Wednesday 26 August 2015

UNTUKMU


Untukmu telah
bnyk trkorbankn
Namun
tak akan gentar
&surut mnyerah
dlm pasrah
Sebuah & kbebasn
yg brdaulat
Bkn untk trjajah
Trcabik trtindas
& trampas
Namun untk
di prjuangan
dlm hati yg utuh
& kini saatnya
untk kita
brsatu padu
Bkn untk mencari
salah & mnyalahkn
Bkn untuk mnjadikn
diri sbg paling
Tp bersatu
untk mngemban
yg kita cintai

KU TITIPKAN


Kutitipakan
sebuah cinta
agar cinta kita
dpt menjagamu


disaat engkau
ga ada disampingku
ku berharap cinta ini
dpt menjagmu

ku percaya
kau selalu
menjaga
cinta kita

BERPIKIR SEJENAK


Ketika aku brpikir
negatif pd sseorang
tanpa sadar ku tlh
mnghakimi orang itu

lebih mngkn mana
brusaha mnsterilkn
smua tmpt agar
tak ada kuman
Atau mmprkuat daya
tahan tubuh kita sndiri
Ttp bagaimana
Ku berpikir negatif
pd smua orang
bkn orang Ɣanƍ
mmbuatku bahagia
ttp sikapkulh
yg mnentukn
aku bahagia
atau tdk

DI SENJA HARI


Kala matahari hampir
tenggelm di ufuk Barat
tampak dikjauhn
sprt bola raksasa
akan jatuh kedasar laut
nan luas tak brtepi

Cahayanya sdh pudar
tdk mnyengat lg
seakan2 kelelahn
krn tlh mlanglang buana
sepanjang hari
Angin laut brtiup
begitu kencang
mmprmainkn air laut
hngg mnjd ombak
& gelombang
Di udara angin
mmprmainkn bendera2
yg brdiri tegak dpuncak
bendera itu
seakan2 kegirangan

UANG GARUDA BLUSUKAN

        Parno memang bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang pedagang kecil. Saking kecilnya, dagangan gorengan yang dijualnya pun terbilang mini. Tahu dan tempe goreng yang biasa dijajakan dengan ukuran standar, terpaksa besarannya dipangkas menjadi tigaperempat. Parno terpaksa melakukan itu lantaran harga kacang kedelai sebagai bahan dasar dua kudapan khas anak negeri, ini memang sedang menggeliat naik.      
Tidak hanya Parno. Rekan-rekannya sesama pedagang gorengan melakukan hal yang sama. Bahkan, aksi mereka pun diikuti pedagang-pedagang lainnya.Kang Jono, misalnya, terpaksa mengatrol harga jual satu porsi makanan di warung Tegal-nya. Pendek kata, hampir semua pedagang memiliki cara masing-masing menyiasati semakin mendakinya harga bahan- bahan pokok.
       Jauh lebih ke atas lagi. Para juragan pemilik usaha besar pun uring-uringan. Pabrik yang selama ini menopang kehidupan mapan mereka terancam berhenti beroperasi. Artinya, keran keuangan mereka pun bakal tersendat. Mereka bingung karena selama ini pabrik garmen menggunakan bahan baku dari luar sana yang dibayar menggunakan ‘Mr Dollar (AS)’. Celakanya, sudah dua bulan belakangan ini, mata uang ‘Paman Sam’ itu terus menekan mata uang Garuda (rupiah). Saat ini saja, harga 1 dolar AS sudah di atas angka Rp 14.000. Nah, cara paling realistis di mata para juragan adalah penutupan pabrik atau pemehakaan karyawan!
         Bagaimana dengan pemerintah? Ilustrasi di atas menggambarkan betapa sejatinya pemerintah kita pun sedang kalut menghadapi persoalan di luar sana (global). Berbagai persoalan di luar sana yang mengerucut dengan berjayanya ‘Mr Dollar’ seolah menjadi trouble maker bagi perekonomi kita. Ironisnya, pemangku kebijakan sektor finansial, dalam hal ini Bank Indonesia, tidak pernah bisa mengangkat ‘martabat’ rupiah.
Di sisi lain, selama ini, ‘Mister Dollar’ kerap membuat para pengampu kebijakan di negeri lupa daratan, lupa akan kemandirian, dan lupa terhadap kebersamaan. Akibatnya, seperti yang dialami saat ini, rakyatlah yang menjadi korban.
        Dan, cara paling ampuh yang kerap kita dengar yakni alasan pengampu kebijakan di pusat pemerintahan; “kita tidak sendiri. Semua negara mengalami hal yang sama”. Parahnya, mereka menilai kita masih jauh lebih baik ketimbang tetangga-tetangga, dan sahabat-sahabat kita. Apakah dengan mengatakan ‘kita masih jauh lebih baik’, rakyat bisa percaya?
         Seharusnya krisis ekonomi di negeri ini --dalam bahasa pemerintah, ‘pelemahan ekonomi’-- tidak perlu harus dibanding-bandingkan dengan negara tetangga atau sahabat. Jangan sampai rakyat menilai, para pemangku kebijakan di pusat-pusat kekuasaan tidak becus mengurusi perekonomian lantas ‘mengambinghitamkan’ persoalan di luar sana sebagai pembenaran.
         Apa pun alasannya, kita saat ini sedang dibelit masalah ekonomi cukup krusial --yang jika tidak disikapi dengan cepat, cermat dan cerdas, bisa saja situasinya tidak jauh beda seperti krisis ekonomi 1997 silam. Oke lah, bisa jadi benar apa yang dikatakan banyak orang bahwa situasi sekarang berbeda dengan 18 tahun silam. Namun, apa pun argumennya, fakta bahwa perekonomian negeri ini sedang dirundung masalah berat yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan blusukan ke sana-ke mari. Perlunya berbagai terobosan agar perekonomian negeri ini kembali bergairah dan bisa tetap survive.
         Syukur kita bisa sedikit lega Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah masih memiliki banyak uang untuk menggerakkan perekonomian. Dana sebesar hampir Rp 900 triliun yang terhimpun dari APBN, APBD dan BUMN, itu diharapkan bisa digunakan guna menggairahkan perekonomian nasional.
Harus diakui, selama ini kecilnya serapan penggunaan anggaran pemerintah menjadi salah satu faktor pelemahan ekonomi kita. Tumpukan uang itu sudah ada di hadapan yang sudah selayaknya digunakan sebagaimana mestinya sehingga napas ekonomi negeri ini tidak lagi megap-megap, tapi benar-benar bisa berlari cepat. Syukur-syukur, itu juga bisa mengangkat ‘martabat’ rupiah!

