dari sudut lain. Ada yang bicara, ada yang diam. Ada yang mantap, dan ada yang masih ragu dalam bersikap.
Akhirnya, 11 Oktober 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahok terindikasi melakukan penistaan agama. Namun, ketika ada seruan demonstrasi 4 November itu, Nahdlatul Ulama (NU) melarang warganya ikut serta, dan siap menurunkan Banser Ansor untuk membantu polisi. Selain itu, Muhammadiyah melarang warganya menggunakan atribut organsasi dalam demonstrasi tersebut.
Mereka yang bersemangat ingin menyingkirkan bahkan memenjarakan Ahok kecewa mengapa NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar itu tidak bersatu melawan Ahok? Namun, mereka yang pro Ahok dan/atau pejuang HAM juga kecewa, mengapa dua organisasi itu tidak dengan tegas menolak politik identitas (agama dan etnis) yang jelas-jelas berada di balik anggapan penistaan agama tersebut?
Memuaskan hati semua orang itu mustahil, apalagi dalam kasus sesensitif ini. Sebagai penulis kelas lokal di pinggiran Indonesia, saya berusaha mengingatkan akan bahaya politik identitas dan kemungkinan permainan kapital di balik semua kehebohan ini. Tetapi, saya menulis dengan cara saya sendiri. Saya memaparkan sebuah kisah melalui kisah yang lain. Saya menghindari konfrontasi.
Saya menduga, para pemimpin NU dan Muhammadiyah menghadapi kesulitan yang jauh lebih berat dibanding orang kecil seperti saya. Saya kira mereka bukan orang-orang bodoh yang tidak mengerti bahaya politik identitas. Saya juga yakin mereka sudah mengumpulkan banyak informasi sebelum menentukan sikap. Bahkan sangat mungkin tokoh-tokoh dua organisasi itu sudah bertukar pikiran.
Karena itulah, bagi saya, tidak adanya kerusuhan dan tindak kekerasan di Jakarta saat demonstrasi Jumat lalu sudah merupakan prestasi demokrasi yang harus diapresiasi. Anjuran demonstrasi damai dari para pemimpin demonstrasi di satu sisi, dan sikap NU dan Muhammadiyah di sisi lain, jelas berpengaruh atas demonstrasi tersebut. Artinya, konflik masih bisa dikelola tanpa kekerasan.
Adapun politik identitas, ia tetap menjadi agenda besar demokrasi kita, bahkan demokrasi di Eropa dan Amerika. Bukankah kita tahu apa saja yang dikatakan Donald Trump di Amerika atau Geert Wilders di Belanda? Selain itu, politik identitas biasanya tidak bertepuk sebelah tangan. Jika pihak sana mulai diam-diam menggunakan agama dan etnis, yang di sini tentu terpancing juga melakukan hal serupa.
Kita semua tampaknya perlu introspeksi dan mengaca diri.

MADE IN INYONG


Ada dua kejadian menarik dalam skala nasional belakangan ini. Pertama adalah peristiwa yang berhubungan dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo. Kedua, dan ini lebih besar, peristiwa yang berhubungan dengan pidato Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu.
Substansi keduanya kita sudah sama-sama tahu. Kedua peristiwa itu memberi banyak pelajaran berharga, dalam kapasitas kita sebagai warga masyarakat yang hidup dalam komunitas sosial bernama bangsa Indonesia.
Dari perjalanan sejarah bangsa yang berliku, memberi pemahaman bahwa permasalahan yang berhubungan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), harus diselesaikan dengan sangat hati-hati, penuh kebijakan dan kelembutan. Sedikit kekerasan berlabel SARA akan memunculkan friksi berkepanjangan dan berakibat kepada terjadinya konflik. Taruhannya adalah terdegradasinya kualitas sistem sosial yang akan membawa dampak kepada disintegrasi sosial.
Akibat berikutnya, tentu saja akan menyebabkan terganggunya integritas kebangsaan. Peristiwa itu begitu ramai di jejaring sosial dengan segala macam dimensinya. Sasaran semuanya adalah pada batin kita sebagai sesama warga bangsa, yang secara jujur menunggu dan berharap. Menunggu bagaimana kelanjutan dari peristiwa itu dan berharap semoga tidak terjadi apa apa yang bersifat negatif dalam pergaulan sosial kemasyarakatan, yang pasti terganggu akibat kedua peristiwa dimaksud.
Kedua momentum itu pada tataran media begitu hiruk-pikuk dipublikasikan, khususnya media online. Untuk media cetak tampaknya terbatas dipublikasikan, demikian juga media televisi.
Fungsi pers sebagai media pendidikan dan perekat sistem sosial teruji ampuh dalam kedua peristiwa dimaksud. Identitas sosial dimaksudkan adalah sebuah identifikasi ingroup, pada dimensi kebangsaan yang dibuhul dalam komunitas modern bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konsep mengenai identitas sosial ini digunakan untuk merujuk ke bagian dari konsep diri yang berasal dari kategori sosial orang terkait. Begitu rentan pengaruh dari luar terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, khususnya yang dipicu oleh masalah SARA, sehingga mobilitas sosial menjadi sangat mudah terbentuk dan diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya negatif, dan merusak lem perekat identitas sosial. Ketika hal ini diarahkan, menyebabkan kekaburan sikap, kekaburan konsep dan ketidakjelasan identitas diri di hadapan komunitas sosial dan menjadikan dasar terdegradasinya kualitas identitas sosial.
Inilah yang dimaksudkan dengan krisis identitas sosial yang berpengaruh terhadap pola komunikasi dan persepsi masyarakat. Semuanya serba gamang, ukuran kebenaran menjadi relatif, dan semuanya serba tidak jelas.
Kebersamaan menjadi renggang dan hubungan ingroup semakin jauh. Betapa hal demikian berbahaya bagi kelanjutan sistem sosial.Belajar dari berbagai kejadian, baik di dalam maupun di luar negeri, permasalahan yang berhubungan dengan SARA jika tidak dikelola dengan baik memunculkan kerusuhan. Demikian juga dalam dimensi sosial, hal ini akan mendatangkan krisis identitas nasional. Padahal, jika terjadi krisis identitas nasional, akan memerlukan waktu yang sangat lama memulihkannya.
Saat ini, identitas bangsa kita semakin kabur, tidak jelas. Bangsa Indonesia yang seharusnya mempunyai ciri khas dan jatidiri sendiri, semakin lama semakin terkikis. Rakyat Indonesia seakan tidak bangga menjadi warga Indonesia, dan yang dalam bahasa ekstrem ada yang menyesal kenapa dilahirkan di Indonesia.
Kebanggaan yang luntur pertanda dari krisis identitas sosial, yang menjadi dasar dari identitas bangsa itu di antaranya mulai lunturnya kebanggaan terhadap apa yang ada di dalam negeri sendiri. Paling jelas tampak dan terasakan adalah segala hal yang berbau luar negeri langsung membuat kita terkagum-kagum dan sangat respek. Seakan semua yang berbau luar negeri itu bagus dan kualitasnya lebih tinggi dari apa yang dibuat dalam negeri.
Tatkala sakit pun demikian. Berobat ke luar negeri sepertinya lebih manjur, dibanding dengan rumah sakit di dalam negeri. Padahal, banyak tenaga medis luar negeri yang bersekolah di Indonesia. Kualitas peralatan dan pelayanan di Indonesia pun tidak kalah dengan luar negeri. Hanya karena brain image dan membayar lebih mahal saja, sehingga pesakitan dalam negeri yang berduit lebih cocok berobat keluar negeri.
Akibatnya, ajakan untuk mencintai produk dalam negeri, atau pelayanan prima dalam negeri sendiri seperti yang digembar-gemborkan selama ini hanya sia-sia. Tidak heran, kalau negeri ini menjadi serbuan invasi produk-produk asing..
Harusnya, kita berikan kesempatan kepada industri dalam negeri agar menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan tidak kalah dengan produk luar negeri sehingga pada gilirannya mengubah pola pikir bahwa tidak selamanya dan tidak semua produk buatan dalam negeri berada di bawah produk asing. Hal di atas adalah contoh dari produk konkret yang memberikan saham dalam terciptanya krisis identitas sosial kita.
Masalah lain yang menyebabkan bangsa ini semakin krisis identitas sosial dan harus diakui adalah minimnya tokoh-tokoh yang bisa dijadikan teladan dan panutan di masa kini. Para pejabat publik dan elite politik yang seharusnya menjadi panutan dan teladan cenderung menampilkan sosok yang mengerikan. Cermati, bagaimana mereka ketika berdebat dan beradu argumentasi. Masyarakat bisa menilai betapa argumentasinya cenderung membela kepentingan pribadi dan golongannya.
Pada penampilan lain, tidak sedikit para pejabat publik dan elite politik melakukan tindak pidana korupsi. Pada puncuk pimpinan lembaga tinggi negara sudah begitu banyak terjerat korupsi. Padahal, mereka itu harusnya menjadi teladan dari tindakan rakyatnya. Para wakil rakyat yang seharusnya menjalankan amanahnya sebagai perpanjangan tangan rakyat, untuk menyampaikan aspirasi rakyat, tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Mereka juga banyak terjerat kasus korupsi dan tindakan melawan hukum lain yang sangat jauh dari cermin keteladanan. Mereka cenderung berpikir untuk diri, dan kelompoknya.
Sungguh miris dan memprihatinkan, jika hal ini terus berkembang dan menjadi sebuah dogma kehidu­pan. Kita harus segera menyadari bahaya krisis identitas bangsa ini dengan kembali kepada jati diri bangsa. Bangsa yang mencintai negeri sendiri dengan segala plus minusnya, dengan segala kekhasan yang menjadi latar kehidupan bersama. Dengan demikian kehidupan dari identitas sosial akan terus berkembang ke arah positif sesuai jati diri komunitas sosial bangsa Indonesia. Kita (tanpa kecuali), seluruh warga masyarakat bertanggung jawab untuk terus mengembangkannya.

