UAS 2
Kami kuliah di zaman Orde Baru. Soeharto masih sangat berkuasa. Tapi Rektor kampus Jogja. Mereka tak melarang mahasiswa berdemonstrasi, meski kerap ditekan aparat. Beberapa tokoh Partai yang dicurigai komunis juga berasal dari kampus ini, saya merasa suasana kampus tetap demokratis.
Saat itu kampus biasa mengundang tokoh 'oposisi'. Para pentolan Petisi 50, seperti Ali Sadikin dan AM Fatwa, bisa bicara di acara mahasiswa. Jamaah Masjid Kampus, bebas mengundang pelbagai tokoh agama untuk mengisi ceramah. Amien Rais, tokoh yang pertama kali mengajukan pergantian Presiden Soeharto, bebas bicara. Permadi, Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad dan lain-lain juga kerap manggung di Kampus kampus Jogja. Tak ada soal. Dan saya terkagum-kagum dengan dialektika yang mereka sampaikan.
Ya, singkat kata, saat itu menjunjung tinggi gagasan filosof: "Bisa jadi saya berbeda pendapat dengan Tuan. Tapi saya akan membela sampai mati hak Tuan untuk menyampaikan pendapat ..."
Itu sebabnya di kampus kala itu semua boleh dibahas, misalnya, buku-buku komunis yang paling komunis sekalipun. Meski begitu banyak yang memakan korban. Ada mahasiswa yang dipenjara karena mengedarkan dan berdiskusi soal buku-bukunya.
Nah, hari ini saya terkejut dengan pencekalan UAS oleh suatu kampus. Alasannya pun tak lazim untuk kampus, yang seharusnya membuka diri atas beragam pemikiran. Dan atas soal ini saya mendadak jadi ingin melupakan bahwa pernah mendapat ilmu dikampus tersebut di sana ...!
No comments:
Post a Comment