Wednesday 19 August 2015

SEBUT NAMAKU 3X

       ORANG yang terjun ke dunia politik mungkin lebih suka disebut ‘politisi’ ketimbang ‘politikus’. Pasalnya, ‘politikus’ mengandung unsur kata ‘tikus’ yang menyiratkan makna pencuri dan perusak. Politikus bahkan bisa diartikan banyak tikus, sepadan poligami yang berarti banyak isteri.
Mungkin jumlah politikus lebih banyak daripada politisi. Politikus menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kehormatan belaka. Yang sudah kaya dan terhormat, ingin jauh lebih kaya dan terhormat lagi.
      Kini kekuasaan dan kekayaan itu ibarat telur dan ayam. Kekayaan bisa membeli kekuasaan, dan kekuasaan bisa mendatangkan kekayaan. Sedangkan kehormatan mengiringi keduanya.
Sudah maklum, jatah kursi kekuasaan itu terbatas sehingga para peminatnya akan berebut. Yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Inilah logika kekuasaan.
      Untuk bisa meraih kemenangan, orang harus berusaha mengerahkan segala kekuatan dengan cara apapun. Berbagai peraturan dan undang undang yang membatasi, tetap dicari celahnya agar bisa diterobos. Pokoknya, yang penting menang!
Prinsip yang ‘penting menang’ itu tentu tidak diungkapkan secara terbuka. Kekuasaan itu adalah seni. Seorang pengejar kekuasaan harus pandai berpuisi, menyusun kata, menggubah nada dan mengatur gaya, agar publik terpesona.
      Ibarat buaya darat, sang pengejar kekuasaan adalah perayu super dengan sederet janji dusta. “Kalian akan sejahtera, aman dan damai, jika memilihku sebagai penguasa!”
Di sisi lain, kaum bijak bestari, agamawan dan filosof, berharap kekuasaan dapat menjadi alat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kekuasaan bukan piala yang direbut, tetapi beban tanggung jawab yang diletakkan di pundak.
      Kekuasaan adalah amânah, titipan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dan Tuhan.
Penguasa adalah pelayan dan pelindung. Penguasa adalah wakil dan ketuanya adalah rakyat.
Namun, harapan indah tentang kekuasaan tersebut ternyata sangat sulit ditemukan dalam kenyataan. Berbagai sistem kekuasaan sudah dibuat dan dilaksanakan, baik yang sekuler ataupun yang berbasis keagamaan.
Tetapi tampaknya, kekuasaan tetap cenderung lebih dihayati sebagai alat untuk meraih kekayaan dan kepentingan pribadi ketimbang sebagai alat mencapai kebaikan bersama.
Mengapa? Mungkin karena perjuangan moral antara yang baik dan buruk, dosa dan pahala, adalah perjuangan manusia sepanjang hayat, termasuk di ranah kekuasaan.
       Dalam perjuangan moral itu, turun ke lembah nista dan dosa, lebih mudah daripada mendaki puncak gunung kebaikan dan kemuliaan. Turun derajat menjadi hewan lebih gampang daripada naik derajat melampaui malaikat.
Sebab lainnya barangkali adalah terlampau percaya diri. Merasa mampu memperbaiki masyarakat, padahal dia belum mampu mengendalikan kekuatan jahat di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat memperbaiki masyarakat, jika dirinya sendiri belum baik? Bagaimana dia dapat mengalahkan penjahat, jika belum bisa mengendalikan hawa nafsunya sendiri?
Selain itu, kaum elite di masyarakat, yakni mereka yang terpelajar dan berada di kelas menengah dan atas, tentu lebih menentukan arah kekuasaan ketimbang kaum miskin dan pinggiran.
       Masalahnya, justru kaum elite itulah yang tampaknya sibuk berdagang dan berjudi dengan kekuasaan. Merekalah yang dapat menggiring dan menekan rakyat agar mau menjual tunai bahkan memanipulasi suara.
Saya khawatir, orang-orang baik di kalangan elite cenderung tidak tertarik pada kekuasaan, sementara orang-orang setengah baik atau bahkan jahat justru sangat bergairah ingin menjadi penguasa.
Lebih parah lagi jika kaum cendekiawan dan tokoh agama gampang dibeli sehingga mulut mereka terkunci. Sementara sebagian lagi dari mereka malah menutup mata, tidak peduli dengan apapun yang terjadi
        ‘Untungnya’, hidup manusia terlampau kecil dan sederhana jika hanya dilihat dari teropong kekuasaan. Kekuasaan memang menentukan banyak hal, tetapi tidak menentukan semua hal. Mungkin sekarang petualang kekuasaan lebih banyak daripada pejuang kebenaran dan keadilan. Namun, di dunia politik sekali pun, orang-orang baik tetap ada. Merekalah harapan kita. Politisi bukan politikus, apalagi tikus!