ISLAM BEDA


“Jika Anda masuk masjid, kemudian keluar. Ternyata sandal Anda hilang. Masjid itu kemungkinan besar adalah masjid NU. Kalau di Masjid Muhammadiyah, yang hilang bukan sandal, tetapi qunut. Jika Anda keluar dan seketika justru masjidnya yang hilang, maka itulah masjid aliran baru.”Demikian lelucon yang saya dengar, khawatir perihal kelompok Islam tertentu yang memperuncing perbedaan menjadi permusuhan.Padahal, manusia itu sama sekaligus berbeda. Begitu pula, umat Islam itu sama sekaligus berbeda. Karena itu, persamaan harus diakui, dan perbedaan harus dihormati.Secara fisik manusia itu sama sekaligus berbeda. Ada perbedaan jenis kelamin, warna kulit, rambut, hidung, mata hingga tinggi badan.Saudara kembar dan berjenis kelamin sama sekalipun, kalau dicermati ternyata memiliki perbedaan tampilan fisik juga. Namun, anatomi tubuh manusia dan unsur-unsur yang dikandungnya relatif sama. Kesamaan inilah yang menjadi dasar pengembangan ilmu kedokteran.Secara psikis, manusia juga berbeda sekaligus sama. Ada pribadi yang terbuka, suka bergaul, dan ada pula yang tertutup. Ada yang jenius, rata-rata hingga idiot.Namun, tiap pribadi sama-sama memerlukan rasa aman, rasa dihargai dan disayangi. Di ranah kebudayaan, terdapat aneka ragam bahasa. Namun, makna yang dikandung dalam satu bahasa dapat dipindahkan ke bahasa lain melalui penerjemahan.Islam diwahyukan untuk manusia yang sama sekaligus berbeda itu. Karena itu, Islam memiliki pokok/ batang (ushul) yang sama sekaligus cabang dan ranting (furu’) yang berbeda.Ada sejumlah ajaran dan praktik pokok yang diterima oleh semua kaum muslim, dan adapula penjabaran dan penafsiran dari ajaran dan praktik pokok itu, yang kadangkala berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain.Ungkapan-ungkapan pesan yang disampaikan dalam Alquran dan Hadis juga selaras dengan perbedaan kecenderungan dan kemampuan manusia yang menerimanya.Ada orang yang mudah menerima nasihat yang disampaikan dalam kata-kata indah dan bijak. Ada yang baru bisa menerima setelah berdialog dan berdiskusi. Ada lagi yang baru menerima kalau argumennya benar-benar meyakinkan. Menurut Ibu Rusyd, filosof dan ahli fikih abad pertengahan, paling kurang ada tiga jenis ungkapan dalam Alquran dan Hadis, yaitu yang bernada retorika (khitâbiyyah), dialektika (jadaliyya) dan demonstratif (burhaniyyah). Selain itu, ada ungkapan-ungkapan yang jelas maknanya (muhkamât), dan ada pula yang bersayap dan samar (mutasyâbihât). Yang terakhir hanya bisa dipahami oleh ulama yang kompeten.Apakah pokok ajaran dan praktik Islam itu? Pokok itu adalah Rukun Iman yang mengandung sejumlah kepercayaan, Rukun Islam yang mengandung sejumlah praktik, dan Ihsan sebagai wujud penghayatan spiritual dari pengamalan iman dan Islam.Al-Ghazali dalam Faishal al-Tafriqah bahkan menegaskan, inti ajaran Islam itu hanya tiga: iman kepada Allah, kenabian dan kehidupan sesudah mati (akhirat).Selain yang pokok tersebut, bagi kaum santri dan ulama, perbedaan pemahaman terhadap Alquran dan Hadis adalah hal biasa.Masalah seringkali muncul ketika perbedaan itu dibahas di tengah-tengah kaum awam, apalagi dengan semangat kebencian. Andai perbedaan tafsir dan pemahaman itu didiskusikan terbatas di kalangan para ulama yang kompeten, pertikaian akan lebih mudah dihindari.Mengapa perbedaan dibahas di depan orang awam? Mungkin si ulama ingin menarik banyak pengikut. Mungkin pula wawasan keilmuan si ulama sempit, hanya mau membaca dan mendengarkan argumen dari yang sealiran.Padahal, si awam perlu pegangan, si ulama perlu wawasan. Jika si ulama hanya tahu satu pendapat, dia akan fanatik. Jika si awam turut memikirkan aneka dalil, dia akan bingung. Masalah bertambah parah ketika makin banyak orang sekarang yang merasa ahli. Pasien berlagak seperti dokter. Orang awam berlagak seperti ulama.Padahal, jangankan membaca Arab gundul, Arab gondrong saja dia tak bisa! Akibatnya, kaum muslim sibuk mengurusi pertengkaran yang tidak perlu, sementara kemiskinan, kebodohan, narkoba dan pergaulan bebas dibiarkan merajalela.Jika demikian adanya, yang hilang memang bukan sandal, tetapi benar-benar masjid!

