BENCANA
Entah mengapa, bencana alam di negeri ini hampir selalu dihubungkan --bahkan secara spontan-- dengan hukuman Tuhan. Sejak gempa dan tsunami Aceh pada 2004, sampai gempa NTB baru-baru ini, anggapan itu selalu saja mengemuka. Saya tak hendak membahas kebenarannya. Yang jauh lebih gawat adalah narasi-narasi kebencian dan yang menyertainya. Di hadapan sesama warga-negara yang tertimpa musibah, mengapa reaksi spontan justru mengutuk atau membenci, alih-alih membantu atau paling sedikit bersimpati?
Di mana pun dan kapan pun, mengutuk atau menyalahkan korban selalu memalukan. Apalagi korban bencana alam. Adalah hak masing-masing untuk menganggap bencana alam sebagai --untuk mengutip kicauan Tifatul Sembiring tentang gempa Mentawai 2010 silam-- "kutukan Tuhan karena kekafiran mereka." Pun kalau benar demikian, dan Anda sungguh meyakininya, cukup katakan dalam hati saja, kemudian singsingkan lengan baju untuk membantu, sebab bantuan Anda jauh lebih penting daripada pengetahuan apakah gempa itu azab atau karena pergeseran dan tubrukan lempeng bumi.
Semoga kita, yang cukup mengerti apa artinya bela rasa bagi sesama yang sedang menderita, memiliki hati seluas samudra untuk merangkulnya.
No comments:
Post a Comment