MER(D)EKA

“Merdeka!”
“Sekali merdeka, tetap merdeka!”
“Merdeka atau mati!”
Itulah yel-yel yang diteriakkan penuh semangat di era perjuangan kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan bukan sekadar tahapan penting sejarah, tetapi alasan utama dari keberadaan diri sebagai bangsa.
Darah dan napas rasa kebangsaan orang Indonesia adalah kemerdekaan. Kemerdekaan adalah antitesis dari penjajahan. Keduanya dibayangkan laksana pilihan antara hidup dan mati, hitam dan putih.
Karena rasa kebangsaan Indonesia itu dibangun atas dasar perjuangan melawan penjajahan, maka dalil yang menopangnya adalah nilai etis universal.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Begitulah kalimat pertama dalam Pembukaan UUD 1945.
Kata ‘merdeka’ tampaknya sengaja dipilih untuk memberi kekuatan lebih dibanding kata ‘bebas’. Lawan dari kata ‘merdeka’ adalah ‘budak’, sedangkan lawan dari ‘bebas’ adalah ‘terikat’. Merdeka berarti bebas dari perbudakan.
Penjajahan dipahami seperti perbudakan. Seorang budak adalah orang yang hidupnya dikuasai orang lain, sehingga kehilangan jatidirinya sebagai manusia.
Dalam bahasa Inggris, kemerdekaan biasanya diterjemahkan dengan freedom atau independence. Kata freedom artinya kebebasan, sedangkan independence artinya tidak tergantung.
Bagi orang Indonesia, kata ‘bebas’ dan ‘tidak tergantung’ tidak menyimpan makna sekuat kata ‘merdeka’. Karena itulah, Romo Mangunwijaya suka menyebut ‘teologi pembebasan’ dengan ‘teologi pemerdekaan’.
Namun, ketika kemerdekaan dari penjajahan telah dicapai, cita-cita menegakkan bangsa yang ‘bersatu, berdaulat, adil dan makmur’ tidaklah mudah diwujudkan.
Menyatukan bangsa yang terdiri atas 13.466 pulau, yang luasnya sepadan jarak antara London, Inggris dan Teheran, Iran serta didiami oleh 360 suku dan berbicara dengan 719 bahasa yang berbeda, jelas tidak mudah. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Mungkin karena sadar rentannya persatuan bangsa yang amat majemuk ini, maka kita merasa lebih cocok menjadi negara kesatuan ketimbang negara serikat.
Akibatnya, banyak hal sangat terpusat di Jakarta, laksana peran Batavia di era kolonial. Kesenjangan pusat dan daerah pun sulit dihindari. Meski begitu, pada Era Reformasi, kita sudah berusaha mencari jalan keluar melalui otonomi daerah.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda dalam persatuan, sesungguhnya mencerminkan kenyataan yang rentan itu.
Meski Islam adalah agama yang dianut mayoritas orang Indonesia, di beberapa provinsi, Islam justru minoritas. Migrasi antarpulau oleh satu suku dan berjumpa dengan suku-suku lainnya, jika menggangu keseimbangan, tidak jarang menjadi potensi konflik yang berbahaya.
Namun, dengan segala kesulitan tersebut, bangsa Indonesia tetap bertahan dan bersatu. Hari ini usianya 70 tahun. Andai profesor, maka dia sudah pensiun.
Jelas ini suatu capaian yang patut disyukuri dan dibanggakan. Apalagi jika kita membandingkannya dengan konflik tak berkesudahan di negara-negara Timur Tengah, padahal luas negara mereka tidak sebesar Indonesia.
Selain persatuan,cita-cita yang lebih berat diwujudkan adalah adil dan makmur. Adil artinya negara memperlakukan warganya secara setara. Makmur artinya hidup sejahtera.
Faktanya, bangsa ini masih mengalami kesenjangan pendapatan dan kesenjangan antarwilayah.
Sekitar 110 juta penduduk berpenghasilan di bawah 2 dolar AS sehari dan hampir 60 persen penduduk tinggal di Jawa.
Karena itu, kita menyambut baik rencana pemerintah bahwa pada 2016 nanti, semakin banyak dana pembangunan dialirkan ke daerah dan desa.
Transfer ke daerah naik dari Rp 643,8 triliun menjadi Rp 735,2 triliun. Dana desa naik dua kali lipat, dari Rp 20,6 riliun menjadi Rp 47 triliun. Peningkatan anggaran ini diharapkan dapat memicu ekonomi dan pembangunan daerah agar terjadi pemerataan.
Semoga masyarakat adil dan makmur itu bisa terwujud dalam waktu tidak terlalu lama. Semoga para pemimpin daerah dapat menggunakan kesempatan ini secara baik, bukan untuk dikorupsi dan memperkaya diri.
Semoga Trisakti, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, tidak sekadar retorika. Dirgahayu Indonesia!

Thursday 13 August 2015

POLITIK DAGANG SAPI

IMAJINASI orang mungkin akan liar, ketika membayangkan sosok pribadi yang pandai berdagang, berjudi dan bercinta.

Tetapi bagaimanakah jika ketiganya berpadu di dunia politik?

Bukan hanya barang dan jasa, kekuasaan pun bisa diperdagangkan. Inilah yang disebut ‘politik dagang sapi’. Saya sendiri kurang paham makna istilah ini, karena belum pernah berdagang sapi.

Para pengamat yang terhormat, menyebutnya ‘politik transaksional’. Transaksi artinya persetujuan jual beli antara kedua belah pihak.

Dalam istilah Arab disebut ‘aqd (akad), yakni kesepakatan yang mengikat.

Kalau mau menjadi calon bupati, wali kota, gubernur hingga presiden, tidak bisa hanya dengan modal dengkul. Mau menyeberangi lautan politik menuju pantai impian kekuasaan, orang perlu perahu bernama partai politik.

Membuat perahu itu perlu biaya. Perahu yang cepat adalah perahu motor yang perlu bahan bakar plus awak dan pengemudi yang mahir. Semua perlu uang. Tak ada yang gratis.

Sudah maklum, jika ada barang atau jasa, maka ada harga. Jika persediaan sedikit, sedang permintaan banyak, maka harga akan tinggi. Inilah yang tampaknya terjadi sekarang. Perahunya sedikit, sementara calon penumpang banyak.

Karena itu, boleh jadi, di belakang layar, para pemilik perahu melakukan lelang. Siapa yang berani membeli dengan harga tertinggi, dialah yang berhak memakai perahu itu.

Padahal, itu baru urusan perahu. Transaksi berikutnya adalah dengan rakyat pemilih. Bagi calon jalur independen, urusan dengan rakyat pemilih ini sudah dimulai sejak awal.

Mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berjumlah ratusan ribu, tentu perlu tenaga dan biaya tidak sedikit, dari orang lapangan yang mengumpulkan, hingga ‘biaya fotokopi’ dan tali asih-terima kasih untuk pemilik KTP.