KO SAPA


“Nyong wong Banjar,” (saya 0rang banjar) ucapnya memperkenalkan diri. “Oh, kaya kue,” (oh begitu) jawabku datar. Saya tentu paham maksud orang ini. Dia ingin menunjukkan suatu identitas yang diharapkan dapat mendekatkan kami.Saya memang lahir di krandegan Banjarnegara, kedua orangtua hingga kakek-nenek saya juga orang Banjarnegara. Namun, saya tinggal di kandegan Banjarnegara hanya sampai sekolah Menengah, kemudian pindah ke Yogyakarta. Krandegan adalah Kelurahan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah(Jateng). Salah seorang tokoh nasional asal daerah ini adalah Ebiet Gad, yang menjadi artis yang legendaris, lahir di pelosok di Banjarnegara .Tapi, identitas sebagai orang banjarnegara itu akan diganti oleh identitas yang lebih luas cakupannya ketika berada di luar Jateng. Orang luar akan menyebut sebagai orang Jawa, etnis terbesar di Indonesia. Ketika berada di luar negeri, seringkali identitas etnis itu pun lenyap, diganti dengan identitas lain yang lebih luas lagi. dilihat dan diperlakukan sebagai orang Indonesia.Dalam beragama juga begitu. Begitu pula, ketika menunaikan haji, dengan pakaian yang serupa bersama seluruh jemaah sedunia, saya adalah Muslim, titik. Aneka mazhab, organisasi, dan aliran lenyap dalam kesatuan sederhana ibadah haji.Rupanya begitulah watak identitas manusia. Ia hanyalah tanda, agar kita saling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan. Identitas itu berlapis-lapis dan tidak pernah tunggal. Identitas juga elastis, dapat menyempit, dapat pula melebar. Identitas asal daerah, suku, bangsa, aliran, agama dapat digunakan sesuai tuntutan. Identitas membedakan sekaligus menantang kita untuk mempertemukan.Masalah muncul ketika identitas dijadikan alasan untuk menzalimi orang. Seseorang dimusuhi, dihina dan disingkirkan semata-mata karena dia beda asal daerah, etnis, organisasi atau agama. Pertimbangan mengenai kemampuan, kejujuran, dan keadilan, dibuang begitu saja. Inilah yang disebut eksklusif yaitu membuat kelompok sendiri teristimewa dari yang lain. Eksklusivisme adalah keangkuhan sosial.Ranah yang paling rentan dengan eksklusivisme adalah politik. Kursi kekuasaan memang terbatas sehingga harus diperebutkan. Guna merebutnya, orang perlu ‘pasukan’. Kesetiaan pasukan dijaga dengan cara menarik garis yang tegas antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Tak jarang, garis tegas itu dipertebal dengan cara memupuk rasa kebencian kepada identitas kelompok yang menjadi saingan.Masalah makin rumit ketika politik identitas itu telah membuahkan luka-luka kezaliman pada kelompok yang kalah. Ketika yang kalah mendapat giliran berkuasa, maka sulit bagi mereka melupakan kezaliman yang dulu mereka terima. Mereka membalas dendam. Mereka melakukan dosa yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh lawan mereka. Inilah lingkaran setan. ‘Dosa warisan’ yang turun-temurun.Ketika politik identitas itu makin merajalela, maka cita-cita mulia untuk kesejahteraan bersama akan menjadi hiasan bibir saja. Si pemimpin hanya akan menjaga kesetiaan pada ‘gerombolannya’ yang jauh lebih mudah ketimbang kesetiaan pada cita-cita bersama. Kesetiaan yang membabi buta pada kelompok itu akhirnya membuat mereka laksana katak dalam tepurung dan jago dalam kandang belaka. Padahal, menurut Alquran, Islam adalah rahmat buat semesta. Menjadi rahmat tentu bukan berarti melenyapkan identitas, tapi menjembatani antaridentitas. Jembatan itu akan kokoh jika fondasinya adalah keadilan dan kesejahteraan bersama.

KEMINTER


"Saya pernah mengusulkan bahan percobaan tanaman dengan perlakuan dengan infus (dengan seleksi kandungan yang diperlukan tanaman) bekas dari pasien dari rumah sakit, dari pada sebagai limbah dimanfaatkan sebagai pengganti pupuk, lumayan ikut beberapa pameran tanaman, tapi hanya pameran saja tidak ada kelanjutan ya sudahlah.dan
“Saya tidak yakin dengan keunggulan inner beauty, kecantikan jiwa. Kalian para lelaki, jika benar-benar memilih kecantikan jiwa, kenapa kalian tidak menikahi nenek-nenek saja?” kata seorang komika.
Manusia idaman tentu orang yang baik hatinya dan elok parasnya. Tapi, keserasian lahir dan batin itu belum tentu mudah ditemukan dalam kenyataan. Wajah ayu boleh jadi hanya kulit yang menutupi nafsu serakah dan amarah. Wajah tampan mungkin saja hanya topeng bagi pribadi yang egois dan menindas. Sebaliknya, kulit hitam-legam tak jarang justru menyimpan hati yang putih bersih laksana salju.
Seorang cendekiawan, yang memiliki cita-cita tertentu terhadap masyarakatnya dan berjuang sekuat tenaga mewujudkannya, seringkali juga terbentur dengan kontradiksi ini. Tak jarang, dia punya banyak gagasan, tapi tidak punya kekuasaan untuk mewujudkannya. Ketika mendapatkan kekuasaan, dia masih kurang berdaya karena lemahnya dukungan atasan, bawahan bahkan rekan-rekannya sendiri.
Padahal, si cendekiawan juga manusia. Dia perlu sandaran materi bagi kehidupannya. Cita-cita tidak bisa dimakan. Ideologi tanpa dukungan ekonomi akan rapuh. Di sisi lain, di dunia yang makin materialistis ini, si cendekiawan bisa saja terperangkap nafsu serakah. Niat semula menggunakan segala sumberdaya untuk kesejahteraan bersama, akhirnya berubah menjadi untuk kesejahteraan diri sendiri belaka.
Lama-lama, pragmatisme merajalela. Ketika terjadi perebutan kekuasaan, si cendekiawan tak lebih dari politisi yang ingin dapat bagian. Mulutnya berbicara tentang cita-cita mulia, tapi di belakang layar, dia ikut dalam persekongkolan elite yang mengkhianati orang banyak. Akibatnya, kesetiaan yang dipupuknya adalah kesetiaan pada kelompok, yang lebih gampang dan aman, ketimbang kepada cita-cita semula.
Jika si cendekiawan mampu bertahan menghadapi godaan pragmatisme itu, dia akan kesepian. Kawan-kawannya menyebutnya ‘sok idealis’ sementara lawan-lawannya menganggapnya ancaman yang wajib disingkirkan. Penderitaan makin pahit jika dia tidak memiliki kekuatan ekonomi. Dia hanya akan sanggup bertahan jika didukung oleh keluarga yang tabah dan sahabat-sahabat yang tulusDi sisi lain, jika si cendekiawan memiliki modal sosial dan intelektual yang kuat, dia mungkin akan lari dari kenyataan, lalu sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Buat apa berlelah-lelah mengurusi orang banyak jika gajinya tidak seberapa, sementara risikonya dimusuhi dan dikucilkan oleh lingkungan? Dia akhirnya puas dengan kehidupan pribadinya, tapi hanya bisa meratapi aneka krisis di masyarakatnya.
Namun, ada pula cendekiawan yang beruntung. Kesungguhannya dalam memperjuangkan cita-cita dan keteguhan pendiriannya, perlahan-lahan berhasil mengumpulkan banyak sumberdaya. Tokoh seperti ini biasanya memiliki kemampuan berkomunikasi yang tinggi dan keistimewaan yang unik. Dia akhirnya menjadi tokoh kharismatik yang melahirkan para pemuja (lovers) sekaligus para pembenci (haters).
Anehnya, baik yang berhasil ataupun gagal, sama-sama menghadapi perangkap spiritual. Yang berhasil, bisa tergoda menyalahgunakan kepercayaan publik kepadanya. Dia menjadi idola yang mengumpulkan nalar kritis para pengagumnya. Adapun yang gagal, diam-diam dia menjadi sombong diri, seolah semua orang di luar dirinya sepenuhnya kotor dan jahat. Akhirnya, keduanya ‘menuhankan’ diri sendiri.
Selain itu, perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik yang terbatas membuat orang berharap pada kenyataan lain. Kenyataan lain itu bisa berupa masa depan gemilang nan jauh atau struktur kekuasaan di alam gaib yang diisi oleh orang-orang suci. Ada yang berharap kekurangan sumberdaya dapat diatasi melalui kekuatan gaib ini, dan adapula yang cukup puas dengan kelapangan alam ruhani itu sendiri.
Sebagai analogi, jika wajah tak cantik, orang bisa memperbaikinya dengan aneka make up hingga operasi plastik. Namun, bagaimanapun, usaha semacam itu ada batas-batasnya. Usaha lain yang bisa dilakukan adalah menggali kecantikan jiwa yang diharapkan memancar pada rupa. Jika pancaran itu tak tampak, dia mungkin akan frustrasi, tapi mungkin pula dia sudah merasa puas dengan kecantikan jiwanya.
Manakah di antara serbaneka kemungkinan peran dan pilihan di atas yang dilakoni cendekiawan-politisi. Bagaimana pula dengan cendekiawan lainnya? Entahlah.

