KARENA DIANGGAP BIASA
PERISTIWA mengenaskan sekaligus memprihatinkan menimpa moda trasportasi
laut di Kotabaru Kalsel. Puluhan orang ditemukan tewas terjebak dalam
kapal, sedang puluhan lainya dinyatakan hilang di perairan Tanjung Dewa,
saat melakukan perjalanan dari Kotabaru ke desa Geronggang. Ekstremnya
cuaca di laut menjadi kambing hitam penybab musibah tersebut. Betulkah
alam sedemikian menjadi ancaman ? Jawabannya tidak serta merta harus
menyalahkan alam yang memang sulit diprediksi. Tapi berdasarkan catatan
manifes kapal, terlihat jelas kalau penyebab kecelakaan tidak hanya oleh
cuaca ekstrem. Di manifes kapal dinnyatakan jumlah penumpang sebanyak
22 orang, tapi dari laporan sedikitnya 105 orang mengisi kapal yang
penuh barang dagangan tersebut.
Jumlah penumpang yang tidak sesui dengan manifes kapal tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Bagaimana pengelola trasportasi di Pelabuhan Panjanf Kotabaru saat ini. Apa sebelum belayar pengelola pelabuhan sudah memeriksa kapal yang akan berangkat. Belum lagi peralatan keselamatan di kapal yang menjadi utama sebelum satu unit alat trasportasi dinyatakan layak untuk dipergunakan. Misalnya, apakah pelampung di kapal cukup bagi jumlah penumpang yang akan diangkut ?. Selain alat bantu keselamatan, faktor belum pernah terjadi musibah kapal barang dan penumpang di tanjung dewa, membuat nahkoda kapal, pengawas pelabuhan serta pihak terkait, menjadi lengah. Mereka menganggap biasa mengangkut barang dan penumpang melebihi kapasitas, Juga manifes kapal tidak sesuai yang dilaporkan, bisa jadi sudah berlangsung lama dan dianggap biasa, akibatnya, semua dibiarkan.
Kalau musibah terjadi dan menelan korban, bisa dilihat masing-masing bakal saling menyalahkan. Lebih mudah mungkin menyalahkan kondisi alam yang tidak bersahabat. Padahal, cuaca ekstrem yang muncul malah membuat semua pihak terkait menjadi lebih waspada dan memperketat pengawasan. Kalau jumlah barang dan penumpang melebihi kapasitas semestinya dan harus menghadapai cuaca ekstrem, apa yang bisa menjamin musibah tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Saat kondisi standar, jumlah barang dan penumpang sesuai kapasitas kapal, menghadapi cuaca ekstrem di laut sudah harus melalui pertimbangan matang sebelum memutuskan dilakukan pelayaran. Proses pembiaran dan menganggap proses pelanggaran tersebut sebuah hal rutin, memang saatnya dihentikan. Prosedur keselamatan angkutan standar di negeri ini jangan pernah dianggap remeh. Jangan sampai saat terjadi musibah baru masing-masing menyayangkan telah terjadi pelanggaran. Padahal kalau prosedur diterapkan sebagaimana mestinya, kerugian bisa ditekan seminimal mungkin.
Tindakan pembiaran tidak hanya terjadi pada prosedur keselamatan. Hampir semua sisi kehidupan di Indonesia, khususnya di Kalsel, terjadi yang paling baru tentu saja antrean bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Saat keberadaan bahan bakar masih normal, orang biasa saja melihat pelangsir datang membawa jeriken dan ikut antre mengisi BBM. Padahal secara prosedural hal tersebut telah lama dilarang Pertamina. Tapi saat BBM mulai sulit diperoleh dan antrean panjang terjadi, baru pemilik kendaraan bermotor protes keberadaan pelangsir yang membawa jeriken. Padahal, kalau sejak awal pelangsir tersebut tidak dibiarkan, tentu mereka pun tak akan ikut mengantre. Kenapa sejak awal keberadaan mereka dianggap biasa ?
Jumlah penumpang yang tidak sesui dengan manifes kapal tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Bagaimana pengelola trasportasi di Pelabuhan Panjanf Kotabaru saat ini. Apa sebelum belayar pengelola pelabuhan sudah memeriksa kapal yang akan berangkat. Belum lagi peralatan keselamatan di kapal yang menjadi utama sebelum satu unit alat trasportasi dinyatakan layak untuk dipergunakan. Misalnya, apakah pelampung di kapal cukup bagi jumlah penumpang yang akan diangkut ?. Selain alat bantu keselamatan, faktor belum pernah terjadi musibah kapal barang dan penumpang di tanjung dewa, membuat nahkoda kapal, pengawas pelabuhan serta pihak terkait, menjadi lengah. Mereka menganggap biasa mengangkut barang dan penumpang melebihi kapasitas, Juga manifes kapal tidak sesuai yang dilaporkan, bisa jadi sudah berlangsung lama dan dianggap biasa, akibatnya, semua dibiarkan.
Kalau musibah terjadi dan menelan korban, bisa dilihat masing-masing bakal saling menyalahkan. Lebih mudah mungkin menyalahkan kondisi alam yang tidak bersahabat. Padahal, cuaca ekstrem yang muncul malah membuat semua pihak terkait menjadi lebih waspada dan memperketat pengawasan. Kalau jumlah barang dan penumpang melebihi kapasitas semestinya dan harus menghadapai cuaca ekstrem, apa yang bisa menjamin musibah tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Saat kondisi standar, jumlah barang dan penumpang sesuai kapasitas kapal, menghadapi cuaca ekstrem di laut sudah harus melalui pertimbangan matang sebelum memutuskan dilakukan pelayaran. Proses pembiaran dan menganggap proses pelanggaran tersebut sebuah hal rutin, memang saatnya dihentikan. Prosedur keselamatan angkutan standar di negeri ini jangan pernah dianggap remeh. Jangan sampai saat terjadi musibah baru masing-masing menyayangkan telah terjadi pelanggaran. Padahal kalau prosedur diterapkan sebagaimana mestinya, kerugian bisa ditekan seminimal mungkin.
Tindakan pembiaran tidak hanya terjadi pada prosedur keselamatan. Hampir semua sisi kehidupan di Indonesia, khususnya di Kalsel, terjadi yang paling baru tentu saja antrean bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Saat keberadaan bahan bakar masih normal, orang biasa saja melihat pelangsir datang membawa jeriken dan ikut antre mengisi BBM. Padahal secara prosedural hal tersebut telah lama dilarang Pertamina. Tapi saat BBM mulai sulit diperoleh dan antrean panjang terjadi, baru pemilik kendaraan bermotor protes keberadaan pelangsir yang membawa jeriken. Padahal, kalau sejak awal pelangsir tersebut tidak dibiarkan, tentu mereka pun tak akan ikut mengantre. Kenapa sejak awal keberadaan mereka dianggap biasa ?