Tiga peristiwa tersebut memang berbeda. Penetapan 1 Syawal, sebagai Hari Raya Idulfitri, terkait dua hal, yaitu peristiwa alam dan penafsiran manusia terhadap kehendak Tuhan. Sedangkan letusan gunung berapi adalah murni peristiwa alam, tetapi ‘kebetulan’ terjadi menjelang lebaran. Sementara kekacauan dan pembakaran yang terjadi saat Salat Id di Tolikara adalah murni tindakan manusia.
Sudah maklum, ada dua metode yang berbeda dalam penentuan awal puasa dan hari raya bagi umat Islam.
Pertama, metode hisab yang berpegang teguh pada penghitungan astronomi modern yang dianggap sangat akurat.Kedua, metode rukyah yang berpendapat, melihat dengan mata adalah wajib sesuai dengan makna lahiriah hadis Nabi, sementara hitungan astronomi hanya membantu. Meski kedua metode itu berbeda, hasil akhirnya bisa sama, bisa pula tidak. Yang menentukan kesamaan dan perbedaan hasil itu adalah ketinggian derajat bulan sabit (hilal) dan kecerahan cuaca.
Jika posisi hilal cukup tinggi derajatnya dan tidak tertutup awan,
maka hilal bisa dilihat sehingga hasil akhir metode rukyah dan hisab
akan sama (seperti tahun ini). Jika sebaliknya, maka hasilnya akan
berbeda.
Berbeda dengan penetapan lebaran, letusan Gunung Raung dan Gunung Gamalama tidak melibatkan manusia secara langsung. Letusan itu adalah fenomena alam. Namun manusia bisa terkena dampaknya dan dapat memaknainya.
Meminjam lirik Ebiet G Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Tetapi, peristiwa pembakaran 6 rumah, 11 kios dan 1 masjid yang terjadi di Tolikara, Papua, tepat di Hari Raya Idul fitri kemarin, di sekitar kawasan kaum Muslim yang melaksanakan Salat Id, bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan akibat ulah manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki pilihan moral dalam bertindak, dan karena itu, setiap tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
Berbeda dengan penetapan lebaran, letusan Gunung Raung dan Gunung Gamalama tidak melibatkan manusia secara langsung. Letusan itu adalah fenomena alam. Namun manusia bisa terkena dampaknya dan dapat memaknainya.
Meminjam lirik Ebiet G Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Tetapi, peristiwa pembakaran 6 rumah, 11 kios dan 1 masjid yang terjadi di Tolikara, Papua, tepat di Hari Raya Idul fitri kemarin, di sekitar kawasan kaum Muslim yang melaksanakan Salat Id, bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan akibat ulah manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki pilihan moral dalam bertindak, dan karena itu, setiap tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
Menurut Dorman Wandikmbo, Presiden Gereja Injili Di Indonesia
(GIDI), yang dimuat di jawaban.com, semula GIDI meminta kaum Muslim
tidak menggunakan pengeras suara ketika merayakan Idulfitri, agar tidak
mengganggu seminar internasional GIDI yang letaknya berdekatan. Tetapi permintaan ini tidak diindahkan, sehingga terjadilah insiden pembakaran itu dan tembakan dari aparat keamanan. Yang mengejutkan lagi, telah beredar di media sosial sebuah surat
GIDI bertanggal 11 Juli 2015, yang ditujukan kepada umat Islam
se-Kabupaten Tolikara. Isinya antara lain, GIDI tidak mengizinkan pelaksanaan lebaran di
kabupaten itu. Bahkan ada poin yang menyebutkan, kaum muslimat dilarang
memakai jilbab. Agama lain dan gereja lain juga dilarang mendirikan
tempat ibadah. Saya berharap surat tersebut palsu. Saya juga berharap, jika memang
surat itu palsu, maka pemerintah harus dapat mengusut pembuatnya yang
sengaja ingin mengadu domba antarumat beragama di Indonesia.
Namun, jika surat itu asli, saya sungguh menyesal, mengapa mereka berani melakukan tindakan bodoh semacam itu? Mengapa GIDI tampak begitu arogan di surat itu? Kasus ini menunjukkan, betapa berat merawat kerukunan, dan betapa penting membangun komunikasi antar tokoh agama dan juga pemerintah.
Kasus ini juga menunjukkan, umat Kristen di Indonesia sangat beragam. GIDI hanya satu di antara banyak Gereja Protestan. Boleh jadi, di antara mereka, ada kelompok radikal dan agresif yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama.
Tiga peristiwa itu dapat dilihat sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan sesama manusia. Jika manusia bersalah kepada Tuhan, maka dia bisa bertobat kepada-Nya.
Jika dia bersalah pada/merusak alam, maka dia harus kembali berusaha menjaga kelestarian alam. Jika manusia bersalah kepada sesama manusia, maka dia harus meminta maaf.
Namun, jika surat itu asli, saya sungguh menyesal, mengapa mereka berani melakukan tindakan bodoh semacam itu? Mengapa GIDI tampak begitu arogan di surat itu? Kasus ini menunjukkan, betapa berat merawat kerukunan, dan betapa penting membangun komunikasi antar tokoh agama dan juga pemerintah.
Kasus ini juga menunjukkan, umat Kristen di Indonesia sangat beragam. GIDI hanya satu di antara banyak Gereja Protestan. Boleh jadi, di antara mereka, ada kelompok radikal dan agresif yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama.
Tiga peristiwa itu dapat dilihat sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan sesama manusia. Jika manusia bersalah kepada Tuhan, maka dia bisa bertobat kepada-Nya.
Jika dia bersalah pada/merusak alam, maka dia harus kembali berusaha menjaga kelestarian alam. Jika manusia bersalah kepada sesama manusia, maka dia harus meminta maaf.