Monday 28 March 2016

ZAMAN EDAN


Mengkambing hitamkn
zaman sbg zaman edan
kitalah yang mmbuat
nafsu serakah kita
tangan2 brdarah


Zaman sdh edan
orang saling nikam
maksiat & kejahatn
sudah merajalela
hilang malu & martabat

Edan ketemu edan
semua sdh trbalik
semua bertopeng
mmainkn akrobat

Tak kuat
nahan nafsu
ajakan setan

KITA


Stiap orang mmiliki
kpedihn & lukanya
dari buruh yg miskin
orang trkaya manapn
 

Smuanya punya ksusahn
& problem masing2


Kita hrs bisa brsyukur
atas apa yg tlh kita terima

Tdk perlu iri
pd siapapun
krn stiap orang
punya ksedihannya
masing-masing

Kalau kita mampu
brsyukur atas
apa yg tlh dberikn
ke pada kita

Kita pun akan
mnjd manusia
yg lbh bahagia

GURATAN


Setiap orang
memiliki guratan
guratan wajah
khidupannya sendiri


Dengan sayatan
yang telah menerpa
kita bertahun-tahun
membentuk diri kita
menjadi sebuah
kerut kartu keindahn
yang unik tersendiri

Mensyukuri apa yg ada
tdk perlu mnyamakan
Atau membedakan
dengan yang lain

TERKAPAR


Manisnya katamu
janjimu selangit
ku terlena

Kau campakkan
setelah kau dapat
ku tak menyangka

Kau sering
merendahkanku
dg sebelah mata

Aku bukan siapa2
kutercampakkan
dan ku terkapar

GA IRI


Dilapisan apapun kita
sebenarnya harus bisa
bersyukur atas apa
yang telah kita terima


Tidak perlu iri
pada siapapun
karen setiap orang
punya kesedihannya
masing-masing

Berdiri dimanapun
kalau mampu
bersyukur atas
apa yang telah
diberikn kepada kita

Maka kita pun akan
menjadi manusia
yang lebih bahagia

I'M SORRY


I'm sorry
semua kata2
& perilaku yg
kurang berkenan
menyakitkan hati mu


Ku tak tau
apa maumu
aku begini
aku begitu
serba salah

Semoga batin mu
benar2 bisa ikhlas
dan sepenuhnya
memaafkan ku

TIADA MAAF BAGIMU


Tiada maaf bagimu
pintu maaf sudah tertutup
perbaikan tinggal percuma
nasi sudah jadi bubur


Sangat susah memaafkan
sudah sedemikian fatal
perbuatan berlebih
melebihi batas

Kesempatan sudah
berkali2 bahkan berjuta2
tapi tetap saja berbuat
dendm benci terpelihara
berkarat sudah hati ini

MASA LALU


Secara tiba2
rasa kangen
masa-masa
perantauan
jauh dari ortu


Senasib
sepenanggungan
masa-masa
anak lepas
berkarya &
berkasar ria

Disinilah
penentu
jati diri &
menuju
kedepan

BERLALAI-LALAI


Senantiasa kita
berpacu dengan waktu
waktu bagai
pedang yang
sangat tajam


Yang dengan dasyat kan
menembus leher
manusia siapa saja
yang suka berlalai2
berteler-teler

Yang menghanyutkan
atom2 waktu
yang sangat berharga
dilautan mabuk
kesia-siaan &
noda dosa

WARNA


Malam tanpa bintang
duka itu kelabu
dari langit mndung
nan turun hujan


Cinta itu lbh oranye
dari flamboyan mekar
doa itu lbh putih
dari salju puncak
akhlak mulia lbh bening
dari embun mmbasahi daun2

Hati senantiasa trjaga
memegang teguh amanat
lebih indah
lebih harum
dari bunga2
aneka warna
ditaman surga

PEMBODOHAN


Kebodohan
pembodohn
kemiskinan
memiskinan
disekitar kita


Bakal sebagai
belukar sampah
di taman-taman
kehidupan kita

Kemalasan
kebodohan
kebakhilan
& kserakahan
bakal menjdi
belenggu
menjerat leher
merantai kaki
tangan kita

Memenjarakan
hidup kita
dalam nestapa
abadi

TIDAK SEMUA


Tidak smua orang
bisa mengerti
yang ku lakukan
pilihan yang kubuat
atau keputusan
yang ku ambil


Tapi tdak mengapa
ku yakin itu benar
jalani saja dengan yakin
besok lusa akan
banyak yang paham

BEBAS


Bukan orang
yang kuat
atau hebat

Tapi bisa
melepaskan sesuatu

Meski sakit hati
menangis,marah2
sebal sekali

Pada akhirnya
bisa tulus
melepaskan
Sudah berhasil
menaklukkan
diri sendiri

DENGAN PILIHAN


Pada awalnya
aku bangga
dengan pilihannya
Tapi pada akhirnya
Ternyata tidak
setia pilihanya
Saya sadar
dengan pilihan
tidak sepenuhnya
Karen yang tersulit
bukan mmilih
tapi bertahan
pada pilihan

