Wednesday 29 July 2015

LEBARAN PENUH UJIAN

      BAGI bangsa kita, lebaran tahun ini tampaknya bermakna ganda, suka sekaligus duka. Ormas-ormas besar Islam dapat bersepakat dengan pemerintah dalam penetapan jatuhnya Hari Raya Idulfitri.Tetapi letusan Gunung Raung di Jawa Timur dan Gunung Gamalama di Ternate, telah membuat ratusan penerbangan dibatalkan. Lebih sedih lagi, terjadi kekacauan saat Salat Id di Tolikara, Papua.
Tiga peristiwa tersebut memang berbeda. Penetapan 1 Syawal, sebagai Hari Raya Idulfitri, terkait dua hal, yaitu peristiwa alam dan penafsiran manusia terhadap kehendak Tuhan. Sedangkan letusan gunung berapi adalah murni peristiwa alam, tetapi ‘kebetulan’ terjadi menjelang lebaran. Sementara kekacauan dan pembakaran yang terjadi saat Salat Id di Tolikara adalah murni tindakan manusia.
Sudah maklum, ada dua metode yang berbeda dalam penentuan awal puasa dan hari raya bagi umat Islam.
       Pertama, metode hisab yang berpegang teguh pada penghitungan astronomi modern yang dianggap sangat akurat.Kedua, metode rukyah yang berpendapat, melihat dengan mata adalah wajib sesuai dengan makna lahiriah hadis Nabi, sementara hitungan astronomi hanya membantu. Meski kedua metode itu berbeda, hasil akhirnya bisa sama, bisa pula tidak. Yang menentukan kesamaan dan perbedaan hasil itu adalah ketinggian derajat bulan sabit (hilal) dan kecerahan cuaca.
Jika posisi hilal cukup tinggi derajatnya dan tidak tertutup awan, maka hilal bisa dilihat sehingga hasil akhir metode rukyah dan hisab akan sama (seperti tahun ini). Jika sebaliknya, maka hasilnya akan berbeda.
Berbeda dengan penetapan lebaran, letusan Gunung Raung dan Gunung Gamalama tidak melibatkan manusia secara langsung. Letusan itu adalah fenomena alam. Namun manusia bisa terkena dampaknya dan dapat memaknainya.
      Meminjam lirik Ebiet G Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Tetapi, peristiwa pembakaran 6 rumah, 11 kios dan 1 masjid yang terjadi di Tolikara, Papua, tepat di Hari Raya Idul fitri kemarin, di sekitar kawasan kaum Muslim yang melaksanakan Salat Id, bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan akibat ulah manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki pilihan moral dalam bertindak, dan karena itu, setiap tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
      Menurut Dorman Wandikmbo, Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), yang dimuat di jawaban.com, semula GIDI meminta kaum Muslim tidak menggunakan pengeras suara ketika merayakan Idulfitri, agar tidak mengganggu seminar internasional GIDI yang letaknya berdekatan. Tetapi permintaan ini tidak diindahkan, sehingga terjadilah insiden pembakaran itu dan tembakan dari aparat keamanan. Yang mengejutkan lagi, telah beredar di media sosial sebuah surat GIDI bertanggal 11 Juli 2015, yang ditujukan kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara. Isinya antara lain, GIDI tidak mengizinkan pelaksanaan lebaran di kabupaten itu. Bahkan ada poin yang menyebutkan, kaum muslimat dilarang memakai jilbab. Agama lain dan gereja lain juga dilarang mendirikan tempat ibadah. Saya berharap surat tersebut palsu. Saya juga berharap, jika memang surat itu palsu, maka pemerintah harus dapat mengusut pembuatnya yang sengaja ingin mengadu domba antarumat beragama di Indonesia.
     Namun, jika surat itu asli, saya sungguh menyesal, mengapa mereka berani melakukan tindakan bodoh semacam itu? Mengapa GIDI tampak begitu arogan di surat itu? Kasus ini menunjukkan, betapa berat merawat kerukunan, dan betapa penting membangun komunikasi antar tokoh agama dan juga pemerintah.
Kasus ini juga menunjukkan, umat Kristen di Indonesia sangat beragam. GIDI hanya satu di antara banyak Gereja Protestan. Boleh jadi, di antara mereka, ada kelompok radikal dan agresif yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama.
     Tiga peristiwa itu dapat dilihat sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan sesama manusia. Jika manusia bersalah kepada Tuhan, maka dia bisa bertobat kepada-Nya.
Jika dia bersalah pada/merusak alam, maka dia harus kembali berusaha menjaga kelestarian alam. Jika manusia bersalah kepada sesama manusia, maka dia harus meminta maaf.

