MURID BANDEL
Guru-guru di sekolah-sekolah favorit itu cara mendidiknya lembut-lembut, murid mereka manis-manis dan berprestasi. Itu bukan karena gurunya pada pinter. Tapi karena sejak penerimaan siswa pun, yang diterima sudah pinter-pinter, dari keluarga yang baik dan nggak pernah kekurangan. Jadi bahan dasarnya sudah bagus duluan.
Kualitas sekolah bukan hanya terkait kualitas guru, namun juga kualitas murid sejak masuk kelas satu. Walhasil, sistem penilaian sekolah pun ala-ala pasar bebas: titik start-nya tidak sama, tapi garis finish-nya sama.
Dulu, memukul anak itu barangkali oke-oke saja. Secara konstruksi sosial di zamannya, hal itu tidak mengapa. Dan karena ia lazim, efek psikologis bagi anak-anak pun tidak akan berlebihan. Anak akan takut dengan guru yang menghukumnya, lalu berdisiplin, tapi tidak tumbuh dendam dan trauma. Kenapa? Ya karena memang di masa itu si anak melihatnya sebagai hal normal belaka.
Kenapa murid-murid banyak yang melanggar peraturan, dan tidak berubah sedikit pun meski sudah diberi hukuman keras, bahkan fisik.Ternyata, anak-anak bengal yang kebanyakan laki-laki itu punya satu naluri: cari perhatian ke gadis-gadis! Jadi ketika mereka dihukum keras, lebih-lebih lagi fisik, mereka malah akan bangga dan merasa jadi hero di hadapan cewek-cewek cantik di sekolah mereka. Disuruh push up itu "gagah". Tapi, menuangkan tanah dalam pot bunga? Tentu amat jauh dari citra keperkasaan ala-ala Gundala.
Metode mendidik yang paling pas bagi siswa di "lingkup sosiologis" masing-masing. Menghapus tumpukan tugas administratif para guru, niscaya kesempatan untuk membuat inovasi-inovasi demikian akan terbuka lebar.
Itu saja. Anggaplah itu kado ala kadarnya dari saya, di Hari Guru 25 November. Selamat.
No comments:
Post a Comment