KU SENDIRI



Merasa sendiri, sepi, sunyi, terasing, dan hampa tentu menyiksa. Tak ada teman, tak ada kepedulian. Dalam lagu-lagu cinta, sepi sendiri adalah tipikal derita orang patah hati. Manusia rupanya tak kuat hidup sendiri. Dia perlu teman untuk berbagi, bahkan lawan untuk berkelahi.
Namun, hidup manusia memang aneh. Orang yang kesepian, belum tentu sendirian. Pergilah ke mal. Di sana Anda akan bertemu ribuan orang. Sangat mungkin, tak seorang pun di antara mereka menyapa Anda. Cobalah naik bus umum di Jakarta. Ada banyak penumpang, bahkan berjejal, tapi tak seorang pun yang Anda kenal. Anda sepi di tengah keramaian. Para sosiolog menyebutnya ‘alienasi’.
Kesepian rupanya penyakit masyarakat urban modern yang hidup dalam ikatan-ikatan sosial yang longgar. Kota dihuni oleh rupa-rupa manusia dengan latar belakang etnis, agama, dan pekerjaan yang berbeda. Mereka datang ke kota terutama untuk mencari penghidupan. Semakin banyak orang, semakin tinggi persaingan. Persaingan melahirkan egoisme, dan egoisme melahirkan kesendirian.
Padahal, manusia modern jarang sendirian. Dia punya banyak teman di tempat kerja. Di jalan, dia berpapasan dengan banyak orang. Dia juga membentuk atau menjadi anggota organisasi, dari yang sifatnya sosial hingga partai politik. Dia berbicara tentang kepentingan bersama. Tetapi diam-diam, dia sebenarnya hanya berjuang untuk perutnya sendiri. Organisasi hanyalah alat bagi egoismenya.
Karena itulah, manusia modern haus akan obat hatinya yang sepi. Mulailah dia menciptakan teman dari benda-benda. Bermula dari koran yang menyajikan berita, lalu radio yang mengudarakan suara, televisi dengan gambar bergerak dan bersuara, hingga komputer dan internet. Benda-benda inilah yang menjadi temannya di kala sepi, yang menghadirkan orang tanpa tubuh yang dapat disentuh.
Setelah ponsel pintar diperkenalkan 2007 silam, rasa sepi itu seolah menemukan obat mujarabnya. Melalui benda ajaib itu, dunia dan seisinya seolah hanya berada dalam sentuhan jemari manusia. Di mana pun berada dan kapan pun suka, dia dapat menjalin komunikasi, menyambung silaturrahmi. Teman ada di mana-mana. Tak ada lagi alasan untuk kesepian. Dunia selalu siap berbagi untuk Anda!Menurut satu penelitian yang dikutip Jacob Weisberg (2016) dalam The New York Review of Books, orang Amerika rata-rata menghabiskan 5,5 jam sehari untuk media digital, dan lebih dari separuhnya dihabiskan untuk ponsel. Tiga perempat remaja usia 18-24 tahun mengaku langsung membuka ponselnya saat bangun tidur. Dalam sehari, orang rata-rata memeriksa ponselnya hingga 221 kali!
Tak dapat disangkal bahwa media sosial yang diakses melalui ponsel pintar telah banyak membantu manusia untuk berbagi berita, ilmu dan hiburan. Pertemanan lama yang mulai pudar bisa dibangun kembali. Jika media konvensional hanya menerbitkan tulisan, berita, foto dan video orang tertentu, media sosial tidak membatasi peluang itu. Siapa pun bisa unjuk diri, melalui tulisan, foto dan video.
Namun teknologi selalu berwajah ganda. Kita boleh senang dengan kebaikan-kebaikan yang diberikannya, tetapi kita juga harus waspada terhadap keburukan- keburukan yang diakibatkannya. Kita kiranya perlu menyimak hasil penelitian Sherry Turkle, sosiolog dan psikolog yang mengajar di MIT, Amerika Serikat, tentang dampak-dampak negatif ponsel terhadap kehidupan manusia.
Media sosial, kata Turkle, mengurangi kualitas hubungan antarmanusia. Komentar di media sosial, terutama dari akun tak jelas, cenderung kasar. Akibat ponsel, rasa empati juga menurun. Penurunan itu mencapai 40 persen di kalangan mahasiswa. Orang-orang berkumpul, tetapi tidak saling menyapa dan bercengkrama, bahkan di meja makan keluarga. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing!
Pokok judul buku Turkle memang mengena: Alone Together (sendiri bersama-sama). Suatu ironi yang nyata. Meminjam istilah Ishak Ngeljaratan: mereka bersama, tetapi tidak bersesama. Untuk dapat berempati, manusia perlu berinteraksi langsung dengan manusia konkret, bukan melalui benda. Untuk memahami orang lain, sesekali orang perlu menyendiri dan merenung, melepas ponselnya.
Alhasil, kita perlu pengendalian diri dalam menggunakan ponsel. Tetapi ini tidak mudah. Ragam aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan lain-lain, sengaja dibuat sedemikian rupa oleh pakar psikologi dan perilaku ekonomi, agar orang kecanduan. Ini soal duit. Makin banyak klik, makin banyak duit. Jika tak sadar, kita akan terperangkap. Kita akan sendiri bersama-sama!

Friday 26 February 2016

ANARKIS


Mnangis teriak2
ketdk adiln mrajalela
ksenjangn mnajam

Kbahagiaan tak lg
trlanda stres
tatanan yg lbh adil
blm trcipta

Kumandangkn kdamaian
pd kehidupn
bradab & brbudaya
adil sejahtera
& bebas merdeka

Anarkis kgelapn
yg brlapis2
buta mata,tuli telinga
mati hati nurani

Anarkis mnjerumuskn
kejurang neraka
penuh azab sengsara

TULISLAH


Hidup memang
dtulis dterjemahkn
seintens-intensnya

Smpai patah pena
smpai tuntas tinta
tulisknlh
smpai tak lg trsisa
ruang pd kertas

Prjalann ini
tak mngkn punya makna
jgn smpai waktu
trhanyut sia2
jgn smpai ruang trisi
suara2 sumbang

Tulis sgenap hikmah
Jgn smpai kcewa
ssama insan
mnerima khadirn ini

Tulis dlembarn2 hidup
brdenyut brsama
waktu dkehidupn

BIRU


Selalu biru
laut, awan
dan gunung
adalah hati


Yg selalu biru
adalah cinta
cinta yang
sbenar2nya cinta
bkn sekedar
gelora di dada

Yang selalu biru
adalh keindahan

Yang selalu biru
adalah keadilan
dan kebenaran
perjuangan suci
mnuju pmbaruan

Perubahan ke arah
khidupn yg lbh baik
dan lebih adil
adlh moralitas suci mulia
ksetiaan pd hati nurani
dan akal sehat

PERSAUDARAAN


Persaudaraan yg hangat
syahdu & mesra antara kita
yg sama2 mendambakan
suatu hidup kehidupan
yg lbh baik,indah&nyaman


Dimana hati slalu trbuka
untuk mnerima berkas
cahaya kebenaran

Tangan terbuka untk
trulur mwujudkn
rasa syukur
mringankn beban
yg lg mmbutuhkn

BELAJAR


Aku belajar melupakan
seseorang melupaknku
Aku belajar memaafkn
seseorang mnyakitiku

Aku belajar yg trbaik
sseorang mmprdayaiku

Aku belajar menerima
seseorang mmilih lain

Aku selalu belajar
seseorang mnggurui

Belajar
dan belajar

JGN TERTIPU


Jangan tertipu
dgn luarnya
tapi tolong
periksa kembali


Dengan teliti
dan seksama
agar tdk nyesel
dkmudian hari

Luaranya okey
tp dlmnya ancur
mngk apa kata orang
benar apa adanya
Jd prtimbangkanlh
jgn sampai gegabah
mnyesal emang dbelakang
ga ada nyesel didepan

Buka mata
buka telinga
buka hati
buka smua

MALAM


Menatap indahnya
malam hari ini
mresapi sang Hitam
yang kelamnya
selalu dinanti


Kehadiranya bagi
smua mahluk ddunia
Indah tak hrs putih
tapi yang mampu
mlengkapi hidup ini

LIKU & DERU


Hidup yang penuh
liku dan deru
harus jiwa baja
harus ktegarn iman
harus mantap langkah


Godaan duniawi
yang melelahkan
pesona lahiriah
yang penuh gebyar
menghadapi smua
tak bergeming atau
justru hanyut

Entahlah

JAUH


Ketinggian hati
kita akan jatuh
dgn sahabat
terlalu dekat
bisa malah jauh


Terlalu cinta
bisa datang rasa jenuh
mnggunung rasa benci
mmbuat hidup tak brarti
maka yg sedang2 sajalh
yang bersahaja saja
jgn berlebihan

Agar jiwa tetap terjaga
tdk trbuai diombak lalai
tidak hanyut diarus lupa

BERKELOK2


Jalan berkelok2
terjal & mendaki
jln masih panjang
Ini perjalanan
penuh liku & deru
kerikil tajam brcuatan
ssekali badai topan
brhempas-hempas

Hidup bagai
putaran roda
kadang diatas
kadang dibawah

Suka dan duka
silih berganti
ratap dan keluh
terus meraja

Optimislah
hindarkan segala
keputusasaan
Yang sabar
dan tawakal

HIDUP


Hidup dg bermakna
dg cinta kasih nan mulia
mnuntut ilmu slamanya
kerja keras pnuh sportivitas
dg semangat nan indah


Hidup dg mnebarkan
kasih sayang yg suci
mnjd rahmat bagi
semesta alam

Mnyemai prdamaian
menjalin kerja sama
mengelola hidup
sebaik-baiknya

Jangan sampai atom
waktu mlenggang sia2
jangan sampai hidup
terasing dari zikir
dan olah pikir