Menjelang hari pemilihan, mungkin saja sebagian (besar?) rakyat pemilih ingin atau tergoda menjual suara mereka. Suara dijual dengan harga tunai. Siapa yang sanggup dan mau membeli, dia akan mendapatkan suara itu.

Alasan mereka sederhana. Daripada menunggu janji-janji politisi yang sering tak terbukti, lebih baik diambil terlebih dahulu. Apalagi hidup sudah melarat. Urusan perut tak bisa ditunda.

Namun dalam politik, orang bukan hanya bisa berjual beli, tetapi bisa pula berjudi. Judi berarti mengadu nasib dengan modal tertentu, yang hasilnya belum pasti. Istilah lainnya: spekulasi.


Konon, pedagang besar yang sukses sekaligus bisa bangkrut habis adalah yang suka berspekulasi tinggi. Orang hebat, kata motivator, adalah orang yang berani mengambil risiko, bukan orang yang suka berada di zona aman.

Sudah maklum, meskipun calon sudah mengeluarkan dana yang amat banyak, belum tentu dia akan terpilih. Kalau tidak terpilih, bagaimana mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan?

Apalagi kini calon dari PNS atau anggota legislatif harus mundur dari pekerjaannya. Kalau kelak ternyata dia kalah, apakah dia siap menjadi pengangguran? Inilah spekulasi yang menuntut keberanian tinggi.

Tetapi mengapa semakin hari semakin banyak orang yang ingin jadi penguasa? Saya kira, ada dorongan yang amat dahsyat di balik semua ini, yakni cinta. Cinta kepada kekuasaan, laksana cinta kepada puteri jelita, atau pemuda tampan.

Cinta itu memabukkan. Kaum Sufi menyebutnya hubbul jâh, cinta jabatan dan kehormatan. Manusia ingin dirinya laksana dewa, yang dipuja dan diagungkan.

Dalam bercinta, ada kekasih yang pandai merayu tetapi palsu. Dia tebarkan pesona dan janji manis agar rakyat memilihnya. Kelak terbukti, semua itu dusta belaka. Tetapi adapula kekasih sejati yang rela mengorbankan apapun yang dimilikinya.

Dia sudah kaya raya, tetapi merasa belum berharga jika tidak menjadi penguasa. Kekuasaan adalah kekasihnya. Dia ingin tidur bersamanya. Itu saja, tak lebih.
Yang membuat kita prihatin adalah, baik mereka yang berdagang, berjudi atau bercinta dengan kekuasaan, semuanya menjadikan kekuasaan hanya sebagai tujuan meraih keuntungan pribadi dan/atau kelompok.

Akibatnya, cita-cita demokrasi untuk membangun masyarakat yang adil sejahtera, hanyalah suara-suara parau yang segera lenyap di udara, atau tulisan-tulisan indah tanpa makna.

Semoga para calon pemimpin dan rakyat tidak demikian adanya!