Tuesday 7 July 2015

PUASA ATAU PUAS'A

PUASA ATAU PUAS'A

     Di suatu desa terpencil, Semua penduduknya beragama Islam, dan mereka bekerja sebagai petani atau nelayan. Orang-orang desa ini cukup terpelajar, tetapi umumnya tidak mendapat pekerjaan sesuai tingkat pendidikan mereka. Di sore hari Ramadan, setelah salat Asar, kawula muda desa itu bermain sepak bola, yang mendapat perhatian ratusan penonton. jangan kan saya temen saya Jaky sebagai orang luar dan non-Muslim, merasa takjub akan kekuatan fisik mereka. Dalam keadaan lapar dan haus, mereka sanggup bermain sepakbola yang sangat menguras tenaga. Rupanya, asyiknya permainan sepakbola dapat melupakan orang dari tekanan puasa.
     Uniknya, sepakbola ini hanya dilaksanakan di bulan Ramadan. Di luar Ramadan, tidak ada. Tampaknya sepakbola menjadi semacam pengganti dari berbagai hiburan yang berbau maksiat. Ramadan adalah bulan suci dan penyucian dari dosa. Meski demikian, paradoks tetap terjadi. Sementara puasa mengajarkan pengendalian nafsu, tingkat konsumsi masyarakat justru meroket. Setelah Ramadan usai, anak-anak muda itu kembali pada keseharian mereka. Sebagian berusaha keras agar tetap hidup dalam kesalehan, meski kadang gagal.
     Sebagian lagi kembali ke klub malam, menonton film porno, meminum bir dan menghisap hasyisy. Mereka seolah ditarik oleh dua kutub magnet yang sama-sama kuat: disiplin moral di satu sisi serta konsumerisme, cinta romantis dan status sosial, di sisi lain.
Pengalaman kawula muda Mesir itu tentu tidak asing bagi kita. Semakin mendekat akhir Ramadan, semakin terasa perubahan itu. Agama mengajarkan, sepuluh hari terakhir Ramadan adalah puncak penanjakan ruhani kaum beriman. Dalam kenyataan, kaum berduit makin gila berbelanja dan kaum miskin punya ambisi serupa, sehingga pencurian dan penjambretan cenderung meningkat.
     Semua ini menunjukkan, perjuangan moral adalah pergumulan manusia sepanjang hidupnya. Manusia sebagai makhluk yang diberi kebebasan memilih antara baik dan buruk, dosa dan pahala, akan terus-menerus berhadapan dengan pilihan-pilihan moral itu. Kaya atau miskin, tua atau muda, penguasa atau rakyat jelata, semua takkan bisa menghindar dari perjuangan ini sampai maut menjemput. Dengan demikian, ketimbang membayangkan suatu masyarakat suci bersih tanpa noda berkat ibadah Ramadan, akan lebih realistis kalau kita melihat Ramadan sebagai bulan pendidikan. Sudah maklum, didunia pendidikan, hasil akhir yang diperoleh peserta didik umumnya tidak sama. Ada yang mendapat nilai yang tinggi, sedang hingga rendah. Bahkan ada pula yang tidak lulus alias gagal total.
      Seberapa besar keberhasilan pendidikan Ramadan tersebut, pada gilirannya akan menentukan seberapa tinggi peradaban masyarakat Muslim.
Tidak ada peradaban yang dapat berdiri tegak tanpa pengendalian diri/hawa nafsu. Tak ada ilmu, seni dan teknologi yang lahir tanpa suatu perjuangan asketis. Tak ada masyarakat yang benar-benar adil dan makmur tanpa disiplin moral pemimpin dan rakyatnya. Dunia terus berputar, peradaban umat manusia terus beredar. Boleh boleh jadi, umat manusia di zaman tertentu lebih taat beragama dibanding zaman lainnya, lebih bermoral dibanding era lainnya.
     Boleh jadi pula, di era yang sama, masyarakat tertentu lebih berdisiplin dibanding masyakarat lainnya. Karena itu, ada bangsa dan peradaban yang akhirnya punah, ada pula yang terus bertahan hingga sekarang.
     Mungkin inilah maksud sabda Nabi SAW bahwa jihad terbesar adalah perjuangan melawan hawa nafsu. Inilah sesungguhnya inti daripuasa. Inilah pula fondasi peradaban Islam, bahkan peradaban umat manusia sepanjang sejarah.