GELOMBANG


Aroma wangi bunga
adalah cinta
dan keindahan
cemerlang cahaya
adalah hati
dan kemerdekaan


Derai gelombang laut
adalah iman
dan kekhusukan
keluasan langit
adalah ibu
dan keagungan

Pijar terangnya bintang
adalah ilmu
dan kualitas peneliti

Tenang & gemuruh
alam semesta
yang luas dan dalam
adalah hati manusia
yg slalu mrindu cinta

KEHIDUPAN


Hidup itu indah
ketika getar2 cinta
suci mulia
membelai sukma
merasakan hidup
itu syahdu
ketika gelombang
rindu hadir mnderu


Hidup itu kaya
warna dan nuansa
penuh makna
berhiaskan
perhiasan2 bahagia

Kala disadari
hakikat kasih sayang
bahwa hidup ini
mrupakan amanat
yg mesti dijaga
hati khusyuk
menggapai ridaNya

Merajut salih ritual
dan saih sosial
sepenuh hati

TENANG


Tenang jiwa
krn ksengsaraan
lebih terjadi
krn jiwa yg sll resah
terlalu sukar
mnerima hidup
& ktentuanNya


Tanpa rasa ikhlas
jiwa acap dperbudak
oleh angan2 gemerlap
yg drangkai bagai
dongeng 1001 malam

Knp justru kudamba
ssuatu bkn hak
sedang keluh
membuat sulit
mnysukuri hal2
yg sederhana

Sederhana itulh
yang acap
mnentramkn jiwa
mnjd bayang surga
& tetes embun dini hari
bagi bathin
yg kerontang ini

TERSENYUMLAH


Disekeliling kita
jg mngkn sekali
mnyimpn cerita
kehidupan yg
tak trbayangkn
di benak kita


Mgkn ada air mata
dbalik stiap snyumanny
Mgkn ada kasih sayang
dbalik stiap amarahnya

Mgkn ada pengorbann
dbalik stiap ketdk pdulianny
Mgkn ada harapan
dbalik stiap kpedihanny

Mgkn ada tangis
dbalik stiap
derai tawany

Kita tak pernah tahu
sisi2 gelap itu
Trsenyumlh
Krn senyum itu
mmpu mmbasuh
stiap luka

BERSYUKUR


Kita menjadi manusia
yg mmiliki rasa maklum
yg luas & bersyukur
dg apa yg tlh dberikn
dalam hidup ini


Kita bkn satu2nya
manusia dg
sgudang masalh

Tersenyumlah
Krn senyum itu
mmpu mmbasuh
stiap luka

Maafkanlah
Krn maaf itu
mmpu mnyembuhkn
smua rasa

TERTAWALAH SEBELUM DILARANG


Lelucon yang menertawakan diri sendiri sudah barang biasa. Saya kadangkala juga melakukan hal tersebut. “Terima kasih telah mengundang orangutan (orang yang berasal dari hutan Kalimantan) seperti saya untuk acara ini,” kata saya di beberapa acara perkumpulan pengusaha.
Prasangka atau stereotip antarsuku, etnis, agama dan identitas lainnya adalah wajar. Sebagian dari prasangka itu tercipta melalui pengalaman atau (salah) informasi. Stereotip tidak sepenuhnya benar, tidak pula sepenuhnya salah. Karena itu, stereotip hanya akan berbahaya ketika ia dianggap sebagai ciri-ciri budaya yang hakiki, tetap dan berlaku untuk semua orang dalam kelompok identitas tertentu.
Reaksi orang Kalimantan terhadap stereotip orang luar itu beragam. Ada yang menerima, menolak atau tidak peduli. Sejauh pengamatan saya, saat ini ada dua sikap yang menonjol, khususnya di kalangan orang-orang terpelajar. Pertama, mereka yang berusaha menunjukkan bahwa orang Kalimantan itu setara dengan suku lain di tingkat nasional. Kedua, mereka yang berusaha menggali khazanah budaya lokal.
Kita tentu turut berbangga jika ada warga Kalimantan yang berhasil menjadi ‘tokoh’ di tingkat nasional. Sayangnya, ketokohan kadang diartikan secara sempit, yaitu menjadi pejabat, artis atau pengamat di media nasional. Kalau sudah ada yang diangkat jadi menteri, tampil jadi peserta kontes dangdut atau sesekali diwawancarai televisi nasional, seolah ‘orang kita’ sudah berhasil menjadi tokoh nasional.
Di sisi lain, usaha-usaha para budayawan menggali khazanah kearifan lokal patut sekali diapresiasi. Banyak nilai-nilai moral dan spiritual yang amat berharga, yang terkandung dalam tradisi lokal, yang perlu dipelihara dan dikenalkan kepada generasi muda. Begitu pula, aneka produk budaya seperti sasirangan, musik panting, ragam kue dan makanan, hingga kesenian Islam lokal, perlu dilestarikan.
Tetapi jika tidak berhati-hati, menggali tradisi lokal bisa berubah menjadi memuja masa lampau atau mendewakan suku sendiri. Padahal, masa lalu suatu masyarakat tentu tidak semuanya putih bersih tanpa noda. Sikap kritis dan objektif sangat penting dalam melihat sejarah. Begitu pula, rasa terikat kepada identitas suku atau identitas apa pun, jika berlebihan, akan gampang mencederai keadilan.
Karena itu, kritik terhadap budaya lokal perlu dilanjutkan. Misalnya, sebagian orang Kalimantan kurang tertib berlalu lintas, konon karena nenek moyang mereka terbiasa dengan jukung (sampan) yang tak ada remnya. Budaya politik Kalimantan lebih dekat kepada budaya dagang yang cenderung pragmatis. Karena itu, konon politik transaksional dan kesepekatan diam-diam di belakang publik sering terjadi.
Kritik budaya tentu tidak hanya perlu di tingkat lokal, tetapi juga di level nasional. Namun bagi Emha Ainun Nadjib, orang Indonesia itu sebenarnya rendah hati, laksana padi berisi yang merunduk. Kita kirim TKI ke luar negeri agar kita dikira miskin. Padahal, kita hanya ingin membantu pembangunan bangsa lain. Kita pura-pura krisis ekonomi, padahal mal, hotel dan restoran kita tetap ramai. Dalam kompetisi olahraga melawan bangsa lain, kita juga suka mengalah. Mengalah itu mulia.
Kata Emha, bangsa Indonesia ini sudah maju sehingga mereka tidak perlu lagi mengejar kemajuan. Saking makmurnya Indonesia, pemimpin yang buruk pun bisa membuat rakyatnya tenang. Bangsa kita adalah bangsa yang paling suka tertawa meskipun hidupnya penuh derita. Bangsa kita pandai melantunkan cengkok lagu apa pun, dan bisa menikmati lagu patah hati dengan tetap bergoyang.
Saya terpingkal-pingkal membaca tulisan Emha. Saya tertawa sebagai orangutan sekaligus orang Indonesia. Saya menertawakan diri sendiri.