KAUM SARUNGAN DAN KAUM BERDASI

      Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menggelar muktamar. NU terlebih dulu memulai yakni pada 1 Agustus 2015. Sedang Muhammadiyah menyusul dua hari berikutnya 3 Agustus 2015, dan tinggal.Banyak cerita tersaji di dua muktamar itu, mulai dari kostum Presiden Jokowi ketika membuka kedua muktamar sampai hiruk pikuk bursa calon ketua umum.
     Kita berharap muktamar NU dan Muhammadiyah sukses dan menghasilkan kesepakatan maupun kebijakan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. NU dan Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai organisasi massa Islam terbesar dan memiliki puluhan juta pengikut di seluruh Indonesia. Dengan posisi strategis ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hasil muktamar kedua organisasi tersebut akan ikut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.
     Perkembangan yang selama ini ditunjukkan NU dan Muhammadiyah, terutama dalam hal toleransi dan sikap saling menghargai antarkedua organisasi, sangat positif. Paling tidak akhir-akhir ini kita tidak lagi mendengar perdebatan-perdebatan tak berujung mengenai perkara khilafiyah seperti wajib tidaknya qunut atau hal-hal ‘bid’ah’ lainnya.
     Kedua organisasi tampak mulai berfikir untuk berlomba memberi kontribusi yang lebih nyata kepada masyarakat. Para anggota kedua organisasi yang tersebar dalam berbagai bidang sudah sangat akrab dengan berbagai isu nasional, mulai dari politik, hukum, sosial hingga pendidikan. NU dan Muhammadiyah juga secara organisatoris selalu aktif memberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
     Salah satu peran penting yang dimiliki kedua organisasi adalah pembentukan karakter manusia. NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan selalu mengajarkan kepada pengikutnya untuk mengedepankan etika dan menjunjung tinggi moral. Dua hal yang menjadi modal dasar bagi seseorang untuk bertindak. Orang-orang yang matang secara moral dan menjunjung tinggi etika akan sulit untuk melakukan perbuatan yang dilarang baik oleh agama maupun hukum. Itu sebabnya, jarang kita dengar kader NU maupun Muhammadiyah yang terjerat kasus korupsi ataupun tindakan asusila lainnya.
     Dengan peran sangat sentral seperti yang disampaikan di atas, kita berharap bahwa muktamar dapat melahirkan berbagai kebijakan yang tidak melenceng dari tujuan awal pendirian kedua organisasi. Mengiringi harapan tersebut tetap harus diwaspadai berbagai isu yang dapat menjadi sandungan dalam muktamar seperti munculnya dugaan politik uang dalam muktamar NU untuk meluluskan perubahan metode pemilihan Rais Am. Kita berharap ini hanya isu semata, sebab jika itu betul terjadi maka kita tinggal menunggu waktu munculnya orang-orang yang hanya akan menggunakan kedua organisasi Islam tersebut sebagai lahan basah untuk meraup keuntungan pribadi.
     Isu lain yang cukup sensitif dan berpotensi berpengaruh pada hubungan antara NU dan Muhammadiyah adalah jargon yang diusung NU dalam muktamarnya, yakni Islam Nusantara. Istilah ini sempat memunculkan kontroversi karena dianggap mengkotak-kotakkan Islam dan tidak lagi menganggap Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dulu, isu-isu seperti ini bisa jadi sangat sensitif mengingat masih tingginya aroma persaingan kedua organisasi. Namun, kini seiring berjalannya waktu dan semakin dewasanya para anggota kedua organisasi isu seperti ini diharapkan tidak akan memantik api permusuhan antara keduanya. Lagipula, esensi jargon itu sesungguhnya ingin menggambarkan Islam yang sejuk dan toleran serta sesuai dengan keadaan dan perkembangan Indonesia.
     Isu lain yang juga cukup sensitif dalam muktamar, baik yang digelar NU maupun Muhammadiyah adalah hubungan keduanya dengan partai politik serta posisi mereka dalam perpolitikan nasional. Sebagaimana diketahui, NU dan Muhammadiyah selama ini lekat dengan dua partai besar yakni PKB dan PAN. Meskipun tidak memiliki hubungan organisatoris, namun semua orang di republik ini tahu jika kedua partai itu lahir dari rahim NU dan Muhammadiyah, atau paling tidak didirikan oleh kader-kader terbaik kedua organisasi tersebut.
     Pada awal muktamar Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang merupakan ketua umum Muhammadiyah sempat melontarkan tiga opsi mengenai posisi Muhammadiyah dalam politik. Seluruh opsi tersebut mengarah pada semakin besarnya peran yang akan dimainkan Muhammadiyah dalam politik, salah satu opsi bahkan merekomendasikan Muhammadiyah untuk mendirikan partai politik. Usulan seperti mestinya dipikirkan lagi, sebab posisi politik Muhammadiyah, demikian juga NU, sudah cukup baik saat ini. NU dan Muhammadiyah jangan sampai tergiur kekuasaan dan jabatan. Meskipun niatnya baik, untuk amar ma’ruf nahi munkar, namun kita semua tahu jika politik tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan dengan segala intrik yang mengikutinya.
     Biarkan Muhammadiyah dan NU tetap menjadi penjaga moral bangsa dalam segala bidang, termasuk politik. Peran itu akan jauh lebih tepat untuk Muhammadiyah dan NU dan akan menjadi efektif jika keduanya tetap berada di luar arena. Jika sudah berafiliaisi dengan partai politik tertentu, maka bisa dipastikan keberpihakan tidak bisa dihindari. Celakanya, keberpihakan dalam politik lebih sering dilakukan atas dasar untung rugi bukan benar salah.
     Posisi dan peran yang dimainkan Muhammadiyah dan NU selama ini dapat disebut sudah mendekati ideal. Keduanya dengan cara masing-masing telah memberikan warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita berharap kedua muktamar yang digelar dapat meneruskan tradisi itu. Selama ini, baik NU maupun Muhammadiyah telah mencetak kader-kader yang kemudian duduk di berbagai posisi penting di semua bidang. Kini kita dengan mudah melihat kader NU atau Muhammadiyah yang menjadi gubernur atau bupati, manajer sebuah perusahaan, praktisi hukum, ilmuan dan berbagai profesi lainnya.
     Peran yang terlalu aktif dan besar dalam politik, misalnya, tidak menjadi jaminan Muhammadiyah dan NU akan melebihi apa yang telah mereka lakukan selama ini. Oleh karena itu, Muhammadiyah dan NU seyogyanya tetap memainkan peran seperti yang selama ini dilakoni. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika mereka melepaskan peran itu.
     Akhirnya, sekali lagi, melalui dua muktamar tersebut, kita menyampaikan harapan agar Muhammadiyah dan NU tetap berada di khittahnya, sebagai pembentukan karakter sekaligus menjaga agar moral anak bangsa ini tetap di koridornya.

