Suatu pagi, Januari 1993 silam. Saya disambut oleh seorang teman yang
sudah duluan kost di depan sebuah kost yang akan saya sewa di kawasan
kleben witobrajan Jogja. Pria itu membantu mengangkat satu koper saya ke
kamar . Dia tampak berjuang menyandang beban koper itu.
“Apa isi koper ini, kok berat?” tanya teman saya.
“Buku dan baju saya,” kataku.
“Oh, pantas. Sebagai intelektual, Anda terkutuk oleh buku,” katanya. Kami pun tertawa.
Ungkapan ‘terkutuk oleh buku’ memang sarat makna. Seperti kutukan, buku
seolah keburukan yang tak dapat ditolak bagi kaum terpelajar. Selain
berat dibawa, buku perlu tempat. Saya kenal seorang cendekiawan yang
rumahnya penuh buku, dari lantai satu hingga empat. Begitu pula, sudah
biasa jika ruang kantor seorang profesor di universitas terkemuka
menjadi sempit gara-gara dipenuhi buku.
Tetapi bagi pribadi
cendekiawan itu sendiri , buku bukan laknat, tetapi rahmat, bukan
kutukan, tetapi kebaikan. Buku adalah sahabatnya di kala sepi, jawaban
atas aneka persoalan, penghibur hati yang lara, dan pembimbing di kala
kebingungan. Karena itu, tak heran jika seorang cendekiawan tidak bisa
lepas dari buku. Kemana pun dia pergi, dia selalu membawa buku, membeli
buku, dan menulis buku.
Di sisi lain, minat masyarakat kita pada
buku masih rendah, termasuk di kalangan mahasiswa, guru dan dosen. Orang
lebih suka beli ponsel ketimbang buku, lebih suka menjiplak ketimbang
mengarang sendiri berdasarkan buku-buku yang dibaca, lebih suka meminjam
buku perpustakaan ketimbang membeli sendiri. Bahkan ada yang pinjam
buku perpustakaan, bertahun-tahun tak dikembalikan.
Minat pada
buku lahir dari minat baca, dan minat baca lahir dari minat pada ilmu.
Minat baca laksana cinta. Cinta lahir dari ketulusan, bukan paksaan.
Cinta buku lahir dari cinta akan ilmu.
Sedangkan cinta ilmu lahir
dari kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan. Orang yang terpaksa
apalagi dipaksa membaca buku hanya karena ingin lulus ujian, tidak akan
mencintai buku, apalagi ilmu.
Mencintai ilmu laksana mencintai
kekasih. Anda mencintai sang kekasih, karena dia dapat membuat hidup
Anda bermakna dan berharga untuk dijalani bersama. Orang yang membaca
buku penuh cinta dan gairah, adalah orang yang membaca untuk hidupnya.
Ia membaca untuk mencari jawaban atas aneka pertanyaan dalam hidup ini.
Membaca baginya adalah suatu pencarian dan pergumulan diri.
Membaca untuk hidup juga berarti membaca untuk kesenangan dan wawasan.
Membaca tulisan yang menghibur dapat membuat hidup yang sepi menjadi
berisi.
Membaca tulisan yang memberi banyak informasi, akan
membuka hati, wawasan dan pikiran . Bahkan, menurut HAMKA, membaca
cerita-cerita sedih, dapat mendorong seorang pendosa bertobat dan
berbalik menjadi baik.
Kini kita hidup di era ledakan informasi.
Setiap ledakan akan membuat kejutan. Koran, buku hingga majalah sudah
diterbitkan dalam bentuk elektronik. Orang tak perlu lagi takut pada
‘kutukan’ buku yang berat dan menuntut tempat. Berkat teknologi
informasi dan komunikasi yang canggih, kini tiap orang bisa membaca
kapan pun dan di mana pun ia berada tanpa harus menenteng buku.Dunia
serba elektronik ini ternyata bermuka dua. Dia dapat mendorong minat
baca, cinta ilmu dan cinta buku, tetapi dapat pula sebaliknya.
Tak sedikit orang yang hanya suka membaca status kawan-kawannya di media
sosial ketimbang membaca artikel opini, kolom, apalagi artikel jurnal
ilmiah dan buku.
Membaca hanyalah pengisi waktu luang, untuk tujuan-tujuan sesaat dan instan.
Saya khawatir, jangan-jangan membaca tulisan-tulisan instan di media
sosial itu justru berbuah kutukan. Apalagi jika informasi yang
dihadirkan malah menista dan memupuk kebencian kepada orang atau
kelompok tertentu. Tak jarang pula sumpah serapah dan kata-kata kasar
diumbar tanpa malu. Membaca tulisan-tulisan semacam itu bukannya
mencerahkan, tapi menggelapkan hidup.
Membaca adalah aktivitas
penting dalam hidup manusia. Sebagaimana perbuatan lainnya, membaca
dimulai dengan niat, yakni dorongan dan tujuan yang ingin dicapai. Niat
yang baik dapat melahirkan perbuatan baik, dan niat yang buruk akan
berbuah buruk. Tanpa niat, perbuatan akan netral, tak bernilai. Membaca
dengan cinta, hanya akan lahir dari niat mengisi dan memperkaya makna
hidup.