Sunday 3 January 2016

FREEPORT YANG KEMPOT


Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur, Lisa Pease menuliskan bahwa kiprah Freeport di Tanah Air telah dimulai sebelum 1967. Berawal dari laporan JJ Dozy tahun 1936 tentang gunung tembaga di Papua Nugini yang disebut Ertsberg, kepala intelijen Amerika (CIA) Allen Welsh Dulles pun menelusurinya. Dulles lalu dibuat terkagum-kagum, karena ternyata Ertsberg juga dipenuhi bijih emas dan perak. Ia bahkan menemukan gunung emas yang lima kali lebih besar yang diberi nama Grasberg.
Penguasaan Freeport atas tambang emas di Papua berlangsung lewat pergolakan politik yang begitu sengit sejak masa Sukarno. Namun, Freeport akhirnya berhasil meneken kontrak dengan Suharto tahun 1967 berdasarkan UU No. 11/1967 tentang ketentuan pertambangan, didukung pengesahan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Sejak 1967 hingga sekarang, Freeport beberapa kali mengalami perpanjangan kontrak.
Sebelum menemukan tambang emas di Papua, Freeport bisa jadi bukan apa-apa. Tapi kini, Freeport masuk jajaran perusahaan top multinasional versi majalah Forbes. Dalam theglobal-review.com, diperkirakan sejak 1967-2010 (43 tahun), Freeport sudah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas.
Dengan hitungan harga emas per gram senilai Rp 500.000 saja, tiap tahun Freeport menghasilkan kekayaan kira-kira Rp 8.000 triliun. Bandingkan dengan APBN kita tahun 2015 yang hanya Rp 1.793,6 triliiun (kemenkeu.go.id). Saat ini, PT Freeport memegang saham sebesar 81,28 persen, pemerintah Indonesia 9,36 persen dan PT Indocopper Investama 9,36 persen.
Media kita saat ini masih dihebohkan soal polemik pencatutan nama Presiden dan Wapres oleh Ketua DPR Setya Novanto, dalam kasus permintaan saham dari PT Freeport. Kegaduhan ini seolah mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan sebenarnya, yaitu perpanjangan kontrak Freeport.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia memang berniat akan memperpanjang kontrak Freeport, tapi dengan syarat. Di antaranya pemerintah Indonesia meminta tambahan saham dari 9 persen menjadi 30 persen, lalu tambahan royalti dari 1 persen menjadi 3 persen.
Sayangnya, persoalan Freeport bukanlah sebatas seberapa persen royalti atau saham yang akan diberikannya pada kita. Tapi, pada kenyataannya, barang tambang di sana sangat banyak, dan itu milik rakyat. Dan kontrak antara pemerintah dan Freeport selama sekian tahun nyaris tidak menguntungkan rakyat Indonesia sama sekali, khususnya Papua. Sudah seyogyanya kontrak tidak lagi diperpanjang dan tambang itu diambil kembali untuk kesejahteraan rakyat. Karena toh, itu adalah milik kita sejak awal.
Dengan kekuatan uangnya, perusahaan ini bisa memberi apa pun dan siapa pun untuk mempertahankan kepentingannya. Inilah yang membuatnya tak tersentuh selama puluhan tahun. Apalagi dengan banyaknya agen dan komprador yang bekerja untuk kepentingannya. Belum lagi, penyesatan opini dan politik berkembang begitu massif, misalnya kita tidak mampu mengelola bahan tambang itu. Kemudian, jika Freeport dihentikan akan terjadi kekacauan di Papua, dan lain sebagainya.
Padahal, Freeport menggunakan sistem tambang terbuka (open pit mining) yang tidak memerlukan teknologi tinggi. Baru beberapa tahun terakhir ini saja Freeport menggunakan metode penambangan bawah tanah (underground mining), itu pun tidak sampai deep-well mining seperti Afrika Selatan.
Fakta menunjukkan 97 persen pekerja Freeport adalah orang Indonesia asli. Hampir semua proyek di sana dikerjakan oleh kita sendiri. Jadi, berlebihan bila tentang mitos bahwa kita tidak punya skill seandal yang Freeport punya, apalagi setelah sekian puluh tahun. Jangan sampai kita mengidap penyakit mental yang disebut Bung Hatta sebagai inferiority complex (perasaan selalu merasa rendah diri dan tidak mampu di hadapan bangsa asing).
Memang dibutuhkan keberanian dan kesungguhan untuk bisa memutus kontrak dengan Freeport. Kita perlu berkaca dari Hugo Chaves dan Ivo Moreles. Saat itu kapitalis global juga mengancam Venezuela dan Bolivia, tapi mereka tetap pada prinsipnya. Padahal, jika dilihat sisi SDM dan SDA, kedua negara Amerika Latin itu bisa dibilang masih kalah jauh dibanding Indonesia, tapi mereka berani mengambil alih penguasaan sumber daya alam demi kepentingan negerinya.
Perspektif Fiqih
Adalah sebuah ironi ketika undang-undang yang dibuat untuk mengatur kesejahteraan rakyat, justru membuka peluang pihak swasta menguasai hak publik. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî di dalam Kitab Bulûghul Marâm membawakan hadist riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud, yang artinya: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”. Dalam hadits Ibnumajah No. 2464 juga tertulis, dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang tidak boleh untuk dimonopoli: air, rumput dan api.”
Para fuqoha menjelaskan, yang dimaksud dengan air, padang rumput, dan api bukanlah zatnya itu sendiri, melainkan ketiganya memiliki ‘illat, yakni ketiganya termasuk dalam kategori sumberdaya alam yang memiliki sifat kepemilikan umum (milkiyah‘ ammah) karena depositnya yang tidak terbatas dan merupakan hajat hidup orang banyak. Maksud api dalam dua hadist ini adalah sumber energi dan semisalnyaseperti minyak, batu bara, emas, perak dan tembaga. Dengan kata lain, menyerahkan kepemilikan bahan tambang tersebut kepada pihak swasta adalah terlarang.
Sudah sepatutnya kita mencontoh bagaimana teladan baginda Rasulullah dalam pengurusan harta kepemilikan umum. Dalam hadist riwayat Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi, Abyadh bin Hamal al-Muzany r.a menuturkan bahwa ia suatu hari pernah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah meluluskan permintaan itu. Setelah ia pergi, ada seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan padanya? Sesungguhnya kau telah memberi dia sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-'idd)” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Kemudian Rasulullah SAW pun menarik kembali tambang itu darinya”. Dalam Islam, menarik kembali pemberian adalah sesuatu yang dicela. Jika pada kasus ini Rasulullah justru menarik tambang garam itu, maka bisa kita simpulkan bahwa menjadikan milkiyah 'ammah tetap berada di tangan umat jauh lebih utama daripada mempertahankan pemberian.
Masalah Freeport tidak mungkin bisa diselesaikan kecuali dengan memerdekaan negeri ini dari penjajahan asing. Akhirnya, pilihan kembali di tangan kita. Apakah kita akan terus menyuapi bangsa lain dengan sumberdaya alam kita sedang rakyat sendiri kelaparan, atau berani mengambil alih penguasaan SDA untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah harus berani menunjukkan pada dunia dan rakyatnya sendiri bahwa negara ini memang negara berdaulat.

TERBAWA ANGIN


Kenangan hanya dikengan
biarkan terbang bersama angin
debu2 yg menempel di hati
segala kenangan & kata2 melukai


Segenap penghinaan yang
memurukan jiwa
perlakuan tak manusiawi
usah dikenang lagi

Meneraewang yg menyedikan
hanya menganugerahkan
hati yang pilu
mata sembab & sendu

Biarlah semua terbang
bersama angin
bukalah lembaran baru
putih bersih
tanpa titik2 noda

BELAJAR


Aku belajar melupakan
seseorang melupaknku

Aku belajar memaafkn
seseorang mnyakitiku

Aku belajar yg trbaik
sseorang mmprdayaiku

Aku belajar menerima
seseorang mmilih lain

Aku selalu belajar
seseorang mnggurui

Belajar
dan belajar

SIAPA SURUH


Siapa suruh
ke ibu kota
orang membayang
surga dunia


Jangan lihat gemerlapnya
disana ternyata
kejam tak pandang bulu
jadi jangan berharap banyak

Di daerah asal
masih berharap banyak
baik tenaga pemikiran
apa lagi dengan materi

Buat apa mempenuhi
dan saling sikut
hanya sepetak
sedang di asal berpetak2
dan sesukanya

MENTENTRAMKAN


Sedih & bahagia
lebih pd permainan
manakal hati ikhlas
terasa mudah & indah


Tapi berkeluh kesah
serasa panas hati
melihat yang lain sukses
bagai penjara sesak
hidup selalu mnggoda