Monday 10 August 2015

PESILAT POLITIK

  PENDEKAR tua dan berwibawa itu mengatakan, hidup di dunia persilatan laksana berjalan di dalam lorong gua yang panjang dan gelap. Kita harus selalu waspada karena serangan musuh bisa datang tiba-tiba dari depan ataupun belakang. Sepanjang apapun lorong gelap itu, di ujungnya kita akan bertemu cahaya. Namun kita tidak tahu, apakah cahaya itu berarti harapan atau ancaman. Begitulah kurang lebih prolog dalam sebuah film yang dirilis tahun lalu. Meski ide ceritanya tidak unik, pesan moral film ini cukup kuat.
      “Menguasai ilmu silat bagiku bukan untuk mencari kesempurnaan, tetapi untuk menolong orang-orang yang lemah. Apa gunanya kesempurnaan jika tidak bisa menolong sesama manusia?” kata dalam film tersebut. Dunia persilatan tampaknya mirip dunia politik, seperti ditunjukkan oleh kisruh beberapa partai beberapa bulan ini, dan gairah politik yang mulai menggeliat di beberpa daerah menjelang pemilukada serempak yang tak lama lagi. Bukankah dunia politik juga laksana lorong gua yang gelap, karena orang tidak tahu pasti, mana kawan, mana lawan? Bukankah seperti pendekar, politisi berpikir menang atau kalah, jatuh atau dijatuhkan? Silat dan politik memang sama-sama bertumpu pada kekuatan. Siapa yang paling kuat, maka dialah yang akan menang, sedangkan yang lemah akan kalah. Di ranah politik, pemenang juga berarti penguasa. Di masa klasik, ketika kekuatan fisik hampir identik dengan kekuasaan politik, seorang penguasa adalah juga petarung yang sakti mandraguna. Seorang raja bukan saja pintar, tetapi juga pendekar.
      Karena itu, baik pendekar maupun politisi, sama-sama berusaha mengumpulkan kekuatan sebanyak mungkin. Pendekar yang hebat bukan saja memiliki tubuh kuat, tetapi juga jurus-jurus sakti yang didapat dari guru yang mumpuni. Para pendekar rela mempertaruhkan nyawa untuk memperebutkan satu kitab yang mengajarkan jurus maut, atau senjata bertuah berupa pedang dan tongkat. Demikian pula dengan politisi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan kekuatan. Kekuatan itu bisa berupa uang atau dukungan suara. Ia melamar ke partai-partai, medekati pengusaha, ulama dan elite masyarakat lainnya. Ia juga bekerja sama dengan media guna mempengaruhi massa. Tidak hanya itu. Ada pula politisi yang datang ke dukun atau ulama, mencari kekuatan gaib untuk menghadapi lawan. Ketika pertarungan berlangsung, seluruh kekuatan dikerahkan, dari jurus biasa hingga jurus pamungkas. Ada yang bertarung dengan jujur sesuai aturan, ada pula yang culas dan licik. Ada yang hanya ingin melumpuhkan lawan, tetapi ada juga yang ingin menghabisi.
      Baik politisi maupun pendekar, ada yang masih menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan, ada pula yang tega dan kejam tanpa ampun. Ketika pertarungan sudah berakhir, sikap pemenang dan pecundang juga beragam. Ada pemenang yang congkak dan sombong, dan ada pula yang rendah hati. Ada pecundang yang menerima kekalahan dengan lapang dada, ada pula yang penuh dendam kesumat, lalu membuat intrik di belakang. Ada pemenang yang dapat merangkul pecundang dan ada pula yang selamanya bermusuhan. Perbedaan mereka itu, terutama karena perbedaan pandangan hidup, yakni cita-cita yang ingin diraih melalui kekuatan yang dikumpulkan dan kekuasaan yang didapatkan.
     Sebagai pendekar, menginginkan kepandaiannya dalam ilmu silat berguna untuk menolong mereka yang lemah. Bukankah ini pula yang seharusnya menjadi cita-cita politisi, yakni menegakkan keadilan, membela yang lemah? Sayang, ketika kita menyaksikan perilaku kaum elite yang main akrobat di panggung politik, kita mungkin hanya dapat menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.
      Kita terlalu sering membuktikan, bahwa cita-cita politik yang mulia itu justru jauh panggang dari api. Kepentingan pribadi dan golongan, seringkali dibungkus rapi dengan janji-janji manis dan pasal-pasal hukum yang membingungkan. Namun, bagaimanapun hebatnya film silat, tanpa penonton, film itu tidak ada artinya. Begitu pula, tanpa rakyat, kaum elite tidak bisa berbuat banyak. Karena itu, seperti kata dalam film, di ujung lorong panjang yang gelap itu akan ada cahaya. Artinya, kita tidak boleh kehilangan harapan!

Tuesday 4 August 2015

KAUM SARUNGAN

KAUM SARUNGAN

        Dulu Pesantren dicemooh orang luar sebagai ‘kaum sarungan’ yang secara tersirat berarti kolot, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Memang, sarung adalah pakaian yang sangat akrab dengan santri pesantren tradisional karena dipakai seharian dari tidur, belajar, santai hingga berolahraga. Sarung itu sederhana dan praktis. Bisa dipakai sebagai bawahan, selimut, syal atau sebagai kain pembungkus barang.
       Berbeda dengan santri tradisional, santri pesantren yang menyebut diri modern biasanya memakai celana panjang dan dasi, terutama saat belajar di kelas.
Celana, lebih-lebih dasi, yang dipakai orang Eropa, adalah simbol kemodernan dan kemajuan. Sebaliknya, di kalangan ulama tradisional, dasi dan topi justru pernah diharamkan, karena dianggap menyerupai orang Eropa yang kafir dan penjajah.
       Kaum santri berdasi tampaknya ingin menegaskan bahwa para santri yang mendalami ilmu agama dan berusaha hidup saleh sebenarnya juga bisa menjadi modern, bukan kolot dan konservatif.
        Santri berdasi tidak hanya pandai bahasa Arab (bahasanya kaum santri), tetapi juga bahasa Inggris (bahasanya orang modern). Tidak hanya tahu ilmu fikih, tauhid, tafsir dan hadis tapi juga ilmu alam, sosial dan humaniora.
        Sederhananya, santri sarungan umumnya ikut NU, sedangkan santri berdasi masuk Muhammadiyah. Para pengamat menyebut NU adalah kaum tradisionalis, sedang Muhammadiyah adalah kaum modernis.
        Saya kira, Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar NU tahun ini, tiada lain daripada Islam tradisionalis, sedangkan Islam Berkemajuan yang menjadi tema Muktamar Muhammadiyah lebih kurang adalah Islam modernis.
       Karena itu, benar apa yang dikatakan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, bahwa Islam Nusantara bukanlah aliran, mazhab atau kelompok baru.
Islam Nusantara adalah penafsiran dan praktik Islam yang meresap dalam budaya Nusantara yang khas, yang tetap berpijak pada prinsip-prinsip syariat Islam. Singkatnya, Islam Nusantara adalah Islam tradisional yang diajarkan, ditafsirkan dan dipraktikkan warga NU.
        Mengapa istilah ‘Islam Nusantara’ baru muncul padahal dulu tidak ada? Mungkin konteks sosial politik dan budaya nasional daninternasional saat ini telah mendorong kepada penamaan itu.
        Para tokoh NU khawatir, berbagai gerakan radikal dan teroris yang mengatasnamakan Islam, serta konflik religio-politik Syiah-Sunni yang terjadi di Timur Tengah sekarang, bisa saja menyusup ke negeri kita yang damai ini.
        Islam Nusantara tentu bukan berarti anti-Arab. Melepaskan Islam dari Arab itu mustahil karena Nabi Muhammad adalah orang Arab, Alquran berbahasa Arab, salat dilaksanakan dalam bahasa Arab dan Kabah berada di Kota Makkah.
        Yang ditolak adalah penafsiran tertentu terhadap sumber-sumber otoritatif Islam, yang dianggap radikal dan ekstrem, dan kebetulan sebagian berasal dari Arab.
        Khusus di kalangan NU, bahasa Arab menempati kedudukan yang sangat penting. Sejak awal, para santri pesantren tradisional disuguhi seluk beluk pelajaran bahasa Arab, dan bahan ajar yang disebut ‘kitab kuning’ umumnya berbahasa Arab.
        Di NU, umumnya orang yang tidak pandai membaca kitab kuning (gundul, tanpa harakat), dan tidak fasih membaca Alquran, dianggap tidak layak menjadi kiai.
        Di sisi lain, kini kaum tradisionalis dan modernis makin merapat dan bertemu. NU makin terbuka pada kemodernan, Muhammadiyah kembali mengkaji khazanah intelektual Islam tradisional.
        Said Aqil Siradj, alumni pesantren yang kuliah dari S-1 sampai S-3 di Arab Saudi, justru memakai celana, jas dan dasi, Mungkin inilah contoh nyata budaya Islam Nusantara. Seorang tokoh bercerita, ketika salat di Masjid al-Azhar Mesir dan dia memakai sarung, tiba-tiba ada orang Arab menegurnya. “Pakaianmu itu (menunjuk ke sarung) haram. Itu sejenis rok, pakaian perempuan,” katanya.
Si tokoh kita balik menjawab, ”Justru pakaianmu itu yang haram. Jubah kamu itu di Indonesia sama dengan daster, pakaiannya ibu-ibu!”
        Alhasil, ini soal budaya yang berkelindan dengan agama. Adapun Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, ajaran-ajaran pokok yang dipegang teguh oleh kaum Muslim Sunni di mana-mana, kiranya tetaplah sama.