Menentramkan jiwa
tangan & jiwa terbuka
semailah cinta kasih
redamkan dendam
kebencian & racun curiga

SEBENING


Sebening embun
secerah mentari
putih jernihkn hati nurani

Dari flek2 noda
seharum kemuning
sesejuk bayu

Seluas cakrawal
sedalam samudera
jiwa insan berjalan lurus
meniti cahaya-cahaya

Hidup itu indah
damailah hati
tentramlah sanubari

LESTARIKAN


Lestarikn lingkungan
bersih suci
indah brseri2
rawatlah amanat
dengan penuh cinta

dan tanpa pamrih

Demi kehidupan
tentram damai
manusiawikan sesama
sebarkan kasih sayang
penuh rasa setia tulus suci
jauhi permusuhan
dan dendam hati

BENING


Basahi jiwa dg
kebeningn embun sukma
tenggelamkn diri
dikeluasan samudra ilmu
asah tajam pisau penalaran
di cakrawala daya cipta


Mencari yang trsembunyi
menggali yg terpendam
selalu memadukan pikir
selalu menata & menata diri
gairah hidup menyala
dian nan tak kunjung padam

DISANA


Memandang
jauh kedepan
sampai jg kami
dipelataran sunyi


Apa yg didpt kesunyian
disana jualah ternyata
hati & jiwa bisa mnikmati
kemerdekaan, kedaulatn
dan kebebasan
yang hakiki

MIMPI


Senang & sedih
lebih merupakn
permainan hati
maka manakala
hati ikhlas mnsyukuri
hidup terasa
mudah & indah


Tapi manakala
hanya pandai
berkeluh kesah
serta panas hati

Hidup menjadi
penjara yg sesak
/ justru menjelma
kenikmatan mimpi
yg selalu menggoda

BERGELUT OMBAK


Memburu makna hidup
penuh ksadarn sll waspada
jgn kirany hanyut diarus lupa
jgn tenggelam ddasar samudra


Dlm satu rasa, dlm satu jiwa
dlm intuisi, dlm satu hati
mengarungi samudra
disamudra khidupn

CAKRAWALA


Dg mantap dan pasti
mncari yg trsembunyi
mnggali yg trpendam
sll memadukan pikir
sll menata & mnatar diri

gairah hidup mnyala
bagai dian nan tak
kunjung padam


Basahi jiwa dg
kbeningn embun sukma
tenggelamkan diri
di kluasn samudra ilmu
asah tajam pisau2 pnalarn
dicakrawala daya cipta

BARU STOK LAMA, 2016


Pagi-pagi itu, udara dingin terasa menggigit. Aku menemuinya di bandara Samsuddinnor Banjarbaru Kalimantan Selatan. Tak sulit baginya mengenaliku di antara kerumunan penumpang yang keluar Bandara. Ia melambaikan tangan sambil memanggilku. Aku pun segera mengenalinya. Kami bersalaman dan berpelukan.
Sudah 15 tahun kami tak bersua, sejak aku di Yogyakarta di 2000 silam. Pria asal anak Jogja ini adalah kawan seperjuangan saat kuliah dulu. Perjuangannya untuk bisa membawa anak-istri dan menjadi warga Kalimantan Selatan sungguh berat. Tetapi dia sabar dan berhasil. Kini hidupnya sudah mapan dan nyaman. Istri jadi dokter, dan anak-anaknya sudah besar.
“Apakah kamu masih Marxis seperti dulu?” tanyaku bercanda. “Git, hidup itu berubah, dan kita pun berubah,” katanya bijak. Aku sendiri sudah berusia 42 tahun, dan dia bahkan sudah 46 tahun. Uban di kepala kami juga semakin nampak. Ini sudah hukum alam. Bumi, bulan dan matahari terus berputar, menandai pergantian hari, minggu, bulan dan tahun, dan bersama mereka kita berubah.
Namun, setiap kali aku berjumpa kawan lama, seringkali pula aku menemukan sesuatu yang tidak banyak berubah, yaitu pandangannya tentang apa, mengapa dan bagaimana hidup ini harus dijalani. Inilah pandangan hidup yang diperoleh manusia melalui proses belajar dalam ‘sekolah kehidupan’. Tampaknya pandangan hidup mulai mantap di usia kuliah, dan semakin matang setelah itu.
Apakah kiranya yang dikejar dalam hidup ini? Banyak orang mungkin akan menjawab, secara terbuka ataupun malu-malu, yang dikejar itu jelas: kekayaan, kekuasaan, ketenaran dan kenikmatan. Namun, ada pula yang dengan yakin menjawab, yang dicarinya adalah hati yang tenang dalam sabar dan syukur, serta berilmu dan bermanfaat. Tak berkuasa, tak kaya raya, tak terkenal, tak mengapa.
Menjadi penguasa, kaya, terkenal dan hidup penuh nikmat ragawi dapat disingkat dalam satu kata: sukses. Tampaknya, kini sukses adalah impian hampir semua orang. Karena itu, orang yang mengaku tak ingin menumpuk harta benda, tak berminat terhadap jabatan, tak peduli dengan ketenaran dan tak mabuk dengan kenikmatan, akan ditertawakan orang. Ia akan dianggap abnormal atau munafik!
Di sisi lain, tak bijak pula kiranya menganggap orang yang berambisi ingin menjadi kaya, berkuasa, dan tenar dipastikan telah terjerumus ke lembah nista dunia yang berbahaya. Boleh jadi, dia ingin menggunakan kekayaan, kekuasaan dan ketenarannya untuk bisa lebih banyak berbuat baik. Orang miskin, tak punya kuasa dan tak dikenal, tentu sangat terbatas kemampuaannya dalam berbuat baik.
Karena itu, masalah paling utama adalah tujuan dan cara. Apakah sukses semata-mata sebagai tujuan hidup, atau sekadar cara atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih agung? Apakah orang yang menahan diri dari memburu kekayaan, kekuasaan dan ketenaran memang karena dia khawatir akan sisi gelap hidup sukses, atau justru hanya karena dia lemah dan putus asa untuk meraihnya?
Yang pasti, kesamaan pandangan hidup akan mempertemukan hati manusia. Mereka akan cepat bersahabat dan saling menyukai. “Ketika aku bertemu denganmu, seolah aku telah mengenalmu ribuan tahun yang lalu,” kata seorang pria. Ini mungkin sekadar rayuan gombal, tetapi mungkin juga tidak. Ia merasa telah mengenal lawan bicaranya karena menemukan kesamaan pandangan hidup.
Mungkin itulah yang sering kurasakan saat bertemu sahabat-sahabat lama. Meski rambut kami kian memutih, dan usia merangkak tua, tetapi pandangan tentang bagaimana hidup ini seharusnya dijalani pada dasarnya tidak berubah, bahkan semakin mantap dan matang. Aku bahagia sekali jika bertemu sahabat yang demikian. Kami bertukar cerita yang berbeda, tetapi garis besarnya serupa.
Hari-hari terus berganti. Pengusaha dan penguasa jatuh bangun. Perubahan adalah watak alamiah kehidupan. Tetapi di balik semua perubahan itu selalu ada yang tetap. Langit tetap langit, dan bumi tetap bumi. Air, api, tanah dan udara hakikatnya tetap sama. Semua ini mungkin baru hancur binasa, kala kiamat sudah tiba, ketika bumi dan langit diganti dengan sesuatu yang benar-benar berbeda.
Demikianpula pandangan hidup. Ketika manusia sudah dewasa, pandangan hidup itu semakin sulit, meskipun tidak mustahil, untuk berubah. Perubahan pandangan hidup kala dewasa menuntut perjuangan yang berat dan keberanian yang tinggi. Tahun Baru mungkin adalah hidup baru, tetapi bagi kebanyakan orang dewasa, tidak berarti pandangan hidup baru.