Monday 3 August 2015

YA ALLAH

Aku yakin
Jika saat itu tiba
Allah menyatukan dg cinta
Yang lebih baik

Cinta yang membuat
Harus melewati perpisahan

Hanya agar bisa bersatu
Dengan seseorang yang
Benar-benar tepat
Didunia akhirat,Semoga

Semoga Allah meridhoi
Langkahku pasangan
Dunia akhirat

Pasangan yang selalu melengkpi
Saling mencintai
Bukan menerima karena
Aku butuh kasihani
Bukan sekedar itu

Bismilah
Semoga Allah istiqomahku
Akan siapapun dia
Biar aku menyambutnya
Dg apa yg terbaik dariku

MOS APA PERLU

MOS APA PERLU

MOS (Masa Orientasi Sekolah) dikabarkan menelan korban jiwa, yang menimpa seorang siswa kelas VII SMP Flora Bekasi, Jawa Barat. Korban diduga meninggal dunia akibat kecapaian setelah mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya.
Ini tentu sangat memukul dunia pendidikan di Tanah Air. Padahal, Menteri Pendidikan Nasional sudah mengantisipasi dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 59389/mpk/pd/tahun 2015 tentang pencegahan praktik perpeloncoan, pelecehan dan kekerasan pada masa orientasi peserta didik baru di sekolah yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia.
Mendiknas menginstruksikan kepada Dinas Pendidikan untuk mengawasi praktik perpeloncoan, pelecehan, dan kekerasan pada awal tahun pelajaran, karena tidak sejalan dengan semangat pendidikan dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2014 Tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah baik di sekolah negeri, swasta, kedinasan, maupun keagamaan.
Namun, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Yang tidak diinginkan kini sudah terjadi. Satu nyawa atau satu jiwa bangsa Indonesia hilang di lingkungan sekolah. Kita pun turut berduka atas kepergian Evan Situmorang, nama siswa malang kelas VII SMP Flora Bekasi Jawa Barat (liputan 6, 1 Agustus 2015) tersebut. Kalau sudah terjadi, lalu siapa yang harus disalahkan? Sekolah atau pemerintah? Pertanyaan selanjutnya apakah masih perlu diadakan MOS di sekolah?
Sejak dulu kita yang mengenyam pendidikan tentu pernah mengikuti kegiatan MOS. Dulu namanya bukan MOS, walau praktiknya sama saja, dan dilaksanakan ketika masuk ke SMA dan Perguruan Tinggi --bukan untuk SMP. Siswa baru pada umumnya tidak tahu apa-apa tentang sekolah yang ia masuki, sehingga ketika disuruh itu dan ini oleh seniornya pasti nurut-nurut saja karena takut dikeluarkan dari sekolah jika menentangnya.
Setiap sekolah tidak sama dalam melaksanakan MOS. Ada yang biasa-biasa saja, misalnya diisi dengan kegiatan pengenalan program sekolah, kegiatan pramuka, tata tertib sekolah, perpustakaan, laboratorium, cara belajar, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, salat berjemaah, mengenalkan kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan dan lain-lain. Semua itu dilaksanakan oleh guru, bukan oleh seniornya.
Ada juga MOS yang dilaksanakan di luar kebiasaan. Biasanya selain pengenalan lingkungan sekolah, ditambah kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengurus OSIS. Di sinilah akan terjadi perpeloncoan seperti siswa disuruh memakai pakaian ala badut, lari, skot-jump, push up dan merangkak.
Bahkan sampai melewati comberan yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan, karena yang menyuruh bukan guru melainkan seniornya. Anehnya, kepala sekolah dan guru seakan membiarkan hal tersebut terjadi. Padahal kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, dan guru adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas penyiapan dan pelaksanaan kegiatan orientasi peserta didik baru. Kegiatan seperti lari, skot-jump, push up seharusnya di bawah pengawasan guru olahraga dan bukan oleh seniornya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebelum memasuki tahun pelajaran 2015/2016 gencar melakukan sosialisasi, instruksi sampai ancaman lewat media baik cetak maupun elektronik, agar kegiatan perpeloncoan pada Masa Orientasi Sekolah pada 2015 tidak terjadi. Dan, barangkali instruksi itu sudah dilaksanakan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia, walaupun ada di antaranya yang masih melaksanakan cara lama dalam melaksanakan MOS. Wajar jika menteri geram mendengar berita meninggalnya seorang siswa SMP kelas VII setelah mengikuti kegiatan MOS.
Agar tidak terjadi berakibat fatal dan terulang pada tahun berikutnya, sebaiknya pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat “buku panduan” untuk pelaksanaan MOS di tingkat SMP, SMA agar pelaksanaannya se-Indonesia sama. Buku tersebut harus sudah sampai 6 bulan sebelum pelaksanaan.
Mengeluarkan Peraturan, seperti Peraturan Menteri Pendidikan No 55 Tahun 2014 tanggal 2 Juli 2014, dirasa sangat terlambat. Apalagi hanya dimuat di Web kemdikbud, sementara jaringan internet di Indonesia kecepatannya tidak sama.
MOS jika sekiranya masih perlu dilaksanakan, sebaiknya tidak melibatkan seniornya, tetapi semua guru. Pelaksanaannya tidak perlu memakan waktu berhari-hari, karena untuk memperkenalkan program-program di sekolah tak perlu waktu lama. Kita jangan memaksa siswa yang baru masuk sehari akan tahu semuanya.
Setiap kelas ada wali kelasnya. Jadi, alangkah lebih bijak cukup wali kelas yang akan memperkenalkan hal-hal lain yang belum mereka ketahui tentang sekolah dan kegiatan di sekolah. Dengan begitu, aksi kekerasan, perpeloncoan dan balas dendam tidak akan terjadi antara senior dan juniornya.
Agar terjadi hubungan baik dan penuh persaudaraan antara senior dan junior, lebih baik mengadakan pentas seni, paskibra, baca puisi, olah raga dan kebolehan lainnya. dengan cara seniornya menunjukan kebolehan mereka masing-masing dan biarkan siswa baru menonton dan setelah pentas, senior bersalaman dengan siswa baru dengan penuh persaudaraan.
Terkait cara memperkenalkan semua pendidik dan tenaga kependidikan kepada siswa baru, cukup dilakukan melalui apel di lapangan terbuka. Kepala sekolah bisa memperkenalkan satu persatu nama pendidik dan tenaga kependidikan, setelah itu saling bersalaman.
Setop perpeloncoan pada MOS. Kalaupun masih ada, jangan sampai terdengar lagi berita seperti meningggalnya siswa di SMP Flora Bekasi. Satu nyawa buat bangsa ini adalah satu bangsa. Jadi, jangan bekali anak didik kita dengan dendam dan kekerasan, karena fungsi Pendidikan Nasional seperti disebutkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Bukan tanpa alasan Ki Hadjar Dewantoro menggunakan istilah “Taman” sebagai konsep pendidikannya. Taman berarti tempat bermain. Teduh, tenang, dan tentunya menyenangkan. Anak-anak senantiasa gembira berada di taman. Mereka dengan senang hati menghabiskan waktu di taman.
Ki Hadjar ingin konsep pendidikan seperti sebuah taman. Pendidikan haruslah menyenangkan, belajar adalah proses kegembiraan. Ketika bel masuk sekolah berbunyi semestinya sebuah kegembiraan dimulai, dan ketika bel pulang berbunyi anak-anak enggan untuk pulang.

BUAT ANAKKU DAN ANAK DUNIA

BUAT ANAKKU DAN ANAK DUNIA

      NEGARA memberi penghargaan pada anak dengan menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Sayang, tahun ini seperti kurang gaungnya. Padahal, penetapan ini berdasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 pada tanggal 19 Juli 1984.
       Sebenarnya peringatan hari anak berbeda-beda di seluruh dunia. Hari Anak Internasional diperingati tiap 1 Juni. Sedangkan Hari Anak Universal diperingati setiap 20 November. Namun, pada intinya semua peringatan Hari Anak adalah sama, yakni menghormati hak-hak anak di mana pun dia berada.
       Lebih tiga dasawarsa berlalu sejak Indonesia menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Lantas, apakah anak Indonesia benar-benar telah terjamin haknya? Berdasarkan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tahun 1989, sedikitnya ada 10 hak yang harus diberikan untuk anak.
      Hak untuk anak tersebut meliputi hak untuk bermain, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan nama (identitas), hak mendapat status kebangsaan, hak mendapat makanan, hak mengakses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak meperoleh kesamaan dan hak memiliki peran dalam pembangunan.
      Jika mengacu pada 10 dasar hak anak berdasar Konvensi PBB Tahun 1989, masih banyak yang perlu dibenahi agar semuanya terpenuhi. Upaya untuk memenuhinya ada dan telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, implementasinya tak semudah mengucap kata. Kadang, hal-hal yang sederhana menjadi rumit ketika persona-personanya sendiri yang mempersulit.
      Dilihat dari sisi produk hukum, sejumlah aturan yang dibuat sudah cukup memadai. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang diterbitkan pada 17 Oktober 2014. Negara dalam UUD 1945 juga memberi porsi lebih dalam pemberian hak-hak kepada anak, terutama yang telantar. Seperti termaktub pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
      Kemudian, berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 , dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yakni sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.Ketika perangkat hukum sudah memadai demikian pula ada lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan anak, maka cukup mengherankan jika masih banyak terjadi kriminalisasi pada anak, pengerahan tenaga anak, pelecehan seksual pada anak hingga kekerasan lain yang dialami oleh anak. Bahkan, akhir-akhir ini, seakan mengemuka banyak kasus kekerasan pada anak dibuktikan dengan maraknya pemberitaan.
      Jika mengacu pada pernyataan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam, kondisi anak Indonesia masih memprihatinkan. Banyak anak di jalan mencari uang dengan meminta-minta, mengamen, dan lain-lain. Mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual. Bahkan, tren pengaduan kasus anak yang dilaporkan ke KPAI dari tahun ke tahun terus meningkat baik jumlah maupun jenis pengaduannya. Ini menunjukkan belum optimalnya negara hadir menjamin perlindungan anak.
      Di sisi lain, keluarga sebagai benteng terakhir perlindungan pada anak malah tidak mampu melakukannya. Bahkan pada beberapa kasus, keluarga menjadi sumber anak mengalami ketidaknyamanan, seperti perceraian orangtua hingga pelaku kejahatan seksual pada anak yang masih dalam lingkungan keluarga.
      Bagi anak-anak, keinginan mereka adalah sesederhana pemikirannya. Bukan hal yang muluk-muluk atau sekadar janji manis di mulut tapi tidak ada implementasinya. Anak-anak adalah pewaris pertiwi. Jaga dan buatlah mereka gembira. Sanggupkah kita membikin anak-anak gembira.